"What we need are not new technologies, but new metaphors. The computer, the television, the Internet---they all shape the way we think not merely by what they show us, but by how they show it."~Neil Postman
Dalam satu dekade terakhir, media sosial telah menjelma menjadi panggung utama kehidupan modern. Di sana, manusia hadir dalam bentuk potongan-potongan identitas, berkomunikasi dalam ritme yang semakin cepat, dan menyerap informasi dalam tempo yang makin dangkal. Dari pusaran inilah muncul fenomena yang kini dikenal sebagai brain rot istilah populer yang menunjuk pada degradasi fungsi berpikir akibat konsumsi konten digital instan dan berlebihan.
Namun, brain rot bukan sekadar masalah medis atau psikologis. Ia adalah gejala dari krisis epistemologis dan pedagogis yang lebih luas, yang mengancam fondasi berpikir kritis, kesadaran diri, dan relasi manusia dengan dunia. Fenomena ini bukan hanya mengubah cara kita belajar, tetapi juga cara kita hadir sebagai subjek berpikir dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah brain rot secara harfiah berarti "pembusukan otak." Meski tidak ditemukan dalam literatur neurologis resmi, istilah ini mencerminkan pengalaman kolektif masyarakat digital: kehilangan daya pikir mendalam, menurunnya rentang atensi, dan kebiasaan mengonsumsi informasi secara impulsif. Dalam kondisi ini, otak manusia tidak lagi menjadi pusat kontemplasi, melainkan terminal yang hanya menerima lalu lintas data tanpa sempat mengolah atau mempertanyakannya.
Fenomena ini mendapat penguatan struktural dari cara kerja platform digital, yang didesain untuk memaksimalkan atensi dan keterlibatan. Algoritma tidak bekerja netral; ia membentuk preferensi, menyederhanakan realitas, dan mendorong pengguna untuk terus "terjebak" dalam konten yang cepat, singkat, dan sensasional. Di sinilah nalar dikorbankan demi keterlibatan, dan refleksi digantikan oleh reaksi.
Dalam kajian teori belajar, kondisi ini menjadi anomali yang serius. Belajar, sebagaimana dipahami dalam tradisi konstruktivisme Jean Piaget dan Lev Vygotsky, adalah proses aktif yang mengandaikan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Belajar bukan tentang menerima informasi, melainkan tentang membentuk makna melalui pengalaman, dialog, dan refleksi.
Fenomena brain rot memutar balik proses ini. Individu tidak lagi belajar melalui keterlibatan aktif, melainkan melalui konsumsi pasif. Konten yang dikonsumsi bersifat repetitif dan fragmentaris, tidak memberi ruang bagi penalaran, apalagi integrasi pengetahuan. Di sinilah terjadi disfungsi struktural dalam pola belajar generasi digital: nalar yang seharusnya dibentuk dan diuji, kini dibungkam oleh kecepatan dan stimulasi tanpa jeda.
Lebih jauh lagi, dalam perspektif filsafat pendidikan ala Paulo Freire, pembelajaran adalah praktik pembebasan. Ia hanya bisa terjadi ketika manusia merefleksikan realitas secara kritis dan bertindak untuk mengubahnya. Namun di tengah fenomena brain rot, realitas tidak lagi direfleksikan hanya dikonsumsi. Maka pembelajaran pun kehilangan maknanya yang terdalam: ia tidak lagi membebaskan, melainkan meninabobokan. Kita bisa melihat bahwa brain rot bukan cuma persoalan saraf, tapi juga krisis eksistensial. Dalam dunia yang terlalu penuh informasi, kita justru kehilangan makna. Jean Baudrillard menyebut ini sebagai hiperrealitas: ketika simulasi mengambil alih kenyataan. Apa yang kita lihat di layar bukan lagi representasi dunia, tapi dunia itu sendiri. Akibatnya, pengalaman manusia kehilangan kedalaman.
Dalam realitas ini, sebagaimana dikatakan Camus, absurditas menjadi norma: dunia tak lagi memiliki koherensi naratif, karena kita tak memberi waktu bagi diri kita untuk menyusun narasi. Kita tergelincir dari satu momen ke momen lain, tanpa mengendapkan satu pun. Maka tak heran jika anxiety, depresi, dan derealisasi kian meningkat. Otak kita tidak hanya lelah, tapi kehilangan pijakan realitas.
Yang lebih tragis, semua ini bukan terjadi secara kebetulan. Seperti dijelaskan dalam kajian brain rot, platform digital secara aktif mendesain algoritma untuk mempertahankan perhatian. "Haus Validasi" menjadikan otak manusia sebagai ladang eksploitasi. TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts bukan hanya media hiburan, tapi juga alat eksperimentasi besar-besaran terhadap sistem reward otak kita. Kita seperti tikus dalam lab yang terus menekan tuas demi dopamin. Dalam kerangka ini, fenomena brain rot merupakan bentuk kolonialisasi kognitif. Pikiran kita tidak lagi merdeka, melainkan terjajah oleh ritme industrialisasi digital. Di titik inilah, kritik Walter Benjamin tentang estetisasi politik menjadi relevan: teknologi bukan hanya alat, tapi sarana hegemonik. Yang dipertaruhkan bukan sekadar waktu luang, tapi otonomi mental.
Gejala brain rot tak luput menampakkan dirinya di Indonesia. Kita menyaksikan bagaimana ruang publik digital dipenuhi oleh konten hiburan, perdebatan instan, dan reaksi emosional yang dangkal. Platform seperti TikTok dan Instagram Reels menjadi sumber utama informasi bagi generasi muda, menggeser peran buku, diskusi, bahkan guru. Pendidikan formal pun terdorong mengikuti estetika media sosial: guru harus tampil menarik, materi dikemas dalam bentuk video pendek, dan logika klik menjadi ukuran keberhasilan.
Kita hidup dalam paradox dimana akses terhadap informasi makin luas, tapi kemampuan berpikir kritis makin surut. Literasi digital yang seharusnya memperkuat kapasitas kognitif justru melahirkan konsumen informasi yang impulsif dan seragam. Ketika sebuah tragedi nasional lebih banyak dibicarakan melalui meme ketimbang analisis, atau ketika isu politik ditanggapi dengan sticker dan sound viral, kita perlu bertanya ke mana arah nalar publik kita?
Masalah brain rot tidak dapat diselesaikan hanya dengan himbauan moral atau pengurangan waktu layar. Kita memerlukan pendekatan sistemik dan filosofis yang merombak cara kita memahami pendidikan dan membangun ulang ekosistem pembelajaran.
Pertama, kita harus memulihkan kembali makna belajar sebagai praktik eksistensial, bukan hanya teknis. Pendidikan perlu menekankan proses berpikir, bukan hasil semata. Filsafat, logika, dan dialog perlu diajarkan sejak dini bukan untuk mencetak filsuf, tetapi untuk membentuk manusia yang mampu mempertanyakan dan memahami dunia.
Kedua, kita harus mendesain ulang media pembelajaran digital agar tidak tunduk pada logika pasar semata. Platform pendidikan harus dikembangkan dengan prinsip kebermaknaan, bukan keterlibatan. Pemerintah dan sektor pendidikan bisa bekerja sama menciptakan algoritma alternatif yang mendorong eksplorasi intelektual, bukan sekadar eksploitasi atensi.
Ketiga, kita perlu menghidupkan kembali ruang-ruang dialog publik yang berbasis komunitas: forum membaca, diskusi sastra, lokakarya filsafat, dan ruang belajar informal lainnya. Di sinilah nalar dikembalikan ke tubuh sosial, tidak lagi teralienasi dalam layar.
Terakhir, kita membutuhkan pendidik yang memiliki kedalaman nalar dan kepekaan zaman. Guru bukan hanya pengajar, melainkan penjaga nalar publik. Mereka perlu dibekali dengan pemahaman filsafat belajar dan kemampuan memfasilitasi diskusi yang membangkitkan kesadaran kritis.
Dalam dunia yang penuh kebisingan ini, membaca menjadi tindakan politik. Ia menuntut waktu, kesabaran, dan kontemplasi tiga hal yang makin langka dalam masyarakat digital. Membaca membuka kembali ruang batin manusia, menghubungkan nalar dengan rasa, dan memberi kedalaman pada makna.
Brain rot bukan sekadar penyakit kognitif, melainkan gejala dari masyarakat yang lupa berpikir. Untuk itu, perlawanan terhadapnya bukanlah menolak teknologi, melainkan menata ulang relasi kita dengan teknologi dan menghidupkan kembali komitmen terhadap nalar, pembelajaran, dan kemanusiaan. Karena di ujungnya, yang kita pertaruhkan bukan hanya masa depan pendidikan, tetapi masa depan berpikir itu sendiri.
Referensi
Afriani, L., Maisyaroh, M., & Nurabadi, A. (2025). Menerapkan Teori Pembelajaran kognitivisme, konstruktivisme, dan teori belajar sosial Melalui Teknologi. Proceedings Series of Educational Studies, 185-191.
Alamsyah, I. (2024, Februari 24). Brain rot, selamat datang di era pembusukan otak. Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/brain-rot-selamat-datang-di-era-pembusukan-otak
Alimuddin, M. (2024, February 22). Brainrot: Pembusukan otak akibat konten receh medsos. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. https://umsida.ac.id/brainrot-pembusukan-otak-akibat-konten-receh-medsos/
Andayani, A., & Mudjiyanto. (2019). Pengembangan bahan ajar berbasis nilai-nilai karakter bangsa pada pembelajaran membaca di sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 8(1), 1--10. https://doi.org/10.23969/jipi.v8i1.471
Asra, A. (2023). Brain rot dan implikasinya terhadap karakter peserta didik. Jurnal Islamika, 5(2), 34--47. https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/islamika/article/download/208/170/
Dzakwan, H. M. (2023). Fenomena brain rot dan dampaknya terhadap generasi muda di era digital. Jurnal Edisi, 4(1), 89--98. https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/edisi/article/download/786/541/
Khan, M. M. R., Hossain, M. A., Rahman, M. M., & Imran, M. A. S. (2023). The neurobiology of "brain rot": A review of cognitive decline in the digital age. Brain Sciences, 15(3), 283. https://doi.org/10.3390/brainsci15030283
Kompas.id. (2024, March 5). Brain rot: Selamat datang di era pembusukan otak. Kompas. https://www.kompas.id/artikel/brain-rot-selamat-datang-di-era-pembusukan-otak
Mufid, A. (2023, March 9). Bahaya brain rot bagi anak: Menggali dampak konten digital bagi perkembangan kognitif. NU Banten. https://banten.nu.or.id/opini/bahaya-brain-rot-bagi-anak-lVzKy
Nurwahid, H. (2023, September 19). Bahaya brain rot bagi anak. NU Banten. https://banten.nu.or.id/opini/bahaya-brain-rot-bagi-anak-lVzKy
Rachman, A. F. (2024, Januari 17). Brain rot: Pembusukan otak akibat konten receh medsos. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA). https://umsida.ac.id/brainrot-pembusukan-otak-akibat-konten-receh-medsos/
Suhartono, E. (2020). Penanaman nilai-nilai karakter siswa SD dalam pembelajaran bahasa Indonesia melalui cerita rakyat. Jurnal Pendidikan Tambusai, 4(2), 1554--1562. https://doi.org/10.31004/jptam.v4i2.1807
Yousef, A. M. F., Alshamy, A., Tlili, A., & Metwally, A. H. S. (2025). Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era: A Review. Brain Sciences, 15(3), 283.
Yusdar, W. P., Afifah, N., Ridwan, M., & Oktaviani, N. (2025). Theory of Learning Cognitivism and Islamic Education. al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 8(1), 595-604.
Zhao, Y., Wang, W., Zhang, L., & Yu, Y. (2023). The association between excessive short video watching and cognitive function: Evidence from a Chinese adolescent sample. Brain Sciences, 15(3), 283. https://www.mdpi.com/2076-3425/15/3/283
Sumber : Brain Rot dan Disfungsi Pola Pikir Kritis Manusia Modern, https://www.kompasiana.com/afnanzahrudin5566/67f8ba7ec925c451c574c782/brain-rot-dan-disfungsi-pola-pikir-kritis-manusia-modern?page=all#goog_rewarded
12 Kebiasaan Ini Dapat Mencegah "Brain Rot", Apa Saja?
Kompas.com - 10/02/2025, 07:30 WIB Muhammad Iqbal Amar, Ahmad Naufal Dzulfaroh Tim Redaksi
Istilah brain rot atau pembusukan otak dinobatkan sebagai Word of the Year 2024 versi Oxford. Brain rot merujuk pada kondisi yang mencerminkan kekhawatiran tentang dampak budaya digital modern terhadap kesehatan kognitif seseorang. Saat ini, brain rot telah menjadi istilah singkat untuk menggambarkan dampak negatif konten digital di media sosial. Penggunaan internet dan media sosial yang berlebihan dapat mengurangi daya ingat, perhatian, fokus, pemikiran kritis, dan hubungan antarmanusia. Jika berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu lama, hal ini bisa mengakibatkan pembusukan otak. Baca juga: Apa Itu Brain Rot dan Dampaknya pada Kesehatan Mental? Tanda-tanda otak mengalami pembusukan Dilansir dari Oxford University Press, Senin (2/12/2024), pembusukan otak didefinisikan sebagai kemerosotan yang diduga terjadi pada kondisi mental atau intelektual seseorang. Kemerosotan ini merupakan akibat dari konsumsi berlebihan terhadap materi atau konten daring yang dianggap "receh" atau tidak menantang. Kesulitan berkonsentrasi Isolasi sosial, yakni menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar daripada berinteraksi secara langsung Kabut otak Merasa kewalahan oleh stres harian Masalah tidur, seperti kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur Sifat lekas marah Kecemasan Suasana hati buruk. Baca juga: Serba-serbi Cara Warga Pulih dari Gejala Brain Rot Kebiasaan yang bisa mencegah brain rot Berikut beberapa kebiasaan yang bisa mencegah terjadinya brain rot:
Tetapkan batas waktu media sosial
Dikutip dari Health (6/1/2025), platform media sosial memang dirancang untuk menarik perhatian penggunanya. Meskipun berselancar di media sosial dapat menghibur, menonton dalam waktu lama sering kali menghilangkan produktivitas seseorang. Penelitian menunjukkan, penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan kecemasan dan depresi, serta mengurangi produktivitas. Menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial dapat membantu melindungi kesehatan kognitif, sehingga meningkatkan produktivitas dan kesehatan mental.
Berlatih konsentrasi
Konsentrasi berarti menyadari sepenuhnya pikiran dan perasaan saat ini. Latihan konsentrasi secara teratur dapat membantu melatih kembali otak untuk fokus, menghentikan kebiasaan scroll media sosial atau konten "receh" lainnya. Baca juga: Kecanduan Scrolling Medsos, Gejala Brain Rot yang Kian Nyata
Berolahraga secara teratur
Aktivitas fisik yang teratur tidak hanya baik untuk tubuh, tetapi juga merupakan salah satu cara terbaik untuk menjaga kesehatan otak. Olahraga meningkatkan aliran darah ke otak, menyalurkan oksigen dan nutrisi penting, sekaligus meningkatkan kemampuan otak dalam berpikir. Olahraga juga membantu mengurangi kadar kortisol, hormon stres yang dapat terakumulasi akibat konsumsi media digital yang berlebihan dan menyebabkan kelelahan mental.
Membaca buku
Membaca buku memerlukan perhatian penuh dan melibatkan otak dalam aktivitas kognitif. Kegiatan ini merupakan salah satu cara paling efektif untuk mendukung kesehatan otak. Penelitian menunjukkan, orang yang membaca selama 30 menit sehari lebih kecil kemungkinannya mengalami penurunan kognitif. Baca juga: Mengenal Brain Rot, Dampak Kecanduan Konten Receh di Medsos
Hindari melakukan hal yang bersifat multitasking
Multitasking atau melakukan banyak tugas sekaligus dapat lebih berbahaya daripada mendapatkan manfaat. Saat mengerjakan banyak tugas, otak akan beralih dengan cepat di antara tugas-tugas tersebut. Hal ini justru akan membebani memori kerja dan mengurangi kemampuan untuk fokus. Penelitian menunjukkan, mengerjakan banyak tugas dalam waktu lama akan mengurangi memori kerja dan fungsi eksekutif, sehingga berdampak negatif di dunia kerja maupun sekolah. Daripada mengerjakan banyak tugas sekaligus, fokuslah pada satu tugas dalam satu waktu. Baca juga: Studi Ungkap Covid-19 Meninggalkan Bekas pada Otak Orang Dewasa Muda
Jalin hubungan sosial secara langsung
Hubungan dan interaksi sosial merupakan hal mendasar bagi kesehatan mental dan emosional. Komunikasi dan hubungan tatap muka menumbuhkan ikatan yang lebih dalam. Ikatan sosial yang kuat dapat meningkatkan daya ingat dan melindungi dari penurunan kognitif yang berkaitan dengan usia. Meskipun koneksi daring dapat memberikan nilai tambah dan membantu terhubung dengan banyak orang-orang secara jarak jauh, bersosialisasi dengan teman dan keluarga secara langsung adalah hal yang penting.
Lakukan detoks digital
Detoks digital dapat dilakukan dengan melepas dari ketergantungan perangkat elektronik dalam waktu yang cukup lama. Cara ini dapat menyegarkan dan mengisi ulang tenaga. Penelitian menunjukkan, detoks digital meningkatkan fokus, suasana hati, dan kualitas tidur.
Pelajari keterampilan baru
Mempelajari keterampilan baru adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga otak tetap aktif, baik dengan alat musik maupun hobi yang paling digemari. Hal ini dapat membantu meningkatkan daya ingat dan pemecahan masalah, serta melindungi dari penurunan kognitif. Penelitian menunjukkan, orang dewasa yang mempelajari keterampilan baru dapat meningkatkan daya ingat dan fungsi kognitif. Rasa puas karena menguasai sesuatu yang baru juga dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kesehatan fisik maupun mental.
Habiskan waktu di alam
Menghabiskan waktu di luar ruangan adalah salah satu cara paling sederhana untuk mengurangi efek stimulasi digital yang berlebihan, mencegah kerusakan otak, dan meningkatkan kinerja kognitif. Penelitian menemukan, paparan alam menurunkan tingkat stres, meningkatkan suasana hati, dan meningkatkan fokus, serta me-refresh otak.
Terlibat dalam hobi kreatif
Hobi kreatif seperti membuat kerajinan tangan, menggambar, merajut, menulis, atau memainkan alat musik dapat membuat otak tetap aktif, serta menumbuhkan keterampilan memecahkan masalah. Kegiatan langsung ini memberikan alternatif yang sehat daripada konsumsi konten digital. Penelitian menunjukkan, menekuni hobi kreatif meningkatkan pemikiran divergen (kemampuan menghasilkan ide) dan memori.
Tidur yang cukup
Tidur sangat penting untuk kesehatan otak. Saat kondisi tidur, tubuh memperbaiki dirinya sendiri, memperkuat ingatan, dan membersihkan racun dari otak. Banyak orang mengorbankan waktu tidur untuk berselancar di media sosial atau menonton drama favorit secara maraton. Seiring waktu, hal ini memengaruhi fungsi kognitif, yang menyebabkan masalah dengan fokus dan ingatan, serta meningkatkan risiko kondisi neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer (AD).
Makan Makanan Seimbang
Mengonsumsi makanan bergizi dan seimbang dapat menyehatkan tubuh dan otak. Sebaliknya, makan makanan olahan atau berkadar gula tinggi yang rendah nutrisi dapat menurunkan kinerja kognitif. Konsumsilah makanan yang kaya antioksidan, zat besi, vitamin esensial, dan asam lemak omega-3, seperti ikan berlemak, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan buah beri, untuk melindungi dari penurunan kognitif. Penelitian menemukan, orang yang rutin mengonsumsi makanan olahan atau tinggi gula memiliki risiko lebih tinggi mengalami penurunan kognitif seiring bertambahnya usia.
Sumber : 12 Kebiasaan Ini Dapat Mencegah "Brain Rot", https://www.kompas.com/tren/read/2025/02/10/073000265/12-kebiasaan-ini-dapat-mencegah-brain-rot-apa-saja-?page=all.
4 Fakta Penting Brain Rot, Akibat Terlalu Banyak Nonton Konten "Receh"
Kompas.com - 29/12/2024, 07:57 WIB Nabilla Tashandra
KOMPAS.com - Istilah brain rot sedang menjadi perbincangan hangat di media sosial, terutama di kalangan Gen Alpha—generasi yang lahir antara tahun 2010 hingga 2024. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan "pembusukan otak," sebuah kondisi yang dikaitkan dengan konsumsi berlebihan konten digital tanpa makna atau konten receh. Lebih lanjut, berikut sejumlah fakta penting tentang brain rot yang perlu kamu ketahui lebih lanjut.
Fenomena kesehatan otak nyata Brain rot mungkin hanya sebuah istilah "gaul" yang dibuat oleh anak-anak muda. Namun, fenomenanya benar-benar terjadi. Menurut Ilmuwan Neurosains dan CEO Sekolah Otak Indonesia, Taufiq Pasiak, fenomena ini memiliki dasar ilmiah yang nyata dan bisa memengaruhi kesehatan otak. "Brain Rot adalah kelebihan beban kognitif otak akibat aktivitas digital (misalnya, media sosial) berlebihan, tapi tanpa makna," ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (21/12/2024). Brain rot terjadi akibat kelebihan beban kognitif yang dipicu oleh konsumsi berlebihan konten instan, seperti video pendek di TikTok atau Instagram Reels. Aktivitas ini sering melibatkan konten "receh" atau hiburan ringan tanpa nilai edukasi yang signifikan. Taufiq menjelaskan bahwa otak manusia memiliki sistem pengimbalan (reward system) yang bekerja dengan melepaskan dopamin saat seseorang menikmati sesuatu yang menyenangkan. Namun, konsumsi konten receh yang terus-menerus dapat membuat otak bergantung pada hiburan instan dan menghindari aktivitas yang membutuhkan usaha atau konsentrasi.
Berdampak buruk pada otak Brain rot tidak menyebabkan kerusakan fisik pada otak, tetapi memiliki dampak serius pada kemampuan kognitif dan emosional. Berikut beberapa dampaknya:
Penurunan memori kerja: informasi instan tidak melibatkan area otak yang bertanggung jawab untuk pembelajaran mendalam. Akibatnya, kemampuan otak untuk menyimpan dan mengolah informasi kompleks menurun.
Pemendekan rentang perhatian: konsumsi konten pendek dapat membuat seseorang sulit fokus pada tugas jangka panjang, sehingga mudah teralihkan dan sulit menyelesaikan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi tinggi.
Penurunan empati: paparan berlebihan terhadap konten digital dapat menumpulkan kemampuan seseorang untuk memahami dan merespons emosi orang lain, sehingga memengaruhi hubungan sosial.
Dipicu konsumsi konten "receh" Brain rot tidak berakibat fatal, seperti membuat otak menjadi rusak secara fisik. Namun, jika dilakukan dalam waktu lama, tetap memberikan sejumlah dampak bagi otak. "Beban kognitif ini memang tidak langsung membuat otak rusak secara fisik, meskipun jika dicermati secara molekuler, akan ditemukan perubahan," tuturnya. Tidak semua konten berdurasi pendek adalah konten "receh". Menurut Taufiq, ciri-ciri konten receh bisa meliputi: Hiburan ringan seperti meme atau video lucu tanpa kedalaman cerita. Informasi yang tidak mendidik atau tidak menambah wawasan. Interaksi cepat dan dangkal, misalnya video pendek yang hanya berfokus pada hiburan instan. Untuk dicatat, bukan berarti kita tidak boleh mengonsumsi konten-konten tersebut sama sekali. Namun, pastikan tidak melakukannya secara berlebihan sehingga dampak buruknya kita rasakan.
Bisa dicegah Untuk mencegah dampak negatif brain rot, Taufiq menyarankan untuk lebih selektif dalam mengonsumsi konten digital. Prioritaskan konten yang menginspirasi, mendidik, dan memberikan nilai tambah. Selain itu, kurangi waktu scrolling tanpa tujuan dan luangkan waktu untuk aktivitas offline yang merangsang otak, seperti membaca buku atau diskusi mendalam. Mengonsumsi konten singkat juga tak semuanya buruk. Namun, perhatikan isinya. Taufiq menyarankan untuk memilih konten berkualitas dan hindari konten yang hanya menawarkan hiburan singkat tanpa makna. "Konten yang membuat pintar atau memperluas dan pengetahuan akan satu hal. Juga konten yang mendidik pikiran untuk mendalami sesuatu," tuturnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "4 Fakta Penting Brain Rot, Akibat Terlalu Banyak Nonton Konten "Receh"", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2024/12/29/075727720/4-fakta-penting-brain-rot-akibat-terlalu-banyak-nonton-konten-receh?page=all#page2.
Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6