HUKUM PERSAINGAN USAHA IX

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

IX. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dan Penegakan Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia

PERANAN KPPU DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN DI INDONESIA

Untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 dibentuklah suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No. 75 Tahun 1999457 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.

Dengan demikian, penegakan hukum persaingan berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang berwenang menangani perkara monopoli dan persaingan. Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut. PN diberi wewenang untuk menangani perkara keberatan terhadap putusan KPPU dan menangani pelanggaran hukum persaingan yang menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah inkracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum persaingan apabila terjadi kasasi terhadap putusan PN tersebut.

Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.



KEDUDUKAN KPPU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan. Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk di luar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke demokrasi.

Lembaga quasi tersebut menjalankan kewenangan yang sebenarnya sudah diakomodasi oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan keadaan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang perlu dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak merupakan bagian dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya dibentuk pada sektor-sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi-judicial), eksekutif (quasi-public) yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara yang berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa kewenangan lembaga negara di sektor yang sama.

Jika dibandingkan dengan state auxiliary organ lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka terdapat persamaan dan perbedaan antara KPK dengan KPPU. Beberapa persamaan di antara keduanya adalah kedua Komisi ini dibentuk berdasarkan ketentuan undang-undang. KPK dibentuk dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), sedangkan KPPU dibentuk dengan UU No. 5 Tahun 1999. Namun demikian, sejalan dengan pemikiran Jimly Asshiddiqie, kedua Komisi ini berbeda dalam hal kedudukan. KPK disebut sebagai Komisi negara yang independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance. Hal ini dikarenakan, walaupun pembentukan KPK dengan undang-undang, keberadaan KPK memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Sementara itu, KPPU merupakan lembaga independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang.

Perbedaan lain yang berkaitan dengan latar belakang pembentukan kedua Komisi ini adalah bahwa KPK dibentuk sebagai respon tidak efektifnya Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin merajalela. Diharapkan dengan adanya KPK dapat mendorong penyelenggaraan good governance. Sehingga keberadaan KPK sangat penting, hanya saja diperlukan koordinasi dengan instansi yang memiliki kewenangan yang serupa. Sedangkan pembentukan KPPU bertujuan untuk menjamin iklim usaha yang kondusif, dengan adanya persaingan yang sehat, sehingga ada kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Selain itu, KPPU dibentuk juga untuk mendorong terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan usaha. Selanjutnya, KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya hukum persaingan, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian, KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata.

Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administratif karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.

KPPU diberi status sebagai pengawas pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999. Status hukumnya adalah sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah dan pihak lain. Anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas persetujuan DPR. Anggota KPPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden. Hal ini sejalan dengan praktik di Amerika Serikat di mana Federal Trade Commission (FTC) bertanggung jawab kepada presiden.

Ketentuan ini wajar karena KPPU melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintah, sedangkan kekuasaan tertinggi pemerintahan ada di bawah presiden. Walaupun demikian, tidak berarti KPPU dalam menjalankan tugasnya dapat tidak bebas dari campur tangan pemerintah. Independensi tetap dijaga dengan keterlibatan DPR untuk turut serta menentukan dan mengontrol pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPU.

Di samping tugas dan wewenang yang dimiliki KPPU yang begitu penting, dalam kenyataannya, KPPU masih mengalami kendala dalam pelaksanaan tugasnya. Kendala tersebut mengakibatkan KPPU belum dapat menjalankan tugasnya secara optimal. Contoh kendala yang dihadapi oleh KPPU adalah:

 

Adanya kendala tersebut mengakibatkan KPPU belum dapat secara optimal melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Selain mengatasi permasalahan-permasalahan di atas, tantangan yang harus dijawab selanjutnya adalah memperjelas status kelembagaan KPPU dalam sistem ketatanegaraan. Hal ini penting karena ketidakjelasan status KPPU dalam sistem ketatanegaraan menyebabkan Komisi ini menjadi rentan untuk diperdebatkan keberadaannya utamanya ketika Komisi ini menjalankan tugas dan fungsinya.


TUGAS DAN WEWENANG KPPU

Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa tugas KPPU meliputi:


Dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut, Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999 memberi wewenang kepada KPPU untuk:


Jadi, KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan dan akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar UU No. 5 Tahun 1999 atau tidak. Pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut untuk mengajukan keberatan ke PN.

KPPU merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam ini, KPPU bertindak demi kepentingan umum. KPPU berbeda dengan pengadilan perdata yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh karena itu, KPPU harus mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum persaingan.463 Hal ini sesuai dengan tujuan UU No. 5 Tahun 1999 yang tercantum dalam Pasal 3 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 yakni untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.


KOMISI PERSAINGAN DI BEBERAPA NEGARA

a. Australia

Lembaga yang serupa dengan KPPU di Australia adalah the Australian Competition and Consumer Commission (ACCC). Sebagaimana dengan KPPU, ACCC adalah sebuah lembaga independen (independent statutory authority) yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan the Trade Practices Act 1974 dan peraturan-peraturan yang lain. ACCC mempunyai seorang ketua, wakil ketua, anggota komisi tetap, anggota komisi yang diangkat secara ex officio dan associate members. Anggota ACCC disebut the commission (komisi). ACCC mempunyai lima komite untuk membantu tugas Komisi membuat keputusan. Komisi ini berisi anggota full time dan atau associate dan ex officio commissioners yang mempunyai keahlian dalam bidang-bidang tertentu. Komisi ini bertemu secara rutin, biasanya seminggu sekali, untuk membuat keputusan tentang masalah-masalah yang tengah diselidiki oleh ACCC.464

Mirip dengan KPPU, tanggung jawab utama ACCC adalah memastikan bahwa pelaku usaha dan masyarakat mematuhi hukum persaingan usaha. Namun demikian, dibandingkan dengan KPPU, akses masyarakat Australia kepada ACCC lebih mudah. Hal ini karena ACCC mempunyai kantor di semua ibu kota negara bagian di Australia dan Townsville untuk menangani keluhan masyarakat dan pertanyaan.465

Sebagaimana dengan KPPU, ACCC juga dapat melakukan penelitian, penyelidikan dan memberikan panduan kepada kalangan pelaku usaha dan konsumen tentang hak dan kewajiban yang mereka miliki berkaitan dengan hukum persaingan. Namun, kekuasaan ACCC lebih luas daripada KPPU karena ACCC mempunyai wewenang untuk memberikan authorisations kepada pelaku usaha yang ingin dikecualikan dari berlakunya hukum persaingan dengan alasan adanya manfaat bagi masyarakat. Namun, tidak ada authorisation untuk misuse of market power. Authorisation akan diberikan apabila tindakan pelaku usaha mendatangkan manfaat kepada masyarakat melebihi dampak negatif tindakan tersebut terhadap persaingan.

ACCC juga mempunyai hak untuk menerima notifikasi untuk perbuatan exclusive dealing. Menurut Pasal 93 the Trade Practices Act, pelaku usaha yang melakukan exclusive dealing yang memberikan notifikasi kepada ACCC akan mendapatkan pengecualian dengan syarat adanya manfaat kepada masyarakat yang melebihi dampak negatif exclusive dealing tersebut terhadap persaingan.467 Menurut Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, KPPU juga berhak menerima semacam “notification” untuk tindakan merger, akuisisi dan peleburan. Namun, menurut pasal ini, hak semacam itu terbatas untuk merger, akuisisi dan peleburan yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu.468 Di samping itu, notifikasi menurut pasal ini bukan untuk mengecualikan tindakan yang melanggar persaingan, tetapi untuk mencegah terjadinya merger, akuisisi dan peleburan yang menyebabkan terjadinya praktik monopoli.

Sebagian besar pelanggaran yang ditangani oleh ACCC berasal dari laporan masyarakat dan pelaku usaha yang secara langsung terkena dampak pelanggaran. Dalam menghadapi pelanggaran hukum persaingan, ada beberapa tindakan yang diambil oleh ACCC:


Penentuan tindakan mana yang akan diambil tergantung pada apakah telah terbukti terjadi pelanggaran hukum persaingan, bagaimana tingkat keseriusan dan efek negatifnya terhadap persaingan dan konsumen. Dalam memeriksa perkara, ACCC menggunakan beberapa pendekatan informal seperti:

Di Indonesia, terhadap putusan KPPU dapat diajukan keberatan ke PN. Kemudian, terhadap putusan PN tersebut, dapat dimintakan kasasi ke MA. Di Australia, lembaga keberatan seperti ini tidak dikenal. Keputusan ACCC dapat langsung dimintakan banding ke the Australian Competition Tribunal. Selain itu, keputusan ACCC juga dapat direview oleh Commonwealth administrative law principles.

Bila dari hasil penelitian dan penyelidikannya dapat disimpulkan bahwa memang ada indikasi pelanggaran, ACCC akan memutuskan adanya pelanggaran dan memberitahukannya kepada pelaku usaha melalui surat. Dalam surat itu disebutkan tindakan yang harus dilakukan oleh pelaku usaha dan batas waktu harus dipatuhinya perintah tersebut. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan banding ke the Australian Competition Tribunal dan tidak mengindahkan perintah tersebut, ACCC dapat memulai proses di pengadilan tanpa memberitahukan kepada pelaku usaha lagi. ACCC memulai proses litigasi di Federal Court of Australia. Putusan dari Federal Court ini dapat dimintakan banding ke Full Court of the Federal Court. Putusan dari Full Court of the Federal Court ini dapat dimintakan kasasi ke High Court of Australia. Sebagaimana dijelaskan di bawah, hal ini mirip dengan ketentuan di dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pasal 44 ayat (4) menyatakan bahwa KPPU akan menyerahkan pelanggaran ke penyidik apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dan tidak mematuhi putusan KPPU.


b. Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, Komisi yang menangani persaingan usaha disebut the Federal Trade Commission (FTC). Sebagaimana KPPU, FTC adalah suatu lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Kongres. Struktur organisasi Komisi adalah: 5 (lima) komisioner yang dicalonkan oleh presiden dan dilantik oleh Senat dan bertugas selama 7 (tujuh) tahun. Presiden kemudian memilih satu komisioner sebagai ketua. Tidak boleh ada lebih dari 3 (tiga) komisioner yang berasal dari partai politik yang sama.

FTC bertugas untuk menjaga pasar yang kompetitif untuk konsumen dan pelaku usaha. Berbeda dengan KPPU, FTC mempunyai beberapa biro yaitu Biro Perlindungan Konsumen (Bureau of Consumer Protection), Biro Persaingan (the Bureau of Competition) dan Biro Ekonomi (the Bureau of Economics).

Tugas Biro Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi konsumen dari praktik- praktik yang tidak adil, menipu atau tidak jujur. Biro ini melaksanakan berbagai undang-undang perlindungan konsumen yang dikeluarkan Kongres dan peraturan perdagangan yang dikeluarkan oleh FTC. Kewenangan Biro ini dapat mencakup investigasi ke perusahaan individu (individual company) dan industri (industry-wide investigations). Selain itu, Biro ini juga membuat peraturan tentang proses beracara serta memberikan pendidikan bagi konsumen dan bisnis.

Biro Persaingan di dalam FTC bertugas mencegah merger yang berakibat pada tidak adanya persaingan (anticompetitive mergers) dan praktik bisnis antipersaingan lainnya. Dengan melindungi persaingan, Biro ini mempromosikan kebebasan konsumen untuk memilih barang dan jasa di pasaran dengan harga dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka untuk menunjang bisnis dengan memastikan tingkat persaingan yang adil di antara para pesaing. Biro ini melaksanakan tugas dengan me-review usulan merger (proposed mergers) dan efek antipersaingan lainnya. Apabila syarat- syarat telah dipenuhi, Biro Persaingan dapat merekomendasikan FCT untuk mengambil langkah penegakan hukum formal untuk melindungi konsumen. Biro ini juga berfungsi sebagai sumber riset dan kebijakan dalam masalah persaingan dan menyediakan panduan untuk pelaku usaha.

Biro Ekonomi membantu FTC mengevaluasi adanya efek ekonomi dari suatu perbuatan. Untuk melakukan hal tersebut, Biro ini melakukan analisis ekonomi, membantu investigasi dan pembuatan peraturan persaingan dan perlindungan konsumen. Biro ini juga menganalisa akibat peraturan pemerintah dalam hal persaingan dan konsumen serta memberikan analisa ekonomi dari proses pasar kepada Kongres. Biro Ekonomi juga menyediakan panduan dan bantuan untuk pelaksanaan perlindungan konsumen dan persaingan. Dalam bidang persaingan usaha, Biro ini berpartisipasi dalam investigasi terhadap dugaan tindakan antipersaingan dan menyediakan saran dari segi ekonomi. Jika penegakan hukum mulai dilaksanakan, Biro ini mengintegrasikan analisis ekonomi ke dalam proses penegakan hukum dengan cara antara lain menghadirkan saksi ahli dan bekerja sama dengan Biro Persaingan untuk menentukan tindakan pemulihan yang pantas. Dalam masalah perlindungan konsumen, Biro ini menyediakan bantuan ekonomi dan analisa terhadap tindakan Komisi yang potensial dalam kasus-kasus perlindungan konsumen. Biro Ekonomi juga menyediakan analisa terhadap tingkat sanksi yang pantas untuk membuat jera tindakan yang merugikan konsumen.

Ketiga Biro tersebut berpartisipasi dalam aktivitas advokasi FTC. Ketiga Biro itu memberikan komentar, bila diminta, untuk lembaga atau badan yang lain tentang akibat dari suatu regulasi terhadap persaingan dan konsumen. Atas permintaan, komentar atau kesaksian sering diberikan untuk membantu Kongres membuat pertimbangan menunda rancangan undang-undang atau membantu proses pembuatan peraturan.


c. Jepang

The Japanese Fair Trade Commission (JFTC) merupakan Komisi yang menangani persaingan usaha di Jepang. JFTC adalah Komisi administratif independen yang dibentuk meniru the FTC di AS.478 JFTC terdiri dari seorang ketua, dan 4 (empat) komisioner yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Jepang dengan persetujuan dari Kongres. Sebagaimana KPPU, ketua JFTC dan empat komisionernya melaksanakan wewenang mereka secara independen dan tidak bisa digugat.

Sebagaimana dengan KPPU, JFTC mempunyai wewenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan adanya pelanggaran hukum persaingan (Japanese Antimonopoly Act). JFTC menunjuk beberapa anggota stafnya sebagai penyelidik. JFTC mempunyai wewenang untuk memerintahkan kepada pelaku usaha untuk membuat laporan tertulis, menyerahkan dokumen-dokumen tertulis yang relevan, dan memanggil saksi ahli berkaitan dengan kasus yang bersangkutan. Di samping itu, berbeda dengan KPPU, JFTC mempunyai wewenang untuk masuk ke tempat-tempat bisnis pelaku usaha dan tempat-tempat lain yang relevan untuk menggeledah dokumen-dokumen bisnis dan lain sebagainya. Bahkan, dalam penyelidikan adanya kartel, JFTC dapat melakukan on-the- spot investigation, yakni penyelidikan secara mendadak di tempat-tempat pelaku usaha dan dapat memaksa pelaku usaha untuk menyerahkan dokumen-dokumen yang relevan. Barang siapa menolak untuk dilakukan penyelidikan semacam ini dapat dikenai hukuman penjara maksimal 6 (enam) bulan atau denda maksimal 200.000 yen.

Apabila JFTC menemukan bukti adanya pelanggaran, JFTC akan mengeluarkan rekomendasi yang berisi hasil temuannya, bentuk pelanggaran yang dituduhkan dan perintah penghentian tindakan (cease and desist order) yang melanggar kepada pelaku usaha. Apabila pelaku usaha menerima rekomendasi tersebut, JFTC menerbitkan keputusan rekomendasi yang berisi hasil penyelidikannya, pelaksanaan hukum dan tindakan-tindakan perbaikan sesuai dengan rekomendasi yang diberikan sebelumnya.

Apabila pelaku usaha tidak menerima/menolak rekomendasi tersebut, maka JFTC memulai proses hukum (persidangan) secara resmi dengan mengeluarkan komplain tertulis kepada pelaku usaha. Setelah proses hukum tersebut dilalui, JFTC menerbitkan putusan. Apabila JFTC akhirnya menemukan bukti bahwa pelanggaran terjadi setelah proses hukum tersebut selesai, maka JFTC mengeluarkan putusan resmi yang memerintahkan pelaku usaha untuk melakukan tindakan perbaikan.

Berbeda dengan di Indonesia di mana gugatan keberatan harus diajukan ke pengadilan negeri, di Jepang, pelaku usaha dapat mengajukan banding terhadap putusan JFTC kepada the Tokyo High Court. Pengadilan Tinggi ini bisa menguatkan putusan JFTC atau membatalkannya apabila ada alasan-alasan yang kuat.


d. Singapura

Komisi yang menangani persaingan di Singapura disebut dengan the Competition Commission of Singapore (CCS). Berdasarkan Pasal 6 UU Persaingan Singapura, CCS mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut:


Ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya memberikan CCS kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran atas larangan undang-undang persaingan, membuat pedoman dan membuat putusan-putusan.

Rambu terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas CCS tersebut di atas adalah berupa kewajiban CCS untuk mempertimbangkan tiga hal, yakni; mempertimbangkan perbedaan-perbedaan bentuk berbagai pasar; lingkungan ekonomi, industri dan perdagangan; dan mempertimbangkan cara sebaik mungkin memelihara fungsi efisiensi pasar di Singapura. Rambu-rambu tersebut di atas memberikan pedoman bagi CCS untuk mengambil tindakan yang diperlukan yang menurutnya merugikan persaingan tetapi tidak secara tegas diatur dalam pasal-pasal Competition Act 2004.

Sebaliknya, rambu-rambu tersebut juga memungkinkan CCS untuk tidak mengambil tindakan jika menurutnya, sekalipun mungkin melanggar ketentuan Competition Act 2004, tetapi tidak berdampak buruk pada efisiensi, produktivitas, inovasi dan daya saing pasar maupun persaingan di Singapura. Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU antara lain untuk melakukan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan, dan tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, tetapi tidak memuat rambu-rambu sebagaimana terdapat pada Competition Act 2004.

Terhadap ketentuan-ketentuan dalam hukum persaingan Singapura, CCS dapat menjalankan kegiatannya yang menurutnya menguntungkan, penting, dan tepat untuk atau yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsinya dan menghentikan tugasnya berdasarkan hukum persaingan atau hukum tertulis lainnya dan, terutama, CCS dapat melaksanakan kewenangan-kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Second Schedule.484 Kewengan CCS sebagaimana tercantum dalam Second Schedule tersebut antara lain mencakup melakukan penyelidikan yang dianggapnya penting untuk menegakkan undang-undang persaingan dan meminta siapa saja untuk menyediakan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang persaingan.

Jika dibandingkan dengan kewenangan KPPU, kewenangan CCS sebagaimana ditentukan dalam Competition Act 2004 lebih luas dan lebih terperinci. Misalnya, berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Competition Act 2004, pejabat penyelidik ataupun pengawas dari CCS dapat memasuki rumah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu jika pejabat tersebut mempunyai alasan yang masuk akal untuk curiga bahwa rumah tersebut adalah atau telah berisi perjanjian yang sedang diselidiki berkaitan dengan:


Lebih dari itu, dalam memasuki rumah, pejabat penyelidik atau pengawas dapat juga melakukan tindakan sebagai berikut:


Jika dibandingkan dengan kewenangan serupa yang dipunyai oleh KPPU berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Indonesia, KPPU hanya diberi wewenang untuk mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan pemeriksaan.

Tidak seperti UU No. 5 Tahun 1999 di Indonesia, Competition Act 2004 mengenal lembaga banding pada tingkat Commission, yakni dilakukan oleh the Competition Appeal Board. Dewan Banding ini terdiri dari tidak lebih dari 30 anggota yang ditunjuk oleh menteri dari waktu ke waktu. Penunjukan oleh menteri dilakukan berdasarkan kemampuan dan pengalaman dalam industri, pedagangan atau administrasi atau kualifikasi profesionalnya atau kalau tidak berdasarkan kecocokannya. Kewenangan yang diberikan kepada Competition Appeal Board ini antara lain meliputi;


Pihak terhadap siapa putusan Competition Appeal Board diberikan berhak mengajukan banding ke High Court dan Court of Appeal. Banding tersebut diajukan terhadap penerapan hukum yang timbul dari putusan Dewan; atau semua putusan Dewan mengenai jumlah hukuman denda. Jika putusan High Court tidak memuaskan para pihak maka pihak yang tidak puas dapat memohon banding sebagaimana lazimnya banding dari putusan High Court dalam pelaksanaan yurisdiksi sipil biasa.



HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA


1. PENGALAMAN JERMAN

Sebagai pelaksana Undang-Undang Antipembatasan Persaingan Usaha Jerman (Undang-Undang Kartel) yang diundangkan pada tahun 1958 dibentuklah satu lembaga independen, yang berada di bawah Kementerian Ekonomi Federal, yang disebut dengan Bundeskartelamt, yaitu Badan Antimonopoli Jerman (BKartA). Walaupun BKartA berada di bawah Kementerian Ekonomi, tetapi BKartA bebas dalam memutuskan suatu kasus, tidak dapat dipengaruhi baik oleh pemerintah maupun pihak lain. Di dalam struktur hukum persaingan BKartA merupakan suatu peradilan tingkat pertama yang merupakan administrative act. Prosedurnya diatur di dalam Pasal 54 – Pasal 82 Undang-Undang Kartel. Keberatan terhadap keputusan BKartA dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi di mana BKartA berkedudukan, sekarang berkedudukan di kota Düsseldorf. Di Pengadilan Tinggi tersebut dibentuk satu pengadilan khusus menangani kasus-kasus persaingan usaha. Dan sebagai lembaga terakhir, tempat pengajuan kasasi adalah Bundesgerichtshof, yaitu Mahkamah Agung Jerman yang berkedudukan di kota Karlsruhe. Di MA dibentuk juga pengadilan khusus yang disebut dengan Senat Kartel. Ketua Senat Kartel biasanya adalah ketua MA.

Proses beracara pada BKartA adalah sebagai berikut. Di dalam struktur organisasi BKartA yang berwenang memutuskan suatu kasus adalah Seksi Pengambil Keputusan, yang terdiri dari seorang ketua dan dua orang anggota. Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) suatu perkara diputuskan oleh Seksi Pengambil Keputusan tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun, baik itu presiden BKartA maupun pihak lain. Dan keputusan Seksi Pengambil Keputusan adalah merupakan keputusan BKartA.

Ada dua cara dalam mengajukan suatu kasus/perkara kepada BKartA, yaitu pertama, atas inisiatif BKartA, dan kedua, atas laporan atau yang diajukan oleh pihak tertentu. BKartA dapat membuka suatu proses atas permintaan/laporan pihak tertentu menjadi inisiatif BKartA untuk melindungi pelapor.

Pihak-pihak yang terkait atau yang menghadiri suatu proses (sidang) pada BKartA adalah:


Jika suatu kasus diajukan kepada BKartA, baik atas inisiatif BKartA maupun atas laporan pihak lain, dan BKartA menganggap cukup alasan untuk melanjutkan perkara tersebut sampai ketingkat penyidikan, maka Seksi Pengambil Keputusan akan melakukan penyelidikan terhadap suatu perkara yang diajukan tersebut.

Kewenangan yang dimiliki BKartA dalam menangani suatu kasus meliputi:


BKartA dapat melakukan semua penyelidikan dan mengajukan bukti-bukti yang dianggap penting. Untuk mendukung bukti-bukti yang obyektif BKartA dapat memanggil saksi-saksi dan saksi ahli. Pernyataan saksi didokumentasi secara tertulis, yang telah diinvestigasi anggota BKartA, dan jika dokumen diikutsertakan, dokumen tersebut juga harus ditandatangani. Notulen mengenai tempat dan tanggal. hari sidang dan juga nama-nama yang ikut berperan serta pihak-pihak terkait harus dapat dibacakan. Notulen dibacakan kepada saksi untuk dimintakan ijin atau diajukan untuk direvisi. Ijin yang telah diberikan diberi catatan dan ditandatangani oleh saksi. BKartA dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menyumpah saksi-saksi, jika BKartA mengangap penting dalam mengungkap suatu kebenaran pernyataan. Mengenai sumpah pengadilan negeri yang memutuskannya.


BKartA dapat menyita benda-benda sebagai alat bukti yang mempunyai arti terhadap pemeriksaan perkara. Penyitaan diberitahukan secara langsung kepada pihak yang bersangkutan. Dalam tempo tiga hari BKartA mencari (mengajukan permohonan) surat keterangan pengadilan, di mana penyitaan dilakukan, jika pada saat penyitaan baik pihak yang terkait maupun salah satu pihak orang dewasa tidak ada, atau pihak yang bersangkutan dalam hal ketidakhadirannya salah satu pihak yang dewasa menentang penyitaan secara tegas dan mengajukan penolakannya. Para pihak dapat setiap waktu mengajukan penolakan penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan. Mengenai hal ini harus diberitahukan ke pengadilan. Mengenai pengajuannya Pengadilan Negeri yang berwenang memutuskannya. Penolakan terhadap keputusan pengadilan dapat diajukan keberatan.


Untuk memenuhi tugas yang dibebankan kepada BKartA dan sejauh dianggap penting Undang-Undang Kartel, maka BKartA dapat


Sebelum BKartA mengambil suatu keputusan atas suatu perkara, BKartA memberikan kesempatan:


Setelah BKartA mendapatkan bukti-bukti dan cukup informasi terhadap suatu kasus tertentu, maka BKartA akan memutuskan perkara tersebut.

 

Keputusan-keputusan BKartA disertai dengan alasan-alasannya, dan disertai dengan pemberitahuan mengenai sarana hukum yang diatur oleh undang-undang yang disampaikan kepada para pihak berdasarkan undang-undang administrasi. Keputusan-keputusan mengenai perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah berlakunya undang-undang ini, BKartA menyampaikan keputusan tesebut kepada orang yang telah ditetapkan pada BKartA sebagai kuasanya. Apabila perusahaan tidak menyatakan kuasanya, maka BKartA menyampaikan keputusan-keputusan melalui pengumuman negara federal. Jika suatu proses/sidang tidak ditetapkan oleh BKartA melalui suatu keputusan, yang disampaikan kepada para pihak terkait, maka berakhirnya para pihak disampaikan secara tertulis

BKartA dapat menetapkan perintah sementara sampai menunggu putusan akhir mengenai:


Keputusan-keputusan BKartA diumumkan pada pengumuman negara federal, kalau satu BKartA lokal memutuskan, juga diumumkan di dalam lembaran negara lokal:


Terhadap keputusan BKartA dapat diajukan keberatan (banding) melalui Pengadilan Tinggi di mana BKartA berkedudukan. Keberatan dapat juga diajukan berdasarkan fakta-fakta dan alat-alat bukti baru. Keberatan menjadi hak para pihak yang terkait dalam proses persidangan BKartA. Keberatan diijinkan juga terhadap kelalaian suatu keputusan yang diajukan BKartA, terhadap pelaksanaannya pemohon keberatan mengira mempunyai hak untuk itu. Sebagai kelalaian berlaku juga, jika BKartA tidak memberitahukan pengajuan terhadap pelaksanaan keputusan tanpa alasan yang cukup dalam batas waktu yang wajar. Kemudian kelalaian sekaligus diperhatikan suatu penolakan. Pengadilan Tinggi di mana BKartA berkedudukan memutuskan mengenai pengajuan keberatan.

Keberatan mempunyai efek penangguhan, kalau melalui keputusan yang digugat:

 

Jika suatu keputusan digugat, melalui keputusan tersebut ditetapkan perintah sementara berdasarkan Pasal 60, maka Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan, bahwa keputusan yang digugat seluruh atau sebagian baru berlaku setelah berakhirnya proses gugatan. Perintah dapat setiap saat dibatalkan atau dirubah. Perintah pelaksanaan keputusan sementara berlaku juga terhadap proses persidangan di depan Pengadilan Tinggi.

BKartA dapat memerintahkan pelaksanaan suatu keputusan dengan segera dalam kasus sebagaimana ditetapkan Pasal 64 ayat (1) (efek penundaan), jika hal ini menyangkut kepentingan umum atau sebagian besar mengenai kepentingan salah satu pihak. Perintah pelaksanaan putusan dengan segera (sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat (1) sudah dapat diputuskan sebelum pengajuan keberatan (gugatan) ke Pengadilan Tinggi.

Atas permohonan, Pengadilan Tinggi dapat memulihkan efek penangguhan seluruhnya atau sebagian, jika:


Dalam kasus-kasus, di mana penggugat (pihak yang keberatan) tidak mempunyai efek penangguhan, BKartA dapat menangguhkan pelaksanaannya, penangguhan seharusnya terjadi, jika keputusan menyangkut masalah kepentingan umum. Pengadilan Tinggi dapat menetapkan efek penangguhan atas permohonan seluruhnya atau sebagian, jika ada keraguan terhadap keabsahan keputusannya.

Permohonan didasarkan atas fakta, dibuat oleh pemohon yang dapat dipercaya. Apabila keputusan sudah dilaksanakan pada waktunya, pengadilan dapat menetapkan pembatalan pelaksanaannya. Pemulihan dan penetapan efek penundaan dapat dibuat tergantung dari kemampuan suatu keamanan atau dari prasyarat yang lain. Pemulihan dan penetapan efek penundaan dapat juga dibatasi.

Keberatan terhadap keputusan BKartA diajukan secara tertulis dalam batas waktu satu bulan. Batas waktu dihitung mulai sejak penyerahan keputusan BKartA. Apabila diajukan dalam kasus sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 36 ayat (1) terhadap pemberian ijin berdasarkan Pasal 42, maka batas waktu mulai terhadap keberatan atas keputusan BKartA dengan penyerahan keputusan Kementrian Keuangan. Sudah cukup, jika keberatan diajukan dalam jangka batas waktu satu bulan kepada Pengadilan Tinggi.

Apabila terhadap suatu permohonan tidak mengeluarkan keputusan (Pasal 63 ayat (3) kalimat kedua), maka pihak yang keberatan tidak terikat dengan batas waktu satu bulan tersebut. Keberatan harus disertai dengan alasan-alasan. Batas waktu terhadap alasan keberatan selama satu bulan. Batas waktu dimulai dengan pemasukan keberatan dan dapat diperpanjang atas permohonan kepada ketua Pengadilan Tinggi.

Alasan-alasan keberatan harus berisi:

 

Surat keberatan dan alasan keberatan harus harus ditandatangani oleh seorang pengacara yang mendapat ijin dari pengadilan Jerman. Hal ini tidak berlaku terhadap keberatan yang diajukan oleh BKartA. Artinya, BKartA tidak perlu didampingi oleh seorang pengacara.

Pihak-pihak yang terkait pada proses di depan Pengadilan Tinggi adalah:


Pengadilan Tinggi memutuskan gugatan suatu keberatan berdasarkan persidangan secara lisan; dengan persetujuan para pihak, keputusan dapat diputuskan tanpa persidangan secara lisan. Di depan Pengadilan Tinggi para pihak harus diwakili oleh seorang pengacara sebagai kuasa penuh yang mendapat ijin dari Pengadilan Negeri Jerman. Sedangkan BKartA dapat diwakili oleh salah seorang anggota BKartA.

Apabila para pihak pada waktu sidang yang ditetapkan tidak hadir, atau tidak ada yang mewakili, dan pemberitahuannya sudah disampaikan dalam waktu yang cukup, maka persidangan dapat dimulai dan diputuskan tanpa dihadiri oleh para pihak tersebut.

Dalam kasus keberatan, Pengadilan Tinggi meneliti fakta-faktanya atas inisiatifnya sendiri. Ketua sidang berusaha kepada suatu arah, bahwa kesalahan bentuk disingkirkan, permohonan yang kurang jelas diperjelas, permohonan-permohonan yang saling berkaitan diajukan, keterangan fakta-fakta yang kurang dilengkapi, semuanya diberikan untuk penetapan dan penilaian fakta-fakta penjelasan yang sangat mendasar.

Pengadilan Tinggi dapat memberikan kesempatan kepada para pihak, dalam batas waktu yang ditentukan untuk mengemukakan pokok-pokok yang diperlukan, mengajukan alat-alat bukti dan menujukkan surat-surat penting ditangannya, dan juga alat bukti lainnya. Jika para pihak tidak mengindahkan batas waktu yang ditetapkan, Pengadilan Tinggi dapat memutuskan berdasarkan keadaan fakta yang ada tanpa pertimbangan alat-alat bukti yang tidak disertakan.

Setelah Pengadilan Tinggi mendapatkan bukti-bukti dari pihak-pihak yang bersangkutan, maka Pengadilan Tinggi memutuskan suatu keputusan secara bebas dari hasil semua proses dari keyakinan yang kuat. Suatu keputusan hanya dapat berdasarkan kepada suatu fakta dan alat-alat bukti, yang dikemukan oleh para pihak.

Jika Pengadilan Tinggi menganggap keputusan BKartA tidak berdasar, maka keputusan tersebut dibatalkan. Apabila keputusan sebelumnya diselesaikan melalui pembatalan atau dengan cara lain, maka Pengadilan Tinggi mengemukakan pengajuan, bahwa keputusan BKartA tersebut tidak berdasar, jika pemohon keberatan mempunyai kepentingan hak pada penetapan tersebut. Apabila suatu keputusan BKartA diputuskan berdasarkan larangan-larangan Undang-Undang Kartel karena perubahan fakta-fakta yang disusulkan atau karena dengan cara lain, maka Pengadilan Tinggi menyampaikan permohonan, apakah, dalam ukuran yang mana dan sampai kepada titik pokok yang mana keputusan tersebut beralasan.

Apabila Pengadilan Tinggi menganggap penolakan atau kelalaian keputusan tidak berdasar, maka BKartA diwajibkan menyampaikan perubahan keputusan yang diajukannya. Keputusannya juga tidak berarti atau tidak berdasar, jika BKartA membuat kesalahan dalam ukuran penilaiannya, khususnya jika BKartA penilaiannya melampui batas-batas yang ditetapkan atau melalui pelanggaran undang-undang ini. Jadi, Pengadilan Tinggi dapat membatalkan seluruh atau sebagian keputusan BKartA atau menguatkan keputusannya.

 

Terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi umumnya dapat diajukan kasasi (keberatan hukum) kepada MA, jika Pengadilan Tinggi mengijinkan kasasi.

Kasasi (keberatan hukum) diijinkan, jika:


Mengenai ijin atau tidak diijinkannya kasasi ditetapkan di dalam keputusan Pengadilan Tinggi. Tidak diijinkannya kasasi harus disertai dengan alasan-alasan mendasar.

Pengajuan kasasi terhadap keputusan Pengadilan Tinggi tidak memerlukan ijin, jika ada salah satu proses di bawah ini tidak dipenuhi dan tidak diperingatkan:


Tidak diterimanya kasasi dapat digugat secara terpisah melalui kasasi yang tidak diterima tersebut. Mengenai kasasi tidak diterima, MA memutuskan melalui satu keputusan dengan menyertakan alasan-alasannya. Keputusannya dapat dikeluarkan tanpa melalui sidang secara lisan. Kasasi yang tidak diterima dalam batas waktu satu bulan diajukan kepada Pengadilan Tinggi secara tertulis. Batas waktu mulai terhitung pada saat penyerahan keputusan yang digugat.

Terhadap kasasi yang tidak diterima, berlaku Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 66 ayat (3) dan (4) no. 1 dan Pasal 5, Pasal 67, 68, Pasal 72 dan Pasal 73 no. 2 Undang-Undang Kartel dan juga Pasal 192 sampai Pasal 197 Undang-Undang Sistem Pengadilan mengenai nasehat dan pemungutan suara. Apabila kasasi tidak diijinkan, maka keputusan Pengadilan Tinggi dengan penyerahan keputusan MA mempunyai kekutaan hukum. Jika kasasi diijinkan, maka batas waktu kasasi mulai dengan penyerahan keputusan MA.

Kasasi menjadi hak BKartA seperti pada proses keberatan pada Pengadilan Tinggi. Kasasi hanya dapat diajukan berdasarkan keputusan Pengadilan Tinggi yang melanggar Undang-Undang; dalam hal ini berlaku juga Pasal 550, Pasal 551 no. 1 sampai no. 3, 5 sampai 7 Hukum Acara Perdata Jerman. Kasasi tidak dapat didasarkan kepada, bahwa BKartA melakukan pelanggaran terhadap kewenangannya pada Pasal 48 dengan tidak syah. Artinya, kasasi tidak dapat diajukan dengan dasar, bahwa BKartA tidak melakukan kewenangannya.

Kasasi dalam batas waktu satu bulan diajukan kepada Pengadilan Tinggi secara tertulis.

Batas waktunya mulai dengan penyerahan keputusan yang digugat.

MA terikat kepada penetapan fakta yang diputuskan di dalam keputusan yang digugat, kecuali jika sehubungan dengan penetapan tersebut diajukan alasan-alasan kasasi yang diijinkan dan mempunyai alasan kuat. Jadi, MA dalam hal ini melakukan uji materiil keputusan Pengadilan Tinggi. Terhadap kasasi berlaku juga Pasal 64 ayat (1) dan (2), Pasal 66 ayat (3), (4) no. 1 dan ayat (5), Pasal 67 sampai Pasal 69, Pasal 71 sampai Pasal 73 Undang-Undang Kartel. Terhadap penerbitan perintah sementara adalah kewenangan Pengadilan Tinggi.



HUKUM ACARA DI KPPU

Hukum acara di KPPU ditetapkan oleh KPPU dan sejak berdiri di tahun 2000, hukum acara tersebut telah mengalami perubahan dari SK No. 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No. 5 Tahun 1999 (SK 05) menjadi Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU (Perkom No. 1 Tahun 2006) yang mulai efektif berlaku 18 Oktober 2006. Saat ini, Perkom No. 1 Tahun 2006 pun telah diganti dengan Perkom No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara yang berlaku efektif pada 5 April 2010.

Memahami hukum acara yang berlaku akan memudahkan pemahaman terhadap isi putusan karena putusan KPPU mencoba untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang dilalui di dalam hukum acara yang berlaku sehingga berpengaruh terhadap struktur putusan KPPU. Namun demikian, hukum acara untuk permasalahan hukum persaingan hanya diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 dan Perkom No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Tidak dijelaskan apakah apabila dalam praktik ketentuan tersebut tidak memadai dapat digunakan hukum acara berdasar ketentuan KUHAP.

KUHAP dirujuk dalam hal ini karena fungsi penyelidikan dan pemeriksaan tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Selain itu juga karena yang ingin dicari oleh KPPU adalah kebenaran materiil, sedangkan yang akan dicari dalam hukum perdata adalah kebenaran formil. Dalam mencari kebenaran materiil, diperlukan keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Untuk menimbulkan keyakinan, maka Komisi harus memastikan ada tidaknya perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha. Dalam proses mencari kepastian tersebut, Komisi berwenang memanggil pelaku usaha yang dengan alasan yang cukup diduga telah melakukan pelanggaran. Dugaan yang cukup beralasan adalah dugaan yang dihasilkan dari proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi.493 Pelaku usaha diberi hak untuk mengemukakan pendapatnya sebagai upaya pembelaan diri terhadap tuduhan Komisi. Setelah adanya dugaan dan mendengarkan pembelaan pelaku usaha, demi mendapatkan kebenaran materiil, maka Komisi dapat melakukan pembuktian dengan cara memanggil saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran. Di samping itu, akta juga dapat dipergunakan sebagai alat bukti.

Setelah melakukan penyelidikan, mendengarkan pembelaan dari pelaku usaha dan melakukan pembuktian, maka Komisi dapat mengambil keputusan. Keputusan berupa ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang diperiksa serta ada tidaknya kerugian di pihak pelaku usaha lain sebagai akibat dari pelanggaran tersebut. Dengan melihat pada proses penyelidikan sampai dengan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Komisi, maka jelaslah bahwa kebenaran yang dicari dalam perkara monopoli dan persaingan usaha adalah kebenaran materiil yang berdasar pada bukti-bukti yang nyata, serta keyakinan Komisi yang tidak terbantahkan.



PEMERIKSAAN OLEH KPPU

Dalam melaksanakan tugasnya mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999, KPPU berwenang untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan kepada pelaku usaha, saksi ataupun pihak lain baik karena adanya laporan (Pasal 39) maupun melakukan pemeriksaan berdasarkan inisiatif KPPU sendiri (Pasal 40), terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.


PEMERIKSAAN ATAS DASAR LAPORAN

Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang dilakukan karena adanya laporan dari masyarakat yang dirugikan atau atas dasar laporan dari pelaku usaha yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang dilaporkan. Setelah menerima laporan, KPPU menetapkan majelis komisi yang akan bertugas memeriksa dan menyelidiki pelaku usaha yang dilaporkan. Dalam menjalankan tugasnya, majelis komisi dibantu oleh staf komisi.

Untuk mengetahui apakah pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU karena adanya laporan ataupun atas dasar inisiatif dari KPPU, dapat dilihat dari nomor perkaranya. Untuk perkara atas dasar laporan No. perkara tersebut adalah: nomor perkara/KPPU-L (laporan)/Tahun.


PEMERIKSAAN ATAS DASAR INISIATIF KPPU

Pemeriksaan atas dasar inisiatif adalah pemeriksaan yang dilakukan atas dasar inisiatif dari KPPU sendiri karena adanya dugaan atau indikasi pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Untuk perkara atas dasar inisiatif dari KPPU nomornya adalah sebagai berikut: No. perkara/KPPU-I (Inisiatif)/Tahun.

Dalam pemeriksaan atas inisiatif, KPPU pertama-tama akan membentuk suatu majelis komisi untuk melakukan pemeriksaaan terhadap pelaku usaha dan saksi. Dalam menjalankan tugas ini, majelis komisi dibantu oleh staf komisi. Selanjutnya majelis komisi menetapkan jadwal dimulainya pemeriksaan pendahuluan.


JENIS PEMERIKSAAN OLEH KPPU

a. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan pendahuluan dapat dimulai setelah KPPU mengeluarkan surat penetapan atau keputusan tentang dapat dimulainya pemeriksaan pendahuluan. Pasal 39 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa jangka waktu pemeriksaan pendahuluan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat penetapan dimulainya suatu pemeriksaan pendahuluan. Untuk pemeriksaan berdasarkan inisiatif, jangka waktu pemeriksaan pendahuluan dihitung sejak tanggal surat penetapan majelis komisi untuk memulai pemeriksaan pendahuluan. Sedangkan untuk pemeriksaan berdasarkan laporan, KPPU terlebih dahulu wajib melakukan penelitian terhadap kejelasan laporan. Apabila laporan telah lengkap, KPPU akan mengeluarkan penetapan yang bersisi tentang dimulainya waktu pemeriksaan pendahuluan dan jangka waktu pemeriksaan pendahuluan. Jangka waktu pemeriksaan dihitung sejak tanggal surat penetapan Komisi.


b. Pemeriksaan Lanjutan

Tahap berikutnya setelah tahap pemeriksaan pendahuluan adalah tahap pemeriksaan lanjutan. Sebelum dilakukan pemeriksaan lanjutan, KPPU mengeluarkan surat keputusan untuk dimulainya pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh KPPU bila telah ditemukan adanya indikasi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau apabila KPPU memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang ada. Pasal 43 UU No. 5 Tahun 1999 menetukan bahwa jangka waktu pemeriksaan lanjutan adalah 60 (enam puluh) hari sejak berakhirnya pemeriksaan pendahuluan, dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pelaku usaha yang sedang diperiksa oleh KPPU mempunyai status hukum yang berbeda tergantung jenis perkaranya apakah laporan atau inisiatif. Apabila pemeriksaan perkara berdasarkan adanya laporan, maka pelaku usaha yang diperiksa disebut sebagai “terlapor.” Sedangkan untuk perkara yang berdasar inisiatif, pelaku usaha yang diperiksa disebut “saksi.” .


TAHAP PEMERIKSAAN OLEH KPPU

a. Panggilan

Sebelum proses pemeriksaan dilaksanakan, KPPU terlebih dahulu menyampaikan panggilan kepada pelaku usaha, saksi atau pihak lain untuk hadir dalam proses pemeriksaan. Surat panggilan dari KPPU biasanya memuat tanggal, hari, jam sidang serta tempat persidangan yang akan dilaksanakan.

Pelaku usaha atau saksi yang telah dipanggil namun tidak hadir dalam persidangan di KPPU dapat diancam dengan tindakan tidak kooperatif yang melanggar Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999, kemudian perkara diserahkan kepada kepolisian (Pasal 41 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999). Ini berarti bahwa perkara berubah menjadi perkara pidana.


b. Pemeriksaan

b. i Administratif

Prosedur administratif meliputi pemeriksaan identitas dan pembacaan hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, saksi atau pihak lain. Menurut Pasal 39 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999, Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha apabila memang informasi tersebut termasuk rahasia perusahaan. Menurut Pasal 39 ayat (5) UU No. 5 Tahun 1999, dalam melakukan pemeriksaan, anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf h dan Pasal 8 ayat (2) huruf j Perkom No. 1 Tahun 2010, pihak yang diperiksa tersebut baik pelapor maupun terlapor berhak didampingi oleh kuasa hukumnya yaitu advokat sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.


b. ii Pokok permasalahan

Dalam memeriksa pokok permasalahan, terdapat dua tahap yaitu pemeriksaan oleh KPPU dan pemberian kesempatan pada pelaku usaha untuk menyampaikan keterangan atau dokumen. Pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU sifatnya searah, artinya KPPU memberikan pertanyaan- pertanyaan kepada pelaku usaha, sedangkan pelaku usaha tidak diberi kesempatan memberikan tanggapan atas dokumen yang diperoleh KPPU atau saksi yang telah diperiksa.495

Pelaku usaha diberi kesempatan untuk memeriksa dan membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Apabila diperlukan dan disetujui KPPU, pelaku usaha dapat memberikan koreksi atas BAP tersebut. Sebelum sidang ditutup, baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun pemeriksaan lanjutan, KPPU memberikan kesempatan pada pelaku usaha atau saksi untuk memberikan keterangan atau dokumen tambahan. Bagi pelaku usaha, keterangan atau dokumen tambahan ini berfungsi sebagai bentuk pembelaan.


b. iii Pembuktian

Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dapat dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan oleh KPPU terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, keterangan terlapor/saksi pelaku usaha. Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaan perkara yang rumit. Saksi ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU. Walaupun tidak ada definisi yang pasti tentang saksi ahli dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dapat disimpulkan bahwa pengertian ahli di sini adalah orang yang mempunyai keahlian di bidang praktik monopoli dan persaingan usaha, dan memahami bidang usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha yang sedang diperiksa.

Pelaku usaha maupun saksi dapat memberikan dokumen untuk menguatkan posisinya/ keterangannya. Setiap dokumen yang diserahkan akan diterima oleh KPPU. Majelis KPPU kemudian akan memberikan penilaian terhadap dokumen tersebut. Dokumen pelaku usaha dianggap mempunyai sifat yang obyektif, oleh karena itu dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, dokumen pelaku usaha mempunyai kekuatan pembuktian yang khusus.

Petunjuk dapat dijadikan sebagai alat bukti asalkan petunjuk itu mempunyai kesesuaian dengan petunjuk lainnya atau sesuai dengan perbuatan atau perjanjian yang diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Suatu petunjuk yang didapat dalam bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama dengan kekuatan pembuktian surat atau dokumen. Penggunaan alat bukti petunjuk dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak dapat disamaratakan, melainkan ditentukan kasus per kasus.

Alat bukti petunjuk merupakan indirect evidence yang dapat diterima dalam hukum persaingan. Di negara lain juga demikian. Misalnya, di Australia, untuk menentukan adanya kesepakatan (meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstantial evidence) bisa dipakai yakni yang berupa: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-sama, petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus price fixing) dan lain sebagainya.499


c. Pembacaan Putusan

Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 mensyaratkan bahwa setelah 30 (tiga puluh) hari pemeriksaan, maka KPPU wajib memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran ataupun tidak. Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengambilan keputusan itu diambil dalam suatu sidang majelis yang beranggotakan sekurang kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi.

Putusan Komisi tersebut harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha (Pasal 43 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999). Berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (4) UU ini yang dimaksudkan dengan pemberitahuan kepada pelaku usaha tersebut adalah penyampaian petikan putusan Komisi kepada pelaku usaha atau kuasa hukumnya.

UU No. 5 Tahun 1999 tidak menyebutkan secara rinci apakah petikan putusan tersebut harus disampaikan secara langsung kepada pelaku usaha (in person) atau dapat dilakukan dengan metode lain. Dengan berpegang pada asas efisiensi serta keterbukaan, maka pada asasnya Komisi harus berusaha memberitahukan putusannya pada pelaku usaha yang bersangkutan pada hari yang sama dengan hari pembacaan putusan yang terbuka untuk umum.500 Dengan mengingat pada pendeknya waktu (yakni 14 hari) yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk mengajukan upaya hukum keberatan terhadap putusan Komisi, maka selayaknyalah pemberitahuan putusan tidak harus dilakukan dengan in person melainkan dapat dilakukan dengan bantuan sarana komunikasi yang modern seperti email atau faks.



PELAKSANAAN PUTUSAN KPPU


BEBERAPA MACAM TANGGAPAN PELAKU USAHA TERHADAP PUTUSAN KPPU

Terhadap putusan KPPU terdapat tiga kemungkinan, yaitu:


Putusan KPPU memerlukan fiat eksekusi. Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting hukum persaingan usaha di Indonesia karena merupakan bentuk implementasi terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karena itu, wajar kiranya ketentuan bahwa setiap putusan Komisi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dimintakan penetapan eksekusi dari PN. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuatan dan pelaksanaan putusan tersebut berada di bawah pengawasan ketua PN.

Mekanisme fiat eksekusi ini dapat menepis anggapan tentang terlalu luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh KPPU. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan diberikannya wewenang melakukan kewenangan rangkap sebagai penyelidik, penuntut sekaligus hakim kepada KPPU akan berakibat KPPU menjadi lembaga super power seolah-olah tanpa kontrol. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena walaupun KPPU punya kewenangan yang sangat besar dalam menyelesaikan perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ada lembaga lain yang mengontrol wewenang itu dalam bentuk pemberian fiat eksekusi yaitu PN.

Fiat eksekusi dalam hal ini dapat diartikan persetujuan PN untuk dapat dilaksanakannya putusan KPPU. Persetujuan ini tentu tidak akan diberikan apabila ketua PN menganggap KPPU telah salah dalam memeriksa perkara tersebut. Dengan demikian maka mekanisme fiat eksekusi ini dapat menjadi kontrol terhadap putusan-putusan yang dihasilkan oleh KPPU yang tidak diajukan upaya keberatan oleh pihak pelaku usaha.

Untuk putusan yang diajukan upaya keberatan, peran kontrol yang dilakukan oleh pengadilan akan lebih terlihat. Hal ini karena hakim yang memeriksa upaya keberatan akan memeriksa fakta serta penerapan hukum yang dilakukan oleh KPPU. Dengan demikian, KPPU pasti akan sangat berhati-hati dalam memeriksa perkara karena kesalahan dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir akan mengakibatkan putusannya dibatalkan oleh hakim PN atau MA.



UPAYA HUKUM OLEH PELAKU USAHA

a. Upaya Hukum Keberatan

Pelaku usaha yang tidak menerima keputusan Komisi dapat mengajukan upaya keberatan ke PN dalam tenggang waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan Komisi (Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 jo. Pasal 4 ayat (1) Perma No. 3 Tahun 2005). Upaya hukum tersebut diajukan ke PN tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha (Pasal 1 angka 19 UU No. 5 Tahun 1999 jo. Pasal 2 ayat (1) Perma No. 3 Tahun 2005).

PN harus memeriksa keberatan tersebut dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya keberatan tersebut (Pasal 45 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999). Setelah dilakukan pemeriksaan oleh PN, maka PN wajib memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan keberatan (Pasal 45 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 jo. Pasal 5 ayat (5) Perma No. 3 Tahun 2005).

Pengajuan keberatan merupakan upaya hukum baru yang diperkenalkan oleh UU No. 5 Tahun 1999. Sebelumnya, hukum acara di Indonesia hanya mengenal 2 (dua) jenis upaya hukum, yakni upaya hukum biasa yang meliputi banding dan kasasi, dan upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali. Mengingat jenis upaya hukum tadi dan mekanisme keberatan yang tunduk kepada hukum acara perdata, sebaiknya upaya hukum keberatan secara terminologi diubah menjadi keberatan saja atau gugatan keberatan.


a. i Pengertian Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU

Ketentuan yang khusus mengatur keberatan terdapat dalam Perma No. 3 Tahun 2005 yang mendefinisikan keberatan sebagai “upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU” (Pasal 1 ayat (1)). Pasal 2 ayat (1) Perma No 3 Tahun 2005 menyatakan “Keberatan terhadap putusan KPPU hanya diajukan oleh pelaku usaha terlapor kepada PN di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha terlapor.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya hukum keberatan merupakan suatu upaya hukum bagi pelaku usaha yang dihukum (yang dinyatakan melanggar UU No. 5 Tahun 1999) oleh KPPU dan terhadap putusan KPPU tersebut kemudian pelaku usaha tidak menerima atau merasa keberatan terhadap putusan KPPU tersebut.


a. ii Prosedur Keberatan

Prosedur pengajuan upaya hukum keberatan diatur dalam Perma No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Sebelum Perma tersebut diberlakukan, tidak ada hukum acara yang rinci dan tegas yang mengatur tentang pengajuan upaya hukum keberatan. Hal ini menyebabkan beberapa masalah dalam pelaksanaan di lapangan seperti diuraikan dalam kasus berikut ini


Kasus IX.1

------------------------------------

Perkara PT Indomobil Sukses International Tbk. Dalam kasus ini terdapat lebih dari satu

pelaku usaha dengan kedudukan hukum berbeda mengajukan upaya hukum keberatan di PN yang berbeda. Apabila melihat ketentuan Pasal 1 angka (19) UU No. 5 Tahun 1999 upaya keberatan diajukan di tempat kedudukan hukum pelaku usaha. Pada kasus Indomobil, karena tiap pelaku usaha mengajukan keberatan di PN yang berbeda beda, maka ada kemungkinan setiap Pengadilan Negeri akan menjatuhkan putusan yang berbeda atas putusan KPPU yang sama. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kewibawaan lembaga  peradilan dan menciptakan ketidakpastian hukum. 

-----------------------------------


Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka MA dalam Pasal 4 ayat (4) Perma No. 3 Tahun 2005 dengan tegas menyebutkan bahwa apabila para pelaku usaha yang dihukum oleh KPPU mempunyai tempat kedudukan hukum yang berbeda (yang berarti berada pada wilayah PN yang berbeda pula), maka KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada MA untuk menunjuk salah satu PN untuk memeriksa perkara keberatan tersebut (penggabungan perkara). Dengan demikian, maka akan menjamin adanya kepastian hukum terhadap putusan keberatan yang dikeluarkan oleh PN karena terhadap satu putusan KPPU yang dimintakan upaya keberatan hanya akan ada satu putusan keberatan yang dikeluarkan oleh satu PN.

Dengan semakin berkembangan perkara persaingan usaha, terdapat juga permasalahan lain yang masih ada kaitannya dengan penggabungan perkara misalnya permohonan keberatan yang diajukan oleh lebih dari satu terlapor yang diajukan di PN yang sama namun berbeda No. registrasi. Untuk mengatasi permasalahan ini, penggabungan perkara sebaiknya ditentukan oleh ketua PN saja dan tidak usah sampai ke ketua MA. Maksudnya, ini berlaku terhadap perkara keberatan yang diajukan di PN yang sama oleh dua atau lebih terlapor dengan No. perkara berbeda.


Kasus IX.2

 ----------------------------

Perkara PT Holdiko Perkasa. Dalam perkara ini KPPU menduga PT Holdiko Perkasa melakukan tindakan persekongkolan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

dengan pelaku usaha peserta tender dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT Indomobil Sukses Internasional. PT Holdiko mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas putusan KPPU yang menyatakan PT Holdiko terbukti melanggar UU No. 5 Tahun 1999 dan oleh karenanya dijatuhi denda Rp 5 Miliar.

-----------------------------

Masalah dalam perkara ini berkaitan dengan pertanyaan apakah KPPU merupakan pihak dalam perkara keberatan. Dalam perkara ini KPPU tidak memposisikan diri sebagai pihak dengan alasan keberatan yang diajukan adalah terhadap putusan KPPU, bukan keberatan terhadap KPPU. Atas hal tersebut, kuasa hukum pemohon (PT Holdiko Perkasa) mengajukan protes dengan menyatakan bahwa apabila KPPU bukan pihak, seharusnya KPPU tidak berhak memberikan jawaban atas keberatan permohonan keberatan pemohon.

Ketidakjelasan posisi KPPU apakah sebagai pihak dalam perkara atau bukan tidak hanya menimbulkan kesulitan dalam proses jawab menjawab tetapi juga dalam hal pembuktian. Apabila KPPU bukan pihak dalam perkara maka KPPU tidak berhak mengajukan alat bukti.

Dalam proses keberatan sebelum berlakunya Perma No 3 Tahun 2005 ini posisi KPPU tidak jelas. Ditinjau dari peran KPPU dalam perkara keberatan dapat disimpulkan bahwa KPPU bukanlah pihak. Hal ini karena yang memeriksa alat bukti yang diajukan oleh pemohon keberatan adalah KPPU bukan oleh majelis hakim. Pihak dalam perkara perdata tidak mempunyai kewenangan memeriksa alat bukti yang diajukan oleh pihak lain karena hal itu mutlak menjadi kewenangan hakim.

Setelah alat bukti diperiksa oleh KPPU, majelis hakim akan menilai apakah alat bukti yang diajukan memadai atau tidak. Bila majelis hakim berpendapat bahwa bukti yang diajukan belum cukup maka majelis hakim akan memerintahkan KPPU utuk melakukan pemeriksaan tambahan melalui suatu putusan sela.

Permasalahan apakah KPPU sebagai pihak atau bukan dalam perkara keberatan menjadi penting untuk dipecahkan berkaitan dengan masalah pembuktian. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan kepada siapa (selain pemohon) hakim akan memperoleh keterangan dan siapa yang akan diberi beban pembuktian? Dalam suatu perkara gugatan contentiosa harus ada dua pihak yang berperkara, artinya pembuktian juga akan dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut. Penilaian pembuktian yang diberikan hakim juga akan berasal dari dua pihak. Sehingga putusan hakim akan obyektif dan adil karena didasarkan oleh keterangan kedua belah pihak secara proporsional (audi et alteram partem).

Permasalahan yang timbul dalam hal ini adalah karena KPPU tidak dapat melakukan pembuktian, tetapi mengapa diberi kewenangan untuk menilai pembuktian pihak lawan (pemohon) sehingga akan sulit untuk memastikan bahwa putusan hakim adalah putusan yang fair. Rasionya adalah sebagai berikut, apabila alat bukti yang diajukan oleh pemohon dinilai KPPU maka penilaian KPPU akan bias, karena KPPU punya kepentingan dalam perkara yang tengah berlangsung. Seseorang yang punya kepentingan cenderung akan mendahulukan kepentingannya sendiri. Dengan demikian dapat terjadi KPPU akan memberikan penilaian pembuktian yang menguntungkan posisinya.

Mengingat kedudukan KPPU dalam perkara keberatan adalah sangat krusial, maka perlu ditentukan apakah KPPU merupakan pihak dalam perkara keberatan atau bukan. Permasalahan ini telah secara tegas dijawab oleh MA melalui Pasal 2 ayat (3) Perma No. 3 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa dalam perkara keberatan KPPU adalah pihak dalam perkara.

Hukum acara yang digunakan dalam menyelesaikan perkara keberatan terhadap putusan KPPU adalah prosedur gugatan perdata. Hal ini ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Perma No. 3 Tahun 2005 yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut “Keberatan diajukan melalui kepaniteraan PN yang bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan memberikan salinan keberatan kepada KPPU.” Dengan demikian sumber hukum acara yang digunakan dalam pengajuan keberatan adalah HIR kecuali ditentukan lain.

Dimungkinkannya ketentuan lain yang mengatur hukum acara persaingan usaha menimbulkan beberapa perbedaan dengan hukum acara perdata biasa. Perbedaan ini di antaranya adalah ditetapkannya tenggang waktu. Pasal 5 ayat (5) Perma No. 3 Tahun 2005 menentukan bahwa majelis hakim harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan perkara keberatan. Berdasarkan ketentuan itu, maka majelis hakim harus jeli dalam membuat jadwal dan perencanaan yang matang dan harus dipatuhi oleh semua pihak. Perencanaan ini meliputi penentuan hari dan tanggal persidangan serta agenda yang akan dilakukan dalam tiap persidangan. Agar jangka waktu 30 (tiga puluh) hari pemeriksaan keberatan berlangsung efisien, sebaiknya hari sidang pertama pemeriksaan ditentukan setelah berkas perkara benar-benar dinyatakan lengkap dari para pihak termasuk KPPU maupun pelaku usaha terlapor.

Perbedaan lainnya adalah tidak adanya proses mediasi pada saat sidang pertama. Dalam perkara perdata, proses mediasi ini adalah wajib dilakukan berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 3 ayat (6) Perma No. 1 Tahun 2016 menentukan bahwa tenggang waktu untuk proses mediasi itu adalah 30 (tiga puluh) hari, setelah 30 (tiga puluh) hari para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang telah ditentukan. Apabila berhasil diperoleh kata sepakat dalam proses perdamaian, Akta Perdamaian mesti dibuat untuk memperkuat perdamaian para pihak. Sedangkan, apabila tidak ada kata sepakat maka hakim akan meneruskan sidang dengan acara selanjutnya.

Berkaitan dengan pemeriksaan keberatan terhadap putusan KPPU, ketentuan Pasal 4 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2016 mengecualikan upaya keberatan atas putusan KPPU dari kewajiban menerapkan mediasi. Hal ini sebelumnya diperkuat juga oleh Pasal 5 ayat (3) Perma No. 3 Tahun 2005 yang menentukan bahwa pemeriksaan keberatan terhadap putusan KPPU dilakukan tanpa melalui proses mediasi.

Selain perbedaan tersebut di atas, masih terdapat perbedaan lagi antara hukum acara perdata dan hukum acara persaingan usaha, yang terlihat dalam hal pengajuan replik dan duplik. Dalam proses acara perdata, setelah salinan gugatan disampaikan kepada tergugat, maka tergugat diharapkan memberikan tanggapan atas dalil-dalil yang diajukan penggugat dalam gugatannya. Tahap selanjutnya adalah replik dan duplik yang diajukan oleh masing masing pihak.

Dalam pemeriksaan keberatan terhadap putusan KPPU yang dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan di dalam Perma No. 3 Tahun 2005, setelah pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan dan berkas perkaranya kepada PN yang memeriksa keberatan, kemudian pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan dan berkas perkara yang telah diserahkan oleh KPPU. Apabila majelis hakim berpendapat perlu diadakannya pemeriksaan tambahan, maka melalui putusan sela perkara dikembalikan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.

Dengan demikian KPPU tidak dimungkinkan mengajukan dalil-dalilnya untuk menguatkan putusannya, dan selanjutnya tidak dimungkinkan pula bagi pelaku usaha untuk menguatkan dalil-dalil keberatannya. Artinya, pengajuan replik dari pelaku usaha dan duplik dari KPPU tidak dimungkinkan seperti halnya proses beracara dalam pemeriksaan perkara perdata pada umumnya, dan selanjutnya pembuktian langsung kepada pengadilan dan pengajuan kesimpulan.

Perbedaan selanjutnya adalah mengenai kompetensi relatif PN yang memeriksa perkara keberatan. Gugatan keberatan terhadap putusan KPPU diajukan di PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha tersebut. Ini berbeda dengan pengajuan gugatan perdata pada umumnya, di mana gugatan dilakukan di pengadilan di tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei) sesuai dengan Pasal 118 ayat (1) HIR. Asas actor sequitur forum rei tidak dapat diterapkan dalam pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU, sehingga domisili hukum KPPU tidak menjadi syarat untuk menentukan kompetensi relatif PN dalam perkara keberatan.

 

Pendaftaran keberatan diajukan kepada PN yang berwenang untuk memeriksanya dan didaftarkan kepada kepaniteraan PN yang bersangkutan. No. registrasi keberatan mempunyai No. dan kode khusus dibedakan dari perkara perdata pada umumnya. Kode perkara tersebut adalah: No. Perkara/KPPU/Tahun Singkatan PN yang memeriksa.

Setelah keberatan didaftarkan pada kepaniteraan PN, Pasal 4 ayat (2) Perma No. 3 Tahun 2005 menentukan bahwa pelaku usaha yang mengajukan keberatan harus memberikan salinan keberatan kepada KPPU. Ketentuan ini bertujuan memberikan kesempatan kepada KPPU untuk mempelajari hal hal yang menjadi keberatan pelaku usaha tersebut, sehingga ketika di persidangan KPPU sudah menyiapkan jawaban dan bukti bukti yang diperlukan sehingga persidangan diharapkan dapat dilakukan dengan cepat dan efisien. Ketentuan ini mirip dengan prosedur hukum acara perdata yang menetukan bahwa setelah gugatan penggugat didaftarkan di kepaniteraan PN, maka salinan gugatan tersebut akan dikirimkan kepada tergugat. Ketentuan ini bertujuan selain sebagai pemberitahuan adanya gugatan juga berfungsi untuk menjelaskan pada tergugat tentang duduk perkara serta untuk kepentingan pembelaan tergugat.

Selanjutnya, ketua PN menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa keberatan terhadap putusan KPPU. Mengenai penunjukan majelis hakim ini, Pasal 5 ayat (1) Perma No. 3 Tahun 2005 menentukan agar ketua PN sedapat mungkin menunjuk hakim-hakim yang mempunyai pengetahuan yang cukup di bidang hukum persaingan usaha. Namun demikian, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ukuran cukup pada kalimat ”hakim yang mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang hukum persaingan usaha” tersebut serta bagaimana bila dalam suatu PN tidak ada hakim yang mempunyai pengetahuan tersebut.

Selain ketidakjelasan tentang masalah pengetahuan hakim, hukum acara KPPU juga tidak menjelaskan tentang pemanggilan pihak yang mempunyai kedudukan hukum di luar negeri. Hal ini menjadi isu yang sangat penting dalam perkara divestasi kapal tanker VLCC milik PT Pertamina (Persero) di mana Goldman Sachs Pte. Ltd. mempunyai kedudukan hukum di luar negeri.

Apabila pihak yang dipanggil mempunyai kedudukan hukum di luar negeri, lazimnya panggilan disampaikan melalui saluran diplomatik, di mana panggilan disampaikan melalui Departemen Luar Negeri untuk disampaikan kepada Kementerian Luar Negeri di mana pihak yang dipanggil tersebut memiliki kedudukan hukum. Jangka waktu pemanggilan itu sendiri biasanya memakan waktu tiga bulan. Padahal pemeriksaan keberatan harus diputus dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Dalam perkara Goldman Sachs tersebut pemanggilan hanya dilakukan melalui pengumuman di harian the Jakarta Post.

Tidak adanya mekanisme yang jelas dalam masalah ini sangat merugikan pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri. Ketidakhadiran mereka dalam sidang keberatan yang dikarenakan tidak sampainya panggilan atau tidak cukupnya waktu panggilan dengan hari sidang menyebabkan pelaku usaha tersebut tidak dapat hadir pada hari sidang. Akibatnya mereka tidak dapat mengajukan pembelaan yang semestinya. Akibatnya, permohonan keberatan mereka dapat ditolak oleh majelis hakim. Dengan demikian perlu diatur dengan jelas tentang jangka waktu pemanggilan serta cara pemanggilan yang sesuai untuk pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri.


a. iii Kedudukan Pengadilan Negeri dalam Memeriksa Perkara Keberatan

Tugas PN dalam memeriksa masalah keberatan adalah menilai kembali putusan KPPU, dengan mempertimbangkan fakta dan penerapan hukumnya. Kedudukan PN dalam hal ini menyerupai kedudukan Pengadilan Tinggi (PT) dalam menangani masalah banding yang memeriksa kembali perkara dari awal baik mengenai fakta maupun penerapan hukumnya.

Oleh karena itu, pemeriksaan keberatan terhadap putusan KPPU dapat dikatakan seolah- olah sebagai pemeriksaan banding karena menurut Perma No. 3 Tahun 2005 :


a. iv Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan tambahan diatur dalam Bab IV Perma No. 3 Tahun 2005. Majelis hakim yang memeriksa perkara keberatan mempunyai wewenang untuk menentukan perlu tidaknya diadakan pemeriksaan tambahan. Apabila dipandang perlu, maka KPPU diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan tersebut. Perintah tersebut harus memuat alasan mengapa pemeriksaan tambahan diperlukan, hal-hal apa saja yang harus diperiksa serta waktu yang diperlukan mengingat adanya time frame yang ketat dalam penyelesaian perkara keberatan.

Pemeriksaan tambahan dilakukan hanya untuk bukti-bukti yang ada dalam berkas perkara dalam putusan yang telah diputus oleh KPPU. Namun apabila majelis hakim merasa kurang jelas, sehingga menganggap perlu dilakukan pemeriksaan tambahan maka KPPU akan melakukan pemeriksaan tambahan dengan menyebutkan hal-hal yang harus diperiksa oleh KPPU.

Dalam hal dilakukan pemeriksaan, maka pemeriksaan oleh hakim ditangguhkan. Setelah KPPU menyerahkan berkas pemeriksaan tambahan, maka sidang pemeriksaan keberatan dilanjutkan selambat lambatnya tujuh hari setelah KPPU menyerahkan berkas pemeriksaan tambahan.

Walapun sudah diatur dalam Perma No. 3 Tahun 2005, dalam praktik pemeriksaan tambahan ini sering kali menemui kesulitan karena Perma tersebut tidak mengatur bagaimana apabila terdapat bukti baru dan saksi baru yang diajukan oleh pemohon. Apakah hal tersebut diperkenankan?

Selain itu, Perma No. 3 Tahun 2005 juga tidak mengatur secara detail berapa lama waktu yang diberikan untuk melakukan pemeriksaan tambahan. Hal ini dapat berakibat timbulnya ketidakpastian tentang lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. Selain itu, apabila majelis hakim menentukan jangka waktu bagi KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan, dan ternyata KPPU belum/tidak selesai melakukan pemeriksaan tambahan sebagaimana telah ditentukan oleh majelis hakim, apakah putusan KPPU dapat dinyatakan batal demi hukum? Atau adakah sanksi lain yang dapat dijatuhkan kepada KPPU?

Dengan tidak jelasnya jangka waktu pemeriksaan tambahan dan untuk memberikan kepastian hukum, terdapat wacana untuk mengembalikan semula secara penuh pemeriksaan keberatan ke PN. Dengan kata lain, pemeriksaan tambahan dihapuskan dan PN menjadi lembaga yang mempunyai wewenang penuh memeriksa perkara keberatan.

Permasalahan lain yang dihadapi KPPU adalah dalam melaksanakan penyelidikan, KPPU sering kali mengalami permasalahan dengan instansi pemerintah dalam memperoleh data.501 Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999 memang memberikan wewenang kepada KPPU untuk meminta keterangan dari instansi pemerintah untuk mendapatkan data dan informasi demi kepentingan penyelidikan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang diduga melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999. Namun demikian, instansi yang terkait erat dengan KPPU seperti Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau institusi pasar modal sering kali keberatan memberikan data yang diperlukan KPPU dengan alasan bahwa data tersebut bersifat rahasia.

Sebagai contoh adalah masalah penyelidikan kasus Kartel Kedelai, Bea Cukai menganggap data ekspor impor masalah tersebut bersifat rahasia.502 Akibatnya, penyelidikan oleh KPPU menjadi terhambat. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu dibuat nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara KPPU dan instansi pemerintah untuk menyepakati masalah keterbukaan data. Dengan demikian pemeriksaan yang dilakukan KPPU dapat benar-benar objektif karena didukung oleh ketersediaan data yang akurat.

Hal-hal tersebut perlu mendapatkan pengaturan yang jelas dan tegas demi tercapainya kepastian hukum dalam penegakan hukum persaingan usaha. Selain itu juga demi melindungi hak/ kepentingan pelaku usaha maupun KPPU sendiri.


a. Putusan Pengadilan terhadap Upaya Keberatan

Putusan PN dalam pemeriksaan perkara keberatan dapat berupa:

PN berpendapat bahwa majelis KPPU telah benar dalam memeriksa perkara, baik berkenaan dengan fakta maupun penerapan hukumnya sehingga majelis hakim PN sependapat dengan putusan majelis KPPU. Putusan PN yang menguatkan putusan majelis KPPU tidak merubah terhadap apa yang telah diputuskan oleh KPPU.

Apabila PN berpendapat bahwa majelis KPPU telah salah dalam memeriksa perkara, atau pelaku usaha tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 maka PN dapat membatalkan putusan majelis Komisi. Dalam hal ini maka putusan majelis KPPU dianggap tidak pernah ada.

PN mempunyai kewenangan untuk membuat putusan sendiri dalam menangani perkara keberatan. Putusan PN dapat berupa menguatkan sebagian putusan majelis KPPU, sedangkan isi putusan yang selebihnya dibatalkan.


Ditinjau dari sifatnya, putusan PN dalam perkara keberatan dapat berupa:

Putusan PN semacam ini menetapkan suatu keadaan misalnya pembatalan perjanjian. Bila PN menyatakan perjanjian yang dibuat pelaku usaha batal, maka dalam hal ini tidak diperlukan tindakan hukum apa pun untuk mengeksekusi putusan.

Putusan PN ini menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi atau denda. Dalam hal ini, apabila pelaku usaha tidak mau melaksanakan putusan tersebut maka diperlukan tindakan hukum berupa eksekusi.

 

b. Pelaku Usaha Tidak Melaksanakan Putusan KPPU dan Tidak Mengajukan Upaya Keberatan

Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu, ada kemungkinan pelaku usaha yang dinyatakan bersalah oleh KPPU tidak mau melaksanakan putusan KPPU dan tidak mengajukan keberatan ke PN. Dalam hal ini, Komisi dapat minta fiat eksekusi ke PN tempat kedudukan pelaku usaha agar putusannya mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan.

Jadi putusan Komisi dapat dipaksakan eksekusinya dengan minta bantuan alat kekuasaaan negara. Dalam hal sanksi yang dijatuhkan oleh KPPU adalah pembatalan perjanjian maka dengan sendirinya perjanjian akan batal bila sudah ada fiat eksekusi dari PN. Sedangkan untuk sanksi yang berupa ganti rugi dan denda maka harta pelaku usaha dapat disita dan dijual lelang untuk membayar ganti rugi dan denda tersebut.


c. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali

Apabila pelaku usaha tidak menerima putusan PN dalam perkara keberatan, berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha dalam waktu 14 hari sejak diterimanya putusan keberatan dari PN dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hal ini berbeda dengan hukum acara perkara perdata biasa yang harus melewati terlebih dahulu tahap upaya banding di PT.

MA dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima harus memberikan putusannya. Selain kasasi, upaya hukum lain yang dapat dilakukan adalah Peninjauan Kembali (PK). Tata cara penanganan kasasi dan PK di MA dilakukan berdasarkan pada sistem peradilan umum sebagaimana diatur dalam UU MA.

Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung menyatakan bahwa MA dalam tingkat kasasi dapat membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dengan alasan:



PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI)

Tidak semua putusan dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dieksekusi. Putusan PN dan MA yang mengabulkan keberatan dan kasasi pelaku usaha tidak dapat dieksekusi karena putusan itu hanya bersifat constitutive. Putusan tersebut hanya menyatakan bahwa putusan KPPU yang menyatakan pelaku usaha melanggar UU No. 5 Tahun 1999 batal dan dengan demikian timbul keadaan hukum baru. Dengan demikian, putusan KPPU yang berupa pembatalan perjanjian, ataupun sanksi administratif lainnya tidak jadi dilaksanakan terhadap pelaku usaha.

Hukum acara perdata masih mengenal satu jenis putusan lagi yaitu putusan declaratoir yang berisi pernyataan tentang suatu keadaan. Pada dasarnya, setiap putusan hakim selalu mengandung amar declaratoir apabila gugatan dikabulkan. Hal ini terlihat dari pernyataan bahwa tergugat terbukti bersalah.503 Sebenarnya, sangat tipis perbedaan antara putusan deklaratif dan konstitutif karena pada dasarnya amar yang berisi putusan konstitutif mempunyai sifat yang deklaratif.

Putusan perkara monopoli dan persaingan usaha yang dapat dieksekusi adalah putusan condemnatoir yang menyatakan bahwa pelaku usaha melanggar UU No. 5 Tahun 1999 dan karenanya dijatuhi sanksi. Sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Komisi hanyalah sanksi administratif dan pengenaan denda, sedangkan PN dan MA dapat menjatuhkan sanksi pidana maupun ganti rugi dan pidana denda.

Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pelaku usaha yang dikenai sanksi harus menjalankannya dan melaporkan pelaksanaan putusan tersebut kepada KPPU. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan tersebut maka UU No. 5 Tahun 1999 memberikan dua upaya hukum yaitu:


Pelaksanaan eksekusi riil (eksekusi putusan yang menghukum pelaku usaha untuk melakukan perbuatan tertentu) dilakukan dengan cara KPPU meminta kepada PN agar memerintahkan pelaku usaha untuk melakukan perbuatan tertentu seperti membatalkan penggabungan, pengambil alihan saham dan peleburan badan usaha, membatalkan perjanjian yang mengakibatkan praktik monopoli dan lain sebagainya. Sedangkan, pelaksanaan eksekusi pembayaran sejumlah uang dilakukan dalam hal putusan yang dijatuhkan pada pelaku usaha berupa pembayaran ganti rugi dan atau denda. Prosedur eksekusi ini diawali dengan penyampaian peringatan disusul perintah eksekusi dan penjualan lelang.

UU No. 5 Tahun 1999 tidak memberikan kewenangan kepada KPPU untuk meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta pelaku usaha. Dengan demikian untuk menjamin pelaksanaan putusan, KPPU harus minta pada ketua PN untuk meletakkan sita eksekusi terhadap harta pelaku usaha yang kemudian akan diikuti dengan penjualan lelang.



SANKSI

UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan 2 (dua) macam sanksi yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.


a. Sanksi Administratif

Sanksi administratif merupakan satu tindakan yang dapat diambil oleh Komisi terhadap pelaku usaha yang melanggar UU No 5. Tahun 1999. Sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 47, yang berupa:

 

Komisi dapat menjatuhkan sanksi administratif tersebut secara kumulatif ataupun alternatif. Keputusan mengenai bentuk sanksi tergantung pada pertimbangan Komisi dengan melihat situasi dan kondisi masing masing kasus. Namun demikian, sampai tahun 2008, terdapat ketidakjelasan mengenai sanksi tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut KPPU menerbitkan aturan teknis soal denda dan ganti rugi. Peraturan ini tercantum dalam Keputusan KPPU No. 252/KPPU/Kep/VII/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 47 UU No. 5 Tahun1999, tanggal 31 Juli 2008.

Ketentuan soal denda sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999. Namun, Pasal tersebut tidak merinci secara teknis penghitungan besarnya yang dapat dijatuhkan KPPU. Penghitungan atas kerugian ekonomis yang ditimbulkan karena pelanggaran hukum persaingan memerlukan banyak pertimbangan dan harus mendasarkan pada unsur kehati-hatian.

Kalau tidak ada pedoman penghitungan, KPPU dalam menetapkan denda tidak didasarkan atas suatu dasar yang akurat. Dapat terjadi untuk suatu kasus pelanggaran yang kecil KPPU memberikan sanksi denda atau ganti rugi dalam jumlah yang terlampau besar. Akibatnya, pelaku usaha terbebani oleh jumlah denda atau ganti yang terlalu besar yang tidak sebanding dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Oleh karena itu, Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2009 tersebut diharapkan bisa mengatasi masalah ini.

Ketentuan yang diatur dalam keputusan tersebut diantaranya adalah penentuan nilai dasar denda. Dalam lampiran Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa nilai dasar denda akan terkait dengan tiga hal, yakni proporsi dari nilai penjualan, tingkat pelanggaran, dikalikan dengan jumlah tahun pelanggaran. Penentuan tingkat pelanggaran dilakukan kasus per kasus untuk setiap tipe pelanggaran dengan mempertimbangkan seluruh situasi yang terkait dengan kasus tersebut.

Proporsi dari nilai penjualan yang diperhitungkan adalah maksimal 10% dari nilai penjualan tersebut. Untuk menentukan apakah proporsi nilai penjualan yang dipertimbangkan dalam suatu kasus seharusnya berada dalam titik tertinggi atau terendah dalam skala tersebut, KPPU akan mempertimbangkan berbagai macam faktor, yakni skala perusahaan, jenis pelanggaran, gabungan pangsa pasar dari para pelaku usaha, cakupan wilayah geografis pelanggaran dan telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran tersebut.

Dalam pedoman itu juga dinyatakan bahwa perjanjian penetapan harga horizontal (horizontal price fixing), pembagian pasar dan pembatasan produksi yang biasanya dilakukan secara rahasia, serta persekongkolan tender adalah pelanggaran yang berat dalam persaingan usaha. Dengan demikian, perjanjian tersebut akan memperoleh denda yang berat. Untuk itu, proporsi nilai penjualan yang akan dihitung untuk pelanggaran tersebut merupakan proporsi tertinggi pada skala tersebut.


b. Sanksi Pidana Pokok

Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa sanksi pidana pokok meliputi pidana denda minimal Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan maksimal Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan. Sanksi pidana ini diberikan oleh pengadilan (bukan merupakan kewenangan Komisi) apabila :


c. Pidana Tambahan

Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha dapat berupa:


Dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa Komisi hanya berwenang menjatuhkan sanksi administratif, sedangkan yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana adalah pengadilan. Suatu perkara yang ditangani oleh KPPU dapat kemudian diserahkan kepada penyidik dan karenanya dapat dijatuhi pidana dalam hal :


Terhadap kedua pelanggaran tersebut, Komisi menyerahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Putusan Komisi merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan (Pasal 41 ayat (3) jo. Pasal 44 ayat (5)).



GUGATAN PERWAKILAN ATAU KELOMPOK (CLASS ACTION)

Dalam putusan perkara Temasek sebagai dampak dari Putusan KPPU, maka terjadi beberapa gugatan kelompok (class action) di beberapa daerah di Indonesia. Keadaan ini telah memberikan beberapa wacana baru dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia. Sebagaimana di beberapa negara lain, hukum juga melalui peraturan Mahkamah Agung telah mengatur beberapa hal dalam gugatan kelompok.

Class action diartikan sebagai gugatan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative) untuk dan atas nama kelompok tanpa mendapatkan surat kuasa dari yang diwakilinya namun dengan mendefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik. Anggota kelompok tersebut mempunyai kesamaan fakta yang mengakibatkan adanya kesamaan kepentingan dan penderitaan.

Class action yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan gugatan perwakilan kelompok, memang sudah secara resmi diadopsi ke dalam hukum Indonesia, terutama dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, belum ada peraturan mengenai penggabungan (konsolidasi) perkara class action yang diajukan kepada pihak yang sama di pengadilan yang berbeda. Masalah konsolidasi (penggabungan) sudah dikenal dalam hukum acara perdata yang biasanya disebut dengan kumulasi. Meskipun HIR dan RBG tidak mengatur tentang kumulasi, peradilan Indonesia sudah lama menerapkannya.505 Kumulasi berarti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan yang pada dasarnya gugatan gugatan tersebut berdiri sendiri.

Kumulasi dapat terdiri dari dua macam, yaitu kumulasi subyektif dan kumulasi obyektif. Kumulasi subyektif dapat terjadi jika penggugat yang terdiri lebih dari satu orang melawan tergugat yang terdiri dari satu orang, atau seorang penggugat melawan beberapa tergugat sekaligus. Sedang kumulasi obyektif dapat terjadi dalam hal penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus.506 Namun demikian, kumulasi yang dikenal dalam hukum acara perdata ini adalah dalam model gugatan konvensional bukan gugatan class action.

Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok belum mengatur tentang konsolidasi perkara class action. Terdapat perbedaan antara hukum acara perdata di dalam HIR dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai kompetensi pengadilan untuk mengadili. HIR menyatakan bahwa gugatan dilayangkan ke domisili tergugat (actor sequitur forum rei). Sementara UU No. 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pengadilan tempat konsumen berdomisili yang berwenang untuk mengadili perkara konsumen. Dengan demikian kesulitan yang muncul adalah dalam perkara class action terkait dengan perkara perlindungan konsumen, ke pengadilan manakah perkara itu harus didaftarkan?

Selain itu, masalah lain yang timbul adalah apabila dalam perkara yang sama diajukan gugatan class action di beberapa pengadilan sekaligus, bagaimana penyelesaiannya? Apabila tiap- tiap pengadilan itu mengadili sendiri-sendiri, yang dikhawatirkan adalah putusan yang dihasilkan bertentangan satu dengan yang lain. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan hukum. Pertanyaannya apakah konsolidasi perkara dikenal dalam kaitannya dengan class action ini? Untuk lebih memahami masalah tersebut, berikut ini diuraikan beberapa contoh gugatan class action dengan obyek sengketa yang sama, namun diperiksa oleh PN yang berbeda.

Berkaitan dengan kasus Temasek, terdapat gugatan class action yang diajukan di PN yang berbeda-beda seperti: PN Bekasi, PN Tangerang dan PN Jakarta Pusat. Contoh: gugatan beregister 111/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst diajukan oleh 9 (sembilan) orang yang masing masing sebagai pengguna Kartu As, Simpati, Mentari, IM3, Matrix, Kartu Halo, XL Explore, XL Bebas dan XL Jempol. Mereka semua bertindak sebagai wakil kelas dari seluruh Indonesia yang menggunakan jasa para operator seluler tersebut. Para penggugat melalui kuasa hukumnya mendasarkan gugatannya pada pertimbangan putusan KPPU yang menyatakan adanya kerugian konsumen akibat penerapan tarif secara eksesif.507 Kesamaan fakta yang dimiliki oleh para penggugat adalah bahwa mereka sama-sama konsumen pengguna jasa operator seluler. Fakta lain adalah mereka sama-sama menderita kerugian akibat penerapan tarif yang tinggi.

Contoh lain gugatan class action dalam perkara persaingan usaha adalah 5 penggugat yang mengklaim sebagai wakil kelompok konsumen Astro di wilayah DKI Jakarta, Bogor dan Depok. Gugatan itu dilayangkan kepada tujuh tergugat. Penghentian siaran Astro dinilai melanggar hak konsumen. Lima orang konsumen Astro mengajukan gugatan class action. Mereka menuntut Direct Vision untuk menyiarkan kembali siaran Astro.

Masih dalam perkara Astro, sejumlah konsumen Astro di Sumatera Utara juga mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) di PN Medan. Gugatan class action tersebut telah terdaftar dalam register perkara No 472/Pdt.G/2008/PN-Mdn tgl 18 November 2008 ditujukan kepada PT Direct Vision dan juga (AAAN) Kuala Lumpur, All Asia Multimedia Network PLC (AAMN) Kuala Lumpur dan Measat Broadscat Network System SDN BHD berkantor di Kuala Lumpur Malaysia. Para penggugat sama-sama menderita kerugian karena berhentinya tayangan Astro. Perbuatan menghentikan tayangan ini dinilai para penggugat sebagai perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam perkara Astro, model class action dipilih karena penggugat memiliki kesamaan fakta (common issue) dan kepentingan hukum yang sama (suitability of representation), yakni sama- sama konsumen Astro dan menderita kerugian akibat tayangan Astro yang dihentikan. Dikatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata). Intinya, pasal itu membolehkan pihak yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ganti rugi karena tergugat melanggar hukum. Astro disebut telah melanggar hak konsumen sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen harus mendapat informasi yang jelas tentang produk dan jasa. Konsumen juga harus mendapat kepastian hukum dalam menggunakan barang dan jasa.

Dapatkah dalam gugatan class action perkara Temasek dan Astro tersebut dikumulasikan dengan menggunakan ketentuan dalam hukum acara perdata? Menurut penulis, hukum acara perdata dapat diterapkan. Hal ini mengacu pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang dianut dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan dibolehkannya kumulasi terhadap gugatan class action maka pengadilan akan mampu menyelesaikan beberapa perkara sekaligus melalui satu proses. Dengan demikian, proses beracara menjadi lebih cepat, prosedurnya lebih sederhana dengan demikian biayanya menjadi lebih terjangkau. Selain itu yang tidak kalah penting adalah dengan dikumulasikannya gugatan class action maka akan mencegah terjadinya putusan yang saling bertentangan antara pengadilan yang satu dengan yang lain dalam masalah yang sama.