HUKUM PERSAINGAN USAHA III

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

III. Penerapan Pendekatan "Per Se Illegal" dan "Rule Of Reason" Dalam Hukum Persaingan

Pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku bisnis melanggar undang-undang persaingan usaha. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali.


Kedua metode pendekatan yang memiliki perbedaan ekstrim tersebut juga digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya, yakni pencantuman kata-kata “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”. Oleh karena itu, penyelidikan terhadap beberapa perjanjian atau kegiatan usaha, misalnya kartel (Pasal 11) dan praktik monopoli (Pasal 17) dianggap menggunakan pendekatan rule of reason. Sedangkan pemeriksaan terhadap perjanjian penetapan harga (Pasal 5) dianggap menggunakan pendekatan per se illegal.

Namun demikian, perlu dipertanyakan kembali, apakah dalam pembahasan Rancangan UU No. 5 Tahun 1999 tersebut juga dikaji implikasi hukum atas kata-kata “yang dapat mengakibatkan” maupun “patut diduga” tersebut? Hal ini mengingat pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu masih diwarnai dengan retorika melawan pengusaha besar, yang menguasai sektor-sektor ekonomi tertentu dari hulu ke hilir, dianggap telah merusak perekonomian bangsa dan merugikan rakyat banyak.

Oleh karena itu, pencantuman kata-kata tersebut besar kemungkinannya tidak mempertimbangkan implikasi dalam penerapannya, sehingga terdapat beberapa ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang tidak selaras dengan praktik penerapan kedua pendekatan dalam perkara- perkara antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat.


Di samping itu, tim perancang UU No. 5 Tahun 1999 cenderung untuk lebih melimpahkan penerapan alternatif dari kedua pendekatan tersebut kepada KPPU, yang dinyatakan dalam Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999. Pada dasarnya, tugas KPPU antara lain adalah melakukan penilaian terhadap semua perjanjian dan atau kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Penggunaan kedua pendekatan secara alternatif memiliki tujuan yang sama, yakni bagaimana tindakan pelaku usaha tidak menghambat persaingan, sehingga mengakibatkan hilangnya efisiensi, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian terhadap konsumen.49 Sedangkan tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999, antara lain adalah menciptakan efisiensi dalam kegiatan usaha serta meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pasal 3). Dalam pembahasan ini, akan dikaji apakah penggunaan pendekatan secara alternatif dapat mendukung efisiensi dan kesejahteraan konsumen.


PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DAN PENERAPANNYA

Pendekatan pertama per se illegal oleh Mahkamah Agung Amerika diterapkan dalam perkara United Sates v. Trans-Missouri Freight Association,50 yang diikuti kemudian dalam United States v. Joint Traffic Association.51 Perkara Trans-Missouri menyangkut 18 perusahaan kereta api yang membuat perjanjian pada tanggal 15 Maret 1889, dengan membentuk “Trans-Missouri Freight Association”, yaitu suatu asosiasi perusahaan kereta api yang berdomisili di sebelah barat Mississippi. Para anggota asosiasi tersebut melimpahkan kewenangan kepengurusan kepada suatu komite, yang merupakan badan perwakilan para anggota. Kewenangan komite tersebut antara lain, adalah menyusun dan mengumumkan secara resmi struktur tarif angkutan, yang akan ditetapkan bagi seluruh perusahaan kereta api. Tujuan pembentukan asosiasi ini adalah untuk saling melindungi dengan cara menetapkan tarif yang menurut mereka adalah pantas, membuat aturan, dan peraturan mengenai pengangkutan setempat.52 Mahkamah Agung dalam keputusannya menetapkan, bahwa perjanjian di antara para anggota asosiasi tersebut adalah per se illegal, karena melanggar Pasal 1 the Sherman Act.53

Bagian ketiga perjanjian tersebut antara lain menetapkan:

“…that’s committee shall be appointed to establish rates, rules, and regulations on the traffic subject to this association, and to consider changes therein, and makes rules for meeting the competition of outside lines. Their conclusion, when unanimous, shall be made effective when they so order; but, if they differ, the question at issue shall be reffered to the managers of the lines parties hereto; and, if they disagree, it shall be arbitrated in the manner provided in Article 7...”.


Pemerintah kemudian menggugat asosiasi tersebut dengan menyatakan, antara lain bahwa:

“…An agreement between railroads competing in interstate traffic, ‘for the purpose of mutual protection by establishing and maintaining reasonable rates, rules, and regulations on all freight traffic,’ and organizing an association to enforce these purpose, is an agreement in restraint of commerce, within the meaning of the anti-trust law of July 2, 1890, 15 U.S.C.A. parag. 1-7,…”.


Penggugat meminta agar pengadilan menetapkan pembubaran asosiasi tersebut dan para tergugat dilarang, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, antara lain:

“…from further agreeing, combining, and conspiring and acting together to maintain rules and regulations and rates for carrying freight upon their several lines of railroad to hinder trade and commerce between the states and territories of the United States; and that all and each of them be enjoined and prohibited from entering or continuing in a combination, association, or conspiracy to deprive the people engaged in trade and commerce between and among the states and territories of the United States of such facilities and rates and charges of freight transportation as will be afforded by free and unrestrained competition between the said several lines of railroads…”


Tergugat menolak tuduhan tersebut dengan menyatakan, antara lain:

“…they were not content with the rates and prices prevailing at the date of agreement; they deny any intent to unjustly increase rates, and deny that the agreement destroyed, prevented, or illegally limited or influenced competition; they deny that arbitrary rates were fixed or charged, or that rates have been increased…”.


Tergugat menyatakan pula, bahwa tujuan asosiasi adalah untuk menetapkan tarif yang masuk akal, aturan mengenai semua angkutan dan mempertahankan tarif tersebut sampai ia mengalami perubahan sebagaimana yang nantinya ditetapkan oleh undang-undang. Mahkamah Agung dalam keputusannya menetapkan, bahwa perjanjian di antara para anggota asosiasi tersebut adalah per se illegal, karena melanggar Pasal 1 the Sherman Act.

Selanjutnya, dalam perkara United States v. Joint Traffic,58 pemerintah mengajukan gugatan di pengadilan New York Selatan, sehubungan dengan perjanjian antara 31 perusahaan kereta api yang membentuk asosiasi, antara lain bertujuan:

“…to aid fulfilling the purpose of the interstate commerce act, to co-operate with each other and adjacent transportation association to establish and maintain reasonable and just rates, fares, rules, and regulations on state and interstate traffic, to prevent unjust discrimination, and to secure the reduction and concentration of agencies, and the introduction of economies in the conduct of the freight and passenger service…”.


Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan itu menetapkan Anggaran Dasar asosiasi, di mana mereka setuju asosiasi dijalankan oleh beberapa dewan yang berbeda, yang memiliki yurisdiksi atas semua lalu lintas kereta api, di mana perusahaan-perusahaan seharusnya bersaing. Asosiasi akan mempublikasikan daftar tarif, harga karcis, dan biaya serta aturan-aturan yang akan diterapkan. Dari waktu ke waktu para manajer asosiasi dapat membuat rekomendasi untuk perubahan harga karcis dan biaya serta aturan yang masuk akal dan adil untuk semua angkutan yang disebutkan dalam perjanjian guna melindungi kepentingan para pihak dalam perjanjian.

Ketidaksediaan untuk melaksanakan rekomendasi oleh pihak manapun juga yang terikat kepada perjanjian tersebut, dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian. Tidak ada perusahaan yang menjadi pihak dalam perjanjian ini diijinkan untuk menyimpang atau mengubah tarif, harga karcis, biaya, atau aturan-aturan yang ditetapkan kecuali dengan persetujuan Dewan Direksi dari perusahaan tersebut, dan langkah itu tidak mempengaruhi tarif, harga karcis, serta biaya dimaksud. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 1 Januari 1896 untuk lima (5) tahun lamanya.

Pemerintah menuduh bahwa perjanjian yang dibuat oleh para tergugat tersebut adalah “… unlawfully intending to restrain commerce among the several states, and to prevent competition…”. Tergugat the Joint Traffic Association dalam jawabannya menyatakan, menolak tuduhan bahwa kontrak itu tidak sah dan tidak merupakan konspirasi untuk menghambat perdagangan atau berusaha untuk memonopoli dan menghambat persaingan antara perusahaan-perusahaan kereta api. Tujuan dari perjanjian itu antara lain adalah dalam rangka harmonisasi dari rute yang berlainan, dan hal itu perlu baik bagi masyarakat maupun perusahaan-perusahaan kereta api yang bersangkutan.

Hakim Peckham menyatakan, bahwa perkara ini memiliki persamaan yang besar dengan United States v. Trans-Missouri Freight Association,61 oleh karena asosiasi mempunyai kepentingan yang sama, sehingga kedua perkara tersebut menghasilkan keputusan yang sama. Tergugat berkeberatan atas pendapat ini dan memberikan alasan mengapa keputusan dalam perkara sebelumnya tidak dapat diterapkan terhadap perkara ini. Tergugat menyatakan, antara lain, terdapat perbedaan fundamental antara dua perjanjian tersebut, baik mengenai materi maupun sifatnya. Dalam perkara Trans-Missouri, perjanjian itu bersifat inkonstitusional, karena dianggap terlalu mencampuri kebebasan individu, dan mengabaikan hak individu untuk membuat kontrak, yang sebenarnya dijamin oleh Amandemen Kelima Konstitusi Amerika Serikat, yang menetapkan:

“…no person shall be… deprive of life, liberty or property without due process of law; nor shall private property be taken for public use without just compensation. This objection was not advanced in the arguments in the other case...”.


Mahkamah Agung akhirnya kembali pada dalil hukum yang pernah disinggung pada Trans- Missouri. Pertama, membedakan antara pengaturan yang secara langsung dan segera akan mengurangi persaingan sebagai price fixing di antara para pesaing, dan pengaturan yang hanya berpengaruh secara tidak langsung dan insidentil. Kedua, dalam menanggapi perilaku membahayakan yang secara hipotetis dilakukan oleh tergugat, maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa beberapa pengaturan yang berdampak terhadap persaingan, seperti perjanjian untuk tidak ikut serta dalam bisnis sejenis, sama sekali bukanlah merupakan hambatan perdagangan (restraint of trade).

Oleh karena itu, Mahkamah Agung menegaskan, bahwa suatu pengaturan yang dilakukan dengan maksud tertentu dan secara eksplisit mematikan persaingan di antara perusahaan yang beroperasi secara mandiri di pasar bersangkutan, akan dinyatakan sebagai ilegal.

Dalam penerapan undang-undang antitrust di Amerika Serikat, beberapa jenis perilaku bisnis tertentu dipandang sebagai per se illegal, terlepas dari penilaian mengenai berbagai akibatnya terhadap persaingan, dan atau terlepas dari kondisi yang melingkupinya. Salah satu manfaat besar dari penggunaan metode per se illegal adalah kemudahan dan kejelasannya dalam proses administratif. Di samping itu, pendekatan ini memiliki kekuatan mengikat (self-enforcing) yang lebih luas daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai pengaruh kondisi pasar yang kompleks. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan ini dapat memperpendek proses pada tingkatan tertentu dalam pelaksanaan suatu peraturan persaingan usaha. Proses tersebut dianggap relatif mudah dan sederhana, karena hanya meliputi identifikasi perilaku yang tidak sah dan pembuktian atas perbuatan ilegal tersebut. Dalam hal ini tidak diperlukan lagi penyelidikan terhadap situasi serta karakteristik pasar.

Suatu perilaku yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai per se illegal, akan dihukum tanpa proses penyelidikan yang rumit. Jenis perilaku yang ditetapkan secara per se illegal hanya akan dilaksanakan, setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku tersebut, yakni bahwa perilaku tersebut hampir selalu bersifat antipersaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan.

Oleh karena itu, pada prinsipnya terdapat dua syarat dalam melakukan pendekatan per se illegal, yakni pertama, harus ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” dari pada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya, mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Metode pendekatan seperti ini dianggap fair, jika perbuatan ilegal tersebut merupakan “tindakan sengaja” oleh perusahaan, yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktik atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha, baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun demikian, diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah.

Pembenaran substantif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta atau asumsi, bahwa perilaku tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan kerugian bagi pesaing lainnya dan atau konsumen. Hal tersebut dapat dijadikan pengadilan sebagai alasan pembenar dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan oleh pengadilan, pertama, adanya dampak merugikan yang signifikan dari perilaku tersebut. Kedua, kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang.

Contoh perjanjian yang dilarang secara per se illegal dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian penetapan harga (price fixing) yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”


Perjanjian yang dianggap melanggar Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang telah diputuskan KPPU adalah perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh beberapa pengusaha Bus Kota Patas AC, yang tergabung dalam suatu asosiasi angkutan jalan raya (Organda). Kesepakatan bersama tersebut diakomodasi melalui DPD Organda DKI Jakarta melalui Surat DPD Organda tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di wilayah DKI Jakarta tanggal 5 September 2001. Kesepakatan ini dianggap merupakan pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999.


 

Kasus III.1

Dalam perkara ini, KPPU cukup membuktikan adanya perjanjian yang dilakukan oleh operator bus kota Patas AC, yang dalam hal ini disepakati secara tertulis. Kemudian surat tersebut diajukan dan disetujui Gubernur DKI Jakarta, yang ditindaklanjuti berupa Surat Keputusan tentang Penyesuaian Tarif.

Perkara serupa juga terjadi di bidang angkutan laut, di mana 7 (tujuh) perusahaan pelayaran di jalur pelayaran Surabaya-Makassar melakukan kesepakatan untuk menetapkan tarif dan kuota jalur Surabaya-Makassar yang dibuat dan ditandatangani pada tanggal 23 Desember 2002.


Kasus III.2

Pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal lainnya adalah perjanjian kartel SMS (Short Message Service) yang dilakukan oleh para operator penyelenggara jasa telekomunikasi dalam Perkara KPPU No.26/KPPU-L/2007.

 

Kasus III.3

Dalam Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2007 tentang Penetapan Harga SMS, selain KPPU menemukan bukti adanya perjanjian tertulis di antara para operator, KPPU juga membuktikan dampak terhadap persaingan itu sendiri, yakni adanya kerugian yang dialami konsumen.

Pelanggaran lain dari larangan per se illegal adalah kesepakatan para produsen ban di Indonesia untuk tidak melakukan banting harga dan warranty claim. KPPU pada tanggal 7 Januari 2015 mengeluarkan putusan yang di antaranya menyatakan bahwa mereka telah melanggar Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999. 


Kasus III.4

Pelanggaran larangan per se juga terjadi pada perjanjian penetapan harga untuk produk Liquefied Petroleum Gas (LPG) oleh beberapa perusahaan distributor produk tersebut yang terjadi pada awal tahun 2015 di wilayah Bandung dan Sumedang sebagai berikut:


Kasus III.5

Penyelidikan terhadap ada tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan hukum persaingan melalui pendekatan per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum. Artinya, bahwa adanya larangan yang tegas dapat memberikan kepastian bagi pengusaha untuk mengetahui keabsahan suatu perbuatan. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengatur dan menjalankan usaha tanpa khawatir adanya gugatan hukum di kemudian hari, yang menimbulkan kerugian berlipat ganda. Dengan perkataan lain, pendekatan per se illegal dapat memperingatkan pelaku usaha sejak awal, mengenai perbuatan apa saja yang dilarang, serta berusaha menjauhkan mereka untuk mencoba melakukannya.


Namun demikian, tidak mudah untuk membuktikan adanya perjanjian, terutama jika perjanjian tersebut dilakukan secara lisan. Dalam hal ini, hakim hanya perlu membuktikan apakah terjadi suatu perjanjian. Namun demikian, terdapat kesulitan untuk membuktikan suatu perjanjian yang dilakukan dengan cara lisan (tidak tertulis). Sebagai contoh, misalnya, dalam perkara Barber Shop Association, yakni suatu asosiasi para tukang cukur dalam Akita Prefecture, yang melakukan penelitian tentang pendapat para tukang cukur anggota asosiasi, dengan cara mengirimkan kuesioner kepada mereka dan menjawab pertanyaan mengenai dua hal: “do you wish to raise price and if you do, what is the appropriate price level?” Setelah kuesioner terkumpul, mereka menganalisis isi, dan mengumumkan, bahwa hampir semua anggota asosiasi menghendaki peningkatan harga, dengan tingkat harga yang diperkirakan adalah sebesar 300 yen. Kemudian asosiasi menentukan “harga standard” sebesar 300 yen, dan memerintahkan bahwa masing-masing anggota dapat menentukan harga secara independen, dengan mempertimbangkan “harga standar” tersebut. Semua anggota asosiasi akhirnya sepakat secara diam-diam untuk menetapkan harga sebesar 300 yen.

Japan Fair Trade Commission (JFTC) menggugat aktivitas asosiasi tersebut dan memutuskan adanya pelanggaran terhadap Pasal 8 (1) huruf i the Anti Monopoly Law (AMA), yang melarang asosiasi dagang melakukan aktivitas yang secara substansial menghambat persaingan, khususnya di bidang perdagangan. Dalam hal ini, tidak terdapat bukti langsung bahwa asosiasi menetapkan suatu “harga standar” kepada para anggotanya. Namun demikian, asosiasi melakukan tekanan kepada para anggotanya, untuk mengatur harga senilai 300 yen dengan cara mengumumkan hasil penelitian. Kegiatan asosiasi ini dapat dievaluasi sebagai sebuah bukti yang tidak langsung adanya suatu bentuk penetapan harga. Melalui pengumuman tersebut, para anggota memperoleh informasi, bahwa mayoritas dari mereka mempertimbangkan, bahwa harga seharusnya ditetapkan sebesar 300 yen. Hal ini akan menyulitkan para anggota, jika melakukan “cara lain yang berbeda” dengan yang telah ditentukan secara bersama-sama.

Beberapa kasus serupa terjadi juga di Amerika Serikat, yang bertujuan mempengaruhi harga persaingan, yang ditemukan dan digunakan sebagai petunjuk analisis untuk mendukung karakterisasi suatu pengaturan atas harga. Dalam Nationwide Trailer Rental Sistem, Inc. v. United States,72 Mahkamah Agung menetapkan, bahwa pengedaran surat dalam bentuk daftar terjadwal, yang berisi penetapan tingkat harga lembur (overtime charges) untuk persewaan trailer kepada masing-masing anggota asosiasi, merupakan hambatan dalam bentuk harga (price restraint). Bukti-bukti menunjukkan, bahwa “jadwal” tersebut hanya digunakan sebagai “pedoman”, yang tidak mengharuskan para anggota untuk mematuhi, dan secara nyata menyimpanginya. Meskipun hanya sedikit atau tidak terdapat bukti mengenai pengaruh terhadap harga yang dapat dilihat, namun pengadilan menyimpulkan, bahwa “jadwal” tersebut diedarkan dengan beberapa tujuan, dan tampaknya antara lain, adalah menyarankan “tingkat harga” lembur, walaupun harga tersebut tidak ditetapkan secara rigid.

Hal yang sama terdapat dalam Plymouth Dealers’ Association v. United States.73 Dalam hal ini, asosiasi dealer mengedarkan daftar “harga yang disarankan” (suggested price) yang nilainya lebih tinggi dari pada harga penjualan kembali yang disarankan oleh perusahaan. Meskipun tidak terdapat alasan dari para dealer untuk mengikutinya dan kenyataannya memang demikian, namun terdapat beberapa bukti yang menunjukkan, bahwa ketika melakukan negosiasi dengan para pelanggan, mereka menunjuk pada daftar “harga yang disarankan”, selanjutnya baru mereka mulai melakukan tawar-menawar. Dalam perkara ini, pengadilan memutuskan bahwa tujuan untuk mempengaruhi harga pasar dapat ditentukan secara memadai.

Dalam perkara United States v. Jantzen Inc.,74 tergugat dilarang menyetujui suatu pengaturan penetapan harga pada waktu mana ketika masing-masing individu harus menerapkan harga sendiri- sendiri. Pengaruh dari pengaturan tersebut, secara nyata dapat menutup kemungkinan perubahan harga di waktu lain. Kemudian dalam United States v. United Liquors Corp.,75 terdapat suatu perjanjian penetapan persentase diskon yang fungsional, dan cara bagaimana konsumen diklasifikasikan dalam menentukan apakah mereka berhak atas diskon. Tindakan ini dianggap sebagai suatu hambatan harga, meskipun tidak terdapat perjanjian tentang harga dasar dari para pesaing individu yang memperhitungkan diskon. Dalam United States v. Gasoline Retailers Association,76 terjadi suatu anjuran untuk tidak mengiklankan harga, kecuali dengan harga yang tertulis di pompa bensin. Tindakan ini juga dianggap sebagai satu pembatasan harga yang bertujuan dan berpengaruh terhadap persaingan.

Kasus-kasus di atas adalah contoh yang menunjukkan, bahwa price fixing tidak selalu lahir dari suatu perjanjian yang tertulis atau jelas. Dengan demikian, hakim harus memiliki pandangan yang luas atau kepekaan yang dalam untuk mengetahui apakah telah terjadi suatu “perjanjian”, tanpa adanya bukti tertulis atau lisan. Ini merupakan salah satu kesulitan bagi hakim untuk membuktikan adanya perjanjian dalam menggunakan pendekatan per se illegal.

Dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak diatur tentang bagaimana cara membuktikan adanya suatu perjanjian. Akibatnya, berkaitan dengan perjanjian penetapan harga, apabila tidak terdapat bukti langsung yang berupa, misalnya, perjanjian tertulis atau lisan, maka KPPU tidak bisa menggunakan undang-undang tersebut.

Oleh karena itu, tepat kebijakan KPPU yang telah mengeluarkan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU No. 5 Tahun 1999. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai bukti langsung (hard evidence) dan bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Bukti tidak langsung merupakan “suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga.” Dinyatakan secara tegas bahwa bukti semacam ini bisa digunakan untuk membuktikan dugaan adanya suatu perjanjian yang tidak tertulis.

Adapun yang termasuk bukti tidak langsung adalah:


Peraturan tersebut menyatakan bahwa pembuktian terjadinya perilaku/strategi yang paralel (parallel business conduct) bukan merupakan bukti yang cukup untuk menyatakan adanya perjanjian penetapan harga. Masih dibutuhkan analisis tambahan (plus factors) untuk membedakan parallel business conduct dengan illegal agreement, seperti rasionalitas penetapan harga, analisis struktur pasar, analisis data kinerja, analisis penggunaan fasilitas kolusi (Facilitating Devices). Namun, dalam upaya pembuktian, tidak seluruh alat analisis tambahan tersebut harus digunakan. Peraturan tersebut menyatakan bahwa pembuktian terbaik adalah pembuktian dengan menggunakan baik bukti langsung maupun bukti tidak langsung. Namun, apabila sulit mendapatkan bukti langsung seharusnya digunakan bukti tidak langsung yang terbaik, yakni dengan mengkombinasikan bukti komunikasi dengan bukti ekonomi.


PENDEKATAN RULE OF REASON DAN PENERAPANNYA

Berbeda halnya dengan per se illegal, penggunaan pendekatan rule of reason mengharuskan pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap peraturan persaingan usaha. Dalam hal ini, Mahkamah Agung Amerika Serikat, umpamanya, telah menetapkan suatu standar rule of reason, yang memungkinkan pengadilan mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan menghambat proses persaingan.77

Masing-masing pola pendekatan tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan, yang mungkin dapat menjadi bahan pemikiran untuk menerapkan salah satu pendekatan terhadap tindakan pelaku usaha yang diduga melanggar undang-undang antimonopoli. Keunggulan rule of reason adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Dengan perkataan lain, apakah suatu tindakan dianggap menghambat persaingan atau mendorong persaingan, ditentukan oleh: “…economic values, that is, with the maximization of consumer want satisfaction through the most efficient allocation and use resources…”.78 Sebaliknya, jika menerapkan per se illegal, maka tindakan pelaku usaha tertentu selalu dianggap melanggar undang-undang.

Namun pendekatan rule of reason juga mengandung satu kelemahan, dan mungkin merupakan kelemahan paling utama yaitu, bahwa rule of reason yang digunakan oleh para hakim dan juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya, guna dapat menghasilkan keputusan yang rasional. Terbatasnya kemampuan dan pengalaman hakim untuk mengatasi proses litigasi yang kompleks, sering kali menimbulkan masalah sepanjang sejarah sistem pengadilan di Amerika Serikat.

Di samping itu, tidak mudah untuk membuktikan kekuatan pasar tergugat, mengingat penggugat harus menyediakan saksi ahli di bidang ekonomi, dan bukti dokumenter yang ekstensif dari para pesaing lainnya. Padahal, biasanya pihak penggugat hanya memiliki kemungkinan yang kecil untuk memenangkan perkara, sehingga sering kali pendekatan rule of reason dipandang sebagai a rule of per se legality.

Pendekatan rule of reason yang pertama diterapkan dalam Standard Oil Co. of N.J. v. United States sebagai interpretasi terhadap the Sherman Act pada tahun 1911.80 Interpretasi tersebut menghasilkan suatu premis bahwa pertimbangan hukum yang utama dalam menerapkan pendekatan tersebut adalah maksimalisasi kesejahteraan atau pemuasan kebutuhan konsumen.81 Dalam hal ini, hakim Peckham, Taft, dan White menunjukkan perhatian mereka, bahwa hukum tidak bertujuan untuk menghancurkan suatu bentuk combination perusahaan yang efisien, namun menekan bentuk kerja sama di bidang penjualan yang bermaksud mengeliminasi persaingan. Adanya unsur pemuasan kebutuhan konsumen sebagai pertimbangan utama dari hukum, mengharuskan pengadilan untuk menerapkan sebagai kriteria pokok, yakni apakah suatu perjanjian akan berdampak pada terwujudnya efisiensi, dan kemudian dapat meningkatkan produk, atau sebaliknya, akan berdampak pada pembatasan produksi.

Dalam perkara ini hakim Amerika Serikat menyatakan, bahwa alasan utama diterapkannya the Sherman Act adalah adanya akumulasi kekayaan yang amat besar di dalam perusahaan secara bersama maupun secara individual, mengakibatkan adanya kekuatan yang besar dari pengembangan yang luas, sehingga dapat mengakibatkan tekanan terhadap individu-individu perusahaan lainnya dan merugikan masyarakat secara umum. Undang-undang tersebut bermaksud, pertama, untuk menerapkan common law di negara-negara federal, yang menjamin bahwa masing-masing individu berhak melakukan perdagangan yang tidak dihambat dengan cara tidak wajar (unreasonably). Kedua adalah, bahwa masyarakat harus mendapat perlindungan dari praktik-praktik penetapan harga serta bentuk-bentuk praktik penyimpangan lainnya.84

Keputusan tersebut, ditetapkan oleh Hakim White yang bertindak sebagai Hakim Ketua, yang dulunya menolak penggunaan per se illegal dalam Trans-Missouri. Keputusan Standard Oil dengan jelas memberikan kontribusi bagi pengembangan the Sherman Act, khususnya dalam hal peranan pengadilan dan letak diskresi guna menginterpretasikan undang-undang, yakni dengan cara menerapkan suatu pendekatan yang dikenal sebagai the rule of reason.

Perkara Standard Oil bukan mengenai kartel, melainkan suatu bentuk kerja sama (combination) yang erat hubungannya dari 37 perusahaan industri minyak yang diatur dengan manajemen bersama dan dikontrol melalui suatu perusahaan induk (holding company). Kombinasi tersebut dibentuk melalui kerja sama (partnership), merger dan bentuk kombinasi lainnya, termasuk melalui pengembangan internal dari organisasi yang ada. Tindakan mereka dianggap sebagai merger atau konsolidasi yang digunakan untuk menghimpun kekuatan beberapa perusahaan yang menjalankan usahanya secara terpisah tetapi melakukan tindakan kolusif, seperti halnya pada kartel.

Namun demikian, Mahkamah Agung menemukan, bahwa bentuk kombinasi tersebut memiliki elemen komersial, merupakan bentuk lain yang paling buruk dari suatu kartel. Para tergugat melakukan potongan harga yang sifatnya merusak pasar lokal, dengan cara memaksa untuk bekerja sama, yang akhirnya bermuara pada penurunan harga secara seragam. Salah satu pertimbangan pengadilan dalam memutuskan perkara tersebut adalah:

“…it is now with much amplification or argument urged that the statute, in declaring illegal every combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce, does not mean what the language used therein plainly imports, but that it only means to declare illegal any such contract which is in unreasonable restraint of trade, while leaving all others unaffected by the provisions of the act; that the common law meaning of the term ‘contract in restraint of trade’ includes only such contracts as are in unreasonable restraint of trade; and when that term is used in the Federal statute it is not intended to include all contracts in restraint of trade, but only those which are in unreasonable restraint thereof….”


Pola perilaku dari para tergugat tersebut, oleh Mahkamah Agung dianggap bertentangan baik terhadap Pasal 1 maupun Pasal 2 the Sherman Act. Hakim White mengawali keputusannya dengan memberikan batasan pengertian tentang “…restraint of trade, attempt to monopolize, and monopolization…”. Pengertian-pengertian tersebut merupakan adopsi dari pengertian yang berasal dari common law, yang digunakan dalam pelaksanaan undang-undang antitrust. Selanjutnya, White juga mengemukakan konsep dasar tentang tujuan utama dari undang-undang antitrust di Amerika maupun di Inggris. Bagian krusial dari pandangan White menyatakan:

“…The evils which led to the public outcry against monopolies and to the final denial of the power to make them may be thus summarily stated: 1. The power which the monopoly gave to the one who enjoyed it to fix the price and thereby injure the public; 2. The power which it engendered of enabling a limitation on production; and 3. The danger of deterioration in quality of the monopolized article which it was deemed was the inevitable resultant of the monopolistic control over its production and sale…” 


Dalam hal ini White menyatakan pula, bahwa pengertian “monopoli” di Inggris biasanya selalu dihubungkan dengan tindakan-tindakan merugikan yang berasal dari pemberian Raja yang sifatnya monopolis. Oleh karena itu, akhirnya pengertian monopoli berkembang menjadi “…fear as to the evil consequences which might arise from the acts of individuals producing or tending to produce the consequences of monopoly…”.88 Dengan berfokus pada akibat dari monopoli, maka White menyatakan suatu perubahan dan perkembangan dalam memutuskan suatu perkara antitrust:

“…a modern conditions arose the trend of legislation and judicial decision came more and more to adopt the recognized restrictions to new manifestations of conduct or of dealing which it was thought justified the inference of intent to do the wrongs which it had been the purpose to prevent from the beginning…”.


Pernyataan Hakim White mengenai penggunaan rule of reason dalam perkara Standard Oil mengandung tiga pengujian, yaitu:


Ketiga pengujian ini sebaiknya lebih dipandang sebagai suatu pedoman dalam proses litigasi, daripada sebagai kriteria yang terpisah. Dalam pengertian yang luas, hanya terdapat satu pengujian, yakni adanya dampak (akibat) dari suatu perjanjian (unsur yang ke-3). Sedangkan kedua unsur lainnya, hanya merupakan jalan pintas untuk menemukan atau akibat dari perjanjian tersebut.

Pandangan ini didukung pula dengan adanya suatu anggapan, bahwa berdasarkan pertimbangan dalam keputusan Standard Oil tersebut, Mahkamah Agung Amerika Serikat telah menggabungkan sepenuhnya suatu gagasan, bahwa beberapa perjanjian harus dievaluasi berdasarkan Pasal 1 the Sherman Act dengan menggunakan standar kewajaran (reasonableness); termasuk terhadap keputusan pengadilan sebelumnya, seperti dalam Trans-Missouri, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang menghambat perdagangan adalah ilegal.

Oleh karena itu, keputusan pengadilan telah berkembang menjadi dikotomi per se illegal dan rule of reason, artinya bahwa pengadilan membagi praktik bisnis ke dalam dua bagian, yakni di satu pihak meletakkan perjanjian yang dikategorikan sebagai per se illegal. Perjanjian semacam ini, meliputi misalnya, perjanjian horisontal antara pesaing untuk menetapkan harga92 dan pembagian wilayah, di mana para pesaing sepakat untuk membagi wilayah di antara mereka.

Namun kadangkala pengadilan menentukan bahwa suatu perjanjian tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan secara per se illegal, akan diputuskan menjadi rule of reason. Contoh dalam hal ini adalah perjanjian vertikal, perjanjian non-price, di mana pemasok (supplier) melakukan perjanjian dengan pengecer (retailer) di suatu tempat dalam rantai distribusi untuk membatasi sesuatu selain harga. Untuk perjanjian tersebut pernah ditetapkan secara per se illegal.

Beberapa jenis perjanjian, seperti tying arrangement dan group boycotts, mungkin dapat diputuskan baik berdasarkan per se illegal atau rule of reason, tergantung kepada pemeriksaan awal dari suatu perjanjian. Suatu tying arrangement terjadi ketika penjual memperlakukan penjualan suatu produk tertentu (the tying product) dengan mensyaratkan pembelian produk lainnya (the tied product). Tying arrangement pada awalnya dianggap antipersaingan, didasarkan pada teori bahwa penjual telah menggunakan kekuatan pasarnya dalam tying product untuk memaksa konsumen membeli tied product. Hal ini dikenal sebagai ‘leverage theory’.

Namun demikian, leverage theory memerlukan suatu pemeriksaan yang teliti, seperti yang sering dipertanyakan para komentator mengenai apakah konsumen dapat dipaksa dalam pembelian two tied product dengan harga lebih mahal dari pada jumlah masing-masing harga produk tersebut. Oleh karena itu, pengadilan menentukan tying arrangement secara per se illegal hanya jika faktor- faktor awal tertentu telah ditetapkan, seperti:


Meskipun suatu perjanjian ditentukan dalam kategori per se illegal, namun jika penggugat dapat menetapkan alasan pembenar yang bersifat prokompetitif atas tindakannya, maka perjanjian tersebut akan diputuskan berdasar rule of reason.98 Dalam hal tertentu, Mahkamah Agung Amerika tidak menerapkan per se illegal terhadap suatu perjanjian tertentu, meskipun (perjanjian tersebut) masuk dalam kategori per se illegal, namun tetap diperlukan suatu keputusan, meskipun hal itu akan menjadi produk di tempat yang pertama.99 Mahkamah Agung Amerika juga enggan menerapkan per se illegal terhadap perjanjian yang mencakup pengaturan suatu asosiasi profesi.

Terhadap kasus group boycotts, di mana suatu perusahaan atau pelaku usaha membatasi produk, atau mengurangi pasokan barang di pasar, adalah bentuk aktivitas lain yang dipertimbangkan sebagai per se illegal.101 Namun demikian, dalam keputusan berikutnya dipertimbangkan bahwa pengadilan harus memeriksa tentang kekuatan pasar sebelum menghukum tindakan boikot tertentu.

Sekali suatu perjanjian ditetapkan secara per se illegal, maka akan dinyatakan secara otomatis sebagai ilegal, yang biasanya tanpa penyelidikan tambahan mengenai dampaknya secara ekonomis.103 Namun sebaliknya, melalui pendekatan rule of reason, dampak ekonomis dari suatu perjanjian harus ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor dan kriteria yang tertentu, seperti terdapat dalam perkara Chicago Board of Trade.104 Dalam perkara hukum yang terjadi di Amerika Serikat, terdapat evaluasi pengadilan yang berfokus pada “dampak persaingan” terhadap suatu perjanjian.

Mahkamah Agung Amerika Serikat bermaksud menjelaskan mengenai bagaimana mengevaluasi secara khusus “dampak perjanjian” terhadap persaingan melalui tiga tahapan sebagai berikut:


Dalam melakukan evaluasi mengenai kerugian kompetitif, pengadilan secara khusus akan membuat dua pemeriksaan secara terpisah, yakni, pertama, pengadilan memeriksa apakah suatu proses persaingan dirugikan oleh perjanjian tertentu; kedua, pengadilan akan memeriksa secara luas adanya kerugian tersebut.106 Dalam melakukan evaluasi tentang kerugian kompetitif, adanya penyimpangan terhadap harga dan produk di tingkat persaingan yang umum, merupakan indikasi kuat atas dampak yang bersifat antipersaingan.

Pengujian terhadap “dampak ekonomi” seperti tersebut di atas diakui oleh sementara kalangan merupakan salah satu kesulitan dari pembuktian dengan pendekatan rule of reason. Hal ini disebabkan karena hampir tidak mungkin untuk dapat menetapkan tingkat persaingan terlebih dahulu secara terpisah dari produk dan harga.108 Apalagi, terdapat suatu kenyataan, bahwa ada beberapa transaksi bisnis yang dievaluasi berdasarkan hukum antitrust sebelum secara nyata melakukan tindakan yang berdampak antikompetitif.109

Dalam mengevaluasi mengenai luasnya “kerugian kompetitif”, biasanya akan selalu ditentukan pangsa pasar (market share) pihak tergugat di pasar terkait (relevant market). Semakin tinggi pangsa pasar suatu perusahaan di pasar,110 maka semakin besar pula luasnya kerugian terhadap persaingan,111 karena pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar (market power) yang besar, akan dapat meningkatkan harga secara mudah dan memaksakan keuntungan monopoli, dengan biaya yang harus ditanggung oleh konsumen.

Jika suatu perusahaan atau pelaku usaha memiliki pangsa pasar yang tinggi, dan jika kekuatan ini digunakan untuk menetapkan harga yang lebih mahal, maka pelaku usaha akan berhasil mencapainya, paling tidak sampai terdapat pelaku usaha baru yang memasuki pasar, yang mampu menjual harga di bawah harga (monopoli) tersebut. Sebaliknya, suatu perusahaan yang hanya memiliki kekuatan pasar yang kecil, relatif tidak memiliki kemampuan untuk mengancam proses persaingan, karena jika bermaksud mencoba menetapkan harga monopoli, maka pelaku usaha lain yang memiliki pangsa besar, misalnya 90%, akan secara mudah menjual harga di bawah barang yang ditetapkan perusahaan (dengan pangsa kecil) tersebut di muka.

Dalam perkara-perkara selanjutnya, Mahkamah Agung Amerika lebih menekankan undang- undang yang berisi pengaturan komprehensif mengenai kebebasan ekonomi yang ditujukan kepada suatu persaingan bebas dan tidak mengikat, artinya adalah suatu peraturan yang menjamin kesetaraan dalam kesempatan berusaha, dan melindungi masyarakat, serta menjamin kebebasan untuk bersaing terhadap masing-masing pelaku bisnis, dengan tidak memandang besar-kecilnya skala perusahaan tersebut.

Mahkamah Agung Amerika juga berusaha menempuh pendekatan the rule of reason dalam menerapkan prinsip-prinsip the Sherman Act terhadap adanya dugaan pembatasan dalam perdagangan untuk perkara yang lain, guna menentukan tujuan utama dari pembatasan perdagangan serta pengaruh yang timbul dari pembatasan tersebut sebagai tindakan yang sah (lawful) atau tidak sah (unlawful)

The rule of reason merupakan ‘standar’ yang membolehkan pengadilan untuk menilai ketidakjelasan atau tingkatan-tingkatan dari pengaruh persaingan. Dalam menerapkan suatu standard of reason untuk menilai suatu kesepakatan terlarang yang dinyatakan sebagai hambatan dalam perdagangan, dapat dikaji antara lain melalui tujuan dari kesepakatan tersebut, karakter (misalnya kekuatan) dari para pihak, dan akibat penting yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.116 Meskipun pada akhirnya Mahkamah Agung Amerika menggunakan pendekatan rule of reason yang fleksibel, yang menentukan bahwa suatu undang-undang hanya menghukum perilaku yang unreasonable, namun belum terdapat standar yang jelas untuk menilai hal ini.

Penerapan the rule of reason merupakan pilihan yang tepat dalam melakukan penyelidikan. Analisis diperlukan untuk menentukan praktik tertentu yang menghambat atau mendorong persaingan, atau apabila terdapat tendensi keduanya, maka pengadilan akan mengambil langkah-langkah yang pengaruhnya paling menguntungkan (efisien) bagi masyarakat secara luas. Pendekatan tersebut juga kaya akan implikasi mengenai jenis-jenis analisis yang dibutuhkan untuk menjawab

permasalahan, seperti dalam Chicago Board of Trade v. United States, di mana Hakim Brandeis menjelaskan secara rinci mengenai permasalahan reasonableness yang sebelumnya tidak terpecahkan. Dalam perkara tersebut hakim menyatakan antara lain, bahwa penyelidikan berdasarkan rule of reason adalah berkenaan dengan apakah perjanjian yang digugat merupakan sesuatu yang memajukan persaingan atau bersifat menghilangkan persaingan.

Chicago Board of Trade v. United States melibatkan suatu badan perdagangan terkemuka yang berskala nasional, meliputi para pedagang produk biji-bijian, pedagang perantara, dan pihak lainnya. Badan tersebut memiliki aturan-aturan, yang mengatur Spot Sales, yaitu transaksi penjualan produk yang diantar secara langsung melalui pesanan di wilayah Chicago; Future Sales, yakni kontrak penjualan yang mengharuskan penjual mengantarkan produk di kemudian hari atau di bulan yang tertentu; dan sales “to arrive”, yaitu suatu perjanjian untuk mengantar produk biji-bijian dalam perjalanan yang siap transit ke Chicago atau akan dikapalkan dalam waktu yang tertentu. Kedua transaksi pertama (spot dan future) dibuka pada waktu yang sama, disebut dengan sesi reguler, yang berjalan antara pukul 9.30’ sampai dengan pukul 13.30’, kecuali hari Sabtu hanya sampai dengan pukul 12.00’. Di samping itu, terdapat sesi khusus disebut dengan call dalam transaksi sales “to arrive”, yang dilakukan segera setelah selesainya sesi reguler. Sesi ini tidak dibatasi waktunya, namun biasanya berlangsung selama setengah jam. Para anggota dapat melakukan transaksi satu sama lain secara bebas baik selama berlangsungnya atau tidak sesi-sesi tersebut, bahkan dapat dilakukan sampai tengah malam.

Namun pada tahun 1906, badan tersebut membuat aturan transaksi call yang melarang para anggota untuk membeli atau menawarkan pembelian di sesi to arrive dengan harga berbeda dengan saat penutupan sesi call terakhir di hari yang sama. Badan tersebut beralasan, bahwa tujuan dan pengaruh aturan tersebut sangat bermanfaat, karena membatasi waktu perdagangan, mengurangi kekuatan pasar dari beberapa tengkulak atau pedagang yang mencoba meraih keuntungan perdagangan di malam hari, dan membuat pasar perdagangan di siang hari menjadi lebih sempurna. Pemerintah menyatakan bahwa peraturan ini bertentangan dengan Pasal 1 the Sherman Act. Pendapat pemerintah tersebut ditolak oleh Hakim Brandeis di tingkat Mahkamah Agung. Meskipun Hakim Brandeis mengakui bahwa pengaturan tesebut merupakan tindakan bersama yang mengandung sanksi komersial serta penetapan harga transaksi di luar jam kerja, namun rencana tersebut lebih cenderung dimaksudkan untuk menetapkan ‘waktu transaksi’ daripada menetapkan harga itu sendiri. Penetapan ‘waktu transaksi’ tersebut merupakan tujuan dan dampak yang riil dalam transaksi produk tersebut.

Alasan Hakim Brandeis menolak keputusan pengadilan bawahan tersebut mengandung pernyataan the rule of reason, yakni sebagai berikut:

“…the legality of an agreement or regulation cannot be determined by so simple a test, as whether it restrains competition. Every agreement concerning trade, every regulation of trade, restrains. To bind, to restrain, is of their very essence. The true test of legality of whether the restraint imposed is such as merely regulates and perhaps thereby promotes competition or whether it is such as may suppress or even destroy competition. To determine that question the court must ordinarily consider the facts peculiar to the business…; its condition before and after the restraint was imposed; the nature of the restraint and its effect, actual and probable. The history of the restraint, the evil believed to exist, the reason for adopting the particular remedy, the purpose or end sought to be attained, are all relevant facts. This is not because good intention will save an achieved objectionable regulation or the reverse; but because knowledge of intent may help the court to interpret facts and to predict consequences…”.


Berdasarkan berbagai pertimbangan alasan yang meliputi syarat, sifat, sejarah, dampak dan tujuan dari pembatasan yang dilakukan oleh Board of Trade, maka Hakim Brandeis menolak keputusan pengadilan banding, karena pengaturan tersebut tidak bertujuan untuk membatasi persaingan.

Beberapa contoh kasus di atas menyiratkan pada suatu pemahaman, bahwa penerapan pendekatan rule of reason harus melalui prosedur pembuktian yang diawali dengan menentukan definisi pasar bersangkutan (relevant market). Semua perhitungan, penilaian, dan keputusan tentang implikasi persaingan akibat perilaku apa pun tergantung pada ukuran (pangsa) pasar dan bentuk pasar bersangkutan (the relevant market).123 Dalam suatu kasus yang menyangkut, misalnya, penyalahgunaan posisi dominan, jika pasar yang didefinisikan adalah kecil, dan perusahaan yang berada dalam pengawasan memiliki pangsa (pasar) yang lebih besar pada pasar tersebut, maka perusahaan tersebut dianggap sebagai dominan. Dan bila hal ini berkaitan dengan merger, maka pasar terkait dapat meliputi perusahaan-perusahaan yang melakukan merger, di mana terdapat adanya indikasi hambatan atau kerugian dalam persaingan.

Suatu pasar memiliki dua komponen, yakni pasar produk dan pasar geografis. Pasar produk menguraikan mengenai barang atau jasa yang diperjualbelikan. Sedangkan pasar geografis menguraikan lokasi produsen atau penjual produk. Proses pendefinisian terhadap kedua komponen pasar ini memiliki kesamaan, dan tugas penyelidik adalah meliputi semua produk pengganti (close substitutes) dan atau sumber penawaran produk yang sedang diselidiki. Fase ini dimaksud untuk menentukan sampai di mana pembeli (konsumen) dapat beralih ke produk pengganti atau tempat (sumber) penawaran lainnya.

Oleh karena itu, dalam menentukan pasar produk, terdapat tiga hal pokok yang perlu dianalisis, yakni adanya kenaikan harga, adanya reaksi pembeli, dan prinsip pasar terkecil. Kenaikan harga tersebut adalah kecil namun signifikan. Amerika Serikat dan Kanada menggunakan angka 5% untuk menentukan “kecil dan signifikan”124 tersebut. Kenaikan harga tersebut harus dapat membuat sebagian (meskipun kecil) pembeli beralih ke produk pengganti. Sedangkan prinsip pasar terkecil dimaksudkan untuk mencegah terbentuknya pasar yang bermacam-macam dan luas, sehingga dapat menyulitkan deteksi serta mengaburkan kegiatan antipersaingan tersebut.

Dalam praktiknya, kadangkala terdapat kesulitan untuk menentukan pengganti dekat (close substitutes), misalnya menentukan produk pengganti dari pembungkus jenis cellophane, apakah dapat digantikan dengan bahan pembungkus lainnya, seperti waxed paper, plain, aluminium foil, saran wrap, dan sebagainya?125 Dalam kasus serupa dikemukakan juga, apakah teh merupakan produk pengganti bagi air soda sebagai bahan pembuat soft drink?

 

Sedangkan pasar geografis didefinisikan menurut pandangan pembeli tentang ketersediaan produk pengganti yang dibuat atau dijual di berbagai lokasi. Bila pembeli suatu produk di satu lokasi harus beralih untuk membeli produk sejenis di lokasi lain, misalnya, sebagai reaksi kenaikan harga, maka kedua lokasi tersebut dianggap berada di pasar geografis yang sama. Sebaliknya, bila tidak, maka kedua lokasi tersebut berada di pasar geografis yang berbeda. Pasar geografis biasanya ditentukan dalam batas-batas, antara lain, adalah biaya angkutan, waktu angkutan, tarif, dan peraturan. Terdapat pandangan yang menyatakan, bahwa jangkauan iklan juga menentukan batas pasar geografis. Penentuan pasar ini akan terlihat jelas pada jenis produk yang “berat namun bernilai rendah”, seperti kerikil atau pasir. Biaya angkutan pasir dari tempat jauh akan jauh lebih mahal daripada dari jarak dekat.

Penentuan atas definisi pasar tersebut dapat dijadikan alasan untuk melakukan penilaian, mengenai apakah perbuatan pelaku usaha yang diselidiki berakibat menghambat atau bahkan mematikan pesaing di pasar terkait. Dalam beberapa keputusannya, KPPU melakukan penyelidikan atas perkara-perkara tertentu dengan pendekatan rule of reason, antara lain adalah perkara tentang Cineplex 21 dengan Putusan No.: 05/KPPU-L/2002.


Kasus III.6

Perkara ini melibatkan beberapa terlapor yang merupakan Group 21, yaitu: PT Camila Internusa Film (terlapor I), PT Satrya Perkasa Esthetika Film (terlapor II), dan PT Nusantara Sejahtera Raya (terlapor III). Pihak pelapor dalam suratnya tertanggal 5 Juli 2002 menyatakan, bahwa pada pokoknya pihak terlapor, antara lain, diduga telah melakukan praktik monopoli dan penyalahgunaan posisi dominan di bidang distribusi film-film dari major companies yang diberikan oleh pihak MPA (distributor film-film Hollywood: 20 Century Fox, Universal Studio, Warner Bross, Buena Vista International Touch Town dan Columbia Tri Star). Di samping itu, mereka diduga melakukan penguasaan saham mayoritas pada industri sejenis, sehingga secara berturut-turut dianggap melanggar ketentuan Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999.

Pemeriksaan Komisi meliputi pasar produk, yakni jasa penayangan film-film dari major companies, dan pasar geografis yang meliputi Studio 21 yang tersebar di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi (Jabotabek), dan kota-kota besar lainnya, seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Denpasar, dan Makassar. Dalam perkara ini, KPPU memutuskan, bahwa para terlapor (terutama terlapor I dan II), dianggap menghalangi konsumen untuk memperoleh jasa penayangan film dengan cara bersaing secara sehat, atau membatasi pasar atau menghambat pelaku usaha bioskop lain, yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Hasil penyelidikan KPPU menyimpulkan, bahwa mereka tidak melanggar Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999, karena meskipun menguasai distribusi film impor MPA, tetapi penguasaan itu kurang dari 50% dari seluruh film impor pada tahun 2001 dan 2002. Alasan yang sama juga digunakan sebagai pembuktian, bahwa para Terlapor tidak melanggar ketentuan Pasal 25 tentang posisi dominan. Satu- satunya dugaan yang terbukti adalah mengenai kepemilikan saham mayoritas di beberapa perusahaan perbioskopan di pasar terkait, sehingga salah satu terlapor dianggap melanggar Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999.

Perkara lain yang telah diputuskan KPPU dengan menggunakan pendekatan rule of reason adalah tentang penguasaan pasar dan penyalahgunaan posisi dominan dalam penjualan batu bateri yang diproduksi PT Artha Boga Cemerlang (ABC).


Kasus III.7

Untuk menentukan pasar bersangkutan dalam perkara tersebut, Komisi menetapkan PGK sebagai pasar produk yang meliputi wilayah (geografis) Jawa dan Bali. Penentuan pasar bersangkutan didahului dengan menghitung pangsa pasar, di mana ABC memiliki pangsa sebesar 88,73%. Melalui posisi dominannya, ABC melakukan abuse dengan cara melakukan PGK untuk menyingkirkan pesaingnya.

Perkara lain yang diperiksa dengan menentukan pasar bersangkutan adalah Perkara No. 28/KPPU-I/2007 yakni pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tentang praktik monopoli, pembagian dan penguasaan pasar oleh sekelompok pelaku usaha yang tergabung dalam koperasi- koperasi di beberapa wilayah pelabuhan dan bandar udara Hang Nadim, Batam.

 

Kasus III.8

Guna menerapkan pendekatan rule of reason dalam perkara tersebut, Komisi membagi menjadi 8 (delapan) wilayah pasar bersangkutan, dengan 1 wilayah bandara dan 7 wilayah pelabuhan yang diperlakukan sebagai wilayah pasar geografis. Sedangkan pasar produk dari perkara ini adalah jasa layana taksi. Putusan KPPU menyatakan, bahwa terdapat pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang penetapan harga pada Bandara Hang Nadim, Pelabuhan Internasional Sekupang, Marina City dan Harbour Bay. Selain itu terdapat pelanggaran Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 tentang pembagian wilayah di bandara Hang Nadim, Pelabuhan-pelabuhan Internasional Sekupang, Domestik Sekupang, Batam Center, Telaga Punggur, Domestik Sekupang, Marina City, dan Nongsa Pura. Adapun pelanggaran atas Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 tentang monopoli dilakukan oleh Koperasi Karyawan Otorita Batam di bandara Hang Nadim. Sementara hampir semua wilayah pelabuhan dan bandara melakukan pelanggaran atas Pasal 19 huruf a dan huruf d UU No. 5 Tahun 1999.

Putusan KPPU lain yang menggunakan pendekatan rule of reason adalah putusan pada perkara tentang kartel daging sapi impor pada tahun 2015 sebagai berikut:


Kasus III.9

Dalam perkara tersebut, KPPU telah menggunakan pendekatan rule of reason dengan menganalisis pasar produk dan pasar geografis dan kemudian menganalisis dampak negatif dari kartel tersebut. Karena dampak negatifnya terbukti maka KPPU memutuskan bahwa para Terlapor telah melanggar Pasal 11 yang melarang kartel.

Di dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Kartel (Pedoman Pasal 11), dijelaskan bagaimana penerapan rule of reason. Menurut peraturan ini, harus dilakukan pemeriksaan secara mendalam tentang alasan-alasan mengapa para pelaku usaha terlapor membuat kartel. KPPU harus memeriksa apakah alasan-alasan para pelaku usaha membuat kartel ini dapat diterima (reasonable restraint).

KPPU harus mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

 

Dalam perkara kartel daging sapi impor tersebut, KPPU dalam menggunakan pendekatan rule of reason tentunya telah mengikuti pedoman dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tersebut. Ternyata terbukti bahwa kartel tersebut berdampak negatif sehingga para Terlapor dinyatakan telah melanggar Pasal 11 yang melarang kartel.


PENERAPAN PER SE ILLEGAL ATAU RULE OF REASON SECARA ALTERNATIF

Mengingat perbedaan metode pendekatan antara per se illegal dan the rule of reason demikian ekstrim, maka untuk selanjutnya, sebagian besar keputusan pengadilan menempatkan posisi di antara kedua pandangan tersebut. Meskipun kebanyakan keputusan pengadilan dan para pengamat berasumsi, bahwa pendekatan per se illegal serta rule of reason merupakan standar yang saling berlawanan untuk melakukan analisis antitrust, namun dalam kenyataannya mereka menganggap, bahwa keduanya merupakan satu kesatuan.

Artinya, bahwa dalam satu kasus tertentu, pengadilan akan menetapkan keputusan dilandasi pendekatan metode rule of reason, tetapi dalam kasus yang sejenis lainnya digunakan pendekatan per se illegal, atau bahkan secara bersamaan akan digunakan kedua pendekatan tersebut. Walaupun ada perbedaan yang jelas antara per se illegal dan rule of reason, tetapi keduanya bisa saling melengkapi dan tidak merupakan inkonsistensi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penggunaan pendekatan per se illegal lebih singkat dari pada rule of reason.

Mengingat tidak terdapat kejelasan mengenai kapan akan diterapkan pendekatan rule of reason atau per se illegal, karena tidak semua perilaku yang bersifat membatasi (restrictive conduct) secara inheren bersifat antipersaingan, maka guna mengatasi hal ini, pengadilan menggunakan kewenangannya untuk lebih memilih pendekatan yang satu daripada yang lain, berdasarkan pertimbangan kasus demi kasus. Namun demikian, sampai saat ini masih terdapat kesulitan untuk menerima semua preseden yang ada, karena tidak adanya konsistensi dalam keputusan pengadilan, mengingat sebagian besar hukum antitrust merupakan keputusan hakim yang dihasilkan dari interpretasi terhadap undang-undang.

Guna menentukan pilihan terhadap kedua pendekatan tersebut, maka terdapat petunjuk untuk menentukan penerapan salah satu dari kedua analisis tersebut. Namun demikian, pedoman tersebut dinilai oleh sementara kalangan tidak terlalu akurat, karena Mahkamah Agung Amerika Serikat secara kontinu dianggap masih selalu ‘bergulat’ dengan masalah karakterisasi atas kedua pendekatan tersebut.

Pedoman tersebut meliputi antara lain beberapa pertimbangan, yaitu:


UU No. 5 Tahun 1999 seperti halnya undang-undang persaingan pada umumnya, memberikan alternatif di antara dua metode pendekatan yang ekstrim untuk menilai tindakan pelaku usaha. Dua pendekatan tersebut adalah per se illegal dan rule of reason. Per se illegal adalah suatu metode pendekatan yang menganggap tindakan tertentu sebagai ilegal, tanpa menyelidiki lebih lanjut mengenai dampak tindakan tersebut terhadap persaingan. Sedangkan rule of reason adalah suatu pendekatan yang menggunakan analisis pasar serta dampaknya terhadap persaingan, sebelum dinyatakan sebagai melanggar undang-undang.

Penentuan penggunaan salah satu pendekatan tersebut tidak semata-mata tergantung pada bunyi kata-kata dalam ketentuan undang-undang yang menyatakan, misalnya kata “dilarang” berarti menggunakan pendekatan per se illegal; sedangkan kata-kata “patut diduga” atau “yang dapat mengakibatkan” berarti menggunakan pendekatan rule of reason. Hal ini mengingat adanya ketentuan Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan, bahwa tugas KPPU adalah menilai semua perjanjian maupun kegiatan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, KPPU memiliki kewenangan untuk menggunakan secara alternatif salah satu dari kedua pendekatan yang berbeda secara ekstrim tersebut.

Dalam menentukan salah satu dari dua pendekatan tersebut KPPU mendasarkan pada praktik yang dianggap paling baik (best practice) untuk menilai suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, dengan tetap berpedoman pada tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999, yang antara lain, adalah efisiensi dan kesejahteraan konsumen.