MEMAHAMI PERJANJIAN 1
Bunga Dalam Perjanjian
Dalam hukum perdata dikenal tiga macam prestasi yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Apabila si Debitur tidak melaksanakan prestasi, maka si Debitur dapat dinyatakan wanprestasi oleh Kreditur. Debitur yang wanprestasi wajib memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga sebagaimanadiatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1239 KUHPerdata.
Pengantian biaya, kerugian, atau bunga oleh debitur harus dibuktikan dengan adanya kelalaian seorang debitur dalam hal ini mengenai keterlambatan pembayaran, seorang debitur barulah menjadi wajib untuk membayarkan sebuah ganti biaya, rugi, dan bunga apabila dirinya telah dinyatakan lalai.Demikian sebagaimana diatur Pasal 1243 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”
Pernyataan lalainya seorang Debitur harus dibuktikan dengan surat perintah seperti surat peringatan pembayaran atau surat sejenis lainnya, sebagaimana Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Untuk mengetahui lebih khusus mengenai pemenuhan Bunga oleh Debitur, mari kita telaah tiga jenis bunga dalam hukum Indonesia. Sebagaimana dikutip daribuku Hukum Perikatan yang ditulis oleh J.Satrio, ada tiga jenis bunga yaitu:
1. Bunga Moratoir, yaitu bunga yang terhutang karena Debitur terlambat memenuhi kewajiban membayar sejumlah uang;
2. Bunga Konventional, yaitu bunga yang disepakati para pihak; dan
3. Bunga Kompensatoir, yaitu semua bunga, di luar bunga yang diperjanjikan.
Berdasarkan pengertian di atas Bunga Moratoir merupakan Bunga Kompensatoir, sehingga dalam pengertiannya terdapat Bunga Moratoir Kompensatoir, Bunga Konventional dan Bunga Kompensatoir bukan Moratoir, berikut penjelasan dan perbedaan dari 3 hal tersebut.
A. Bunga Moratoir Kompensatoir
Bunga Moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang, sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Hal ini diatur khusus pada Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan:
“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atasbunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.”
Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar 6% (enam) persen setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No. 22.
Pada prinsipnya, Bunga Moratoir ini tidak perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur, namun untuk pengenaan Bunga Moratoir hanya harus dibayar terhitung mulai dari diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-halyang mana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum.Demikian ketentuan Pasal 1250 paragraf (3) KUHPerdata.
Kesimpulan dari Bunga Moratoir adalah bunga yang diharapkan menjadi keuntungan atas akibat kelalaian pelaksanaan suatu prestasi Debitur, menjadi Kompensatoir apabila bunga tersebut menjadi pengganti kerugian sehingga menjadi bersifat kompensatoir.
B. Bunga Konventional
Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Bunga ini diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena disepakati oleh para pihak dan karenanya mengikat para pihak. Hal ini didasari pada asas kebebasan berkontrak yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini timbulberdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat ditentukan bersama oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran bunga menurut undang-undang.
Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam bentuk tertulis. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipan Pasal 1767 KUHPerdata:
“…Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang. Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis.”
C. Bunga Kompensatoir Bukan Moratoir
Bunga Kompensatoir adalah semua bunga yang bukan Bunga Konvensional dan bukan Bunga Moratoir. Yang membedakan antara Bunga Kompensatoir dengan Bunga Moratoir adalah kepentingan perlunya pembuktian atas kerugian. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian A, Bunga Moratoir tidak perlu dibuktikan adanya kerugian oleh Kreditur. Sedangkan, untuk Bunga Kompensatoir bukan Moratoir harus ada kerugian riil atau dianggap ada. Bunga Kompensatoir ini pada dasarnya diberikan untuk mengganti kerugian atau pembayaran bunga-bunga yang telah dikeluarkan oleh Kreditur sebagai akibat dari wansprestasinya debitur.
Menjawab pertanyaan tentang bunga atas keterlambatan atau penundaan pembayaran, dengan tidak ada surat pernyataan atas pengenaan bunga tersebut, kami mengasumsikan bahwa perjanjian jual-beli di antara para penjual dan pembeli tidak mencantumkan bunga sebagai salah satu prasyarat pengganti kerugian atas keterlambatan pembayaran. Sehingga, dapat dipastikan dalam hal ini, Bunga yang dikenakan bukanlah Bunga Konservatoir, melainkan kemungkinannya adalah Bunga Moratoir Kompensatoir, atau Bunga Kompensatoir bukan Bunga Moratoir.
Untuk menelaah lebih dalam lagi, perlu diketahui apakah Kreditur dalam meminta bunga dari debitur karena timbulnya kerugian yang riil akibat kelalaian tersebut,atau kerugian itu karena semata-mata keuntungan yang diharapkan oleh Kreditur.
Apabila ternyata kerugian adalah suatu pengharapan keuntungan dari Kreditur (opportunity loss), maka Bunga Moratoir lah yang mungkin dikenakan kepada Debitur. Namun, untuk meminta Bunga Moratoir tersebut perlu suatu putusan dari Pengadilan.
Sedangkan apabila Bunga Kompensatoir, Kreditur harus benar-benar membuktikan telah terjadi kerugian terhadapnya akibat lalainya Debitur, sehingga penggantian kerugian tersebut dapat diberikan kepada Kreditur.
Kesimpulannya, setiap tidak dilaksanakannya suatu prestasi oleh Debitur, atau dalam hal ini tidak melakukan pembayaran/keterlambatan melakukan pembayaran sebagaimana permasalahan yang dipertanyakan, maka Debitur dapat dikenakan penggantian biaya, kerugian, dan bunga oleh Kreditur.
Namun, mengingat tidak disepakati mengenai besarnya bunga atas keterlambatan pembayaran tersebut, maka Kreditur tidak dapat meminta penggantian bunga kompensatoir tanpa kejelasan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa benar-benar terjadi suatu keadaan lalainya Debitur yang tidak melakukan pembayaran/atau terlambatnya pembayaran dengan lewatnya waktu yang telah ditetapkan,
Adanya suatu surat perintah pembayaran, disertai dengan informasi kerugian riil yang diderita oleh Kreditur untuk meminta suatu bunga sebagai penggantian kerugian (Kompensatoir) akibat kelalaian Debitur.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad No. 23 Tahun 1847).
Cara Menafsirkan Perjanjian
Suatu perjanjian terbentuk karena adanya pernyataan kehendak dari para pihak dan tercapai kata sepakat di antara mereka yang kemudian dituangkan dalam bentuk kata-kata lisan atau tulisan, sikap, maupun tindakan.1 Belum tentu pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian memiliki pola pikir yang sama. Penafsiran perjanjian sangat diperlukan apabila para pihak memiliki pola pikir yang saling bertentangan. Karena apabila mereka bersikukuh terhadap pola pikirnya masing-masing, perjanjian tersebut akan menjadi sulit untuk dilaksanakan.
Menurut Asser dan Hartkamp, penafsiran perjanjian adalah: menentukan pengertian dari pernyataan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih; pemaknaan tersebut mempunyai hubungan dengan keadaan dari suatu peristiwa nyata yang berkaitan dengan dan karenanya menentukan apa akibat hukum yang muncul dari pernyataan-pernyataan tersebut.2
Sebenarnya, tidak ada kata-kata yang terdapat dalam suatu perjanjian yang dengan sendirinya jelas. Arti suatu kata barulah jelas setelah ditafsirkan.3 Namun sebagian besar perjanjian yang terdapat di dalam masyarakat adalah perjanjian yang bersifat sederhana. Sehingga proses penafsiran berjalan dengan sendirinya, tanpa diperlukan perhatian khusus. Penafsiran perjanjian menjadi penting apabila isi dari perjanjian menimbulkan keraguan bagi salah satu atau seluruh pihak yang terlibat dalam perjanjian.4
Lalu siapakah yang memiliki kewajiban untuk melakukan penafsiran terhadap suatu perjanjian? Yang pertama kali harus melakukan penafsiran terhadap suatu perjanjian adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, maka hakimlah yang bertugas untuk membantu para pihak dalam menafsirkan perjanjian yang telah mereka buat.5
Ketentuan-ketentuan mengenai penafsiran perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1342 – Pasal 1351 KUH Perdata yang menentukan sebagai berikut:
Apabila kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (Pasal 1342 KUH Perdata);
Apabila kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus diselidiki maksud maksud para pihak yang membuat perjanjian tersebut, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf (Pasal 1343 KUH Perdata);
Apabila suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji tersebut dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan (Pasal 1344 KUH Perdata);
Apabila kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selarang sengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUH Perdata);
Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat dimana perjanjian telah dibuat (Pasal 1346 KUH Perdata);
Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan (Pasal 1347 KUH Perdata);
Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya (Pasal 1348 KUH Perdata);
Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian mereka yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengakibatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata);
Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu perjanjian disusun, namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian (Pasal 1350 KUH Perdata);
Jika seorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan perjanjian menurut hukum dan hal-hal yang tidak dinyatakan (Pasal 1351 KUH Perdata).6
Referensi:
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, Hlm. 123.
Ibid., Hlm. 130-131.
Ibid., Hlm. 129.
Ibid., Hlm. 130.
Ibid., Hlm. 123-124.
Burgerlijk Wetboek diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
Hubungi Kami
Kantor Advokat dan Konsultan Hukum
Himawan Dwiatmodjo & Rekan
Jl. Rawa Kuning, Pulogebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Email: lawyerhdp@gmail.com
Telepon/Pesan Teks: +62895-4032-43447