KEADILAN RESTORATIF
DHPLAWYER ADVOKAT & KONSULTAN HUKUM
Peristilahan
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. (Pasal 1 angka 1 Perkejaksaan 15/2020)
Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator, sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban, dan penuntut umum. (Angka 2 huruf f SE Kapolri 8/2018)
Prinsip
Bahwa prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator, sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban dan penuntut umum. (Angka 2 huruf f SE Kapolri 8/2018)
Pada Tingkat Penyidikan
Syarat materiil
Meliputi: [Pasal 12 huruf a Perkapolri 6/2019 jo. Angka 3 huruf a SE Kapolri 8/2018]
tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
tidak berdampak konflik sosial;
adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
prinsip pembatas:
a. pada pelaku:
tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan; dan
pelaku bukan residivis;
b. pada tindak pidana dalam proses:
penyelidikan; dan
penyidikan, sebelum Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dikirim ke Penuntut Umum;
Syarat formil
Meliputi: [Pasal 12 huruf b Perkapolri 6/2019 jo. Angka 3 huruf b SE Kapolri 8/2018]
surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;
berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif;
pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi; dan
semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.
Jika perkara pidana yang melibatkan seseorang memenuhi syarat-syarat di atas, maka perkara pidana tersebut dapat diselesaikan berdasarkan mekanisme penerapan keadilan restoratif.
Penerapan Keadilan Restoratif
Pedoman mekanisme penerapan keadilan restoratif (restorative justice) adalah sebagai berikut: [Angka 3 huruf c SE Kapolri 8/2018]
setelah menerima permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor) yang ditandatangani di atas meterai, dilakukan penelitian administrasi syarat formil penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif (restorative justice);
permohonan perdamaian setelah persyaratan formil terpenuhi diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan;
setelah permohonan disetujui oleh atasan penyidik (Kabareskrim/Kapolda/Kapolres), kemudian ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian;
pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani semua pihak yang terlibat;
membuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker perihal permohonan dilaksanakan gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian perkara;
melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh penyidik, penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pemerintahan bila diperlukan;
menyusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil gelar perkara;
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dengan alasan restorative justice;
untuk perkara pada tahap penyelidikan, penyelidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan yang ditandatangani oleh:
Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri;
Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Polda;
Kapolres, pada tingkat Polres dan Polsek;
untuk perkara pada tahap penyidikan, penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan, yang ditandatangani oleh:
Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri;
Direktur Reserse Kriminal, pada tingkat Polda;
Kapolres, pada tingkat Polres dan Polsek;
mencatat ke dalam buku register baru B-19 sebagai perkara keadilan restoratif (restorative justice) dihitung sebagai penyelesaian perkara.
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Azas yang digunakan
Adapun azas yang digunakan dalam penghentian penuntutan dalan keadilan restoratif ini yaitu:
keadilan;
kepentingan umum;
proporsionalitas;
pidana sebagai jalan terakhir; dan
cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum dalam hal:
terdakwa meninggal dunia;
kadaluwarsa penuntutan pidana;
telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);
pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali; atau
telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Penyelesaikan perkara diluar pengadilan oleh penuntut umum dapat dilakukan dengan ketentuan : (Pasal 3 ayat (3) )
untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; atau
telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif
Memperhatikan
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan: (Pasal 4 ayat (1)
kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi;
penghindaran stigma negatif;
penghindaran pembalasan;
respon dan keharmonisan masyarakat; dan
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum
Mempertimbangkan
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan mempertimbangkan: (Pasal 4 ayat (2)
subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana;
latar belakang terjadinyajdilakukannya tindak pidana;
tingkat ketercelaan;
kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;
cost and benefit penanganan perkara;
pemulihan kembali pada keadaan semula; dan
adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.
Syarat
Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut: (Pasal 3 ayat (1)
tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud angka 1 disertai dengan salah satu angka 2 atau angka 3.
tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah)
Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.
Dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan angka 1 dan 2 dapat dikecualikan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal terdapat kriteria/keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:
telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;
mengganti kerugian Korban;
mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
masyarakat merespon positif.
Dalam hal disepakati Korban dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan
Pengecualian Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:
tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, Negara sahabat, kepala Negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
tindak pidana narkotika;
tindak pidana lingkungan hidup; dan
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Tata Cara Perdamaian
terdapat dalam pasal 7 sampai dengan pasal 14 Perja No. 15 tahun 2020, sebagai berikut:
Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka.
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua)
Untuk keperluan upaya perdamaian, Penuntut Umum melakukan pemanggilan terhadap Korban secara sah dan patut dengan menyebutkan alasan pemanggilan.
Dalam hal dianggap perlu upaya perdamaian dapat melibatkan keluaga Korban/Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.
Penuntut Umum memberitahukan maksud dan tujuan serta hak dan kewajiban Korban dan Tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian.
Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka dilanjutkan dengan proses perdamaian.
Setelah upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka, Penuntut Umum membuat laporan upaya perdamaian diterima kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan Negeri untuk diteruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari pimpinan dan masyarakat, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) juga disampaikan kepada Jaksa Agung secara berjenjang.
Dalam hal upaya perdamaian ditolak oleh Korban dan/atau Tersangka maka Penuntut Umum:
menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita acara;
membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan
melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Dalam proses perdamaian Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator. (3) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak mempunyai kepentingan atau keterkaitan dengan perkara, Korban, maupun Tersangka, baik secara pribadi maupun profesi, langsung maupun tidak langsung.
Proses perdamaian dilaksanakan di kantor Kejaksaan kecuali terdapat kondisi atau keadaan yang tidak memungkinkan karena alasan keamanan, kesehatan, atau kondisi geografis, proses perdamaian dapat dilaksanakan di kantor pemerintah atau tempat lain yang disepakati dengan surat perintah dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri.
Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua).
Perdamaian Tercapai
Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis di hadapan Penuntut Umum.
Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau
Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan kewajiban, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat setelah pemenuhan kewajiban dilakukan.
sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.
Dalam hal kesepakatan perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.
Kesepakatan perdamaian tersebut ditandatangani oleh Korban, Tersangka, dan 2 (dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum.
Kesepakatan Perdamaian Tidak Tercapai
Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesual kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:
menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita acara;
membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan
melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil karena permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak proporsional, ancaman atau intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau pelecehan berdasarkan kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan.
Pertimbangan diatas juga berlaku dalam hal pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian karena faktor ekonomi atau alasan lain yang disertai dengan itikad baik dari Tersangka.
Pertimbangan berupa:
pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat;
keadaan yang meringankan dalam pengaJuan tuntutan pidana; dan/atau
pengajuan tuntutan pidana dengan syarat. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, dengan tetap memperhatikan Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.
Kesepakatan Perdamaian Tercapai dan Disetujui (Pasal 12)
Dalam hal kesepakatan perdamaian tercapai, Penuntut Umum melaporkan kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.
Berdasarkan laporan Penuntut Umum, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri meminta persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Permintaan persetujuan disampaikan dalam waktu paling lama 1 (satu) hari setelah kesepakatan perdamaian tercapai.
Kepala Kejaksaan Tinggi menentukan sikap menyetujui atau menolak penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif secara tertulis dengan disertai pertimbangan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permintaan diterima.
Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari plmplnan, Kepala Kejaksaan Tinggi meminta persetujuan kepada Jaksa Agung dengan tetap memperhatikan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri selaku Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari sejak persetujuan diterima.
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat alasan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sekaligus menetapkan status barang bukti dalam perkara tindak pidana dimaksud.
Penetapan status barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicatat dalam Register Perkara Tahap Penuntutan dan Register Penghentian Penuntutan dan Penyampingan Perkara demi Kepentingan Umum.
Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menolak penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Proses perdamaian terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi
Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi dari Korban, Tersangka, dan/atau pihak lain, Penuntut Umum menghentikan upaya perdamaian atau proses perdamaian.
Penghentian upaya perdamaian atau proses perdamaian sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan Penuntut Umum dengan:
menuangkan tidak tercapai upaya perdamaian atau proses perdamaian dalam berita acara;
membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan
melimpahkan berkas perkara ke pengadilan
Dalam hal kesepakatan perdamaian dibuat pada tahap penyidikan dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dengan memenuhi syarat dan tata cara perdamaian sebagaimana diatur dalam peraturan ini.
Penahanan
Dalam hal tersangka ditahan dan kesepakatan perdamaian terwujud seperti dalam pasal 14 maka tersangka dibebaskan sesuai dengan Pasal 15, Perja No. 15 tahun 2020 sebagai berikut:
Penahanan, penangguhan penahanan, dan/atau pembantaran penahanan terhadap Tersangka dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.
Pembebasan Tersangka dibuatkan berita acara.
[1] Hendi Suhendi, Penerapan Asas Opportunitas Dalam Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Yuridis Dan Sosiologis), Sebagaimana Disebutkan Dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 154-156.
Hubungi Kami
Kantor Advokat dan Konsultan Hukum
Himawan Dwiatmodjo & Rekan
Jl. Rawa Kuning, Pulogebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Email: lawyerhdp@gmail.com
Telepon/Pesan Teks: +62895-4032-43447