SESI-11 PEMAAF & DISIPLIN
MATA KULIAH KODE ETIK PROFESI
PRODI SAINS KOMUNIKASI
By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.
"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)
Kehidupan manusia dipenuhi dengan kejadian dan peristiwa yang tidak terduga. Sebuah peristiwa dan kejadian tertentu kadang menyenangkan dan kadang tidak menyenangkan, kadang sesuai harapan dan terkadang tidak sesuai harapan. Bahkan dirasakan juga dalam kegiatan bisnis atau dalam dunia profesional. Kondisi inilah manusia suatu ketika dituntut untuk memahami perilaku orang lain dengan jalan memaafkannya.
Kemampuan bersabar terhadap gangguan yang ditimpakan seseorang meskipun memiliki kemampuan untuk membalasnya serta memaafkan kesalahan orang tersebut merupakan amalan yang sangat mulia. Gangguan itu bermacam-macam bentuknya. Adakalanya berupa cercaan, pukulan, perampasan hak, dan semisalnya. Memang sebuah kewajaran bila seseorang menuntut haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan seseorang membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun alangkah mulia dan baik akibatnya bila dia memaafkannya. Memaafkan kesalahan orang acapkali dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan, padahal justru sebaliknya. Bila orang membalas kejahatan yang dilakukan seseorang kepadanya, maka sejatinya di mata manusia tidak ada keutamaannya. Tapi di kala dia memaafkan padahal mampu untuk membalasnya, maka dia mulia di hadapan Allah SWT dan manusia.
Pada umumnya, karakter baik pada diri seseorang tidak muncul secara tiba-tiba. Diperlukan banyak proses pembelajaran, internalisasi, dan pembiasaan. Karakter pada diri seseorang juga terbentuk oleh kontribusi faktor-faktor lain yang secara intens berinteraksi dengannya, seperti keluarga, lingkungan sosial, dan agama. Beberapa penelitian menggambarkan kuatnya hubungan antara pemaafan dengan kebergamaan (religiusitas) seseorang. Semakin tinggi pengalaman keberagamaan seseorang, maka semakin tinggi potensi pemaafan pada dirinya.
Namun demikian tidak semua penelitian menggambarkan adanya pengaruh religiusitas terhadap pemaafan. Sebuah penelitian pilot study oleh Tsang, McCullough dan Hyot (2005) menyatakan bahwa secara tidak langsung religiusitas memiliki potensi untuk memunculkan pemaafan pada seseorang karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan cinta dan kasih sayang yang mendorong sikap memaafkan. Akan tetapi, hasil dari penelitian ini menunjukkan lemahnya hubungan positif antara religiusitas dan pemaafan. Selain itu dalam penelitian yang sama, Tsang, McCullough dan Hyot (2005) menyatakan bahwa religiusitas juga dapat membuat seseorang melakukan pembalasan. Hal tersebut memungkinkan religiusitas sebagai alasan seseorang untuk tidak memaafkan kesalahan
orang lain. Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian meta analisis tentang hubungan religiusitas dan pemaafan oleh Kurniati (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara religiusitas dengan pemaafan akan tetapi tidak ada hubungan signifikan antara religiusitas dengan unforgiveness.
Ikhlas Dalam Memaafkan
Oleh : Vira Megasari Haqni
Ikhlas merupakan sepotong kata yang sangat umum kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ikhlas berarti bersih hati, tulus hati. Dalam Hubungannya dengan sesama manusia, ikhlas berarti memberikan pertolongan dengan tulus hati. Selain itu ikhlas dapat juga diartikan sebagai suatu kerelaan. Para ulama mendefinisikan ikhlas sebagai seluruh ibadah yang diniatkan kepada Allah SWT bukan yang lain.
Memaafkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti memberi ampun atas kesalahan dan sebagainya. Selain itu juga memiliki arti tidak menganggap salah dan sebagainya lagi.
Sebagai manusia kita semua tentu pernah melakukan suatu kesalahan. Oleh karena itu, kita pun juga harus dapat memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini dikarenakan dengan memaafkan orang lain maka hati kita akan lebih tenang. Meskipun kita semua tahu bahwa terdapat istilah memaafkan bukan berarti melupakan,sebenarnya dalam hal inilah kita belum dapat memaafkan dengan ikhlas atas kesalahan yg diperbuat oleh orang lain kepada diri kita.
5 hal yang membuat kita sulit memaafkan :
Emosi masih mengendalikan diri kita
Merasa lemah jika terlalu cepat memaafkan
Takut kesalahan yang sama akan terulang lagi jika terlalu mudah memaafkannya
Menyukai perhatian yang diberikan oleh orang yang meminta maaf
Merasa hal tersebut merupakan hukuman bagi orang yang melakukan kesalahan
Untuk dapat memaafkan dengan ikhlas sepenuh hati bukan merupakan suatu hal instant yang dapat terwujud. Semua itu memerlukan proses dan waktu. Waktu yang akan dapat mengobati semua rasa sakit dan marah kita terhadap orang yang pernah menyakiti hati kita. Maka dari itu, biarlah waktu yang akan menyembuhkan luka-luka kita sembari kita menyibukkan diri dengan hal-hal yang baik, positif dan kita sibukkan diri kita dengan memperbaiki kualitas diri kita.
Memaafkan merupakan suatu proses dan pembelajaran untuk diri kamu. Mampu memaafkan kesalahan orang lain menunjukkan bahwa kamu memiliki pikiran yang lebih dewasa untuk menghadapi segala situasi yang sedang terjadi. Marah dan sakit hati adalah suatu hal yang lumrah untuk dialami oleh semua manusia. Jadi, tak apa marah, asalkan tidak terus menerus. Kita tetap harus cari cara untuk bisa menyembuhkan diri dengan memaafkan orang lain.
Memaafkan sekaligus melupakan kesalahan orang lain yang telah menyakiti hati, memang tidaklah mudah. Sebagai manusia biasa, pastinya tidak dapat melupakan kesalahan orang lain begitu saja. Namun demikian, hal tersebut sangat tidak dibenarkan dalam Islam. Sebagai umat muslim, harus senantiasa belajar memaafkan sesama dengan ikhlas. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada dipihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat) (HR Al-Hakim)
Keutamaan memaafkan dalam pandangan islam
Dicintai Allah
Nabi Muhammad SAW bersabda “Ada pedagang yang biasa memberi kredit kepada orang. Jika dia menemukan salah satu pelanggannya berada dalam sarana yang diluruskan, dia akan berkata kepada asistennya : Maafkan mereka hutang mereka, mungkin Allah akan mengampuni kami. Allah mengampuni dia” (HR Bukhari / Muslim)
Mendapatkan pengampunan dari Allah
Dengan memaafkan orang lain, seorang muslim akan mendapatkan pengampunan dari Allah, karena Allah jauh lebih besar dan lebih bermurah hati daripada umat-Nya. “maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah). (HR. At Thabrani)
Batin merasa tenang
Dengan memaafkan kesalahan orang lain dapat membuat bati menjadi lebih tenang. Karena ketika seseorang memiliki rasa dendam bahkan hingga bertahun lamanya dan belum bisa memaafkan kesalahan orang lain, maka orang tersebut hatinya akan selalu merasa gelisah.
Ditinggikan derajatnya oleh Allah
Seorang muslim yang pemaaf dan tidak menyimpan dendam terhadap muslim lain atau iri kepada siapa pun atas karunia yang telah Allah berikan, maka dia akan ditinggikan derajatnya oleh Allah.
Rasulullah SAW Bersabda “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan di akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajatnya di dunia dan akhirat). ( HR Muslim).
Mengharap ridho Allah
Seorang muslim yang dapat memaafkan orang lain bisa jadi karena seseorang itu lebih mengharap ridho Allah dari memaafkan orang lain yang telah menyakitinya. Mereka sadar bahwa menyimpan dendam akan menimbulkan dosa. Hal ini termaktub dalam Alquran surat Asy-Syura ayat 37 yang berbunyi sebagai berikut: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”
Menunjukkan Kualitas Diri
Kualitas diri muslim yang pemaaf pasti akan lebih baik dari pada orang yang suka memendam rasa dendam, iri dan dengki kepada orang lain.
Menambah kemuliaan di hadapan Allah
Ketika seseorang memaafkan dan mengalah maka secara lahir menunjukkan bahwa orang tersebut adalah lemah dan tidak memiliki kekuatan, akan tetapi Nabi SAW mengatakan bahwa barang siapa yang memaafkan atau mengalah maka Allah akan tambah kemuliaannya. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
“Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah SWT akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim)
5 cara untuk dapat ikhlas dalam memaafkan =
Mencurahkan semua rasa atau emosi terlebih dahulu
Mencurahkan perasaan yang kita rasakan atau kita alami dengan cara yang baik setidaknya dapat mengurangi beban rasa yang kita rasakan.
Menenangkan diri
Ketika ada orang lain yang menyakiti hati kita, kita tentu akan marah. Akan tetapi di posisi seperti ini kita perlu mencoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Menepi sejenak, menjaga jarak dengan orang tersebut, dan juga dengan mengambil air wudhu, sholat, dan juga membaca al-quran tentu dapat meredam emosi kita dan dapat menstabilkan perasaan kita.
Memberi waktu untuk menyendiri
Dengan memberi waktu untuk menyendiri kita dapat mengurangi rasa tidak suka terhadap orang yang melakukan kesalahan kepada kita. Sebab dengan berada di sekitar orang yang menyakiti hati kita tentu akan susah untuk menghilangkan rasa benci yang kita rasakan.
Menghilangkan rasa benci
Dengan perlahan melupakan kejadian yang kurang berkenan di hati kita, hal ini dapat membantu kita secara perlahan menghilangkan rasa benci terhadap orang yang telah melakukan kesalahan kepada kita.
Menyadari bahwa memafkan butuh waktu
Memaafkan memang bukan suatu perkara yang instant, terlebih jika orang tersebut berbuat suatu kesalahan yang fatal. Satu-satunya cara untuk dapat berdamai dengan perasaan kita adalah waktu. Waktu yang secara perlahan akan mengobati luka hati kita.
Kisah seseorang yang tidak punya rasa dendam dan hasad (cemburu) pada orang lain
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun berkata, ‘Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga.’ Maka munculah seseorang dari kaum Anshar, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya.
Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin.
Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula.
Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya, “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?” Maka orang tersebut menjawab, “Silakan.”
Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya, “Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam.
Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia pun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh. ‘Abdullah bertutur, ‘Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.’
Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka aku pun berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali bahwa akan muncul kala itu kepada kami seorang penduduk surga. Lantas engkaulah yang muncul, maka aku pun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku teladani. Namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Lantas apakah yang telah membuatmu memiliki keistimewaan sehingga disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Orang itu berkata, ‘Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat.’ Abdullah bertutur,
فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
‘Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepada yang lain.’
Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.”
(HR. Ahmad, 3: 166. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Sumber : https://rumaysho.com/15584-khutbah-jumat-tidak-banyak-amal-namun-masuk-surga.html
Disiplin kerja adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kesediaan dan kesadaran untuk mentaati peraturan yang berlaku di tempat kerja. Disiplin kerja yang baik dapat mempercepat pencapaian tujuan perusahaan, sedangkan disiplin yang buruk dapat memperlambat pencapaian tujuan tersebut.
Beberapa aspek yang mendukung disiplin kerja yang baik, antara lain: Ketepatan waktu, Penyelesaian tugas, Mematuhi peraturan perusahaan, Mematuhi norma-norma sosial yang berlaku, Tanggung jawab.
Untuk meningkatkan disiplin kerja, bisa dengan:
Mulai dari hal-hal kecil
Melakukan perubahan secara perlahan dan bertahap, tapi konsisten
Menyadari bahwa terlalu memaksakan diri dapat membuat Anda lupa tujuan utama
Mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memberikan solusi
Untuk memantau disiplin karyawan, Anda bisa menggunakan aplikasi monitoring karyawan. Aplikasi ini dapat memantau produktivitas dan kinerja karyawan, seperti absensi online, time tracker, GPS tracker, dan desktop screenshot.
Disiplin dan Tepat Waktu
Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
Berbicara soal disiplin biasanya dikaitkan dengan pemenuhan aturan, terutama sekali pemanfatan waktu. Seseorang kita sebut disiplin apabila mengerjakan tugas dan pekerjaan yang diembannya dengan tepat pada waktunya. Contoh lainnya, seseorang dikategorikan disiplin dalam berlalu-lintas apabila dijalanan mematuhi segenap rambu-rambu lalulintas yang telah digariskan.
Islam mengajarkan bahwa menghargai waktu lebih utama sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Asr 103 ; ayat 1-3 yang artinya, “ Demi waktu, sesungguhnya, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
Bahkan setiap hari kita diingatkan dengan apa yang disebut Shalat lima waktu, Betapa waktu sangat tertata, itu semua dihadirkan oleh Allah SWT, salah satunya adalah pengingat betapa ketepatan waktu dalam aktivitas adalah sesuatu yang mutlak adanya.
Hidup yang tertib dan teratur sangat menentukan sukses atau tidaknya seseorang dalam mengelola waktu secara disiplin. Oleh karena itu seorang muslim yang baik seyogyanya memanfaatkan waktu secara optimal semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukan kuantitas waktu itu yang jadi soal, melainkan apa yang kita kerjakan pada waktu yang sama. Sebab, ada orang yang dalam waktu 24 jam mampu mengurus negara dan mengorkestrasi jutaan orang dalam satu gerak dan nafas pembangunan.
Karena itu untuk menumbuhkan etos kedisiplinan dalam diri kita dibutuhkan manajemen waktu agar kualitas diri kita dapat meningkat. Dan itu semua dapat dilakukan sedemikian rupa serta mampu mengatur waktu yang 24 jam itu untuk semua urusan. Biar cepat, efisien, dan selamat. Sudah lazim kita dengar pameo mengatakan, “alon-alon asal kelakon.” Barangkali d iera yang kompetitif seperti ini, pameo itu sudah terasa usang. Terlalu statis. Pameo itu dapat kita dinamisasikanlagi. Kalau bisa cepatdan efisien, mengapa harus dibuat lambat. Fiman Allah SWT dalam surah 94:ayat 7 yang artinya, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras(untuk urusan yang lain).”
Jika saja kita benar-benar hidup berdisiplin, maka jalan usaha dan kerja sebagai perwujudan beribadah kepada Allah akan selalu mendapat keridhaan serta kemudahan dari pada-Nya. Bukan oleh orang lain, akan tetapi hasil usaha kita sendiri. “ora et labora” bekerja dan berdo’a yang harus kita gaungkan. Apabila kita ingin meraih sukses bangun dari tidurmu, lebih dulu dari ayam berkokok pada pagi hari. Maka marilah kita mulai dari sekarang dan dari diri sendiri. Kalau belum bisa sekaligus, marilah kita biasakan sedikit demi sedikit, dicicil, tapi rutin.
Itu tentu akan lebih baik ketimbang melakukan semua usaha kedisiplinan akan tetapi hanya sesaat setelah itu kembali hidup seperti semula. Bekerja dengan tergesa-gesa tidak lebih baik dari bekerja secara terprogram secara sistematik dapat membuahkan hasil yang lebih baik pula.
Sumber : https://khazanah.republika.co.id/berita/mycsos/disiplin-dan-tepat-waktu
Slow living adalah filosofi hidup yang menekankan pentingnya memperlambat ritme kehidupan untuk menikmati momen, mendalami pengalaman, dan menghargai kualitas daripada kuantitas dalam segala aspek kehidupan.
Satu revolusi bidaya yang menentang anggapan bahwa lebih cepat selalu lebih baik. Filosofi slow bukan tentang melakukan segala sesuatu dengan kecepatan lambat.
Filosofi ini tentang berusaha melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat.
Menikmati jam dan menit daripada sekedar menghitungnya. Melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, bukan secepat mungkin.
Filosofi ini tentang kualitas daripada kuantitas dalam segala hal mulai dari pekerjaan, makanan, hingga mengasuh anak, dan lainnya
Waktu Laksana Pedang
Benarlah kata orang, waktu laksana pedang. Jika kita tidak mampu memanfaatkannnya, waktu sendiri yang akan menebas kita. Semangatlah dalam memanfaatkan waktu luang Anda dalam kebaikan, bukan dalam maksiat. Karena jika kita tidak disibukkan dalam kebaikan, tentu kita akan beralih pada hal-hal yang sia-sia yang tidak ada manfaat.
Daftar Isi tutup
1. Tidak Mampu Menghitung Nikmat Allah
2. Kenikmatan yang Terlupakan
3. Waktu yang Telah Berlalu Tak Mungkin Kembali Lagi
4. Waktu Laksana Pedang
Tidak Mampu Menghitung Nikmat Allah
Sungguh telah banyak nikmat yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada kita. Jika kita mencoba untuk menghitung nikmat tersebut niscaya kita tidak akan mampu untuk menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak mampu untuk menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (ni’mat Allah).” (QS Ibrahim [14] : 34)
Dalam Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh As Sa’di mengatakan, “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak mampu untuk menghitungnya” maka lebih-lebih lagi untuk mensyukuri nikmat tersebut. “Sungguh manusia benar-benar zholim dan kufur”. Itulah tabiat manusia di mana : (1) dia zholim dengan melakukan maksiat, (2) kurang dalam menunaikan hak Rabbnya, dan (3) kufur terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dia tidak mensyukurinya, tidak pula mengakui nikmat tersebut kecuali bagi siapa yang diberi hidayah oleh Allah untuk mensyukuri nikmat tersebut dan mengakui hak Rabbnya serta menegakkan hak tersebut.”
Kenikmatan yang Terlupakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa waktu luang merupakan salah satu di antara dua kenikmatan yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada manusia. Tetapi sangat disayangkan, banyak di antara manusia yang melupakan hal ini dan terlena dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang”. (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari membawakan perkataan Ibnu Baththol. Beliau mengatakan,”Makna hadits ini adalah bahwa seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang mendapatkan seperti ini, maka bersemangatlah agar tidak tertipu dengan lalai dari bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan oleh-Nya. Di antara bentuk syukur adalah melakukan ketaatan dan menjauhi larangan. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, dialah yang tertipu.”
Ibnul Jauzi dalam kitab yang sama mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun dia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dalam aktivitas dunia. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun dia dalam keadaan sakit. Apabila tergabung kedua nikmat ini, maka akan datang rasa malas untuk melakukan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).
Itulah manusia. Banyak yang telah terbuai dengan kenikmatan ini. Padahal setiap nikmat yang telah Allah berikan akan ditanyakan. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian kamu pasti akan ditanya tentang kenikmatan". (QS At Takaatsur [102] : 8)
Waktu yang Telah Berlalu Tak Mungkin Kembali Lagi
Penyesalan terhadap waktu yang telah berlalu adalah penyesalan yang tinggal penyesalan. Ingatlah, waktu yang sudah berlalu tidak mungkin akan kembali lagi. “Waktu adalah nafas yang tidak mungkin akan kembali.”
Syaikh ‘Abdul Malik Al Qosim berkata, “Waktu yang sedikit adalah harta berharga bagi seorang muslim di dunia ini. Waktu adalah nafas yang terbatas dan hari-hari yang dapat terhitung. Jika waktu yang sedikit itu yang hanya sesaat atau beberapa jam bisa berbuah kebaikan, maka ia sangat beruntung. Sebaliknya jika waktu disia-siakan dan dilalaikan, maka sungguh ia benar-benar merugi. Dan namanya waktu yang berlalu tidak mungkin kembali selamanya.” (Lihat risalah “Al Waqtu Anfas Laa Ta’ud”, hal. 3)
Waktu Laksana Pedang
Jika kita tidak pandai menggunakan pedang, niscaya pedang tersebut akan menebas diri kita sendiri. Demikian juga waktu yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Jika kita tidak mampu memanfaatkannya untuk berbuat ketaatan kepada-Nya, niscaya waktu akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.
Dalam kitab Al Jawaabul Kaafi karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah mendapatkan pelajaran dari orang sufi. Inti nasehat tersebut terdiri dari dua penggalan kalimat berikut: “Waktu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya, maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”
Al Hasan Al Bashri berkata, “Di antara tanda Allah berpaling dari seorang hamba, Allah menjadikannya sibuk dalam hal yang sia-sia sebagai tanda Allah menelantarkannya.”
Sumber https://rumaysho.com/2782-waktu-laksana-pedang-2.html
Perspektif islam dan psikologi tentang pemaafan, Moh Khasan, Jurnal at-Taqaddum, Volume 9, Nomor 1, Juli 2017, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/attaqaddum/article/download/1788/PERSPEKTIF%20ISLAM%20DAN%20PSIKOLOGI%20TENTANG%20PEMAAFAN