TENTANG PENGADILAN AGAMA
Sumber Hukum Acara Di Pengadilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yan diatur dalam Undang-Undang.
Peraturan-peraturan yang menjadi sumber hukum Peradilan Agama, diantaranya adalah:
HIR (herzeine inlandsch reglement) untuk jawa dan Madura/RBG (Rechtsreglement voor de buitengewesten) untuk luar jawa dan Madura);
B.Rv (Reglement op de burgelijke rechtvordering) untuk golongan eropa. Walaupun sudah tidak berlaku lagi tetapi masih banyak yang relevan;
BW (bugelijke wetboek voor Indonesia) atau KUH Perdata;
WvK (Wetboek van koophandel) KUH Dagang;
UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
UU No. 5 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung;
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan UU No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
UU No. 8 tahun 2004 Tentang Peradilan Umum;
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;
Peraturan Mahkamah Agung RI.;
Surat Edaran Menteri Agama ;
Peraturan Menteri Agama;
Keputusan Menteri Agama;
Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber-sumber Hukum yang tidak tertulis.
Pada prinsipnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama merujuk pada Hukum Acara Perdata pada umumnya, kecuali yang diatur khusus. Sebagai contoh adalah pemeriksaan sengketa perkawinan, dimana sengketa perkawinan yang diajukan oleh suami disebut permohonan cerai talak, dan sengketa perkawinan yang diajukan oleh istri disebut gugatan gugat cerai. Hal semacam ini hanya berlaku di Pengadilan Agama. Beberapa hukum acara yang diatur secara khusus dalam Peradilan Agama meliputi:
Bentuk dan proses perkara;
Kewenangan relatif Peradilan Agama;
Pemanggilan pihak-pihak;
Pemeriksaan, pembuktian, dan upaya damai;
Biaya perkara;
Putusan hukum dan upaya hukum;
Penerbitan akta cerai.
Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama
Kata “kewenangan” bisa diartikan “kekuasaan” sering juga disebut juga “kompetensi” atau dalam bahasa Belanda disebut “competentie” dalam Hukum Acara Perdata biasanya menyangkut 2 hal yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019 Tentang Pengadilan Agama serta asas personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara :Perkawinan.
Kewarisan.
Wasiat.
Hibah.
Wakaf.
Zakat.
Infaq.
Shadaqah.
Ekonomi syari’ah.
Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan:
Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada Institusi Pemerintah didaerahnya apabila diminta.
Pun demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-undang seperti pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.
Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini antara Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum Acara Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku di Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal 118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian sebagaimana dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu:Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua daerah tergugat berada.
Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.
Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.
Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan pada tempat yang dipilih dalam akad tersebut.
Pihak Berperkara di Pengadilan Agama
Penggugat dan Tergugat
Syarat untuk mengajukan sebuah gugatan adalah adanya kepentingan hukum (sengketa) yang melekat pada penggugat, dalam hal ini maka tidak semua orang dapat mengajukan gugatan, dalam hal ini orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung dapat memperoleh kuasa dari orang yang kepentingannya dilanggar untuk mengajukan sebuah gugatan.
Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdataannya kemuka pengadilan perdata. Tergugat adalah orang yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan. Tergugat bisa per-orangan, atau beberapa orang.
Perkara perdata yang terdiri dari 2 pihak yaitu dengan adanya penggugat dan tergugat yang mana saling berlawanan disebut contentieuse juridictie (peradilan sungguhan), dalam hal ini maka produk hukumnya adalah putusan.Pemohon dan Termohon
Pemohon adalah seorang yang memohon kepada pengadilan untuk ditetapkan atau mohon ditegaskan suatu hak bagi dirinya tentang situasi hukum tertentu.
Contoh perkara permohonan di Pengadilan Agama adalah permohonan dispensasi kawin, permohonan istbat nikah, namun ini tidak berlaku bagi perkara cerai talaq sebagaimana dalam SEMA No. 2 tahun 1990 menyebutkan asasnya cerai talaq adalah merupakan sengketa perkawinan yang meliatkan kedua belah pihak, sehingga walaupun pihak yang berkera disebut dengan pemohon dan termohon akan tetapi merupakan perkara contentious dan produk hakim berupa putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.
Termohon dalam arti yang sebenarnya bukanlah sebagai pihak namun perlu halnya dihadirkan didepan sidang untuk didengar keterangan dan untuk kepentingan pemeriksaan.
Peradilan yang menyelesaikan perkara permohonan disebut voluntaire jurisdictie (peradilan tidak sesungguhnya), produk hukum dari peradilan tersebut adalah penetapan.
Proses Beracara di Pengadilan Agama
Proses Pengajuan Perkara
Proses beracara di Pengadilan Agama diatur dengan pelayanan sistem meja dalam penanganan perkara mulai dari pendaftaran sampai perkara putus dan selesai.
Meja 1
Menerima gugatan/permohonan dan salinannya;
Menaksir biaya panjar biaya sesuai dengan radius yang ditetapkan;
Membuat surat kuasa membayar (SKUM).
Kasir
Menerima biaya panjar dan mencatat dalam pembukuan;
Menandatangani SKUM;
Memberi nomor dan tanda lunas pada SKUM;
Memberi keterangan terkait legalisir dokumen dan jadwal pelaksanaan sidang.
Meja 2
Mencatat perkara dalam buku register perkara;
Memberi nomor register pekara pada gugatan/permohonan yang masuk;
Meyerahkan salinan gugatan/permohonan, jadwal sidang, dan rangkap 2 SKUM, serta memasukkannya dalam amplop kepada penggugat/pemohon.
Ketua Pengadilan Agama
Menenetukan penetapan majlis hakim (PMH);
Menetapkan hari sidang (PHS).
Panitera dan Wakil Panitera
Menunjuk penitera sidang;
Meyerahkan berkas perkara kepada majlis.
Majelis Hakim
Menyidangkan perkara yang diajukan penggugat/pemohon;
Memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil para pihak;
Berkoordinasi dengan meja 1, kasir, meja 2, dan meja 3 berkenaan dengan administrasi perkara yang disidangkan;
Memutus perkara yang ditangani.
Meja 3
Menerima berkas perkara yang telah di putus oleh majlis hakim;
Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak;
Menyerahkan berkas perkara yang telah minutasi kepada Panitera Muda Hukum.
Tahapan Pemeriksaan dalam Perkara Perdata
Proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan dengan tahapan-tahapn yang diatur dalam hukum acara perdata, dan hal ini dilakukan setelah hakim tidak dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa Kemungkinan yang Terjadi pada Sidang Pertama
Para pihak datang
Hakim akan mendamaikan kedua belah pihak;
Hakim akan meneruskan sidang dengan pembacaan gugatan;
Tergugat dibolehkan untuk meminta penundaan sidang.
Para pihak tidak datang
Apabila penggugat tidak hadir maka gugatannya digugurkan;
Apabila tergugat tidak hadir
Satu kali tidak hadir, dipanggil sekali lagi;
Dua kali tidak hadir, diputus verstek.
Sumber : http://www.pa-magetan.go.id/artikel/215-sumber-hukum-dan-kompetensi-absolut-dan-kompetensi-relatif-di-pengadilan-agama
Prosedur Pengajuan Perkara di Pengadilan Agama
A. TINGKAT PERTAMA
Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan.
Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan atau permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor : 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Catatan: Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 273–281 RBg. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
Catatan: Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 273–281 RBg. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
Pihak berperkara datang ke loket layanan bank yang sudah di tunjuk atau bekerjasama dengan PA.Magetan (Bank Syariah Mandiri Cabang Magetan) dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.
Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.
Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.
B. TINGKAT BANDING
Pemohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah dalam tenggang waktu :
14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengucapan putusan, pengumuman/pemberitahuan putusan kepada yang berkepentingan;
30 (tiga puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman di wilayah hukum pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara tingkat pertama. (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947).
Membayar biaya perkara banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947, Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989).
Panitera memberitahukan adanya permohonan banding (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 1947)
Pemohon banding dapat mengajukan memori banding dan Termohon banding dapat mengajukan kontra memori banding (Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947)
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan diberitahukan kepada pihak lawan, panitera memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melihat surat-surat berkas perkara di kantor pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947).
Berkas perkara banding dikirim ke pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterima perkara banding.
Salinan putusan banding dikirim oleh pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memeriksa perkara pada tingkat pertama untuk disampaikan kepada para pihak.
Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menyampaikan salinan putusan kepada para pihak.
Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera :
a. Untuk perkara cerai talak :
Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon.
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
b. Untuk perkara cerai gugat :
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
C. TINGKAT KASASI
Mengajukan permohonan kasasi secara tertulis atau lisan melalui Pengadilan Agama dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah penetapan/putusan Pengadilan Tinggi Agama diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
Membayar biaya perkara kasasi (Pasal 46 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
Panitera Pengadilan Agama memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan, selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar.
Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonannya didaftar (Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
Panitera Pengadilan Agama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi (Pasal 47 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
Pihak lawan dapat mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Mahkamah Agung selambat- lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi (Pasal 47 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
Panitera Pengadilan Agama mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung selambat- lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memorikasasi dan jawaban memori kasasi (Pasal 48 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
Panitera Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada Pengadilan Agama untuk selanjutnya disampaikan kepada para pihak.
Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka Panitera Pengadilan Agama:
a. Untuk perkara cerai talak :
Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil kedua belah pihak.
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari.
b. Untuk perkara cerai gugat:
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
Sumber: http://www.pa-magetan.go.id/artikel/213-prosedur-lengkap-pengajuan-perkara-tingkat-pertama-banding-dan-kasasi-di-pengadilan-agama-magetan
Hubungi Kami
Kantor Advokat dan Konsultan Hukum
Himawan Dwiatmodjo & Rekan
Jl. Rawa Kuning, Pulogebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Email: lawyerhdp@gmail.com
Telepon/Pesan Teks: +62895-4032-43447