SESI-1 ETIKA
MATA KULIAH KODE ETIK PROFESI
PRODI SAINS KOMUNIKASI
By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.
"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)
Pendahuluan
Etika profesi menjadi perbincangan penting bagi semua kalangan terutama kalangan yang ingin menampilkan performa dan hasil kerja yang prima sesuai dengan norma, nilai dan aturan hukum yang telah dibakukan dan berlaku umum di masyarakat. Etika profesi mempunyai konsep dasarnya tersendiri sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam disiplin kajian etika yang sudah ada sejak zaman Yunan kuno dalam kajian filsafat. Untuk mengurai semua komponen yang ada dalam etika profesi, tulisan ini akan mencoba menjabarkan tentang etika, profesi, etika profesi dan juga konsep dasar etika profesi. Di dalamnya akan dibahas juga tentang moral dan akhlak, sisi-sisi persamaan dan perbedaan di antara ketiganya, macam-macam profesi dan jenis-jenis etika profesi.
Bila kita membicarakan tentang konsep dasar, bila dihubungkan dengan etika profesi, maka memiliki arti susunan seperangkat aturan, nilai dan norma serta hukum dalam pembentukan pengetahuan ilmiah yang bersifat abstrak berasal dari ide dan pemikiran yang sangat diperlukan untuk membuat inovasi baru dan meningkatkan hasil maksimal dalam berbagai profesi dan bidang pekerjaan.
Pengertian Dasar Konsep
Kata “konsep” dari segi bahasa berasal dari bahasa latin yaitu “conceptum” yang mempunyai arti sesuatu yang dapat
difahami(Brainly.co.id, 2019) . Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan kata konsep sebagai ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Nasional, 2001). Sementara secara terminologis, konsep didefinikan oleh banyak ahli, diantaranya disebutkan beberapa pakar berikut(Voi.co.id,
2020) :
Aristoteles dalam bukunya The Classical Theory of Concepts, mengatakan bahwa konsep adalah hal utama atau bisa dibilang sebagai penyusun dasar dalam pembuatan sebuah ilmu baru, pengetahuan ilmiah, atau sebuah filsafat yang ada dalam pemikiran manusia.
Immanuel Kant, sebagaimana dikutip oleh Harifudin Cawidu, bahwa konsep adalah gambaran yang bersifat umum atau abstrak tentang sesuatu (Cawidu, 1991).
Singarimbun dan Effendi, konsep adalah sebuah istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak (abstraksi) suatu kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi obyek (Singarimbun, 1987).
Soedjadi menyatakan bahwa konsep adalah sebuah ide yang bersifat abstrak. Ide ini bisa digunakan untuk pengelompokan sebuah objek yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (Singarimbun, 1987).
Siswoyo menyatakan bahwa konsep adalah rangkai teori atau definisi. Teori atau definisi (konsep) ini saling berhubungan dan memiliki pandangan yang bersifat sistematik terhadap sebuah fenomena. Teori dari fenomena ini, menurut Siswoyo, harus mampu menerangkan hubungan antar variabel(Mardalis, 2003).
Dari penjelasan beberapa ahli di atas maka secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep merupakan gagasan atau ide yang memiliki sifat abstraksi yang dikelompokkan menjadi satu kesatuan untuk menjelaskan sesuatu yang sifatnya universal. Sedangkan kata “Dasar” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pokok atau pangkal suatu pendapat (ajaran, aturan) atau disebut juga asas (Nasional, 2001).
Etika
Etika erat kaitannya dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan- tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, baik atau buruk(Salam, 1997). Etika dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematis dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk mengukur segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum dinilai menyimpang dari nilai-nilai etika.
1. Pengertian Etika
Kata “etika” secara etimologis diserap dari bahasa Yunani „ethos” (bentuk tunggal) dan “ta etha” (bentuk jamak) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat istiadat. Ditinjau dari bahasa Latin etika adalah “ethic” yang berarti kebiasaan, dan jika ditinjau dari bahasa Gerik etika diartikan: “Ethicos is a body of moral principles or value” yang artinya kumpulan prinsip atau nilai moral(Herawati,
2009). Sedangkan secara terminologis etika berarti pengetahuan yang membahas baik-buruk atau benar- salahnya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia(Haris, 2007).
Dari definisi di atas bisa dikatakan bahwa etika pada awalnya diartikan sebagai kebiasaan. Namun lambat laun pengertian etika berubah menjadi suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran (Rahmaniyah, 2010). Untuk melengkapi pengertian etika secara lebih luas dari sudut pandang yang berbeda-beda perlu disampaikan definisi etika menurut para ahli (Salam, 1997):
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Nasional, 2001), etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu:
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
b. Drs. O. P. Simorangkir:
Etika sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
c. Drs. Sidi Gajalba:
Etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
d. Drs. H. Burhanudin Salam:
Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
e. Ahmad Amin:
Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
f. Franz Magnis Suseno:
Etika merupakan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya (Suseno, 2001).
Berdasarkan beberapa definisi para ahli di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia yang dapat dinilai mana yang baik dan mana yang buruk yang direfleksikan dalam bentuk aturan (kode) tertulis yang dibuat secara sistematis berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada.
Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”.
Kata etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Adapun kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik sesama manusia (Haris, 2007).
2. Antara Etika, Moral dan Akhlak
“Etika” sering disamakan dengan pengertian akhlak dan moral, ada pula yang mengatakan bahwa akhlak merupakan etika Islam. Untuk menambah wawasan tentang hal ini, perlu dijelaskan sisi-sisi perbedaan dan persamaan dari ketiga istilah tersebut.
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, etika berasal dari bahasa asing Yunani dan Gerik yaitu ethos dan ethikos, ethos yang berarti sifat, watak, adat dan kebiasaan. Ethikos yang berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal manusia(Azra, Azyumardi, 2002).
Adalah Encyclopedia Britanica merumuskan etika sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematis mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, benar, salah, dan sebagainya. Dari rumusan itu dapat disimpulkan bahwa etika berhubungan dengan empat hal mendasar sebagai berikut:
Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia;
Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal fikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya;
Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian, etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada;
Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof Barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia (Blogging, 2020).
“Moral” secara bahasa berasal dari bahasa Latin: mos (bentuk tunggal) yang artinya kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat dan cara hidup. Atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat(Nata, 2012). Sementara secara istilah moral adalah sesuatu yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk (Hulu, 2020). Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik atau buruk yang diterima umum oleh masyarakat (Azra, Azyumardi, 2002). Kata “moral” bisa dipakai sebagai nomina (kata benda) dan sebagai adjektiva (kata sifat). Jika kata “moral” dipakai sebagai kata sifat artinya sama dengan “etis” yaitu nilai- nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. dan jika dipakai sebagai kata benda artinya sama dengan “etika”(Bertens, 2011).
Sedangkan “akhlak", ditulis dalam bahasa Arab (قلاخأ), secara etimologis diambil dari bahasa Arab al- khuluq (قلخلا) yang memiliki arti tabiat (عبطلا), watak (تيجسلا), perangai (ةءورملا),(Abadi, no date) kebiasaan dan budi pekerti(Yunus, 2007). Kata akhlak (قلاخأ) adalah bentuk jamak dari kata khuluq (قلخ). Padanannya seperti kata a’naq (قاىغأ) dan unuq (قىع) yang artinya leher. Secara terminologis, akhlak didefinisikan oleh Azyumardi Azra sebagai daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnungkan lagi (Azra, Azyumardi, 2002). Kata khuluq disebutkan dalam al-Qur‟an pada dua tempat yaitu pada al-Qur‟an surah Hud ayat 137 (هيلولْٱ قلخ لَّإ اذه نإ) yang artinya: “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu” dan pada al-Qur‟an surah al-Qolam ayat 4 ( ىلعل كوإو ميظع قلخ) yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar- benar berbudi pekerti yang agung”.
Ayat pertama meceritakan tentang ucapan kaum Ad kepada Nabi Hud bahwa apa yang mereka pegangi selama ini tiada lain adalah keyakinan agama orang-orang terdahulu dan kebiasaan mereka. Sedangkan ayat kedua meceritakan tentang pujian dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW atas budi pekerti beliau yang luhur(Abdullah, 2007). Keduanya menyinggung soal pudi pekerti dan kebiasan atau adat istiadat yang sudah turun temurun diwarisi dari nenek moyang mereka.
Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumiddin menyatakan bahwa akhlak atau al-khuluq adalah merupakan tingkah laku yang melekat pada diri seseorang yang dapat memicu perbuatan baik dan buruk tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu(Ghazali, no date). Beliau mengatakan: “Al-khuluq yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Maka jika dorongan itu melahirkan berbuatan-perbuatan yang baik disebutlah dorongan itu sebagai akhlak yang baik, sebaliknya jika dorongan itu melahirkan perbuatan- perbuatan buruk disebutlah dorongan itu sebagai akhlak yang jelek.”
Dari definisi akhlak di atas kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam akhlak, yaitu:
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya;
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar atau hilang ingatan;
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan;
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara;
Perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian (Blogging, 2020).
Dari semua pemaparan di atas diperoleh beberapa titik temu bahwa antara etika, moral dan akhlak memiliki kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya adalah dalam menentukan hukum atau nilai perbuatan manusia dilihat dari baik dan buruk. Sementara perbedaannya terletak pada tolok ukurnya. Etika berpedoman pada akal fikiran, moral pada ukuran adat kebiasaan yang umum di masyarakat dan akhlak menilai dari ukuran ajaran al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Haidar Bagir mengatakan bahwa etika merupakan ilmu dari akhlak atau dapat dikatakan etika adalah ilmu yang mempelajari perihal baik dan buruk. Sedangkan ahklak sama dengan moral, yang lebih merupakan suatu nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia (Bagir, 2002).
Azyumadi Azra mengatakan bahwa perbedaan antara etika, moral dan akhlak terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dalam moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka dalam akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al- Qur'an dan al-Hadith(Azra, Azyumardi, 2002). Perbedaan lain antara etika dan moral terlihat pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoretis, maka moral lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral bersifat lokal dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan(Blogging, 2020).
3. Macam-macam Etika
Etika mempunyai banyak macamnya dilihat dari perspektif atau sudut pandang yang berbeda-beda yaitu dari sisi cakupannya, dari sisi jenisnya, dari sisi sumbernya dan dari sisi lingkungannya (Zakky, no date):
a. Sudut Pandang Cakupannya:
Berdasarkan cakupannya, etika terbagi menjadi dua macam, yaitu etika umum dan etika khusus.
1 Etika Umum.
Etika Umum berbicara mengenai kondisi- kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogikan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
2 Etika Khusus.
Etika Khusus merupakan penerapan prinsip- prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa wujud: Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga wujud: Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis: cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
b. Sudut Pandang Jenisnya:
Berdasarkan jenisnya, etika terbagi menjadi dua macam, yaitu etika deskriptif dan etika normatif (Keraf, 1991).
1) Etika Deskriptif.
Etika deskriptif merupakan usaha menilai tindakan atau prilaku berdasarkan pada ketentuan atau norma baik buruk yang tumbuh dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kerangka etika ini pada hakikatnya menempatkan kebiasaan yang sudah ada di dalam masyarakat sebagai acuan etis. Suatu tindakan seseorang disebut etis atau tidak tergantung pada kesesuaiannya dengan yang dilakukan kebanyakan orang.
Etika deskriptif menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya (Vos, 1987).
Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
2 Etika Normatif
Etika normatif mendasarkan penilaian pada sifat hakiki kesusilaan bahwa di dalam perilaku serta tanggapan-tanggapan kesusilaannya, manusia menjadikan norma-norma kesusilaan sebagai panutannya. Etika menetapkan bahwa manusia memakai norma-norma sebagai panutannya, tetapi tidak memberikan tanggapan mengenai kelayakan ukuran-ukuran kesusilaan. Sah atau tidaknya norma-norma tetap tidak dipersoalkan yang di perhatikan hanya berlakunya (Vos, 1987).
Etika normatif tidak dapat sekedar melukiskan susunan-susunan formal kesusilaan. Ia menunjukkan prilaku manakah yang baik dan prilaku manakah yang buruk. Yang demikian ini kadang-kadang yang disebut ajaran kesusilaan, sedangkan etika deskriptif disebut juga ilmu kesusilaan. Yang pertama senantiasa merupakan etika material. Etika normatif memperhatikan kenyataan-kenyataan, yang tidak dapat di tangkap dan diverifikasi secara empirik(Vos, 1987).
Etika normatif berusaha menelaah dan memberikan penilaian suatu tindakan etis atau tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap norma-norma yang sudah dilakukan dalam suatu masyarakat. Norma rujukan yang digunakan untuk menilai tindakan wujudnya bisa berupa tata tertib, dan juga kode etik profesi.
c. Sudut Pandang Sumbernya
Berdasarkan sumbernya, etika terbagi menjadi dua macam, yaitu etika filosofis dan etika teologis:
Etika filosofis merupakan suatu etika yang berasal dari aktivitas berpikir yang dilakukan oleh manusia atau bisa juga dikatakan bahwa etika merupakan bagian dari ilmu filsafat. Etika filsafat memiliki sifat-sifat di antaranya:
Empiris, ialah etika yang membahas mengenai sesuatu yang ada atau konkret. Contohnya, filsafat hukum yang mempelajari mengenai hukum.
Non Empiris, ialah etika dari cabang filsafat yang berusaha melampaui hal konkret dengan seolah-olah menjadikan sama sesuatu yang ada di balik semua gejala konkret.
Etika teologis, yakni jenis etika yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan, tanpa terbatas pada suatu agama tertentu saja. Etika teologis adalah etika yang didasarkan atas unsur-unsur agama. Berbeda dengan etika filosofis, etika teologis memiliki sifat transempiris yaitu pengalaman manusia dengan Allah yang melampaui kesusilaan, tidak dapat diamati manusia dengan pancainderanya. Karena etika teologis berhubungan dengan ilahi, maka sumber utama yang dijadikan bagi etika ini ialah kitab suci dan alat bantu lainnya(Judistian Pratama Hutauruk, no date).
d. Sudut Pandang Lingkungannya
Berdasarkan lingkungannya, etika terbagi menjadi dua macam, yaitu etika individual dan etika sosial:
Etika individual, yakni jenis etika yang berkaitan dengan kewajiban dan sikap dari manusia terhadap diri mereka sendiri.
Etika sosial, yakni jenis etika yang berkaitan dengan kewajiban, sikap dan juga perilaku manusia sebagai umat manusia.
Meskipun etika dari sudut pandang lingkungannya terbagi menjadi dua yaitu individual dan sosial, namun perlu difahamii bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan.
Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangana umum dan idiologi- idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian, dilihat dari luasnya ruang lingkup etika sosial, etika sosial terbagi-bagi menjadi banyak bagian, di antaranya etika profesi, etika politik, etika lingkungan, etika idiologi, etika keluarga dan lain sebagainya
4. Jenis-jenis Etika
Ada banyak jenis-jenis etika, di antaranya sebagai berikut (Herawati, no date):
Ethic Algedonsic, yaitu etika yang membahas dan memfokuskan diri pada kesenangan dan penderitaan (pleasure and pain).
Ethic Business, yaitu etika yang membahas tentang etika dalam perdagangan.
Ethic Educational, yaitu etika yang membahas tentang etika dalam pendidikan.
Ethic Hedonistic, yaitu etika yang membahas tentang masalah kesenangan dengan cabang-cabangnya.
Ethics Humanistic, yaitu etika kemanusiaan yang membahas tentang norma-norma hubungan antar manusia dan antar bangsa
Ethic Idealistic, yaitu etika yang membahas tentang sejumlah teori-teori etika yang pada umunya berdasarkan psikologi dan filsafat.
Ethic Materialistic, yaitu etika yang membahas tentang etika materialis.
Ethic Epicurianism, yaitu etika aliran epicurian yang ajarannya sama dengan ajaran aliran idealistic (Cafe- Radiologi, no date).
Sistematika Etika
Secara umum, menurut A. Sonny Keraf (1993: 41), etika dapat dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, Etika Umum yang membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak etis dalam mengambil keputusan etis, dan teori etika serta mengacu pada prinsip moral dasar yang menjadi pegangan dalam bertindak dan tolok ukur atau pedoman untuk menilai “baik atau buruknya” suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. Etika umum tersebut dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, doktrin, dan ajaran yang membahas pengertian umum dan teori etika.
Kedua, Etika Khusus, yaitu penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang khusus, yaitu bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari pada proses dan fungsional dari suatu organisasi, atau dapat juga sebagai seorang profesional untuk bertindak etis yang berlandaskan teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar. Etika khusus atau etika terapan dan prinsip-prinsip tertentu dalam etika kehumasan sesungguhnya merupakan penerapan dari prinsip- prinsip etika pada umumnya. Etika khusus tidak terlepas dari sistem nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan publik dan masyarakat, seperti berpedoman pada nilai kebudayaan, adat istiadat, moral dasar, kesusilaan, pandangan hidup, kependidikan, kepercayaan, hingga nilai- nilai kepercayaan keagamaan yang dianut.
Etika khusus tersebut dibagi lagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
Etika individual menyangkut kewajiban dan perilaku manusia terhadap dirinya sendiri untuk mencapai kesucian kehidupan pribadi, kebersihan hati nurani, dan yang berakhlak luhur (akhlakul kharimah).
Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan perilaku sebagai anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai sopan santun, tata krama dan saling menghormati, yaitu bagaimana saling berinteraksi yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara perorangan dan langsung, maupun secara bersama-sama atau kelompok dalam bentuk kelembagaan masyarakat dan organisasi formal lainnya.
Sistematika etika yang dibahas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Jika dilihat dari sistematika etika di atas, etika Kehumasan atau Etika Profesi Humas merupakan bagian dari bidang etika khusus atau etika terapan yang menyangkut dimensi sosial, khususnya bidang profesi (Etika Profesi Humas). Kegiatan Humas atau profesi Humas (Public Relations Professional), baik secara kelembagaan atau dalam struktur organisasi (PR by Function) maupun individual sebagai penyandang profesional Humas (PRO by Professional) berfungsi untuk menghadapi dan mengantisipasi tantangan ke depan, yaitu pergeseran sistem pemerintahan otokratik menuju sistem reformasi yang lebih demokratik dalam era globalisasi yang ditandai dengan munculnya kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, opini dan berekspresi yang lebih terbuka, serta kemampuan untuk berkompetitif dalam persaingan dan pasar bebas, khususnya di bidang jasa teknologi informasi dan bisnis lainnya yang mampu menerobos (penetration) batas-batas wilayah suatu negara (borderless), dan sehingga dampaknya sulit dibendung oleh negara lain sebagai target sasarannya.
Seperti yang diungkapkan oleh Marshall McLucan dalam bukunya Understanding Media, ia meramalkan bahwa dunia ini akan menjadi perkampungan besar (global village) karena di mana pun manusia akan hidup seolah-olah tidak lagi terkotak-kotak oleh batas wilayah, tempat, dan waktu. Hal ini membawa implikasi baik bersifat positif dan negatif dari akibat kemajuan teknologi informasi kom- puterisasi (internet) yang canggih, serba cepat, tepat, dan akurasi dalam era globalisasi. Konsekuensinya seakan-akan negara-negara di mana pun akan kehilangan batas geografis, teritorial, kedaulatan, serta sistem kepemerintahan dan lain sebagainya karena dampak dari “terobosan” atau “bias” informasi yang disebarluaskan dan memiliki pengaruh tanpa ada yang mampu membendungnya. Kini terlihat jelas pengaruhnya terhadap perubahan kebudayaan, perilaku, gaya, pola dan pandangan hidup masyarakat. Selera konsumen pun terjadi pergeseran yang cukup signifikan dari tradisional menuju ke modernisasi dan berselera global.
jadi, mau tidak mau diperlukan penyesuaian, perubahan (revisi) dan modifikasi mengenai seperangkat peraturan dan perundang-undangan yang ada, baik di bidang hukum komunikasi, etika, maupun kode etik profesi (code of profession) khususnya profesi Kehumasan (public relations ethics), Jurnalistik/Pers media cetak dan elektronik, Periklanan, Promosi Pemasaran, dan bidang profesi komunikasi lainnya.
Selama ini terdapat tiga unsur yang terkait dengan kepentingan tertentu, misalnya bidang pers atau jurnalistik dan merupakan bagian dari “tripartite” yang berkepentingan langsung terhadap pengelolaan media massa, yaitu unsur pemerintah, pers, dan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Contohnya pada saat ini ditemui kesulitan untuk merevisi UU Penyiaran di era reformasi secara pas, aspiratif, dan akomodatif sekaligus normatif untuk ditaati dan dipatuhi sebagai “aturan mainnya” baik bagi para pelaku, dan konsumen, maupun regulatornya. Di satu pihak pemerintah berkepentingan untuk mengatur kebijaksanaan penggunaan saluran frekuensi siaran elektronik, flow of information demi kepentingan politik dan sebagai upaya membina pertumbuhan pers yang sehat dan kompetitif dengan mengacu pada pers bebas yang bertanggung jawab sesuai dengan etika, kode etik pers atau jurnalistik, dan aspek- aspek hukum yang berlaku.
Di lain pihak pengelola bisnis pers (pengusaha), khususnya media elektronik TV komersial berkepentingan dengan aspek ekonominya karena dana investasinya bernilai sangat besar, termasuk adanya kepemilikan silang di tangan satu pemilik (konglomerasi atau bisnis monopoli kelompok media masa tertentu) atau disebut dengan Multi Media Business. Misalnya, pemilik stasiun komersial TV Metro sekaligus mengelola surat kabar harian umum Media Indonesia. Kemudian, Gramedia Group menguasai bisnis surat kabar Kompas dengan media cetak turunan lainnya, di samping itu memiliki Stasiun Radio Swasta Niaga Sonora serta Kompas Cyber Media. Kelompok Group Tempo, memiliki majalah mingguan berita Tempo (versi Indonesia dan Inggris) bersinergi dengan Tempo Interactive, surat kabar Koran Tempo, radio swasta 68 H dan mungkin mendatang akan muncul TV Komersial Tempo dan sebagainya. Hal yang harus diperhatikan adalah kepentingan pihak publik atau masyarakat yang berhak untuk tahu (right to know), memperoleh informasi (right to get information), memilih (right to choice), serta berhak untuk didengar dan diperhatikan (right to be hearing).
Pada dasarnya titik tolaknya adalah menciptakan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) yang hendak dicapai atau dikembangkan oleh pihak profesi bidang komunikasi pada umumnya, dan khususnya praktisi kehumasan (public relations practioners) melalui kode etik dan etika profesi sebagai refleksi bentuk tanggung jawab, perilaku, dan moral yang baik serta aspek-aspek hukum yang mengatur peran dan fungsi humas sebagai penyandang profesi terhormat, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek kode perilaku sebagai berikut:
Code of conduct, merupakan kode perilaku sehari-hari terhadap integritas pribadi, klien dan majikan, media dan umum, serta perilaku terhadap rekan seprofesinya.
Code of profession, merupakan standar moral, bertindak etis dan memiliki kualifikasi serta kemampuan tertentu secara profesional.
Code of publication, merupakan standar moral dan yuridis etis melakukan kegiatan komunikasi, proses dan teknis publikasi untuk menciptakan publisitas yang positif demi kepentingan publik
Code of enterprise, menyangkut aspek hukum perizinan dan usaha, UU PT, UU Hak Cipta, Merek dan Paten, serta peraturan lainnya.
Selanjutnya dalam falsafah hukum, ditelaah pengertian hubungan antara etik (etika) dan hukum, dengan latar belakang pemahaman aliran naturrecht dan aliran positivisme. Pengikut aliran naturrecht secara tegas tidak mengenal pemisahan antara etik dengan hukum. Artinya, kalau terjadi pelanggaran etik, kode etik atau etika profesi akan sama dengan pelanggaran suatu hukum. Misalnya, pelanggaran kode etik pers yang dilakukan majalah mingguan berita Tempo pada masa pemerintah Orde Baru. Pelanggaran tersebut dianggap sama dengan pelanggaran hukum dan dikenakan sanksi pencabutan SIUPP (dibredel) melalui penafsiran sepihak kepentingan pusat kekuasaan politik (machtrecht) tanpa melalui proses hukum atau pengadilan. Walaupun kasus tersebut sampai ke tingkat PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) dan Tempo dimenangkan oleh pengadilan untuk pembatalan demi hukum pencabutan SIUPP Tempo, namun Menpen RI, Harmoko "bersikukuh" untuk tetap membredelnya.
Sebaliknya, aliran positivisme lebih mengonsentrasikan perhatian terhadap isi dan hukum yang berlaku, yaitu hukum positif (supremasi hukum) dalam pelaksanaan di lapangan bidang hukum (law enforcement) yang lebih konkret. Pada aliran ini, asas positivisme mengenal adanya pemisahan tegas antara etik dan hukum. Kemudian, secara prinsip pada aliran naturrecht, norma-norma etik dengan jalan tertentu mempunyai relevansi terhadap isi dan berlakunya hukum positif, dengan tidak mengadakan pemisahan tajam secara prinsip antara etik dan hukum.
NORMA DAN KAIDAH
Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal istilah norma-- norma atau kaidah, yaitu suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman sebagai norma (norm) atau kaidah merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi (Soekanto, 1989:7).
Dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang beraneka ragam, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri. Akan tetapi, kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat yang disebut peraturan hidup.
Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupan dengan aman, tertib, dan damai tanpa gangguan tersebut, diperlukan suatu tata (orde=ordnung). Tata itu diwujudkan dalam "aturan main" yang menjadi pedoman bagi segala pergaulan kehidupan sehari-hari sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin.
Setiap anggota masyarakat mengetahui "hak dan kewajibannya masing- masing sesuai dengan tata peraturan." Tata itu lazim disebut "kaidah" (bahasa Arab) dan "norma" (bahasa Latin) atau ukuran-ukuran yang menjadi pedoman. Norma-norma tersebut menurut isinya terbagi menjadi dua jenis sebagai berikut:
Perintah, merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang baik.
Larangan, merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang tidak baik.
Arti norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat, perbuatan- perbuatan mana yang harus dijalankannya, dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari (Kansil, 1989:81). Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi yang berupa ancaman hukuman terhadap orang yang telah melanggarnya. Namun, dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifat pelanggaran yang terjadi. Contohnya adalah sebagai berikut:
Semestinya orang tahu aturan tidak akan berbicara sambil mengisap rokok di hadapan tamu atau orang yang dihormatinya. jika hal itu dilakukan sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap tidak sopan walaupun merokok itu tidak dilarang.
Seseorang tamu yang hendak pulang, menurut tata krama harus diantar sampai di muka pintu rumah atau kantor. Bila tidak diantar, sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap sombong dan tidak menghormati tamunya.
Mengangkat gagang telepon seharusnya sebelum bunyi yang ketiga kalinya serta mengucapkan salam. jika mengangkat telepon sedang berdering dengan kasar, sanksinya dianggap "interupsi" dan menunjukkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang ada di sekitarnya.
Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, sanksinya cukup berat dan yang bersangkutan dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara maupun perdata (ganti rugi).
Dalam pergaulan hidup terdapat empat kaidah atau norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum. Dalam pelaksanaannya, norma terbagi lagi menjadi norma-norma umum (nonhukum) dan norma hukum. Pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah sebagai berikut:
Aspek kehidupan pribadi (individual), meliputi:
kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman;
kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nurani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah).
Aspek kehidupan antarpribadi (bermasyarakat); meliputi:
kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama, dan etiket dalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat (pleasant living together);
kaidah-kaidah hukum yang tertuju pada terciptanya ketertiban, kedamaian, dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful living together).
Sementara itu, masalah norma nonhukum merupakan masalah yang cukup penting dan selanjutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas/PR. Misalnya, nilai- nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau bermasyarakat sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi, dan ditaati.
Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang dokter ketika mengobati pasiennya atau dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap para mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana profesional tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, jujur, bermoral, penuh integritas, dan bertanggung jawab.
Terlepas dari mereka sebagai profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan adalah "sikap atau perilaku" mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama atau kehidupan manusia.
Pada akhirnya, nilai moral, etika, kode perilaku, dan kode etik standar profesi memberikan jalan, pedoman, tolok ukur, dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing. Pengambilan keputusan etis atau etik merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya secara matang, baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara objektif, sekaligus memiliki tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi yang dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukan ditujukan untuk melindungi kepentingan individual (subjektif), tetapi lebih ditekankan pada kepentingan yang lebih luas (objektif).
ETIKET
Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda walaupun ada per- samaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya, memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Istilah etiket berasal dari etiquette (Prancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta, dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan sikap serta perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi.
Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.
Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, selain memiliki persamaan etika dan etiket juga memiliki empat perbedaan secara umum sebagai berikut:
Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket menetapkan cara untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan.
Etika adalah nurani (batiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan.
Etika bersifat absolut, artinya ticlak dapat ditawar-tawar lagi. Kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi. Etiket bersifat relatif, yaitu hal yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, belum tentu di daerah lainnya juga tidak sopan.
Etika berlaku tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir. Etiket hanya berlaku jika ada orang lain yang hadir. jika tidak ada orang lain, etiket itu tidak berlaku.
Profesi
1. Pengertian Profesi
Secara estimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris profession atau bahasa latin profecus yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu(Nasional, 2001).
Maka orang yang berprofesi artinya orang yang mempunyai profesi. Profesional berarti bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.
Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik(Sopwan Hadi,2010) .
Beberapa ahli memberikan definisi profesi berbeda, misalnya Dr. Sikun Pribadi mengatakan “profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu”(Hamalik, 2002). Volmel dan Mills, mendefenisikan profesi sebagai suatu spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui studi dan training yang bertujuan untuk mensuplai keterampilan melalui pelayanan dan bimbingan pada orang lain(Herawati, 2009).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu kepandaian khusus yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh melalui pendidikan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan tertentu.
2. Ciri-ciri Profesi
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu:
a. Adanya Pengetahuan Khusus.
Ciri ciri profesi yang pertama adalah terdapat pengetahuan khusus. Umumnya, keahlian dan keterampilan ini dimiliki lantaran proses pendidikan, pelatihan atau suatu pengalaman yang sudah dijalani selama bertahun-tahun. Sehingga, bisa dipastikan bahwa seseorang dikatakan memiliki profesi apabila ia memiliki pengetahuan khusus
b. Adanya Kaidah dan Standar Moral yang Tinggi.
Selanjutnya, profesi memiliki ciri berupa adanya kaidah dan standar moral yang tinggi. Umumnya, masing-masing perilaku di dalam profesi mendasarkan aktivitas dan perbuatannya kepada kode etik profesi.
c. Mengabdi untuk Kepentingan Masyarakat.
Ciri yang selanjutnya dari profesi adalah terdapat unsur mengabdian kepada kepentingan masyarakat. Maksudnya adalah, masing-masing pelaksana dari profesi harus mengutamakan kepentingan yang terdapat di masyarakat ketimbang kepentingan pribadi.
d. Ada Izin Khusus untuk Menjalankan Suatu Profesi.
Profesi juga memiliki ciri ada izin khusus untuk menjalankan sebuah profesi tertentu. Disadari atau tidak, setiap profesi akan bersinggungan dengan kepentingan yang ada di masyarakat, sehingga berbagai nilai kemanusiaan seperti keselamatan, kelangsungan hidup, keamanan dan sebagainya yang menuntut sebuah profesi harus memperoleh izin khusus.
e. Dijalankan oleh Kaum Profesional.
Ciri selanjutnya dari suatu profesi adalah dijalankan oleh anggota yang merupakan kaum profesional. Setiap profesi memang harus dilakukan secara profesional. Tidak bisa semena-mena dan harus mengikuti tugas serta aturan yang berlaku. Maka, yang bisa menjalani sebuah profesi dengan baik adalah para kaum professional(https://jagad.id/definisi-profesi, no date).
3. Macam Macam Jenis Profesi
Macam-macam jenis profesi banyak sekali yang dapat dilakukan, mulai dari pekerjaan yang ringan, hingga pekerjaan yang menguras pikiran dan tenaga. Akan tetapi tidak semua pekerjaan bisa disebut sebagai profesi karena profesi dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian dari pendidikan kejuruan. Termasuk menguasai teori secara sistematis yang mendasari praktik pekerjaannya. Orang yang tahu dan menguasai keahliannya disebut profesional.
Bisa dikatakan profesional inilah yang menerapkan profesinya. Berikut ini ada berbagai jenis pekerjaan dan profesi yang ada di sekitar kita, diantaranya:
1. Presiden
Presiden adalah profesi dan pekerjaan yang tertinggi dalam suatu negara modern. Sebutan untuk pemimpin negara sebenarnya ada berbagai macam sebutan. Di Arab Saudi misalnya, pemimpinnya disebut dengan panggilan Raja. Hal ini terjadi karena memang Arab Saudi adalah sebuah negara dengan sistem pemerintahan kerajaan Islam. Di Malaysia, kepala negaranya dinamakan Perdana Menteri, Di Jepang sering disebut dengan nama Kaisar, dan yang lainnya.
Pemimpin negara adalah jenis pekerjaan yang unik. Menjadi pemimpin negara bukanlah sebuah hal yang patut disombongkan, karena sebenarnya seorang pemimpin negara sedang dihadapkan kepada amanat yang benar-benar besar dengan cakupan yang sangat luas. Seorang Presiden dituntut untuk melakukan tindakan yang jelas, tegas, dan pro kepada rakyatnya
2. Guru
Guru dapat diartikan sebagai orang yang mengajar dan menyediakan pendidikan bagi orang lain. Guru merupakan salah satu profesi yang dianggap mulia oleh banyak orang karena membantu dalam bidang pendidikan masyarakat di seluruh dunia. Guru sering berperan formal dan berkelanjutan, bekerja dengan cara berprofesi di sekolah maupun di tempat pendidikan lainnya. Untuk menjadi seorang guru tentunya harus mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus.
3. Ilmuan
Ilmuan dapat diartikan sebagai orang yang melakukan kegiatan secara sistematis atau kegiatan ilmiah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
4. dan seterusnya...