Mengambil Hikmah Di Penjara



Bantuan dari Tuhan Robbul Alamiin Teramat Diperlukan Dalam Penuntasan Perkara 


Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah

يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ

Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah ﷻ  

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Matan

Firman Allah ﷻ:

يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ

“Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah ﷻ, seperti sangkaan jahiliyah, mereka berkata: “apakah ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, katakanlah: “sungguh urusan itu seluruhnya di Tangan Allah.” (QS. Ali Imran: 154).

وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan supaya dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan, dan orang-orang Musyrik laki laki dan orang-orang musyrik perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah, mereka akan mendapat giliran (keburukan) yang amat buruk, dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al Fath: 6).

Ibnul Qayyim dalam menafsirkan ayat yang pertama mengatakan: “Prasangka di sini maksudnya adalah bahwa Allah ﷻ tidak akan memberikan pertolonganNya (kemenangan) kepada Rasul-Nya, dan bahwa agama yang beliau bawa akan lenyap.”

Dan ditafsirkan pula: “Bahwa apa yang menimpa beliau bukanlah dengan takdir (ketentuan) dan hikmah (kebijaksanaan) Allah.”

Jadi prasangka di sini ditafsirkan dengan tiga penafsiran:

Pertama: mengingkari adanya hikmah Allah.

Kedua: mengingkari takdir-Nya.

Ketiga: mengingkari bahwa agama yang dibawa Rasulullah akan disempurnakan dan dimenangkan Allah atas semua agama.

Inilah prasangka buruk yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik yang terdapat dalam surat Al-Fath.

Perbuatan ini disebut dengan prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak layak untuk Allah ﷻ, tidak patut terhadap keagungan dan kebesaran Allah ﷻ, tidak sesuai dengan kebijaksanaanNya, PujiNya, dan janjiNya yang pasti benar.

Oleh karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah ﷻ akan memenangkan kebatilan atas kebenaran, disertai dengan lenyapnya kebenaran; atau berprasangka bahwa apa yang terjadi ini bukan karena Qadha dan takdir Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar sekali dalam takdir-Nya, yang dengan hikmah-Nya Allah berhak untuk dipuji; bahkan mengira bahwa yang terjadi hanya sekedar kehendak-Nya saja tanpa ada hikmah-Nya, maka inilah prasangka orang orang kafir, yang mana bagi mereka inilah Neraka “Wail”.

Dan kebanyakan manusia melakukan prasangka buruk kepada Allah ﷻ, baik dalam hal yang berkenaan dengan diri mereka sendiri, ataupun dalam hal yang berkenaan dengan  orang lain, bahkan tidak ada  orang yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang benar-benar mengenal Allah, Asma dan sifat-Nya, dan mengenal kepastian adanya hikmah dan keharusan adanya puji bagi-Nya sebagai konsekwensinya.

Maka orang yang berakal dan yang cinta kepada dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan masalah ini, dan bertaubatlah kepada Allah, serta memohon maghfirah-Nya atas prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah ﷻ.

Apabila anda selidiki, siapapun orangnya pasti akan anda dapati pada dirinya sikap menyangkal dan mencemoohkan takdir Allah, dengan mengatakan hal tersebut semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit sangkalannya dan ada juga yang banyak. Dan silahkan periksalah diri anda sendiri, apakah anda bebas dari sikap tersebut?

فَإَنْ تَنْجُ مِنْهَا تَنْجُ مِنْ ذِيْ عَظِيْمَةٍ   وَإْلاَّ فَإِنِّيْ لاَ إِخَالَكَ نَاجِيًا

“Jika anda selamat (selamat) dari sikap tersebut, maka anda selamat dari malapetaka yang besar, jika tidak, sungguh aku kira anda tidak akan selamat.”

Syarah:

Pada dua ayat di atas yaitu surat Al-Imron ayat 154 dan surat Al-fath ayat 6 Allah ﷻ menyebutkan tiga penamaan prasangka buruk terhadap Allah ﷻ.

Pertama: prasangka yang tidak benar,

Kedua: prasangka jahiliyah,

Ketiga: prasangka buruk.

Ketiga penamaan ini memiliki makna yang sama yaitu berprasangka kepada Allah dengan persangkaan yang tidak pantas dengan Maha sempurnanya Allah ﷻ. Hal ini dilarang oleh syari’at, kita tidak boleh berperasangka buruk kepada Allah ﷻ dalam segala hal. Dan merupakan bagian dari ibadah adalah berprasangka baik kepada Allah ﷻ.

Pada ayat pertama Allah ﷻ mengatakan bahwa orang munafik berprasangka kepada Allah ﷻ dengan prasangka yang tidak benar. Mereka mengatakan “apakah kami tidak memiliki pengaturan sedikitpun”, maksudnya jika mereka (kaum munafiq) yang mengatur peperangan, maka kaum muslimin tidak akan kalah dalam peperangan (perang uhud). Maka Allah SWT menjawab mereka dengan mengatakan bahwa semua keputusan ada di tangan Allah SWT.

Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan tentang berprasangka buruk kepada Allah ﷻ beliau menjelaskan dengan penjelasan yang sangat panjang yang di nukil oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab tauhid secara singkat. Ibnul Qayyim menjelaskan penjelasan tersebut dalam kitabnya Zaadul ma’aad ketika menyebutkan tentang faedah-faedah dari perang uhud.([1]) Beliau menyebutkan contoh-contoh dari berprasangka buruk kepada Allah ﷻ yang tidak pantas bagi kita untuk melakukan hal-hal tersebut.

Kunci agar seseorang tidak berprasangka buruk kepada Allah SWT adalah ia harus meyakini akan Maha sempurnanya Allah SWT yaitu Allah SWT Maha melihat, Maha mengetahui, Maha mendengar, dan yang lainnya. Dan di antara kesempurnaan Allah ﷻ yang sangat penting untuk diyakini adalah Allah SWT Maha hikmah atau bijak. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT banyak menyebutkan

وَهُوَ العَزِيْزُ الحَكِيْمُ

“Dan Dia Yang Maha perkasa dan Maha bijaksana”([2])

Di antara nama-nama Allah SWT adalah الحَكِيْمُ yaitu yang Maha bijak. Tidak mungkin Allah ﷻ menakdirkan sesuatu dalam alam semesta tanpa perhitungan dan tanpa mengetahui tujuan, karena Allah adalah Maha Bijak ([3])  .  Seseorang jika telah meyakini hal ini, maka tidak mungkin ia akan berprasangka buruk kepada Allah SWT, sebab ia tahu bahwa Allah SWT akan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Allah Maha adil dan Maha bijak, jika Allah SWT melakukan sesuatu pasti Allah lakukan yang terbaik dan terbenar sebab Allah SWT yang mengetahui segalanya.

Terkadang jika terjadi suatu peristiwa kita tidak mengetahui apa hikmah dari peristiwa tersebut. Akan tetapi tetap kita harus meyakini bahwa pasti ada hikmah dibalik peristiwa tersebut, sebab Allah SWT adalah Maha bijak, Allah SWT memiliki hikmah-hikmah yang tinggi dan sempurna.  Oleh karenanya jika kita tidak mengetahui hikmah dari suatu peristiwa, maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Allah ﷻ, karena banyak hal yang kita tidak mengerti, sebab ilmu kita tidak sampai kepada ilmu Allah ﷻ.

Contoh logika yang dapat memberikan pendekatan pemahaman terhadap perbedaan ilmu Allah SWT dan ilmu Makhluk. Seorang ayah yang ingin menyunati anaknya yang masih berusia empat tahun, ia akan kesulitan memberikan penjelasan kepada anaknya agar mau di sunat. Jika si ayah menjelaskan kepada anaknya tujuan dan hikmah dari sunat secara ilmiah bahwa sunat itu untuk kesehatan, kemudian sunat itu adalah syari’at islam dan yang lainnya, maka yang terjadi adalah si anak tidak akan mengerti penjelasan tersebut, sebab otak anak belum bisa atau belum sampai untuk bisa memahami hal tersebut. Maka cukup bagi si ayah menjelaskan dengan penjelasan yang sesuai dengan pemahaman anak, misalkan mengatakan kepada si anak, “jika kamu sunat, maka ayah akan memberikan kamu hadiah”. Maka anak akan paham, dan akan menerima untuk di sunat.

Contoh lainnya. Seseorang jika berobat kepada seorang dokter, maka di akhir pemeriksaan ia akan diberikan resep obat oleh dokter yang terkadang tanpa memberikan penjelasan secara detail dari fungsi obat-obat tersebut. Akan tetapi orang tersebut akan tetap menuruti dengan menebus obat-obat tersebut kemudian mengkonsumsinya tanpa memahami dengan jelas fungsi dari obat-obat tersebut. Mengapa demikian? Karena orang ini telah meyakini bahwasanya dokter adalah orang yang pakar dalam bidangnya sehingga ia tidak perlu lagi untuk bertanya tentang fungsi-fungsi dari obat tersebut, bila dijelaskan pun bisa jadi orang ini tidak memahami penjelasan tersebut, sebab otak orang ini tidak bisa atau tidak sampai untuk memahami hal tersebut.

Oleh karenanya jika Allah SWT menakdirkan banyak hal, maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Allah SWT.


Bentuk-bentuk berprasangka buruk kepada Allah ﷻ

Disini penulis ingin menyebutkan beberapa contoh dari sikap berprasangka buruk kepada Allah ﷻ yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad. Sebenarnya butuh penjelasan yang lebar untuk menjelaskan contoh-contoh ini, sebab Ibnul Qayyim ketika menjelaskan berprasangka buruk kepada Allah ﷻ, ia membantah seluruh firqah-firqah sesat dari ahlul bid’ah. Akan tetapi disini penulis hanya menyebutkan contoh-contoh tersebut secara ringkas.

Berikut adalah beberapa contoh dari sikap berprasangka buruk kepada Allah yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad.([4])

Terkadang Allah SWT menakdirkan kaum muslimin dalam kekalahan dan penderitaan. Akan tetapi semua takdir ini ada hikmahnya.  Pada saatnya nanti kaum muslimin akan jaya, tauhid akan tersebar, maka tidak boleh kita berprasangka buruk kepada Allah ﷻ.

Ini merupakan aqidah Asya’iroh([5]) yang mana mereka menafikan Ta’lil Af’alillah yaitu Allah SWT berbuat tanpa tujuan.([6]) Keyakinan seperti ini tidaklah benar. Bagaimana mungkin dikatakan Allah ﷻ berbuat tanpa tujuan, sedang Allah SWT Maha berilmu, Allah SWT menakdirkan, dan Allah SWT melakukan semuanya pasti dengan tujuan.

Hal ini termasuk perbuatan berprasangka buruk kepada Allah SWT. Jika saja seorang bos di sebuah perusahaan di anggap buruk dan tidak beres karena tidak menyelesaikan masalah dibawahannya, tidak menghakimi di antara karyawannya yang bertikai dengan membiarkan begitu saja, tidak menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, maka bagaimana dengan Allah SWT yang Maha bijak. Apakah pantas Allah SWT melakukan hal seperti itu? Allah SWT tidak mungkin menciptakan seluruh manusia kemudian membiarkannya begitu saja tanpa meminta pertanggungjawaban. Pembiaran Allah SWT kepada orang-orang zhalim atas perlakuan mereka di dunia tanpa meminta pertanggungjawaban mereka kelak di akhirat merupakan perbuatan prasangka buruk kepada Allah SWT. Hal ini seperti prasangka buruknya orang-orang musyrikin kepada Allah SWT karena menyangka Allah SWT tidak akan membangkitkan manusia kelak di akhirat.

Hal ini adalah perbuatan yang terlarang, sebab termasuk bagian dari perbuatan prasangka buruk kepada Allah SWT. Bukan berarti jika Allah ﷻ memberikan harta kepada seseorang berarti Allah SWT memuliakan orang tersebut([7]). Jika harta adalah ukuran kemuliaan seseorang, berarti Fir’aun dan Namrud adalah orang-orang yang mulia. Para pelaku maksiat yang begitu kaya raya pun juga termasuk orang-orang yang mulia. Oleh karena itu harta bukanlah ukuran kemuliaan seseorang, bahkan bisa jadi seseorang dihinakan oleh Allah SWT melalui jalan harta ([8]).

Hal yang semisal juga seperti perkataan seseorang, “Kenapa Allah SWT membuat wabah ini? Seharusnya Allah SWT tidak berbuat ini”. Kemudian juga perkataan seseorang, “Kenapa Allah SWT menciptakan Iblis? Seharusnya Allah SWT tidak menciptakan mereka”.

Perkataan-perkataan semisal ini menggambarkan seakan-akan Allah SWT tidak memahami sisi yang baik. Kemudian orang yang mengatakan perkataan-perkataan tersebut memahami sisi yang baik. Inilah bentuk prasangka buruk kepada Allah ﷻ.

Menyangka hal seperti ini merupakan perbuatan prasangka buruk kepada Allah ﷻ.  Bukankah Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Sungguh Allah SWT tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”.([9])

Allah SWT juga menyebutkan banyak contoh dari kisah-kisah para nabi, yang mana Allah SWT menolong dan membantu mereka di dunia sebelum akhirat karena kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Maka jika kita melakukan suatu kebaikan, selain berharap pahala di sisi Allah SWT kita juga harus meyakini bahwa Allah SWT juga akan menolong dan membantu kita di dunia. Terkadang Allah SWT memberi kebaikan dan pertolongan kepada kita di dunia ini dengan cara yang lembut tanpa kita sadari. Jika saja setiap kebaikan dibalas oleh Allah SWT secara jelas atau terang-terangan, maka semua orang akan beriman dan berbuat baik. Tapi inilah ketentuan Allah SWT, Allah SWT menjadikan hal tersebut perkara ghoib yang berkaitan dengan iman. Akan tetapi walaupun ghoib, kita tetap bisa merasakan balasan dari Allah SWT dari setiap kebaikan yang kita lakukan, baik cepat atau lambat, bahkan Allah SWT terkadang balas satu kebaikan dengan berlipat-lipat.

Nabi SAW pernah bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya engkau tidak meninggalkan sesuatu karena Allah, melainkan Allah akan menggantikan bagimu dengan yang lebih baik darinya”.([10])

Hal ini menunjukkan bahwasanya seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah SWT ia harus berprasangka baik kepada Allah SWT, meyakini bahwasanya Allah SWT akan ganti sesuatu yang lebih baik dari apa yang ditinggalkannya. Sebab jika ia tidak meyakini hal tersebut, maka ia telah melakukan prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ pernah berkata dalam hadits qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

“Aku sesuai dengan prasangka hambaku kepadaku, hendaknya hambaku berprasangka kepadaku yang ia sukai. Jika ia berprasangka baik kepadaku maka kebaikan baginya, jika ia berprasangka buruk kepadaku maka keburukan baginya.”([11])

Ini adalah keyakinan yang salah. Benar amalan kita belum tentu diterima oleh Allah ﷻ, akan tetapi kita harus berprasangka baik kepada Allah ﷻ bahwasanya Allah ﷻ akan menerima amalan baik tersebut. Allah SWT berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.([12])

Tidak mungkin jika seseorang telah berusaha untuk melakukan amal shaleh semampunya kemudian Allah SWT tolak amalan tersebut tanpa sebab.

Keyakinan seperti ini akan membuat seseorang akan berputus asa dari rahmat Allah ﷻ, padahal Allah ﷻ berfirman:

لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah”([13])

Allah SWT melarang untuk berputus asa dari rahmatNya, kemudian kita malah meyakini bahwa Allah SWT tidak menerima taubat kita, maka ini adalah bentuk prasangka buruk kepada Allah SWT. Kita harus berprasangka baik kepada Allah SWT bahwa Allah akan menerima taubat kita.

Sebagaimana yang diungkapkan para penolak sifat bahwasanya ayat-ayat sifat yang terdapat pada Al-Qur’an dan pada hadits-hadist Nabi ﷺ haruslah ditakwil. Ungkapan seperti ini termasuk perbuatan prasangka buruk kepada Allah ﷻ, sebab melazimkan bahwasanya Allah ﷻ ingin menyesatkan hamba-hambanya dengan mendatangkan kata-kata yang zahirnya adalah kufur. Bahkan sebagian dari mereka mengungkapkan pada buku-buku mereka bahwasanya ayat-ayat ini adalah syirik, kufur, tasybih dan yang lainnya.

Sungguh mereka tidak beradab sama sekali kepada Allah ﷻ. Apakah mungkin Allah ﷻ tidak bisa mengungkapkan dengan pengungkapan yang baik sehingga manusia dapat memahaminya dengan mudah? Apakah Allah ﷻ tidak mampu mengungkapkan dengan yang terbaik? Mengapa Allah ﷻ tidak menyampaikan bahwasanya firman-firmannya haruslah ditakwil? Apakah kita harus menyangka bahwasanya Allah ﷻ sedang membuat teka-teki sehingga kita perlu mencari kebenaran dengan mentakwil?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas menunjukkan bahwasanya perbuatan para penolak sifat merupakan bentuk berprasangka buruk kepada Allah SWT.

Keyakinan seperti ini diyakini oleh orang-orang falasifah. Mereka mengatakan bahwasanya Allah SWT hanya mengetahui secara global tidak mengetahui secara detail. Keyakinan seperti ini terkadang menimpa kita yang mana seakan-akan kita meyakini bahwasanya Allah ﷻ tidak mengetahui apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sebab Allah ﷻ membiarkan mereka melakukan kerusakan kemudian tidak mengazab mereka. Sikap seperti ini merupakan bentuk prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Seakan-akan Allah tidak tahu dan kita tahu. Kemudian kita ingin mengajari Allah ﷻ bahwasanya seharusnya seperti ini dan seperti itu.

Maha suci Allah SWT, Allah SWT sungguh mengetahui segalanya, jangankan perbuatan manusia, bahkan daun-daun yang berjatuhan dari rantingnya pun Allah SWT tahu. Allah SWT berfirman:

وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا

“Dia (Allah) mengetahui apa yang di darat dan di laut. tidak ada sehelai daunpun yang gugur uang tidak diketahuiNya.”([14])

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ mengetahui seluruh apa yang terjadi di bumi ini. Perbuatan siapapun, baik muslim, kafir ataupun munafik Allah SWT tahu. Oleh karenanya jika kita menyangka bahwa Allah SWT tidak tahu apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sehingga kemudian Allah SWT tidak bersikap untuk memberi azab kepada mereka di dunia, maka ini adalah bentuk berprasangka buruk kepada Allah ﷻ.

Sebuah kisah tentang biografi seseorang yang termaktub dalam kitab Taarikh Baghdad, yaitu Ubaidillah bin Al-Hasan bin Husoin Al-Ambari salah seorang hakim dari bashroh.

Ubaidillah memiliki seorang budak yang cantik. Di suatu malam ia tidur bersama budaknya tersebut. Di tengah malam, ubaidillah tidak mendapati budaknya tersebut, maka terlintas dibenaknya bahwa ini adalah keburukan, Ubaidillah berprasangka buruk bahwasanya budak tersebut pergi kabur meninggalkan dirinya. Ubaidillah pun beranjak dari tidurnya kemudian mencari budak tersebut dirumahnya. Setibanya disana, maka Ubaidillah mendapati budaknya berada di pojok rumahnya sedang melakukan sholat malam. Kemudian budak tersebut berdoa kepada Allah dengan berkata:

اللّهم بِحُبِّكَ لِيْ اغْفِرْلِيْ

“Ya Allah, karena cintamu kepadaku, maka ampunilah aku”.

Maka setelah sholat, Ubaidillah menanyakan perihal doa yang dipanjatkan oleh budaknya dengan berkata, “wahai budakku janganlah engkau berkata demikian, akan tetapi katanlah ‘Ya Rabb, karena cintaku kepadamu maka ampunilah aku’.” Maka budak tersebut menjawab, “Ya Hakim, Allah SWT benar-benar mencintaiku, buktinya adalah Allah SWT mengeluarkanku dari kesyirikan menuju islam, dan Allah SWT cinta kepadaku, buktinya adalah Allah SWT membangunkanku untuk melakukan sholat malam”.

Mendengar jawaban dari budaknya, maka Ubaidillah membebaskan budaknya tersebut dengan mengatakan

أَنْتِ حُرٌّ لِوَجْهِ الله

“Engkau aku bebaskan karena Allah SWT”.

Ketika dibebaskan maka budak tersebut pun berkata kepada Ubaidillah, “Wahai tuanku, engkau telah menghilangkan dariku dua pahala menjadi satu pahala”. Maksudnya adalah ia mendapatkan dua pahala dari Allah SWT, pahala sebagai budak yang ta’at kepada Allah SWT dan pahala sebagai budak yang taat kepada tuannya.([15])

Doa yang dipanjatkan budak wanita di atas memang diperselisihkan oleh para ulama. Akan tetapi disini penulis hanya ingin menunjukkan bagaimana budak tersebut berprasangka baik kepada Allah SWT.  Intinya yang ingin penulis sampaikan adalah bahwasanya budak wanita ini adalah wanita yang shalihah.

Kita tidak bisa memastikan bahwasanya Allah SWT cinta kepada kita. Akan tetapi tanda-tanda yang menunjukkan hal tersebut banyak, misalnya seseorang diberi taufik untuk bisa berbakti kepada orang tua di saat banyak orang yang durhaka terhadap orang tuanya, maka ini merupakan tanda bahwa Allah SWT cinta kepadanya. Kemudian juga seseorang diberi pemahaman ilmu agama oleh Allah SWT di saat banyak orang-orang terlalai dari ilmu, maka ini merupakan tanda bahwasanya Allah SWT mencintainya. Kemudian juga orang yang diberi taufik untuk bisa menyisihkan hartanya untuk disedekahkan di saat banyak orang yang pelit untuk bersedekah, maka ini juga merupakan tanda bahwasanya Allah SWT cinta kepadanya.

Orang-orang seperti ini boleh bagi mereka untuk berprasangka baik kepada Allah ﷻ bahwasanya Allah SWT mencintainya. Adapun untuk memastikan, maka ini perkara lain, banyak para ulama yang tidak membolehkannya.

 

Matan

Kandungan bab ini:

Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________
([1]) Lihat Zaadul Maad: 3/213

([2]) QS. Ibrahim: 4

([3]) Tafsir As-Sam’ani, 1/65-66, Tafsir Ibnu Katsir, 1/225

([4]) Lihat Zaadul Maad: 3/213

([5]) Ar-Rozi berkata:

فَثَبَتَ أَنَّ تَعْلِيْلَ أَحْكَامِ اللهِ تَعَالَى بِالْمَصَالِحِ بَاطِلُ

“Maka tetaplah dengan semua ini, bahwa ta’lil perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla dengan mashlahat adalah keyakinan yang bathil (rusak)” (Al-Mahshul, Fakhruddin Ar-Rozi, 5/182)

As-Syihristani berkata :

مَذْهَبُ أَهْلِ الحَقِّ أَنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ العَالَمَ بِمَا فِيْهِ مِنَ الجَوَاهِرِ وَالْأَعْرَاضِ وَأَصْنَافِ الخَلْقِ وَالأَنْوَاعِ، لَا لِعِلَّةٍ حَامِلَةٍ لَهُ عَلَى الفِعْلِ سَوَاءٌ قُدِّرَتْ تِلْكَ العِلَّةُ، نَافِعَةً لَهُ أَوْ غَيْرَ نَافِعَةٍ، إِذْ لَيْسَ يَقْبَلُ النَّفْعَ وَالضَّرَّ، أَوْ قُدِّرَتْ تِلْكَ العِلَّةُ نَافِعَةً لِلْخَلْقِ، إِذْ لَيْسَ يَبْعَثُهُ عَلَى الفِعْلِ بَاعِثٌ فَلَا غَرَضَ لَهُ فِيْ أَفْعَالِهِ وَلَا حَامِلَ بَلْ عِلَّةُ كُلِّ شَيْءٍ صُنْعُهُ ولَا عِلّةَ لِصَنْعِهِ

“Madzhab Ahlu Al-Haq adalah: Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan alam dengan semua yang ada di dalamnya, baik dari jauhar (jism/sesuatu yang dapat dilihat dan disentuh -seperti manusia, pohon, dll. Yaitu semua yang menjadi tempat bagi ‘ardh) dan a’rodh (shifat -seperti sakit, mendengar, dll), dan macam-macam ciptaan, tanpa ada ‘illah (sebab/tujuan/faktor) yang mendorong Allah ‘Azza wa Jalla untuk melakukan hal itu. Sama saja, meskipun dikatakan bahwa ‘illah (pendorong) tersebut itu bermanfaat bagiNya ataupun tidak. Karena Allah ‘Azza wa Jalla adalah Dzat yang tidak menerima manfaat dan madhorot. Ataupun dianggap bahwa ‘illah itu bermanfaat bagi makhluq, karena tidak ada satupun hal yang mendorong Allah ‘Azza wa Jalla untuk melakukan sesuatu. Maka tidak ada tujuan bagiNya pada perbuatan-perbuatanNya, dan tidak ada pendorong bagiNya untuk melakukan sesuatu. Akan tetapi, illah (sebab) segala sesuatu adalah penciptaanNya, dan tidak ada ‘illah/sebab bagi penciptaanNya” (Nihayah Al-Iqdam, As-Syihristani, 390)

Lalu, bagaimana mereka memaknai shifat Hakim bagi Allah ‘Azza wa Jalla?

Saifuddin Al-Amidi berkata :

إّنَنَا لَا نُنْكِرُ كَوْنَ البَارِى تَعَالَى حَكِيْمًا وَذَلِكَ بِتَحَقُّقِ مَا يُتْقِنُهُ مِنْ صُنْعَتِهِ وَيَخْلُقُهُ عَلَى وِفْقِ عِلْمِهِ بِهِ وَبِإِرَادَتِهِ لَا بِأَنْ يَكُوْنَ لَهُ فِيْمَا يَفْعَلُهُ غَرَضٌ وَمَقْصُوْدٌ وَالْعَبَثُ إِنَّمَا يَكُوْنُ لَازِمًا لَهُ بِانْتِفَاءِ الغَرَضِ عَنْهُ أَنْ لَوْ كَانَ قَابِلًا لِلْفَوَائِدِ وَالاَغْرَاضِ.

“Sesungguhnya kami tidak mengingkari bahwa Allah ‘Azza wa Jalla itu adalah Dzat yang Hakim. Dan yang demikian (sifat hakim) adalah dengan benar-benar terjadinya ciptaanNya yang sempurna, dan Allah menciptakan semuanya sesuai dengan ilmunya tentangnya dan berdasarkan kehendaknya. Bukan dengan adanya tujuan dari perbuatannya. (Namun perbuatan Allah tanpa tujuan ini tidak bisa dikatakan dengan perbuatan sia-sia karena) yang namanya sia-sia hanya bisa dikatakan padaNya jika Allah memang bisa menerima tujuan dan manfaat lantas tidak melakukan dengan tujuan” (Ghoyatu Al-Marom Fi ‘Ilmi Al-Kalam, Saifuddin Al-Amidi, 223)

Padahal kita tahu, bahwa yang bisa melakukan sesuatu sesuai keinginannya dan ilmunya, tidaklah disebut dengan Hakim dan bijaksana. Bahkan di dalam bahasa arab, kalimat hakim digunakan untuk kalimat yang mengandung makna “pencegahan dari keburukan dan kerusakan”, maka Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan pernah melakukan hal yang buruk, baik pada hukum syariatNya, ataupun ciptaan-ciptaanNya. Karena asal dari kalimat “hakim” adalah “Al-Hukmu” yang bermakna “Al-Man’u”. Bukankah bisa jadi seorang penjahat melakukan sesuatu kejahatan berdasarkan ilmu dan kehendaknya?, apakah penjahat tersebut disebut dengan Hakim?

Sungguh orang yang melakukan sesuatu tanpa tujuan maka jelas disifati dengan perbuatan sia-sia, maka bagaimana hal ini ditujukan kepada Allah, bahwa Allah berbuat dan menciptakan tanpa ada tujuan sama sekali?, bukankah ini perbuatan sia-sia?.

Adapun syubhat-syubhat yang berkaitan dengan hal ini dan bantahannya maka silahkan baca Tesis kami yang diterjemahkan dengan judul “Menjawab Syubhat Para Penolak Sifat Allah” pada sub judul berkaitan tentang sifat al-Hikmah.

([6]) Lihat Majmu’ Alfatawa: 8/37

([7]) Bahkan, bisa jadi Allah buka kenikmatan dunia pada sebagian kaum sebagai bentuk istidroj dan agar mereka semakin sengsara nantinya. Allah berfirman :

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Dan tatkala mereka lupa akan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan untuk mereka semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka secara tiba-tiba. Dan tatkala itu merekapun terdiam putus asa” (Q.S. Al-An’am : 44)

Ibnu Taimiyyah berkata :

وَأَنَّهُ لَيْسَ كُلُّ مَنْ أُعْطِيَ مَالًا أَوْ دُنْيَا أَوْ رِيَاسَةً كَانَ ذَلِكَ نَافِعًا لَهُ عِنْدَ اللَّهِ، مُنْجِيًا لَهُ مِنْ عَذَابِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ. وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إلَّا مَنْ يُحِبُّ.

“Sesungguhnya tidak semua yang diberikan harta atau dunia, atau kedudukan, bermanfaat baginya di sisi Allah, serta menyelamatkannya dari adzab Allah. Karena Allah memberikan dunia ini kepada yang Allah cintai dan yang tidak Allah cinta. Dan sesungguhnya Allah tidaklah memberi iman kecuali kepada orang yang Dia cintai” (Al-Fatawa Al-Kubro, Ibnu Taimiyyah, 2/420).

([8]) Akan tetapi, seseorang itu bisa dikatakan dimuliakan Allah, jika Allah memberikan kepadanya hidayah mengikuti kebenaran dan istiqomah di atas kebenaran. Jika harta tersebut menjadikannya dekat kepada Allah maka berarti dia dimuliakan oleh Allah, jika tidak maka tidak. Jangankan harta, bahkan seseorang yang memiliki “kesaktian” tidak serta merta berarti dia dimuliakan oleh Allah. Ibnu Taimiyyah berkata:

وَيُعِدُّونَ مُجَرَّدَ خَرْقِ الْعَادَةِ لِأَحَدِهِمْ بِكَشْفِ يُكْشَفُ لَهُ أَوْ بِتَأْثِيرِ يُوَافِقُ إرَادَتَهُ هُوَ كَرَامَةٌ مِنْ اللَّهِ لَهُ وَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ إهَانَةٌ وَأَنَّ الْكَرَامَةَ لُزُومُ الِاسْتِقَامَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَمْ يُكْرِمْ عَبْدَهُ بِكَرَامَةِ أَعْظَمَ مِنْ مُوَافَقَتِهِ فِيمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ وَهُوَ طَاعَتُهُ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ وَمُوَالَاةُ أَوْلِيَائِهِ وَمُعَادَاةُ أَعْدَائِهِ

“Dan mereka menganggap bahwa kesaktian salah seorang dari mereka berupa mukasyafah, atau kejadian yang sesuai dengan apa yang dia inginkan, berarti itu adalah karomah dari Allah untuknya, sedangkan ia tidak sadar bahwa yang demikian adalah penghinaan dari Allah untuknya. Dan sesungguhnya karomah adalah senantiasa istiqomah, dan sesungguhnya Allah tidak pernah memuliakan hambanya dengan suatu karomah yang lebih berharga dari Allah memberinya hidayah untuk senantiasa sesuai dengan apa yang Allah cintai dan Allah ridhoi. Yaitu taat kepada Allah dan RasulNya, dan loyal kepada wali-waliNya dan memusuhi musuh-musuh Allah” (Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 10/29-30)

Maka dapat kita simpulkan, bahwa semua kenikmatan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada hambanya, bisa dikatakan sebagai pemuliaan terhadapnya, jika kenikmatan-kenikmatan itu ia gunakan dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan jika ia tidak gunakan untuk hal itu, maka yang demikian adalah penghinaan Allah ‘Azza wa Jalla untuknya.

([9]) QS. At-Taubah: 120

([10]) H.R. Ahmad no. 23074, dishahihkan oleh Al-Albani bahwa sanadnya sahih sesuai dengan syarat Muslim Silsilah Al-Ahadis Ash-Shahihah 2/734.

([11]) HR. Bukhori 7405 dan Muslim No. 2675

([12]) QS. Al-Baqarah: 286

([13]) QS. Az-Zumar: 53

([14]) QS. Al-An’am: 59

([15]) Lihat Tarikh Baghdad 12/7

Bersabar Akan Takdir Allah

 مِن الإِيْمَانِ بِاللهِ : الصَّبْرُ عَلَى أَقْدَارِ اللهِ

Bersabar Akan Takdir Allah

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc, MA.

Syarah

Sabar merupakan ibadah yang sangat mulia. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan tentang keutamaan sabar, sampai-sampai Imam Ahmad berkata:

ذَكَرَ الله الصَّبْرَ فِيْ تِسْعِيْنَ مَوْضِعًا مِنَ الْقُرْآن

Allah menyebutkan tentang sabar sebanyak sembilan puluh kali dalam Alquran.” (([1]))

Tentunya ini menunjukkan bahwa sabar adalah ibadah yang sangat agung, jika sekiranya sabar bukanlah ibadah yang agung maka tentu Allah tidak akan menyebutkan tentang kesabaran sebanyak sembilan puluh kali di dalam Alquran. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali keutamaan sabar. Di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ، الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah : 155-157)

Di antaranya juga Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah : 153)

Dan Allah telah menjanjikan pahala yang sangat besar untuk orang-orang yang bersabar:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu diberi ganjaran yang tak terhingga” (Q.S. Az-Zumar:10).

Berkata syaikh As-Sa’di, “Allah menjanjikan bagi mereka pahala tanpa terhitung, yaitu: tak terhingga, tanpa dihitung, tanpa diukur. Dan tidaklah yang demikian itu kecuali karena agungnya kesabaran”. ([2])

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah : 146)

Sejauh mana seseorang bisa bersabar, maka sejauh itu pula Allah Subhanahu wa ta’ala akan bersamanya dengan kebersamaan yang khusus.

Intinya banyak sekali ayat-ayat dalam Alquran yang menyebutkan tentang keutamaan sabar. Cukuplah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Dan tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” ([3])

Maka jika seseorang memiliki sifat sabar maka dia telah mendapatkan anugerah yang luar biasa dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, hendaknya seseorang melatih dirinya dengan kesabaran, karena jika dia telah bersabar maka dia akan menjalani kehidupan yang tenteram dan penuh kebahagiaan. Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah berkata,

وَجَدْنَا خَيْرَ عَيْشِنَا بِالصَّبْرِ

Dan kami mendapati kebaikan dalam hidup kami dengan bersabar.”([4])

Makna Sabar([5])

الصَّبْرُ (Ash-Shabr) dalam bahasa Arab maknanya adalah الْحَبْسُ (Al-Habsu) yang artinya adalah menahan. Adapun secara istilah, الصَّبْرُ adalah menahan lisan dari kata-kata yang buruk dan menandakan protes terhadap takdir Allah, menahan diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran, dan menahan hati untuk tidak suuzan dan marah kepada Allah ketika ditimpa dengan musibah.

Bentuk-bentuk Kesabaran

Para ulama menyebutkan bahwa sabar terbagi menjadi tiga bentuk: ([6])

Yang dijadikan bab oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bab ini adalah bentuk sabar yang ke-3, yaitu sabar dalam menghadapi musibah-musibah yang merupakan takdir Allah Subhanahu wa ta’ala.

Di antara tiga bentuk kesabaran ini, manakah yang lebih utama? ([7]) Kalau kita berbicara dari jenisnya, maka para ulama menyebutkan bahwa bersabar dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat jauh lebih utama daripada jenis sabar dalam menghadapi musibah. Hal ini disebabkan karena sabar dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat adalah الصَّبْرُ الاِخْتِيَارِيُّ (sabar pilihan), dan sabar dalam menghadapi musibah adalah الصَّبْرُ الاِضْطِرَارِيُّ (sabar terpaksa). Sabar pilihan terhadap ketaatan contohnya seseorang bisa memilih apakah dia mau pergi ke masjid untuk shalat atau tidak, adapun sabar pilihan dari maksiat contohnya seseorang bisa memilih apakah dia mau berzina atau tidak. Inilah yang dimaksud dengan sabar pilihan, seseorang akan dihadapkan dengan dua pilihan yaitu melakukan atau tidak. Berbeda dengan sabar dalam menghadapi musibah, seseorang yang mengalaminya tidak memiliki pilihan sama sekali sehingga dia harus bersabar dengan terpaksa. Contohnya adalah seseorang yang tertimpa penyakit, dia tidak dapat memilih untuk sakit atau tidak, akan tetapi dia tetap mendapatkan sakit tersebut sehingga tidak ada pilihan lain baginya selain bersabar. Oleh karenanya para ulama menyebutkan bahwa sabarnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam tatkala digoda oleh istri dari menteri (yang konon namanya adalah Zulaikha([8])) itu lebih berat daripada ketika dia dilemparkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Tatkala Nabi Yusuf ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam sumur, dia tidak punya pilihan lain selain bersabar, akan tetapi ketika dia digoda oleh wanita maka dia memiliki pilihan yaitu berzina atau tidak. Oleh karena itu, jika dilihat dari jenisnya maka sabar pilihan lebih utama daripada sabar terpaksa.

Para ulama kemudian membahas pula tentang yang mana lebih utama antara sabar dalam ketaatan dan sabar dalam meninggalkan maksiat. Khilaf di kalangan para ulama tentang yang mana lebih utama dari kedua jenis sabar ini. Pendapat pertama menyebutkan bahwasanya sabar dalam meninggalkan maksiat lebih agung di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala daripada sabar dalam ketaatan. Hal ini disebabkan oleh pendorong (motivasi) seseorang dalam bermaksiat jauh lebih besar dan berat daripada motivasi seseorang dalam meninggalkan ketaatan. Yang memotivasi seseorang dalam melakukan maksiat adalah syahwatnya, adapun yang mendorong seseorang untuk tidak taat adalah kemalasan. Dan kekuatan dorongan antara hawa nafsu dan kemalasan tentu jauh lebih kuat hawa nafsu. Oleh karena itu, dari sisi ini sebagian ulama berpendapat bahwa sabar meninggalkan maksiat lebih utama daripada sabar dalam menjalankan ketaatan. Pendapat kedua menyebutkan bahwasanya sabar dalam ketaatan lebih utama daripada sabar meninggalkan maksiat karena ditinjau dari jenisnya, ([9]) ketaatan jauh lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala daripada meninggalkan maksiat. Menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat sama-sama merupakan ibadah, akan tetapi jika dibandingkan antara keduanya maka ibadah dalam menjalankan ketaatan lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, dari sisi ini sebagian ulama berpendapat bahwasanya sabar dalam menjalankan ketaatan lebih utama daripada sabar dalam meninggalkan maksiat.

Ini di antara pembahasan para ulama terkait yang mana lebih utama dari bentuk-bentuk kesabaran. Akan tetapi kenyataannya, bisa jadi kita merasakan bahwa sabar dalam menghadapi musibah jauh lebih berat daripada bentuk sabar yang lainnya. Contohnya adalah seseorang yang diuji dengan meninggalkannya anaknya, maka tentu dia akan merasa bahwa sabar dalam menghadapi musibah itu jauh lebih berat daripada ujian untuk pergi shalat subuh berjemaah di masjid. Secara jenis mungkin benar sabar dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat lebih utama daripada sabar dalam menghadapi musibah, akan tetapi bisa jadi dalam sisi yang lain sabar dalam menghadapi musibah jauh lebih lebih utama. Contoh keutamaan dari sisi jenis adalah seperti laki-laki yang lebih utama daripada wanita, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perkataan ‘Imran,

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى

Dan laki-laki tidak sama dengan perempuan.” (QS. Ali-‘Imran : 36)

Akan tetapi meskipun demikian, faktanya ada wanita yang lebih utama daripada laki-laki karena kesalehannya. Oleh karenanya dalam sebagian sisi, sabar dalam menghadapi musibah lebih unggul daripada yang lainnya. Contoh kisah dalam hal ini adalah kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam yang dia diuji dengan ujian yang berat, bahkan sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa Nabi Ayub ‘alaihissalam menderita sakit selama tujuh tahun. Sakit yang Nabi Ayub ‘alaihissalam alami adalah sakit yang membuat orang-orang menjauh darinya karena saking jijiknya melihat tubuhnya yang sakit. Oleh karena itu, menjalani ujian seperti yang dialami oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam ini adalah bentuk sabar yang tidak mudah. Karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memuji Nabi Ayub ‘alaihissalam dalam firman-Nya:

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS. Shad : 44)

Ada dua hal yang perlu untuk kita perhatikan ketika kita bersabar:

Pertama, sabar itu adalah ibadah maka seseorang harus ikhlas. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’d : 22)

Sabar bukanlah perkara yang harus untuk dipamerkan (riya’). Tidaklah seseorang bersabar untuk dikatakan bahwa dia adalah orang yang tegar, akan tetapi seharusnya seseorang bersabar karena Allah yang memerintahkan kita untuk bersabar.

Hal ini penting untuk kita ingatkan karena sebagian orang bersabar bukan karena Allah, akan tetapi dia bersabar dalam ketaatan, meninggalkan kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah karena ingin dipuji. Contohnya adalah orang yang meninggalkan praktik riba. Sebagian orang mungkin meninggalkannya karena takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi sebagian yang lain karena takut dengan omongan dan cercaan orang lain sehingga akhirnya dia juga meninggalkan praktik riba tersebut. Oleh karena itu, hendaknya kita sadar bahwasanya sabar itu harus karena Allah Subhanahu wa ta’ala (ikhlas), bukan untuk meraih pujian orang-orang.

Kedua, sabar itu tidak akan dapat dilakukan oleh seseorang kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala, maka hendaknya kita meminta kesabaran tersebut kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ

Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl : 127)

Saudaraku, ketahuilah bahwa tidak mungkin kita bisa bersabar melangkahkan kaki kita untuk shalat subuh berjamaah di masjid secara berkesinambungan kecuali karena izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak mungkin pula seseorang bisa bersabar untuk mengumpulkan uang untuk bisa umrah dan haji kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala, karena tentu ujian di hadapannya untuk membeli ini dan itu sungguh sangat banyak. Ketika dia bisa bersabar dari itu semua maka tentunya kesabaran tersebut datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka jangan sampai di antara kita ujub dengan diri kita sendiri, karena kita bisa bersabar dalam menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat, karena itu adalah taufik dan izin dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukankah telinga kita selalu ingin mendengarkan hal-hal yang menyenangkan syahwat? Bukankah mata kita selalu ingin melihat hal-hal yang menyenangkan hawa nafsu kita? Dan bukankah lisan kita selalu ingin berucap dengan kata-kata haram yang disenangi oleh syahwat kita? Maka ketika kita bisa menahan dan meninggalkan itu semua dalam diri kita, ketahuilah itu semua atas izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian pula seseorang bisa bersabar dalam menghadapi musibah karena izin dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka ketika kita menyadari bahwa sabar itu datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala, hendaknya kita tidak ujub dengan kesabaran yang kita jalani.

Oleh karena itu, jika sekiranya saat ini seseorang belum bisa bersabar dalam ketaatan, atau meninggalkan maksiat, atau sabar dalam menghadapi musibah, maka dia harus berjuang untuk meraih kesabaran itu. Senantiasa berusaha dan berjuang untuk sabar, maka suatu saat dia akan bisa meraih kesabaran tersebut, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwasanya seseorang tidak bisa bersabar kecuali dengan izin Allah. Maka dia hendaknya meminta kesabaran kepada Allah Subhanahu wa ta’ala baik bersabar dalam menjalankan ketaatan, meninggalkan maksiat, dan dalam menghadapi musibah. Ketahuilah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ

Dan barangsiapa yang berusaha sabar maka Allah akan menjadikannya sabar.”([10])

Kalau seseorang merasa tidak bisa menahan dirinya dari perkara-perkara maksiat, yakinlah bahwa suatu saat dia bisa meraih kesabaran itu, yang penting dia senantiasa meminta kepada Allah, dia berjuang dan berusaha untuk meraih kesabaran itu.

Maka seseorang tentunya mengetahui tentang dirinya masing-masing, kalau sekiranya dia belum mendapati kesabaran itu maka hendaknya dia meminta kepada Allah.

Matan

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun : 11)

Syarah

Ayat ini hanya bisa kita pahami dengan baik jika kita membaca ayat sebelumnya, yaitu dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun : 11)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala ingin menjelaskan kepada kita bahwasanya seluruh musibah terjadi dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun yang dimaksud dengan izin di sini adalah izin kauniy (iradah kauniy).  الإِذْنُ (izin) bagi Allah terbagi menjadi dua: ([11])

Izin syar’iyyah berkaitan dengan hal-hal yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. contoh dalam hal ini adalah seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah (Muhammad), ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal’. Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?’.” (QS. Yunus : 59)

Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang merubah hukum-hukum Allah setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkannya tanpa izin dari Allah. Makan izin dalam ayat ini maksudnya adalah izin syar’iy, karena Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mencintai syariat yang telah dibuat oleh-Nya.

izin kauniy bisa merupakan hal yang dicintai oleh Allah dan bisa pula hal yang tidak dicintai oleh Allah. Contoh sederhana adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan Iblis. Kita tahu bahwa Iblis adalah hal yang buruk yang diciptakan oleh Allah, akan tetapi asalnya Iblis tercipta atas izin dan kehendak Allah, inilah yang dimaksud dengan izin kauniy yang tentunya dibalik kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut ada hikmah-Nya. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ، قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ، إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ، قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ، إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ، قَالَ هَذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيمٌ

Ia (Iblis) berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka berilah penangguhan kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan’. Allah berfirman, ‘(Baiklah) maka sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan, sampai hari yang telah ditentukan (kiamat)’. Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka’. Dia (Allah) berfirman, ‘Ini adalah jalan yang lurus (menuju) kepada-Ku’.” (QS. Al-Hijr : 36-41)

Di antaranya juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah.” (QS. Al-Baqarah : 102)

Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala mengizinkan sihir terjadi, akan tetapi bukan berarti Allah suka dengan sihir. oleh karenanya yang seperti ini adalah izin kauniy.

Intinya, ayat yang dibawakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ini menunjukkan bahwa segala musibah itu terjadi atas izin dan kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka seseorang harus sadar bahwa setiap musibah itu telah diizinkan terjadi oleh Allah, bahkan telah tercatat di al-Lauhil Mahfudzh. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhil Mahfudzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid : 22)

Oleh karena itu, yang dimaksud “beriman” dalam ayat yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah beriman kepada takdir. Dan iman kepada takdir ini merupakan di antara rukun iman yang ke-6 yaitu iman kepada takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Dan yang namanya musibah itu tidak ada orang yang suka, akan tetapi kita harus yakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak hanya menciptakan kebaikan semata, akan tetapi keburukan yang terjadi juga merupakan takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun kita harus ingat bahwa dibalik segala musibah dan bentuk kerusakan yang terjadi itu ada hikmah dan maslahat yang Allah Subhanahu wa ta’ala suka. Contoh sederhana adalah orang yang sakit, agar dia bisa sembuh maka dia harus minum obat. Namun kita tahu bahwa obat itu tidak pernah enak, akan tetapi dibalik rasanya yang tidak enak itu ada kesembuhan. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum : 41)

Kerusakan bukanlah hal yang disukai oleh manusia bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala sekalipun. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah : 205)

Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam ayat ini bahwa dibalik Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kerusakan yang terjadi ada hal yang Allah Subhanahu wa ta’ala cintai yaitu agar orang-orang sadar dan kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian pula dengan Iblis, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak suka dengan Iblis dan godaannya kepada manusia, akan tetapi dibalik itu akan tampak ujian bagi manusia yang akan membedakan orang-orang yang memiliki iman yang benar dan yang tidak, akan ada orang yang berjihad di jalan Allah, akan ada orang yang meminta ampun kepada Allah, dan banyak maslahat lain dibalik kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala dalam menciptakan Iblis.

Iman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala banyak, akan tetapi sebagaimana telah disebutkan bahwa iman yang dimaksud dalam ayat ini adalah iman kepada takdir Allah Subhanahu wa ta’ala, yaitu bahwasanya musibah itu adalah di antara takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka ayat ini menjelaskan bahwa barangsiapa yang beriman akan hal ini maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan berikan petunjuk kepada hatinya, yaitu maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan membuat hati orang tersebut tenang, membuat dia semakin beriman kepada-Nya, membuat dia semakin husnuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Ayat ini merupakan dalil bahwasanya kebaikan akan mendatangkan kebaikan setelahnya. Kebaikan yang pertama adalah dia beriman kepada takdir Allah, kebaikan kedua adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan hatinya mendapat hidayah.

Matan

‘Alqomah([12]) berkata -menafsirkan ayat ini-,

هُوَ الرَّجُلُ تُصِيْبُهُ الْمُصِيْبَة فَيَعْلَمُ أَنَّهَا مِنْ عِنْدِ الله فَيَرْضَى وَيُسَلِّمْ

Yaitu orang yang ketika ditimpa musibah, dia meyakini bahwa itu semua dari Allah, maka dia pun ridha dan pasrah.” ([13])

Syarah

Tingkatan seseorang tatkala mengalami musibah ada dua: ([14])

Pertama adalah sabar. Sebagaimana telah disebutkan bahwa yang dimaksud sabar adalah seseorang menahan hatinya dari suuzan (berburuk sangka) kepada Allah, menahan lisannya dari kata-kata yang tidak diridhai oleh Allah, kemudian menahan tangannya dari perbuatan-perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran. Bersabar ketika ditimpa musibah hukumnya wajib.

Kedua adalah ridha. Ridha hukumnya sunnah, ([15]) disukai namun tidak sampai derajat wajib, dan jika bisa dicapai maka itu adalah yang terbaik.

Ridha terhadap musibah yang menimpa seseorang adalah tingkatan yang lebih tinggi daripada sabar, akan tetapi yang wajib bagi seseorang yang terkena musibah adalah sabar. Para ulama menyebutkan bahwa tingkatan ridha ketika ditimpa musibah adalah mustahab, yaitu orang tersebut senang dengan musibah yang menimpanya. Akan tetapi kita membenarkan bahwa tidak mudah bagi siapa pun di antara kita yang mudah menjalani hal ini, yaitu senang ketika ditimpa musibah. Terkadang ada orang yang berusaha untuk senang dengan musibah yang menimpanya, akan tetapi ucapannya menunjukkan bahwa dia masih dengan berat hati menghadapi musibah tersebut. Maka yang seperti ini belum bisa dikatakan ridha terhadap musibah yang menimpanya. Seseorang yang ridha terhadap musibah yang menimpanya adalah dia yang yakin bahwa dibalik musibah tersebut ada kebaikan sehingga dia akhirnya merasa senang dengan musibah tersebut. Tentunya orang yang ridha terhadap musibah bukanlah orang yang berharap ditimpa musibah, hanya saja ketika diberi musibah oleh Allah Subhanahu wa ta’ala maka dia akan senang. Dan bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ، لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ العَدُوِّ، وَسَلُوا اللَّهَ العَافِيَةَ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ

Wahai sekalian manusia, janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh, tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, maka bersabarlah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu terletak di bawah naungan pedang-pedang.”([16])

Artinya seseorang tidak boleh berangan-angan untuk mendapatkan musibah, akan tetapi jika ternyata dia tertimpa musibah maka dia harus bersabar.

Ridha terhadap musibah sendiri memiliki dua tingkatan: ([17]) pertama adalah ridha terhadap keputusan Allah dan ridha (suka) dengan musibah yang menimpanya. Ridha terhadap keputusan Allah memiliki makna yang sama dengan sabar, adapun ridha dengan musibah adalah sebagaimana yang kita jelaskan tentang ridha terhadap musibah itu sendiri. Intinya, ridha terhadap musibah merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada sabar dengan keputusan Allah. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk melatih diri untuk ridha terhadap musibah yang menimpa diri kita. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat sesuatu yang ia senangi, beliau mengucapkan: ‘Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya semua kebaikan menjadi sempurna’, dan apabila melihat sesuatu yang dibenci, beliau mengucapkan: ‘Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan’.”([18])

Ketahuilah bahwa tatkala seseorang ditimpa musibah, kemudian dia mengucap kalimat istirja’ (innaa lillahi wa innaa ilaihi rooajiúun), lalu setelah itu dia memuji Allah, maka itu akan memberikan kekuatan yang besar baginya sehingga ia bisa ridha dengan musibah yang menimpa. Oleh karenanya doa-doa dan ucapan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini akan melatih diri kita untuk bisa ridha terhadap musibah yang menimpa diri kita.

Mencapai derajat ridha terhadap musibah yang menimpa diri kita tentunya bukanlah perkara yang mudah. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala juga akan memberikan ganjaran yang tidak kecil untuk orang-orang yang bisa ridha terhadap musibah yang menimpanya. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ

Jika anak seorang hamba meninggal, Allah berfirman kepada para malaikat-Nya: ‘Kalian telah mencabut anak hambaku?’ Mereka menjawab: ‘Ya’. Allah berfirman: ‘Kalian telah mencabut buah hatinya?’ Mereka menjawab: ‘Ya’. Allah bertanya: ‘Apa yang dikatakan hambaku?’ Mereka menjawab: ‘Dia memuji-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’. Allah berkata: ‘Bangunkanlah untuk hambaku satu rumah di surga, dan berilah nama dengan Baitulhamd’.”([19])

Inilah di antara balasan Allah Subhanahu wa ta’ala bagi orang yang ridha terhadap musibah yang menimpanya, dia tidak hanya sekadar bersabar dengan musibah tersebut, akan tetapi lebih daripada itu dia memuji Allah yang menunjukkan bahwa dia ridha dengan musibah yang menimpanya.

Matan

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

Ada dua hal yang ada pada manusia yang menjadikan mereka kafir: mencela nasab (keturunan) dan meratapi mayat.” (HR. Muslim no. 67)

Syarah

Hadits ini menyebutkan tentang dua perkara dosa yang disebut oleh syariat dengan perkara kekufuran. Akan tetapi perlu diketahui bahwa kufur yang dimaksud bukanlah kufur akbar, melainkan perkara ini termasuk kufur ashghar([20]), karena sering dalam syariat tatkala mendatangkan kalimat kufur dengan tanwin dan tanpa alif lam maka maksudnya adalah kufur ashghar. ([21])

Dua perkara kufur yang disebutkan dalam hadits ini antara lain:

Telah kita singgung pada bab-bab sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ itu ada dua,

Pertama, meragukan nasab seseorang. Contoh dalam hal ini adalah kita meragukan bahwa si fulan berasal dari suku atau kabilah tertentu, dan kita mengatakan bahwa si fulan hanya mengaku-ngaku bahwa dia berasa dari suku atau kabilah yang dia utarakan. Perkara semacam ini adalah hal yang tidak diperbolehkan. Tidak boleh seseorang meragukan nasab orang lain kecuali ada keperluan tertentu sehingga kita mengharuskan agar orang tersebut mendatangkan bukti dari pengakuannya terhadap nasabnya. Oleh karenanya penulis mengingatkan bahwa jika ada seseorang yang mengaku bahwa dia keturunan fulan bin fulan, atau dia berasal dari suku atau kabilah tertentu, maka kita benarkan pengakuannya. Adapun terkait keburukan akhlak seseorang, maka kita tidak boleh mengaitkannya dengan nasabnya. Cukuplah celaan karena sifatnya untuk dirinya dan bukan kepada nasabnya.

Kedua, mencela nasab seseorang. Kita telah tahu bersama apa yang dimaksud dengan mencela nasab seseorang. Intinya, mencela nasab ini hukumnya haram dan merupakan dosa besar.

An-Niyahah adalah mengangkat suara untuk meratapi mayat, di antara dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan si mayat. Oleh karena itu yang seperti ini tidak boleh dilakukan oleh seseorang karena termasuk dosa besar. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Orang yang meratapi mayat, jika ia belum bertaubat sebelum meninggal, maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan memakai baju yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang membuatnya gatal.”([22])

Ini menunjukkan bahwa An-Niyahah adalah dosa besar.

Meratapi mayat adalah di antara bentuk ketidaksabaran, karena orang yang mengangkat suara terhadap sang mayat seakan-akan dia melakukan protes kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan itu merupakan dosa besar terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. oleh karenanya penulis juga sering sampaikan bahwa dosa itu tidak hanya berkaitan dengan menzalimi orang lain semata, akan tetapi terkadang dosa juga bisa datang karena berkaitan dengan akidah seperti hal ini, yaitu melakukan hal yang menunjukkan protes terhadap keputusan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Ada beberapa perkara yang dianggap An-Niyahah namun ternyata dia bukanlah An-Niyahah.

Tangisan bukanlah An-Niyahah, karena bisa jadi seseorang menangis karena sedih dan karena hilangnya rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Kesedihan seperti ini dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu ketika putra beliau Ibrahim meninggal di pangkuannya tatkala masih dalam masa menyusui, maka beliau mengatakan,

إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya saja kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih.”([23])

Demikian pula tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis ketika menggendong cucunya yang sedang dalam kesakitan ketika hendak meninggal dunia. Maka Sa’d bin ‘Ubadah yang bersama beliau tatkala itu menanyakan perihal tangisan beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

Inilah rahmat yang Allah berikan kepada hati hamba-hamba-Nya, dan sesungguhnya Allah akan merahmati di antara hamba-hamba-Nya yang saling berkasih sayang.”([24])

Oleh karena itu, tangisan yang tidak disertai dengan teriakan dan hal-hal lain yang menunjukkan protes adalah hal yang tidak mengapa.

Para ulama mengatakan bahwa menyebutkan kebaikan-kebaikan mayat tanpa disertai dengan ratapan dan mengangkat suara maka bukanlah termasuk dari An-Niyahah. Dan hal semacam ini seperti yang Fatimah radhiallahu ‘anha katakan tatkala ayahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, dia berkata,

يَا أَبَتَاهُ، أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ، يَا أَبَتَاهْ، مَنْ جَنَّةُ الفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ نَنْعَاهْ

Wahai ayahku yang telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai ayahku yang surga firdaus adalah tempat kembalinya. Wahai ayahku yang kepada Jibril ‘alaihissalam kami memberitahukan kematiannya.”([25])

Perkataan Fathimah radhiallahu ‘anha ini adalah bentuk pujian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi pujiannya tersebut tidak disertai dengan meratap.

Oleh karena itu, pujian kepada mayat adalah hal yang boleh karena merupakan tanda kesedihan, yang penting adalah tidak sampai mengangkat suara (meratap), karena hal tersebut masuk dalam An-Niyahah yang hukumnya haram

Matan

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu secara marfu’, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

Bukan dari golongan kami siapa yang memukul-mukul pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliah (meratap).

Syarah

Kata لَيْسَ مِنَّا (bukan dari golongan kami) maksudnya adalah bukan orang-orang yang beriman dengan iman yang sempurna. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa kata لَيْسَ مِنَّا menunjukkan bahwa perkara yang disebutkan setelah itu adalah perbuatan dosa besar. ([27]) Oleh karena itu di antara dosa besar adalah seseorang yang tatkala ditimpa musibah, dia menampar pipinya, merobek-robek baju, dan meratap. Ini semua adalah bentuk-bentuk sikap protes terhadap takdir Allah Subhanahu wa ta’ala.

Islam mengajarkan umatnya untuk tidak menunjukkan sikap protes terhadap keputusan Allah Subhanahu wa ta’ala yang di antaranya adalah An-Niyahah. Berbeda dengan agama lain, bahkan di antara mereka berlomba-lomba dalam meratapi mayat. Maka ketahuilah bahwa Islam tidak mengajarkan demikian, Islam mengajarkan penganutnya untuk sabar dengan keputusan-keputusan Allah Subhanahu wa ta’ala dan akhlak-akhlak yang mulia.

Sebagian ulama memandang bahwa menyeru dengan seruan jahiliah dalam hadits ini maknanya adalah An-Niyahah. ([28]) Akan tetapi sebagian ulama yang lain memandang bahwa yang dimaksud menyeru dengan seruan jahiliah dalam hadits ini bersifat umum, di antaranya Ibnul Qayyim rahimahullah ([29])

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa di antara contoh seruan jahiliah adalah seruan untuk fanatik kepada mazhab, atau kepada kelompok, atau kepada guru tertentu, sehingga mereka membangun Al-Wala’ dan Al-Bara’ di atas mazhab, kelompok, atau gurunya. Artinya mereka membangun Al-Wala’ dan Al-Bara’ selain di atas landasan Alquran dan sunnah. Hal-hal seperti ini terjadi di sekitar kita, sebagian orang ada yang membela gurunya dengan mati-matian, sehingga yang mencela gurunya akan dianggap musuh, dan yang ikut membelanya dianggap kawan. Ketahuilah bahwa yang semacam ini adalah perkara yang tidak benar, semua loyalitas yang dibangun selain di atas Alquran dan sunnah maka itulah yang disebut dengan Hizbiyyah yang merupakan di antara dakwah (seruan) jahiliah. Oleh karena saking dilarangnya hal seperti ini, sempat terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana ada dua orang yang masing-masing dari kaum Anshar dan Muhajirin yang memanggil kaumnya masing-masing. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyadari bahwa seruan tersebut menimbulkan permusuhan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: دَعُوهَا، فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

Mengapa kalian masih menggunakan cara-cara panggilan jahiliah?” Para sahabat berkata: ‘Ya Rasulullah, tadi ada seorang sahabat dari kaum Muhajirin mendorong punggung seorang sahabat dari kaum Anshar’. Lalu Rasulullah bersabda: ‘Tinggalkanlah panggilan dengan cara-cara jahiliah, karena yang demikian itu baunya busuk (menimbulkan efek yang buruk)’.”([30])

Oleh karena itu, sebagian penuntut ilmu terjebak dalam hal seperti ini, dimana mereka membangun Al-Wala’ dan Al-Bara’ di atas guru atau kelompoknya. Akhirnya mereka menyukai apa yang disukai oleh guru atau kelompoknya, dan membenci apa yang dibenci oleh guru atau kelompoknya. Bahkan tidak jarang karena Al-Wala’ dan Al-Bara’ yang dibangun di atas guru dan kelompok akhirnya membuat seseorang menyikapi saudaranya sesama muslim seperti orang kafir, bahkan bisa jadi lebih buruk daripada orang kafir. Maka perlu untuk kita ingatkan bahwa hal semacam ini adalah di antara seruan-seruan jahiliah yang harus kita tinggalkan karena di antara bentuk dosa-dosa besar.

Matan

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ

Allah menghendaki kebaikan kepada hamba–Nya, maka Allah menyegerakan hukumannya di dunia, dan apabila Allah menghendaki keburukan kepada hamba–Nya maka Allah menahan dosanya sehingga dia terima kelak di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidzi)

Syarah

Hadits ini memberi faedah kepada kita bahwasanya musibah yang menimpa adalah salah satu bentuk hukuman yang menimpa seorang hamba yang dimana musibah tersebut bisa menggugurkan dosa-dosanya. Maka semakin banyak musibah yang menimpa seseorang maka semakin banyak pula dosa-dosa yang digugurkan. Sungguh yang banyak menyebabkan masalah bagi seorang hamba baik di dunia, di alam barzakh, bahkan di akhirat adalah karena dosa-dosanya.

Berbicara tentang dosa, maka banyak sebab yang bisa menyebabkan seseorang memiliki dosa. Di antaranya dosa bisa disebabkan dari mata, bisa disebabkan dari lisan, bisa disebabkan dari badan (anggota tubuh), dan bisa disebabkan dari hati. Sesungguhnya kita tidak terlepas dari salah satu dari dosa-dosa ini. Oleh karenanya dalam sebuah hadits qudsi Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا، فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ

Wahai hamba-Ku, kamu sekalian senantiasa berbuat dosa pada malam dan siang hari, sementara Aku akan mengampuni segala dosa. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya aku akan mengampunimu.”([31])

Siapa di antara kita yang selamat dari dosa setiap harinya? Tidak ada yang bisa selamat dari dosa mata di zaman sekarang. Yang menonton melalui Youtube akan melihat hal-hal yang menyebabkan dosa, menonton berita di televisi juga akan memberikan dosa karena melihat banyak aurat wanita, terlebih lagi yang menonton di bioskop pasti tontonannya mengandung dosa. Demikian pula dosa lisan, sangat susah untuk kita menghindari hal yang satu ini. Apa yang kita ucapkan kepada istri kita terkadang mengandung dosa, apa yang kita ucapkan kepada anak-anak kita mengandung dosa, dan apa yang kita sampaikan di grup-grup media sosial juga seringnya mengandung dosa. Demikian pula jika kita mencoba untuk introspeksi dosa-dosa dari hati kita, tentu tidak ada di antara kita yang selamat dari dosa dengki, hasad, suuzan kepada orang lain, sombong, dan banyak penyakit hati lainnya yang tidak kita sadari. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (QS. Ghafir : 19)

Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa setiap harinya kita melakukan dosa, terlebih di zaman sekarang yang sumber-sumber dosa sangatlah banyak, bahkan tidak jarang di antara kita yang mendatangi sumber-sumber dosa tersebut.

Dosa-dosa adalah sebuah masalah, karena kata para ulama bahwa dosa-dosa itu pasti memberi pengaruh kepada hati dan diri seseorang. Dampak yang paling kecil dari dosa adalah hati menjadi hitam. ([32]) Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait orang yang melakukan dosa,

إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ

Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka di titikkan dalam hatinya sebuah titik hitam dan apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan dan apabila ia kembali maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutup hatinya.”([33])

Seseorang yang melakukan dosa maka hatinya akan diisi dengan titik hitam sedikit demi sedikit hingga akhirnya dia susah untuk khusyuk, semakin malas beramal saleh, dan banyak keburukan yang timbul setelahnya, karena keburukan biasa akan mendatangkan keburukan setelahnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaf : 5)

Selain dosa mengakibatkan noda-noda hitam di dalam hati, dosa juga menjadikan seseorang membuang-buang waktu. Orang yang berbuat dosa habis dengan kesia-siaan. Contohnya adalah orang yang hendak menonton bioskop, mereka kurang lebih menghabiskan lima jam waktu mereka dengan sia-sia karena menonton di bioskop. Contoh lain adalah orang yang minum khamr, minumnya hanya beberapa menit, akan tetapi waktunya akan terbuang sia-sia dengan kesadaran yang hilang selama berjam-jam. Intinya orang-orang yang berbuat maksiat maka dia pasti telah membuang-buang waktunya secara percuma, padahal itu bisa menjadi penderitaannya di akhirat kelak.

Oleh karena itu, dosa-dosa pasti memberikan pengaruh, maka seseorang harus berusaha untuk menggugurkan dosa-dosanya. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dosa-dosa yang kita lakukan setiap harinya bisa dihilangkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sepuluh sebab. ([34]) Akan tetapi jika kita mengklasifikasikan sebab-sebab tersebut, maka akan kita dapati tiga klasifikasi sebab digugurkannya dosa seorang hamba.

Sebab-sebab yang bisa menggugurkan dosa yang berkaitan dengan seorang hamba di antaranya:

Kita tahu bahwa seseorang yang bertaubat maka pasti Allah Subhanahu wa ta’ala akan menerima taubatnya. ([35]) Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang’.” (QS. Az-Zumar : 53)

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya dan menerima zakatnya, dan bahwa Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah : 104)

Sesungguhnya di antara nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala adalah التَّوَّابُ yang artinya Dia Maha Menerima Taubat.

Jika sekiranya seseorang enggan untuk bertaubat karena masih terjerat dengan dosa-dosanya, maka hendaknya dia berdoa dan meminta kepada Allah agar dia bisa bertaubat kepada-Nya. Dan di antara doa tersebut adalah dengan kalimat,

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْم

Ya Rabb ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku taubat, sesungguhnya engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Kita yakin bahwa orang yang bertaubat maka pasti akan diterima taubatnya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah orang yang bertaubat telah memenuhi persyaratan taubat? Adapun persyaratan taubat yang disebutkan oleh para ulama di antaranya: Pertama adalah meninggalkan maksiat; Kedua adalah menyesali; Ketiga adalah bertekad untuk tidak kembali kepada maksiat tersebut. ([36]) Para ulama menyebutkan bahwa jika seseorang telah memenuhi tiga persyaratan ini maka pasti taubatnya akan diterima. ([37]) Akan tetapi Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa tidak boleh seseorang meyakini dan memastikan bahwa taubatnya akan diterima karena itu adalah sesuatu yang gaib dan dia tidak bisa memastikan bahwa apakah dirinya betul-betul memenuhi persyaratan taubat([38]). Maka cukup seseorang berhusnuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa Allah akan menerima taubatnya.

Orang yang beristighfar tentu akan diampuni dosa-dosanya. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa istighfar tidak melazimkan taubat, karena bisa jadi ada orang yang masih terus bermaksiat namun dia juga senantiasa beristighfar, adapun taubat adalah orang tersebut benar-benar meninggalkan dosa tersebut.

Amalan-amalan yang bisa menghapus dosa-dosa seseorang disebut dengan Al-Hasanat Al-Mahiyah, dan amalan-amalan seperti ini adalah yang sangat penting. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu dan shalat Jumat ke Jumat berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya apabila dia menjauhi dosa besar.”([39])

Oleh karena itu, seseorang yang melakukan amalan-amalan kebajikan, bisa saja amalan tersebut menghapuskan dosa-dosa yang telah dia lakukan. Masih banyak hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa suatu amalan bisa menghapuskan dosa-dosa. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud : 114)

Antara umrah yang satu dengan umrah yang lain akan menghapuskan dosa-dosa, antara ramadhan ke ramadhan berikutnya juga menghapuskan dosa. Demikian pula puasa bisa menghapuskan dosa-dosa, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”([40])

Oleh karena itu, terdapat sebuah kaidah terkait hal ini, yaitu semakin banyak kebajikan (amal saleh) yang kita lakukan maka semakin banyak pula dosa-dosa yang akan dileburkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabar,

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Bertakwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah setiap keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.”([41])

Kaidah yang disebutkan oleh para ulama adalah dosa-dosa itu ibarat najis, dan amal saleh ibarat air yang menghilangkan najis tersebut. Jika air begitu banyak maka najis-najis kecil akan hilang. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

Jika air itu mencapai dua qullah, maka ia tidak akan najis.”([42])

Oleh karena itu hendaknya seseorang dalam kehidupan dunia ini banyak melakukan kebaikan seperti berbakti kepada orang tua, membaca Alquran, shalat malam, atau sedekah, sehingga ketika dia melakukan maksiat yang kecil maka Allah tidak akan menganggapnya karena dia memiliki lautan kebajikan. Maka mumpung kita masih bisa beramal saleh, masih bisa berdzikir dan baca Alquran, masih bisa berbakti kepada orang tua, masih bisa shalat malam, dan mumpung kita masih punya umur, maka lakukanlah kebajikan (amal saleh) yang banyak.

Sebab-sebab yang bisa menggugurkan dosa selain dari diri seorang hamba di antaranya,

Doa kaum mukminin yang bisa menghapuskan dosa seseorang adalah seperti doa dalam shalat jenazah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ، فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ

Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, dan dishalatkan oleh empat puluh orang, yang mereka tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan mengabulkan doa (syafaat) mereka untuknya.”([43])

Oleh karenanya ketika ada saudara kita yang meninggal dunia, maka hendaknya kita berusaha menyalatkannya di tempat orang-orang yang bertauhid dan jauh dari kesyirikan, karena jika ada empat puluh orang yang benar tauhid mereka menyalatkan seorang jenazah maka syafaat empat puluh orang tersebut akan diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Selain daripada itu, ziarah kubur dan doa yang dipanjatkan ketika itu bisa menggugurkan dosa-dosa orang yang kita berziarah ke kuburannya. Bukankah di antara doa berziarah kubur berbunyi,

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian wahai penduduk alam barzakh, dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami akan menyusul kalian Insyaallah. Dan kami meminta Allah untuk kami dan kalian agar diberi keselamatan.”([44])

Selain itu, doa yang dipanjatkan ketika para khatib mendoakan kaum muslimin secara umum. Di antaranya mereka berdoa,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَات وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَات

Ya Allah, ampunilah dosa seluruh kaum muslimin dan kaum muslimat, kaum mukminin dan kaum mukminat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.”

Artinya, dosa-dosa bisa digugurkan disebabkan doa orang lain. Bahkan yang lebih utama lagi adalah jika yang mendoakan adalah anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Sedekah jariah; Ilmu yang bermanfaat; anak saleh yang mendoakannya.”([45])

Maka dari itu, hendaknya kita berusaha untuk memiliki anak-anak yang saleh, karena setia akan mendoakan kita adalah anak-anak kita yang saleh. Adapun teman dan sahabat, jangan terlalu berharap doa dari mereka, mereka mungkin akan mendoakan akan tetapi hanya sesekali, tidak selalu sebagaimana anak saleh yang mendoakan orang tuanya. Oleh karenanya sisihkanlah waktu kita untuk mendidik anak-anak, karena mereka akan sangat bermanfaat untuk menghapuskan dosa-dosa kita ketika kita telah meninggal dunia. Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: أَنَّى لِيْ هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu orang tersebut akan bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ lalu dijawab, ‘Karena anakmu senantiasa memohonkan ampunan untukmu’.”([46])

Doa malaikat kepada seorang hamba bisa menghapuskan dosa-dosa hamba tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ، رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu (agama-Mu) dan peliharalah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka, dan orang yang saleh di antara nenek moyang mereka, istri-istri, dan keturunan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana’.” (QS. Ghafir : 7-8)

Sungguh menakjubkan seseorang yang didoakan oleh malaikat. Di antara cara agar seseorang bisa didoakan malaikat adalah dengan menuntut ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ، وَمَنْ فِي الْأَرْضِ، وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ

Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah baginya jalan menunu surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridhaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut.”([47])

Amal saleh yang dikerjakan orang lain untuk kita bisa menggugurkan dosa-dosa kita. Para ulama ijma’ bahwa jika ada orang lain yang mendoakan kita, bersedekah atas nama kita, atau berhaji dan meniatkan pahalanya untuk kita maka pahalanya akan sampai. Yang khilaf di kalangan para ulama adalah tentang bacaan Alquran. Kalau sekiranya kita memiliki anak yang saleh, lantas setelah kita meninggal dunia mereka berhaji atau berumrah atas nama kita, atau mereka membuat masjid dan meniatkan pahalanya untuk kita, maka akan berpahala di sisi Allah. Intinya amal saleh yang orang lain kerjakan, baik itu anak kita atau bahkan orang yang tidak kita kenal sama sekali, selama mereka beramal dan meniatkan pahalanya untuk kita maka pahala tersebut akan sampai, dan pahala-pahala tersebut bisa menggugurkan dosa.

Barangsiapa yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan sama sekali tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka dia akan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا

Setiap Nabi memiliki doa yang mustajab, dan sesungguhnya aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat. Dan insyaallah syafaatku akan mencakup orang yang mati dari kalangan umatku yang tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apa pun.”([49])

Maka jika kita ingin mendapatkan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar diampuni dosa-dosa kita, maka janganlah berbuat kesyirikan. Bersihkan kesyirikan dari diri kita sekecil apa pun, karena betapa banyak orang yang telah belajar tauhid ternyata hatinya masih terjangkit kesyirikan dalam hatinya seperti riya’ atau ujub. Maka berusahalah agar kita meninggal dalam keadaan tidak berbuat syirik sama sekali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي

Syafaatku untuk ummatku yang berbuat dosa–dosa besar.”([50])

Ada sebab-sebab penggugur dosa yang murni datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebab-sebab yang bisa menggugurkan dosa yang berkaitan dengan Allah Subhanahu wa ta’ala di antaranya,

Sebab-sebab di dunia yang bisa mengurangi dosa-dosa adalah musibah. Bisa jadi seseorang di dunia dia bertaubat, beristighfar, atau bahkan beramal, akan tetapi itu tidak bisa menghapuskan dosa-dosanya seluruhnya. Dan kita mengakui bahwa dosa-dosa yang kita miliki itu sebagian kita mengingatnya dan sebagian yang lain kita lupakan karena saking banyaknya dosa kita. Bahkan karena saking banyaknya dosa-dosa kita sampai-sampai kita tidak merasa memiliki dosa. Maka karena sebab-sebab ini, terkadang dosa-dosa kita tidak gugur sepenuhnya. Maka di antara rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia memberikan musibah-musibah kepada kita yang dengan itu akan menggugurkan dosa-dosa yang ternyata belum bisa gugur dengan taubat kita, istighfar kita, atau amalan kita.

Segala perkara yang tidak mengenakkan yang kita alami bisa menggugurkan dosa. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ، كَمَا يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

Janganlah kamu mencela demam, karena penyakit itu dapat menghilangkan kesalahan (dosa-dosa) anak Adam, sebagaimana alat pandai besi membersihkan karat-karat besi.”([51])

Ketahuilah bahwa sesungguhnya musibah itu di antara kebaikan Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan mengujinya.”([52])

Oleh karenanya yang paling banyak musibahnya adalah para Nabi dan orang-orang saleh.

Terdapat sebuah hadits dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa hal musibah yang bisa menggugurkan dosa-dosa seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran (tentang masa depan) dan kesedihan (tentang masa lalu), dan tidak juga gangguan orang lain dan kegelisahan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.”([53])

Dalam hadits ini adalah tujuh bentuk-bentuk musibah yang bisa dialami oleh seseorang yang bisa menghapuskan dosa-dosanya.

Pertama adalah sakit. Sakit apa pun yang menimpa seorang muslim, baik itu pilek, demam, atau bahkan penyakit-penyakit yang besar, maka dengan penyakit itu akan menghapuskan dosa-dosanya. Oleh karenanya kita dapati sebagian ulama ada yang mengalami penyakit kanker di masa tuanya, tidak lain adalah untuk menghapus dosa-dosa mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga terkena penyakit setelah diracun pada tahun 7 H, kemudian mulai terasa waktu demi waktu, dan puncaknya adalah tatkala beliau hendak meninggal dunia. Intinya sakit itu dapat menghapuskan dosa-dosa seseorang.

Kedua adalah keletihan. Seseorang yang letih dalam bekerja, letih karena berpikir, letih karena mengurus anak dan istri, dan segala hal yang menjadikan seseorang keletihan itu dapat mengurangi dosa-dosa.

Ketiga adalah kehawatiran terhadap masa depan. Terkadang seseorang memikirkan bagaimana dengan anak dan keluarganya di kemudian hari, terkadang seorang pemimpin khawatir memikirkan masyarakat di kemudian hari, atau terkadang seorang Da’i khawatir memikirkan bagaimana keadaan umat kedepannya. Semua kekhawatiran yang muncul karena memikirkan masa depan tersebut bisa menggugurkan dosa-dosa.

Keempat adalah kesedihan berkaitan masa lalu. Terkadang seseorang sedih memikirkan dosa-dosanya di masa lalu, atau dia mengingat musibah-musibah yang menimpanya di masa lalu, atau segala hal yang membuat kita sedih karena mengingat masa lalu itu bisa menggugurkan dosa-dosa.

Kelima adalah gangguan orang lain. Tidak jarang di antara kita mendapatkan gangguan orang. Kita terkadang dihina, direndahkan, ditipu, atau bahkan disakiti. Semua bentuk gangguan orang lain terhadap kita bisa menjadi penggugur dosa-dosa kita.

Keenam adalah kegelisahan. Terkadang seseorang merasakan kegelisahan tanpa sebab. Hatinya tidak tenang tanpa sebab, akan tetapi ternyata dengan kegelisahan dan ketidaktenangan itu Allah Subhanahu wa ta’ala menghilangkan dosa-dosanya.

Ketujuh adalah duri yang mengenai. Ini menunjukkan bahwa musibah sekecil duri yang mengenai seseorang bisa menghapuskan dosa-dosa, apa lagi yang lebih besar daripada itu.

Inilah di antara bentuk-bentuk musibah yang bisa menghapuskan dosa-dosa seseorang. Akan tetapi sekali lagi perlu untuk kita ingatkan bahwa jangan kita berharap untuk mendapatkan musibah. Berharaplah untuk selalu selamat dan Allah ampuni dosa kita tanpa sebab. Hanya saja kehidupan tidak akan selalu berjalan seperti itu, melainkan sesekali Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan musibah sebagai penggugur dosa, maka ketika kita mendapatkan musibah maka hendaknya kita bersabar. Maka dari sini kita sadar bahwa jika Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Allah akan memberikan musibah, sehingga musibah itu tanda bahwa Allah masih sayang kepada orang tersebut, dan Allah ingin menghapuskan dosa sang hamba tersebut.

Sebab yang menggugurkan dosa seseorang di alam barzakh adalah dhammatul Qabr (impitan kubur). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إِنَّ لِلْقَبْرِ ضَغْطَةً، وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ نَاجِيًا مِنْهَا نَجَا مِنْهَا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ

Di dalam kubur ada tekanan (impitan), dan jika ada seorang lelaki yang selamat darinya maka dia adalah Sa’ad bin Mu’adz.”([54])

Impitan di kubur bukanlah azab, akan tetapi itu adalah kesulitan dan kepayahan yang dialami oleh seseorang di dalam alam barzakh, dan kesulitan tersebut akan mengurangi dosa-dosanya. Sama halnya dengan orang yang hendak meninggal dunia pasti akan mengalami sakratul maut. Orang yang mengalami sakratul maut bukan berarti dia memiliki banyak dosa, akan tetapi kesulitan itu bisa jadi Allah berikan karena Allah Subhanahu wa ta’ala ingin mengangkat derajatnya atau menggugurkan dosa-dosanya sehingga dia lebih bersih tatkala bertemu dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengalami yang namanya sakratul maut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ

Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, sungguh pada kematian itu diiringi sekarat.”([55])

Sebagian ulama bahwa di antara yang mengurangi dosa seseorang di alam barzakh adalah azab kubur. Mereka menyebutkan bahwa ada dua model seseorang yang memiliki dosa: Pertama, mereka hanya akan di azab di alam barzakh karena dosanya, sehingga di akhirat tidak ada lagi azab baginya, dan inilah yang dimaksud azab di alam barzakh bisa menghapuskan dosa-dosa; Kedua, ada orang-orang yang diazab di alam barzakh dan kemudian dilanjutkan azabnya di akhirat, maka kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Di antara sebab-sebab yang bisa menggugurkan dosa seseorang adalah أَهْوَالُ يَوْمِ الْقِيَامَةِ, yaitu peristiwa-peristwa dahsyat semenjak dibangkitan dari kubur hingga menjelang masuk surga. Sebagian ulama berpendapat bahwa kedahsyatan-kedahsyatan tersebut bisa mengurangi dosa seorang hamba.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa siksaan di atas shirath (tercabiknya tubuh terkena besi-besi tajam yang ada disamping shirath) juga akan mengurangi dosa-dosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang sirath dan orang-orang yang akan melewatinya,

فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ، قَالَ: قُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ؟ قَالَ: أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ، ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ، وَشَدِّ الرِّجَالِ، تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ: رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ، حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ، حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا، قَالَ: وَفِي حَافَتَيِ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنِ اُمِرَتْ بِهِ، فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ، وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ

Lalu orang yang paling cepat dari kalian saat melewati sirath adalah seperti kilat”. Aku (Abu Hurairah) berkata, ‘Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, bagaimana maksudnya secepat kilat?’ Nabi shallallahu álaihi wasallam menjawab, ‘Tidakkah kamu melihat bagaimana kilat itu berlalu dan kembali lagi dengan sekejap mata? Kemudian yang kedua secepat embusan angin, lalu secepat burung terbang, lalu ada juga orang yang berlari dengan kencang di atasnya disebabkan oleh amal kebajikannya. Ketika itu Nabi kalian berdiri di shirath, dan selalu mendoakan: Wahai Rabbku, selamatkanlah dia, selamatkanlah dia. Sampai pada hamba-hamba yang amalannya sangat sedikit, hingga ada seorang lelaki yang datang dan tidak dapat menapaki sirath itu kecuali dengan merangkak, sedang pada kedua sisinya terdapat rangkaian besi tajam yang tergantung dan akan mencabik setiap orang yang diperintahkan untuk dicabik, hingga ada orang yang selamat tapi tubuhnya tercabik-cabik, dan ada pula orang yang akhirnya terlempar ke dalam api neraka.”([56])

Orang-orang yang terluka dengan besi-besi yang ada di sisi sirath menjadikan orang yang mengenainya akan berkurang dosa-dosanya. Dosa-dosa yang dia miliki tidak sampai mengharuskan dia dimasukkan ke dalam neraka, akan tetapi dosa-dosanya cukup untuk dibersihkan di atas sirath hingga akhirnya dia selamat sampai ke surga.

Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: شَفَعَتِ الْمَلَائِكَةُ، وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ، وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ، وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ، فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنَ النَّارِ، فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا، فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ: نَهَرُ الْحَيَاةِ، فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ، أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ، أَوْ إِلَى الشَّجَرِ، مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ، وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ؟ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ، قَالَ: فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمُ الْخَوَاتِمُ، يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمُ اللهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ، وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ، ثُمَّ يَقُولُ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ، فَيَقُولُونَ: رَبَّنَا، أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ، فَيَقُولُ: لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا، فَيَقُولُونَ: يَا رَبَّنَا، أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا؟ فَيَقُولُ: رِضَايَ، فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Para Malaikat, Nabi dan orang-orang yang beriman telah memberi syafaat, sekarang yang belum memberikan syafaat adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka, dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih”. Para sahabat kemudian bertanya, ‘Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang Badui?’ Beliau melanjutkan: ‘Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di leher-leher mereka terdapat sesuatu (dari emas atau yang lainnya yang menjadi tanda) sehingga bisa diketahui oleh penduduk surga (bahwasanya mereka pernah di neraka). Mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa dengan amalan dan kebaikan sama sekali. Allah kemudian berkata: ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab, ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berkata: ‘(Bahkan) apa yang telah Aku siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata, ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua?’ Allah menjawab: ‘Ridha-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian’.”([57])

Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala bisa saja mengampuni seorang hamba tanpa sebab dari-Nya kecuali karena rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala.

Matan

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya besarnya balasan (pahala) tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha (terhadap musibah) maka baginya keridhaan Allah, namun barangsiapa yang murka (terhadap musibah) maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. At-Tirmidzi)

Syarah

            Untuk mensyarah hadits ini, maka hadits ini kita bagi menjadi dua bagian.

Bagian pertama

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ

Sesungguhnya besarnya balasan (pahala) tergantung dari besarnya ujian.”

Artinya, orang yang semakin tinggi imannya maka akan semakin besar pula ujian yang akan dia alami. Oleh karenanya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh seorang sahabat,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلابَةٌ زِيدَ فِي بَلائِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ، وَمَا يَزَالُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab; ‘Para Nabi, lalu orang-orang saleh, kemudian orang yang paling mulia dan yang paling mulia dari manusia. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya, jika agamanya kuat maka akan ditambah ujiannya, dan jika agamanya lemah maka akan diringankan ujiannya. Tidaklah ujian itu berhenti pada seorang hamba sampai dia berjalan di muka bumi tanpa mempunyai dosa.”([58])

Sebagaimana orang-orang mengatakan bahwa semakin tinggi pohon menjulang maka akan semakin besar terpaan angin yang dia rasakan. Maka demikianlah orang-orang yang beriman bahwa semakin dia beriman maka akan semakin besar ujiannya. Sungguh hal yang mustahil bagi seseorang yang mengakui dirinya beriman namun tidak dberi ujian.

Timbul pertanyaan dari hadits ini, yaitu apakah musibah itu secara dzatnya merupakan pahala atau penggugur dosa? Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fataawa([59]) dan Ibnul Qayyim ([60]) menjelaskan bahwa musibah itu terbagi menjadi dua:

Contoh dalam hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah At-Taubah,

مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ، وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan marah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan tidaklah mereka memberikan infak, baik yang kecil maupun yang besar dan tidak (pula) melintasi suatu lembah (berjihad), kecuali akan dituliskan bagi mereka (sebagai amal kebajikan), untuk diberi balasan oleh Allah (dengan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah : 120)

Haus, letih, dan lapar bukanlah keinginan para mujahidin, akan tetapi itu adalah konsekuensi dari pilihan mereka untuk berjihad. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa di antara amalan mujahidin dalam ayat ini adalah berinfak, berjalan melewati lembah, masuk ke medan pertempuran, dan bahkan di antara yang mereka alami adalah hal-hal yang mereka tidak sukai seperti haus, lapar, dan letih. Para ulama mengatakan bahwa hal-hal yang para mujahidin tidak sukai seperti lapar, haus, dan letih ini adalah musibah yang muncul karena mereka pergi berjihad. Akan tetapi setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kesusahan yang mereka alami, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa semua yang mereka alami akan menjadi amal saleh, sehingga kesimpulannya adalah lapar, haus, dan letih yang dirasakan oleh mereka itu berpahala. Oleh karena itu, secara dzatnya musibah yang seperti ini sendiri berpahala.

Oleh karena itu, para sahabat yang hijrah dari kota Mekkah ke Madinah, di tengah jalan mereka merasakan kepayahan dan mereka dihadang oleh orang-orang kafir, semua yang mereka alami ini berpahala, karena musibah yang mereka alami tersebut timbul disebabkan amal saleh yang mereka kerjakan (hijrah). Demikian pula seorang Da’i yang berdakwah, lantas kemudian dia dicaci maki, dikucilkan, atau bahkan dilempari batu, maka semua musibah itu secara dzatnya berpahala karena dia mendapatkan musibah karena amal saleh yang dia kerjakan.

Contoh hal-hal yang menyedihkan dan merupakan musibah yang timbul bukan karena peran seorang hamba di antaranya adalah sakit, dicerai, kenakalan anak-anak, dan yang lainnya. Lantas apakah musibah yang timbul bukan karena peran seorang hamba seperti ini berpahala secara dzatnya? Pendapat yang benar adalah musibah seperti ini secara dzatnya tidak berpahala. Seseorang hanya akan dapat pahala dari musibah semacam ini kalau dia bersabar. Oleh karena itu musibah seperti ini memiliki dua kemungkinan: Pertama adalah seseorang bersabar dan mendapatkan pahala dari kesabarannya; Kedua adalah seseorang tidak bersabar dan dia mendapatkan dosa dari ketidaksabarannya.

Ketahuilah bahwa pahala ada sebab apa yang seseorang lakukan. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pahala begitu saja tanpa orang tersebut melakukan apa-apa. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan musibah-musibah yang timbul di luar peran seorang hamba tidak memberikan pahala dengan sendirinya, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pahala dengan sebab bagaimana sikap seseorang ketika menghadapi musibah-musibah tersebut. Maka seseorang yang terkena musibah semacam ini bukan berarti dia langsung terampuni dosa-dosanya, akan tetapi tergantung bagaimana dia menyikapi musibah tersebut.

Bagian kedua

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Dan sungguh Allah apabila cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha (terhadap musibah) maka baginya keridhaan Allah, namun barangsiapa yang murka (terhadap musibah) maka baginya kemurkaan Allah.”

Hadits ini menggambarkan tentang bagaimana sikap manusia terhadap musibah yang menimpanya, dan apa konsekuensi dari sikap mereka. Sikap tersebut bisa kita bagi  menjadi tiga:

Seorang mukmin yang mengalami musibah akan merasakan banyak kenikmatan. Di antara kenikmatan tersebut adalah dia bersabar dan ridha. Sikap sabar dan ridhanya tersebut akan menghasilkan banyak hal yang di antaranya:

Masih banyak kebaikan-kebaikan lain yang akan diperoleh seseorang mukmin atas kesabaran dan keridhaannya terhadap musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, kita harus semakin sadar bahwa jika Allah Subhanahu wa ta’ala mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya, karena ketika kaum tersebut diuji maka akan timbul kebaikan-kebaikan dan ibadah-ibadah luar bisa yang akan dialami oleh mereka, dimana orang-orang yang tidak terkena musibah tidak akan merasakannya. Dan ketahuilah bahwa bagi orang-orang mukmin, musibah itu adalah di antara sebab derajat mereka diangkat di sisi Allah.

Sikap orang fasik terhadap musibah yang menimpanya adalah dia marah dan tidak sabar. Maka dari sikap marah dan ketidaksabarannya itu, dia akan mendapatkan beberapa hal yang di antaranya;

Berbeda dengan orang mukmin, musibah yang menimpa orang fasik tidak menjadikan mereka tinggi di sisi Allah, akan tetapi musibah tersebut merendahkan diri mereka serendah-rendahnya di sisi Allah, dan tidak jarang puncak kehinaannya adalah dia diberi musibah berupa kematian tatkala dia sedang bermaksiat kepada Allah, dan kita berlindung kepada Allah dari kondisi semacam ini.

Orang kafir yang terkena musibah, baik mereka sabar atau tidak sabar maka sama saja bagi mereka, yaitu musibah apa pun yang menimpa mereka adalah hukuman mereka di dunia sebelum hukuman yang lebih berat di akhirat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَهُمْ عَذَابٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَقُّ وَمَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَاقٍ

Mereka mendapat siksaan dalam kehidupan dunia, dan azab akhirat pasti lebih keras. Tidak ada seorang pun yang melindungi mereka dari (azab) Allah.” (QS. Ar-Ra’d : 34)

Kenapa orang kafir mendapatkan demikian? Jawabannya adalah karena mereka banyak melakukan dosa. Pertama, seluruh kewajiban yang diwajibkan kepada orang muslim, yang tidak dikerjakan oleh orang-orang kafir maka terhitung dosa bagi mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang pertanyaan penghuni surga terkait orang-orang yang berbuat dosa,

فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ، عَنِ الْمُجْرِمِينَ، مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ، وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ، وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ، حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

(mereka) berada di dalam surga, mereka saling menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, Mereka menjawab, ‘Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa berbincang-bincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian’.” (QS. Al-Muddatstsir : 40-47)

Shalat, setiap satu shalat yang mereka tinggalkan maka akan menjadi tanggungan mereka pada hari kiamat kelak. Intinya semua kewajiban seorang muslim, dan tidak dikerjakan oleh orang-orang kafir maka mereka akan menanggung dosa dari setiap kewajiban yang mereka tinggalkan. Kedua, mereka melakukan semua yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti berbuat syirik, minum khamr, zina, dan kemaksiatan lainnya. Maka umur yang mereka habiskan dengan maksiat maka semuanya akan menjadi tanggungan dosa bagi mereka di akhirat kelak. Ketiga, seluruh kenikmatan berupa makanan, pasangan, fisik, dan kenikmatan lainnya akan dimintai pertanggungjawaban, dan semua kenikmatan itu akan menjadi dosa (azab) bagi mereka karena mereka tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Oleh karena itu, musibah yang menimpa orang kafir di dunia hanyalah pendahuluan (mukadimah) atas azab-azab bagi mereka sebelum mereka mendapatkan azab yang sesungguhnya di akhirat. Akan tetapi terkecuali jika mereka mau mencari kebenaran dan akhirnya mendapat hidayah untuk masuk Islam, maka semua dosa-dosanya akan berubah menjadi kebaikan.

Matan

Kandungan dalam bab ini:

Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1])  Dinukilkan oleh Al-Manbaji dalam kitab Tasliyah Ahlul-Mashoib, 1/132, Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 1/130

([2]) Tafsir As-Sa’di, 1/720

([3])  HR. Bukhari no. 1469 dan HR. Muslim no. 1053

([4])  Fathul Baari 11/303

([5]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/155

([6]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/155

([7]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/163-165

([8]) Ada beberapa pendapat tentang nama wanita tersebut, apakah namanya adalah زُلَيْخَا atau رَاعِيْلُ atau رَبِيْحَة (Lihat diantaranya : Tafsir al-Baghowi 4/225, Tafsir az-Zamakhsyari 2/483, Tafsir Ibnu Áthiyyah 3/231, dan Tafsir ar-Raazi 18/435) Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan nama-nama tersebut. Adapun al-Qurán hanya menyebutnya dengan اِمْرَأَةُ الْعَزِيْزِ (istri dari pejabat yang mulia)

([9]) Dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh imam Ibnu Al-Qoyyim, Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/165

([10])  HR. Bukhari no. 6470

(([11]))  Syifa Al-‘Alil, Ibnu Al-Qoyyim, 1/64 & 282

([12])  Dia adalah Qais bin Abdillah An-Nakha’i Al-Kuufi, dan dia merupakan Kibaar At-Tabi’in

([13]) H.R. Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Iman, No.9503, As-Sunan Al-Kubro, No.7214

([14]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 1/130-132

([15]) At-Tamhid, Sholih Alus-Syaikh, 1/392

([16])  HR. Bukhari no. 2966

([17]) At-Tamhid, Sholih Alus-Syaikh, 1/392-393

([18])  HR. Ibnu Majah 3803

([19])  HR. At-Tirmidzi no. 1021, Al-Albani mengatakan hadits ini hasan

([20])  Kufur Ashghar adalah perbuatan dosa besar, namun tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam

([21]) At-Tamhid, Sholih Alus-Syaikh, 1/392-394

([22])  HR. Muslim no. 934

([23])  HR. Bukhari no. 1303

([24])  HR. Bukhari no. 1284

([25])  HR. Bukhari no. 4462

([26])  Lihat penjelasan As-Syaikh Kholid as-Sabt di https://khaledalsabt.com/explanations/1222/ حديث-ليس-على-ابيك-كرب-بعد-اليوم

([27]) Ibnu Taimiyyah berkata :

وَكَذَلِكَ كُلُّ ذَنْبٍ تُوُعِّدَ صَاحِبُهُ بِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَا يَشُمُّ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَقِيلَ فِيهِ: مَنْ فَعَلَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَأَنَّ صَاحِبَهُ آثِمٌ. فَهَذِهِ كُلُّهَا مِنْ الْكَبَائِرِ.

“Dan begitu juga, semua dosa yang pelakunya diancam dengan tidak masuk ke dalam surga, dan tidak mencium bau surga, dan juga disebutkan bahwa yang melakukan amalan itu tidak termasuk golongan kami, dan pelakunya berdosa. Dan ini semua termasuk dosa besar” (Majmu’ Al-Fatawa, 11/652)

([28]) Diantaranya adalah Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah, beliau berkata:

وَ”دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ ” يُطْلَقُ عَلَى أَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: مَا كَانَتْ الْعَرَبُ تَفْعَلُهُ فِي الْقِتَالِ مِنْ الدَّعْوَى، وَالثَّانِي: وَهُوَ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهِ هَذَا الْحَدِيثُ – هُوَ مَا كَانَتْ الْعَرَبُ تَقُولُهُ عِنْدَ مَوْتِ الْمَيِّتِ.

“Dan seruan jahiliyyah dimutlakkan untuk dua perkara:

([29]) Ibnul Qoyyim berkata :

ومنها: الدُّعَاءُ بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ، وَالتَّعَزِّي بِعَزَائِهِمْ، كَالدُّعَاءِ إِلَى الْقَبَائِلِ وَالْعَصَبِيَّةِ لَهَا وَلِلْأَنْسَابِ، وَمِثْلُهُ التَّعَصُّبُ لِلْمَذَاهِبِ، وَالطَّرَائِقِ، وَالْمَشَايِخِ، وَتَفْضِيلُ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ بِالْهَوَى وَالْعَصَبِيَّةِ، وَكَوْنُهُ مُنْتَسِبًا إِلَيْهِ، فَيَدْعُو إِلَى ذَلِكَ وَيُوَالِي عَلَيْهِ، وَيُعَادِي عَلَيْهِ، وَيَزِنُ النَّاسَ بِهِ، كُلُّ هَذَا مِنْ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.

“Dan di antaranya: Adalah menyeru dengan seruan seruan jahiliyyah, dan merasa tinggi/bangga dengan semboyan-semboyan mereka, seperti menyeru kepada suku-suku, dan ta’asshub dengannya dan dengan nasab (keturunan), dan sama sepertinya seruan untuk ta’asshub (fanatisme) kepada madzhab tertentu, dan tarikat-tarikat (kelompok agama) tertentu, dan ta’asshub kepada masyayikh-masyayikh (syaikh/’ulama) tertentu, dan mengunggulkan satu dengan yang lainnya berlandaskan hawa nafsu dan ta’sshub (fanatisme). Dan dikarenakan ia menisbatkan diri kepadanya, maka ia menyeru kepada hal itu, dan berloyalitas karenanya, dan memusuhi karenanya, dan mengukur manusia dengannya. Dan semua itu termasuk seruan jahiliyyah”. (Zad Al-Ma’ad, Ibnu Al Qoyyim, 2/431)

([30])  HR. Muslim no. 2584

([31])  HR. Muslim no. 2577

([32]) Dan bahkan dosa yang dilakukan seseorang bisa menyebabkan kerusakan di muka bumi, bukan hanya kepada pelaku itu saja. Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Sesungguhnya telah nampak kerusakan di daratan maupun dilautan dikarenakan ulah dosa manusia, agar mereka merasakan akibat dari sebagian perbuatan mereka, sekiranya mereka kembali (kepada Allah ‘Azza wa Jalla)” (Q.S. Ar-Rum:41)

Abu Bakr radhiallahu’anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَهُمْ، فَلَمْ يُنْكِرُوهُ، يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ

“Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat/mengetahui kemunkaran di sisi mereka, namun mereka tidak mengingkarinya (dalam riwayat Abu Dawud dengan lafazh “mereka tidak merubahnya”), dikhawatirkan Allah ‘Azza wa Jalla menimpakan kepada mereka semua dengan adzab” (H.R. Ahmad, No.53, Abu Dawud, No.4338)

Ibnul Qoyyim berkata :

وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ.

“Dan di antara akibat dari dosa dan maksiat adalah: ia menyebabkan bermacam-macam kerusakan di muka bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, dan tempat tinggal” (Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, 64)

([33])  HR. At-Tirmidzi no. 3334

([34]) Lihat Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 7/487-501

([35]) As-Safarini Al-Hanbali mengatakan bahwa “Kaum muslimin telah sepkat, bahwa taubat itu wajib, dan wajibnya ‘alal faur (harus langsung dikerjakan dan tidak boleh ditunda-tunda)” (Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 1/372).

([36]) Dan As-Safarini menambahkan:

فَإِنْ كَانَتِ الْمَعْصِيَةُ لِآدَمِيٍّ فَلَهَا رُكْنٌ رَابِعٌ وَهُوَ التَّحَلُّلُ مِنْ صَاحِبِ ذَلِكَ الْحَقِّ. وَأَصْلُهَا النَّدَمُ وَهُوَ رُكْنُهَا الْأَعْظَمُ،

“Dan jika dosa itu berkaitan dengan manusia, maka ada rukun keempat: “yaitu meminta dihalalkan dari orang yang memiliki hak tersebut. Dan pondasinya adalah menyesal, dan itu adalah rukun teragung dalam taubat” (Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 1/373)

([37]) As-Safarini rahimahullahu Ta’ala berkata:

وَأَمَّا قَبُولُ تَوْبَةِ الْمُذْنِبِ النَّصُوحِ بِشَرْطِهَا فَقَوْلُ الْجُمْهُورِ وَكَلَامُ الْإِمَامِ ابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِجْمَاعٌ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يُقْطَعُ بِقَبُولِ التَّوْبَةِ، بَلْ يُرْجَى، وَصَاحِبُهَا تَحْتَ الْمَشِيئَةِ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ.

“Adapun diterimanya taubat nasuha pelaku dosa jika terpenuhi syaratnya, maka ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama. Bahkan penjelasan Ibnu ‘Abdil-Barr menunjukkan bahwa yang hal ini adalah kesapakatan ‘ulama. Dan sebagian ulama berpendapat: Bahwa tidak dipastikan diterimanya ibadah, akan tetapi diharapkan, dan orangnya tergantung dengan kehendak Allah, di antara mereka adalah imam Al-Haromain (Al-Juwaini)” (Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 1/373).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala:

وَأَمَّا أَئِمَّةُ السَّلَفِ فَإِنَّمَا لَمْ يَقْطَعُوا بِالْجَنَّةِ لِأَنَّهُمْ لَا يَقْطَعُونَ بِأَنَّهُ فَعَلَ الْمَأْمُورَ وَتَرَكَ الْمَحْظُورَ وَلَا أَنَّهُ أَتَى بِالتَّوْبَةِ النَّصُوحِ وَإِلَّا فَهُمْ يَقْطَعُونَ بِأَنَّ مَنْ تَابَ تَوْبَةً نَصُوحًا قَبِلَ اللَّهُ تَوْبَتَهُ.

“Adapun imam-imam (‘ulama) terdahulu, adalah mereka tidak memastikan bagi seseorang surga, karena mereka tidak bisa memastikan bahwa orang itu melakukan yang diperintahkan, dan ia meninggalkan larangan, dan tidak bisa memastikan bahwa ia telah melakukan taubat nasuha. Namun dengan demikian, mereka memastikan bahwa siapa saja yang bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nasuha, maka Allah ‘Azza wa Jalla pasti menerima taubatnya” (Majmu’ Al-Fatawa, 7/418)

([38]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 1/199. Intinya Ibnul Qoyyim sedang menjelaskan meskipun Allah maha menerima taubat sebagaimana Allah maha menerima amal seseorang, akan tetapi yang menjadi permasalahan apakah amal ibadah kita sudah ikhlash dan memenuhi perysaratan untuk diterima?, sebagaimana halnya dengan taubat yang merupakan amal shalih, apakah telah memenuhi persyaratannya?. Jika telah memenuhi persyaratannya pasti Allah menerima, akan tetapi kita tidak memastikan apakah taubat kita telah memenuhi persyaratan?.

([39])  HR. Muslim no. 233

([40])  HR. Bukhari no. 38

([41])  HR. At-Tirmidzi no. 1987

([42])  HR. Ibnu Majah no. 517

([43])  HR. Muslim no. 948

([44])  HR. Ibnu Majah no. 1547

([45])  HR. At-Tirmidzi no. 1376

([46])  H.R. Ibnu Majah, No.3660

([47])  HR. Abu Daud no. 3641

([48]) Faedah:

Syafa’at di akhirat ada beberapa macam:

(Lihat Al-Qoul Al-Mufid, Ibnu ‘Utsaimin, 1/331-334).

Dan Ibnu Abil-‘Izz menambahkan:

(Syarah Aqidah At-Thohawiyah, 1/205)

([49])  HR. Muslim no. 199

([50])  HR. At-Tirmidzi no. 2436

([51])  HR. Muslim no. 2575

([52])  HR. Bukhari no. 5645

([53])  HR. Bukhari no. 5642

([54])  HR. Ahmad no. 24328

([55])  HR. Bukhari no. 6510

([56])  HR. Muslim no. 195

([57])  HR. Muslim no. 183

([58])  HR. Ahmad no. 1481

([59]) Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 10/123-124

([60]) 1/175, ‘Idatus Shobirin, Ibnu Al-Qoyyim, 1/86



Sumber : https://bekalislam.firanda.com/4513-bersabar-akan-takdir-allah-bab-34.html

Hubungi Kami

Kantor Advokat dan Konsultan Hukum

Himawan Dwiatmodjo & Rekan

Jl. Rawa Kuning, Pulogebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia


Email: lawyerhdp@gmail.com

https://bekalislam.firanda.com/4556-mereka-mengetahui-nikmat-allah-kemudian-mengingkarinya-bab-40.html

https://bekalislam.firanda.com/4646-hukum-mengucapkan-seandainya-bab-56.html

https://bekalislam.firanda.com/4656-mengingkari-takdir-bab-59.html