HUKUM SIBER
KULIAH HUKUM SIBER
HIMAWAN DWIATMODJO, S.H., LL.M.
Hukum Siber
Hukum Siber (Cyber Law) adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi.
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari cyberspace law yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subjek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki cyber space atau dunia maya
Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Techonology), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara.
Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The Law of The Internet, Law and the Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, Lex Informatica dan sebagainya. Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika).
Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.
Cyber Law diperlukan karena kegiatan Cyber dengan berbasis internet saat ini tidak bisa dibatasi oleh teritori Negara dan dapat dilakukan kapanpun. Meskipun alat buktinya berbentuk virtual (maya) dan bersifat elektronik kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak nyata.
Istilah hukum siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan “dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya.
Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat dan semu.
Cyber law sendiri adalah hukum yang khusus berlaku di dunia cyber.
Secara luas cyber law bukan hanya meliputi tindak kejahatan di internet, namun juga aturan yang melindungi para pelaku e-commerce, e-learning, pemegang hak cipta, rahasia dagang, paten, e-signature dan masih banyak lagi.
Cyber law erat lekatnya dengan dunia kejahatan.
Hal ini juga didukung oleh globalisasi. Zaman terus berubah-ubah dan manusia mengikuti perubahan zaman itu. Perubahan itu diikuti oleh dampak positif dan dampak negatif.
Ada dua unsur terpenting dalam globalisasi. Pertama, dengan globalisasi manusia dipengaruhi dan kedua, dengan globalisasi manusia saling mempengaruhi.
Sejarah Hukum Siber di Dunia
Pada tahun 1980-an khusunya Negara-negara di Eropa dan Amerika Utara mulai melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan baru seiring dengan penggunaan teknologi komputer dalam melakukan tindak pidana konvensional.
Pada tahun 1990-an beberapa Negara di berbagai belahan dunia sudah mulai mengatur tindak pidana siber seperti memasuki sistem komputer secara illegal, merusak data dalam sistem komputer dan menyebarkan virus.
Pelaku tindak pidana siber mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk melakukan tindakpidana dari suatu Negara yang akan mengakibatkan kerugian terhadap seseorang di beberapa tempat di Negara lain.
Untuk mengahdapi ancaman tindak pidana siber beberapa organisasi internasional telah melakukan kajian-kajian dan pertemuan- pertemuan ilmiah yang membahas tindak pidana siber, kerjasama internasional untuk mendorong pembentukan hukum internasional tentang tindak pidana siber.
Beberapa organisasi internasional yang telah melakukan usaha-usaha tersebut antara lain :
A. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
Usaha internasional pertama dalam memerangi tindak pidana penyalahgunaan komputer dilakukan oleh OECD antara tahun 1983 dan tahun 1985.
Pada tahun 1985 negara-negara anggota OEDC direkomendasikan mempertimbangkan untuk melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan dengan penyalahgunaan komputer dan mengaturnya dalam hukum pidana nasional.
Tahun 1986 OECD mengeluarkan laporan tentang Computer-Related-Crime: Analysis of Legal Policy. Berdasarkan hasil kajian tersebut OECD menganjurkan beberapa perbuatan untuk dikriminalisasi dalam hukum pidana nasional, yaitu :
Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan data komputer/program komputer dengan maksud untuk melakukan transfer dana atau sesuatu yang bernilai lainnya secara illegal.
Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan data komputer/program komputer dengan maksud untuk melakukan pemalsuan.
Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan data komputer/program komputer dengan maksud untuk mengganggu sistem komputer atau sistem telekomunikasi lainnya.
Pelanggaran hak eksklusif atas program komputer yang dilindungi yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan komersial.
Mengakses atau mengintersep sistem komputer/telekomunikasi tanpa seizin pihak yang bertanggungjawab atas sistem tersebut baik dengan cara pelanggaran atas sistem pengamanan, atau untuk tujuan maksud jahat lain.
Usaha lain yang dilakukan OECD adalah kontribusinnya mengenai pedoman tentang kebijakan keamanan komputer internasional yang saat ini menjadi Guidelines for the Security of Information System and Networks.
B. United Nations (UN)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan monitoring terhadap computer related crime, dimulai pada tahun 1990 dengan Eight UN Congress on the Prevention of Crime and Treatment of Offender.
Dalam resolusi kongres PBB tersebut Negara-negara dihimbau untuk mengintensifkan usaha-usaha memerangi computer related crime dengan melakukan tindakan-tindakan berikut :
Modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana nasional untuk menjamin dan memadai dalam menindak tindak pidana siber.
Meningkatkan upaya-upaya pengamanan komputer dan upaya- upaya preventif, dengan memperhitungkan masalah-masalah terkait perlindungan privasi, penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental serta setiap mekanisme pengaturan penggunaan/pemanfaatan komputer.
Mengadopsi upaya-upaya agar masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum peka terhadap masalah computer-related crimes dan pentingnya mencegah tindak pidana tersebut.
Mengadopsi pelatihan-pelatihan yang memadai untuk hakim, pejabat dan aparat yang bertanggungjawab atas pencegahan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan mengenai tindak pidana ekonomi dan computer-related crimes
Mengelaborasi -- dalam kolaborasi dengan organisasi-organisasi yang berkepentingan—rules of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya sebagai bagian dari kurikulum dan training informatika.
Mengadopsi kebijakan-kebijakan untuk korban computer-related crimes yang konsisten dengan United Nations Declarartion of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, termasuk pengembalian aset yang diperoleh dari kejahatan, dan upaya-upaya mendorong korban agar mau melaporkan kejahatan kepada penguasa yang berwenang.
C. The Group of Eight (G8)
G8 adalah kelompok Negara-negara industry yang terdiri dari Kanada, Jerman, Perancis, Itali, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan Rusia.
Menurut G8 setidaknya ada 2 bentuk ancaman dari perkembangan high-tech crime/ tindak pidana teknologi tinggi yaitu
para pelaku kejahatan yang canggih menjadikan komputer dan sistem telekomunikasi sebagai target untuk memperoleh atau mengalihkan informasi yang berharga tanpa izin dan mencoba mengganggu sistem- sistem perdagangan penting dan sistem-sistem public lainnya;
para pelaku kejahatan termasuk kelompok dari anggota kejahatan terorganisir dan para teroris, menggunakan teknologi baru ini sebagai alat kejahatan tradisional yang merupakan ancaman terhadap keamanan umum.
G8 menyetujui 10 prinsip memerangi high-tech crimes tersebut adalah :
Tidak boleh ada tempat berlindung bagi mereka yang menyalahgunakan teknologi informasi.
Penyidikan dan penuntutan atas pelaku kejahatan high-tech internasional harus dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan seluruh Negara yang berkepentingan, terlepas dari wilayah hukum mana kerugian ditimbulkan.
Aparat penegak hukum harus terlatih dan diperlengkapi/ dipersiapkan untuk menangani kejahatan high-tech.
Sistem hukum harus melindungi kerahasiaan, keutuhan dan ketersediaan data dan sistem dari kerusakan yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum dan menajmin adanya penghukuman terhadap penyalahgunaan serius.
Sistem hukum harus memungkinkan pengamanan data elektronik dan akses yang cepat terhadap data elektronik, yang kerap sangat penting bagi keberhasilan investigasi kejahatan.
Rezim bantuan timbal balik harus dapat menjamin perolehan dan pertukaran alat bukti yang cepat dalam kasus yang melibatkan kejahatan high-tech internasional.
Akses elektronik lintas batas oleh penegak hukum terhadap informasi yang dapat diakses oleh umum tidak memerlukan pengesahan/izin dari Negara dimana data itu diperoleh atau berada.
Harus dikembangkan dan diterapkan standar forensic untuk memperoleh dan mensahkan data elektronik dalam proses investigasi dan penuntutan.
Sistem informasi dan telekomunikasi harus dirancang untuk membantu pencegahan dan mengetahui penyalahgunaan jaringan, dan juga harus dapat digunakan menelusuri dan menemukan para penjahat dan mengumpulkan alat bukti.
Kegiatan dibidang ini harus dikoordinasikan dengan kegiatan dalam for a internasional lainnya yang relevan untuk memastikan tidak adanya upaya yang tumpang tindih.
D. Council of Erope (CoE)
Konvensi tentang Kejahatan Siber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa.
Konvensi ini dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh Negara manapundi Dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan siber.
Convention on Cyber Crime 2001 merupakan puncak dari usaha-usaha yang telah dimulai lebih dari 20 tahun lalu oleh OECD, kemudian juga dilakukan PBB dan organisasi internasional lainnya yang telah mengkaji dan menyelenggarakan berbagai penemuan internasional dalam menghadapi perkembangan tindak pidana siber.
Convention on Cyber Crime 2001 merupakan regulasi internasional pertama yang mengatur tindak pidana Siber dan menjadi pedoman dalam regulasi tindak pidana siber dalam hukum nasional.
Convention on Cyber Crime 2001 terdiri dari 48 pasal dan dibagi dalam 4 bab,ketentuan yang berkaitan dengan kriminalisasi tindak pidana siber adalh Bab II Hukum Pidana Materil Bagian 1 hukum pidana materil (Pasal2-Pasal 13) mengatur ketentuan- ketentuan tentang hukum pidana materiil, kriminalisasi, dan ketentuan lainnyab yang berkaitan dengan tindak pidana siber.
Tindak pidana siber terdapat 9 jenis tindak pidana siber yang dikelompokan dalam empat kategori tindak pidana, yaitu :
Kelompok pertama : tindak pidana terhadap kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan data (availability) data dan sistem komputer terdiri dari : illegal access (pasal 2), illegal interception (pasal 3), data interference (pasal 4), system interference (pasal 5), dan misuse of device (pasal 6).
Kelompok kedua : tindak pidana yang berkaitan dengan komputer, terdiri dari pemalsuan yang berkaitan dengan komputer (computer related forgery (pasal 7)), dan penipuan yang berkaitan dengan komputer (computer related fraud (pasal 8)).
Kelompok ketiga : tindak pidana yang berkaitan dengan konten yang berisi ketentuan tentang tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi anak (offens related to child pornography (pasal 9)).
Kelompok keempat : tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta dan hak-hak terkait (pasal 10).
Disamping empat kelompok tindak pidana siber, dalam Bab I hukum pidana materil juga mengatur kewajiban tambahan dan sanksi terdiri dari :
Pasal 11, perbuatan yang dikriminalisasi adalah dengan sengaja (1) membantu atau menghasut, (2) mencoba untuk melakukan tindak pidana yang diatur dalam PAsal 2-Pasal 10.
Pasal 12, mengatur tentang badan-badan hukum dapat diminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang telah ditetapkan sesuai dengan konvensi ini,yang dilakukan untuk keuntungan mereka oleh orang perseorangan, baik secara individual, maupun sebagai bagian dari organ badan hukum, yang memegang posisi pimpinan didalamnya berdasarkan:
a) Kuasa perwakilan badan hukum tersebut,
b) Wewenang untuk mengambil keputusan atas nama badan hukum tersebut,
c) Wewenang untuk mengendalikan dalam badan hukum tersebut.
Pasal 13, mengatur mengenai adanya jaminan bahwa tindak pidana dari pasal 2-pasal 10 dipidana denga sanksi yang efektif, proporsional, dan dissuasive, termasuk sanksi pidana perampasan kemerdekaan untuk orang atau sanksi non-penal atau tindakan, termasuk juga sanksi pidana denda utnuk badan hukum.
Sejarah Hukum Siber di Indonesia
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini diawali dengan perkembangan teknologi komputer sejak tahun 1990- an sudah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah indonesia.
Pada tahun 2000 pemerintah mulai menggagas untuk mengatur berbagai aktivitas di cyberspace.
Usaha untuk melakukan regulasi terhadap aktivitas manusia di cyberspace termasuk aspek hukum pidananya telah dilakukan sejak tahun 2000, yaitu pertama dengan disusunnya RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi yang diprakarsai Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan. RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun oleh Tim Fakultas Hukum UNPAD dan ITB. Kedua, RUU Tanda Tangan Digital diprakarsai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan disusun oleh Tim Fakultas Hukum UI, khususnya Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKTH).
RUU tersebut akhirnya digabung menjadi, RUU Informasi, Komunikasi, dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang diprakarsai oleh Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dengan penyusun berasa dari Tim Fakultas Hukum UNPAD dan Tim Asistensi ITB serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKTH) UI.
Seiring dengan dibentuknya Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (KOMINFO), sejak maret 2003 pembentukan RUU IKTE selanjutnya dilakukan oleh Kementrian Kominfo dan menjadi RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE).
Pada tahun 2005 Kementrian Komunikasi dan Informasi berdasarkan Peraturean Pemerintah RI No.9 Tahun 2005 berubah menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika (DEPKOMINFO) dan penyusunan RUU IETE yang kemudian berubah menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) dilakukan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika.
Melalui pembahasan di DPR pada tanggal 25 maret 2008 rapat paripurna DPR menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang- undang dan kemudian pada tanggal 21 April 2008 oleh Presiden Republik Indonesia diundangkan dengan Undang-undang No.11 tahun2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Lembaran Negara tahun 2008 No.58.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan Hukum Siber Pertama Indonesia dan pemebentukannya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya kejaqhatan berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta melindungi masyarakat pengguna jasa yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
UU ITE terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 13 Bab. Ketentuan-ketentuan yang mengatur kriminalisasi perbuatan yang termasuk kategori tindak pidana siber adalah Bab VII tentang perbuatan yang dilarang pasal 27-pasal37.
Sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan tersebut dirumuskan dalam Bab XI tentang ketentuan pidana Pasal 45-Pasal52.
Dalam perjalanannya, kriminalisasi tindak pidana siber dalam UU ITE yang mengatur penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam aktifitas di dunia siber belum memadai.
Saat ini hukum internasional yang banyak digunakan negara-negara di dunia sebagai pedoman dalam pengaturan tindak pidana siber adalah Convention on Cybercrime 2001.
Sehubungan dengan itu pemerintah Indonesia bermaksud untuk melakukan aksesi (Aksesi adalah suatu perbuatan hukum dimana suatu Negara yang bukan merupakan peserta asli perjanjian multilateral menyatakan kemudian persetujuannya untuk diikat perjanjian tersebut. Lalu negara tersebut mengirimkan piagam aksesinya ke negara penyimpan. Dengan kata lain, Aksesi berarti pernyataan persetujuan untuk mengikatkan diri secara definitif terhadap suatu perjanjian) terhadap Convention on Cybercrime 2001 dan melakukjan harmonisasi hukum nasional indonesia dengan Convention on Cybercrime 2001.
Berdaarkan hasil kajian dan juga hasil Workshop on Cybercrime Legislation in Indonesia dengan Council of Europe Expert, ketentuan-ketenrtuan UU ITE belum sesuai dengan ketentuan tindak pidana siber dalam konvensi.
Untuk itu pemerintah telah menyusun draf RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) yang akan mengatur beberapa terminologi dan norma-norma dalam konvensi yang belum sesuai atau belum diatur dalam UU ITE.
RUU TIPITI yang terdiri dari 10 Bab dan 27 pasal merumuskan beberapa pengertian baru yang dirumuskan adalah sistem komputer, data komputer dan data trafik.
Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam dalam RUU TIPITI pada dasarnya mengatur 5 jenis tindak pidana yaitu : penipuan, pelanggaran hak cipta dan hak-hak terkait, menghambat atau mengahalangi proses peradilan, pembantuan dan penghasutan serta pelanggaran kewajiban oleh penyelenggara sistem.
Asas-asas Hukum Siber
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
Subjective territoriality, dalam perspektif ini hukum berlaku berdasarkan tempat cybercrime dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
Objective territoriality, dalam perspektif ini hukum berlaku berdasarkan dimana akibat utama kejahatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
Nationality dalam perspektif ini negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Protective principle, dalam perspektif ini hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus siber. Asas ini disebut juga sebagai ―universal interest jurisdiction‖. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. Oleh karena itu, untuk ruang siber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang siber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
Sumber:
Masih perlu didiskusikan?