PEMBUKTIAN

KULIAH HUKUM SIBER



HIMAWAN DWIATMODJO, S.H., LL.M.


Definisi

Pengertian Bukti, Pembuktian dan Hukum Pembuktian

Tujuan pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah : Untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu tentang fakta-fakta atas nama penilaian tersebut harus didasarkan.

Kata pembuktian (bewijs) bahasa Belanda dipergunakan dalam dua arti, adakalanya ia diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, adakalanya pula sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu terdapatnya suatu kepastian.

Menurut Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej memberikan kesimpulan (dengan mengutip pendapat Ian Denis) bahwa: Kata Evidence lebih dekat kepada pengertian alat bukti menurut Hukum Positif,sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian yang mengarah kepada suatu proses. Evidence atau bukti (pendapat Max. M.Houck) sebagai pemberian informasi dalam penyidikan yang sah mengenai fakta yang kurang lebih seperti apa adanya.

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti  memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan.

R.Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.

Dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana, karena yang dicari adalah kebenaran materiil. Pembuktiannya telah dimulai sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya.

Menurut Munir Fuady bahwa Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, hampir seragam diNegara manapun bahwa beban pembukian diletakkan pada pundak pihak Jaksa Penuntut Umum.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :

Dengan demikian sejalan dengan pendapat Djoko Sarwoko bahwa sistem pembukian bertujuan :

Berdasarkan teori hukum pembuktian, menurut Munir Fuady bahwa hukum pembuktian harus menentukan dengan tegas ke pundak siapa beban pembuktian (burden of proof, burden of producing evidence) harus diletakkan. Hal ini karena di pundak siapa beban pembuktian diletakkan oleh hukum, akan menentukan secara langsung bagaimana akhir dari suatu proses hukum dipengadilan, misalnya dalam kasus perdata di mana para pihak sama-sama tidak dapat membuktikan perkaranya.

Dengan demikian, jika beban pembuktian diletakkan di pundak penggugat dan penggugat tidak dapat membuktikan perkaranya, penggugat akan dianggap kalah perkara meskipun pihak tergugat belum tentu juga dapat membuktikannya. Sebaliknya, jika beban pembuktian diletakkan di pundak tergugat dan ternyata tergugat tidak dapat membuktikannya, pihak tergugatlah yang akan kalah perkara meskipun pihak penggugat belum tentu juga dapat membuktikannya. Oleh karena itu, dalam menentukan ke pundak siapa beban pembuktian harus diletakkan, hukum haruslah cukup hati-hati dan adil dan dalam penerapannya. Selain itu, hakim juga harus cukup arif.

Lebih lanjut Munir Fuady mengatakan bahwa: yang dimaksud dengan beban pembuktian adalah suatu penentuan oleh hukum tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di pengadilan, untuk membuktikan dan meyakinkan pihak mana pun bahwa fakta tersebut memang benar-benar tejadi seperti yang diungkapkannya, dengan konsekuensi hukum bahwa jika tidak dapat di buktikan oleh pihak yang dibebani pembuktian, fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi seperti yang diungkapkan oleh pihak yang mengajukan fakta tersebut di pengadilan. Selengkapnya...

Sumber: http://mh.uma.ac.id/?s=pembuktian

Alat Bukti Yang Sah Menurut KUHAP

Alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat bukti yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan. Misalnya keterangan  terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk.

Apa itu Keterangan Saksi ?

Saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Saksi biasanya terdiri dari pada saksi yang memberatkan (a charge) yang biasanya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) demi menguatkan dakwaannya, dan juga saksi yang meringankan (a de charge) yang diajukan oleh terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan terhadap dakwaan yang diberikan kepadanya. Ketentuan Hukum mengenai keterangan saksi diatur di dalam Pasal 185 KUHAP.

Apa itu Keterangan Ahli ?

Keterangan ahli itu adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus mengenai hal yang diperlukan untuk membuat terang dari suatu perkara pidana yang berguna untuk kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Angka 28 KUHAP).

Misalnya dalam kasus pembunuhan berencana diperlukan adanya keterangan ahli yang berkaitan dengan visum et repertum maka keterangan ahli yang dibutuhkan adalah dokter forensik dan lain-lain.

Apa itu Surat ?

Surat yang disebut dalam pasal tersebut ialah surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya. Namun agar surat resmi tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti di persidangan nantinya. Maka surat resmi tersebut harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh si pejabat, serta menjelaskan dengan tegas alasan keterangan ini dibuatnya. Jenis surat semacam ini hampir meliputi semua surat yang dikelola oleh aparat administrasi dan kebijakan eksekutif, misalnya KTP, SIM, paspor, akte kelahiran, dan lain-lainnya. Dimana surat-surat tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti surat (Pasal 187 KUHAP).

Apa itu Petunjuk ?

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (Pasal 188 Ayat 1 KUHAP).

Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan/atau keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat 2). Petunjuk sesungguhnya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan keterangan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan hakim. Hakim lah yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap kekuatan suatu petunjuk dengan penuh kecermatan, keseksamaan, arif, bijaksana dan berdasarkan hati nuraninya.

Apa itu Keterangan Terdakwa?

Terdakwa dalam memberikan keterangannya sebagai alat bukti dalam persidangan di pengadilan hanya mencangkup 2 (hal), yaitu pengakuan dan pengingkaran mengenai tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Didalam pasal 189 KUHAP, Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan juga dalam memutus perkara, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain seperti keterangan saksi, keterangan, ahli, surat dan juga petunjuk.


Sumber : http://mh.uma.ac.id/2020/12/alat-bukti-yang-sah-menurut-kuhap/

Alat Bukti & Barang Bukti

A. Alat Bukti

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: 

Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.


B. Barang Bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini,  real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:


Dasar hukum:

Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti-

Penanganan Bukti Digital Berdasarkan Perkap No 10 Tahun 2009, ACPO, Dan NIJ

Penanganan Bukti Digital Berdasarkan Perkap No 10 Tahun 2009, ACPO, Dan NIJ


Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009

Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009 Tentang tata cara dan persyaratan permintaan pemeriksaan teknis kriminalistik tempat kejadian perkara dan laboratoris kriminalistik barang bukti kepada laboratorium forensic kepolisian Negara Repoblik Indonesia

Dalam Perkap Paragraf 3 “Pemeriksaan Barang Bukti Perangkat Elektronik, Telekomunikasi, Komputer, (Bukti Digital), dan Penyebab proses elektrostatis” Pasal 17 Menjelaskan bahwa Pemeriksaan Barang Bukti Perangkat Elektronik, Telekomunikasi, Komputer, (Bukti Digital), dan Penyebab proses elektrostatis dilaksanakan di Labfor Polri dan /atau di TKP.

Oleh sebeb itu dalam pasal 20 ayat (1) dijelaskan bahwa Pemeriksaan barang bukti perangkat computer sebagai mana dimaksud dalam pasal 17 wajib memenuhi persyaratan formal sebagai berikut :

Selanjutnya dalam Perkap telah dijelaskan pada pasal 20 ayat (2) tentang bagai mana pemeriksaan barang bukti computer wajib memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut :

Advertisements

REPORT THIS AD

Dalam hal penanganan Barang bukti Komputer di Tempat Kejadian Perkara (TKP) telah di atur juga dalam pasal 21 yang di bagi atas 2 ayat atau 2 tata cara yaitu :

(1)  Tata cara penyitaan barang bukti computer, yang sedang digunakan untuk melakukan kejahatan adalah sebagai berikut :

(2) Tata cara penyitaan barang bukti computer, untuk computer yang sudah dimatikan sebagi berikut :


Association of Chief Police Officers (ACPO) Good Practice Guide for Computer-Based Elecronic Evidence

 

Dalam ACPO Prinsip-Prinsip Bukti Digital yang harus diterapkan adalah :

Dalam Penanganan Komputer (Bukti Digital) Dalam ACPO mengatur Penanganan Komputer (Bukti Digital) di Tempat Kejadian Perkara (TKP), Adapun tahapan-tahapan nya adalah sebagai berikut :


Jika Komputer Dalam Keadaan MATI (Shut Down)


Jika Komputer Dalam Keadaan HIDUP (ON)

 


National Institute of Justice (NIJ)

Penanganan Bukti Digital pada TKP dalam keadaan MATI (Shut Down) :


Penanganan Bukti Digital Pada TKP dalam Keadaan HIDUP (On) :


Kesimpulan

Langkah-langkah penanganan bukti digital di TKP yang berlaku di Indonesia adalah menurut Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 yang man telah mengalami berubahan di tahun 2010 dan terakhir ditahun 2014. Dalam perkap nomor 10 tahun 2009 masi mengadopsi dari proses penanganan bukti digital yang ditetapkan oleh Association of Chief Police Officers (ACPO) Good Practice Guide for Computer-Based Elecronic Evidence yang mana ACPO dalam peraturanya mereka menjabarkan langkah-langkah penanganan bukti digital di TKP secara rinci. Dan selanjutnya yaitu dari National Institute of Justice (NIJ) yang mencabarkan langkah-langkah penanganan barang bukti digital di TKP secara ringkas dan umum. Penanganan barang bukti digital di TKP menjadi hal yang penting dan perlu dilakukan dengan hati-hati oleh petugas karena nantinya akan berpengaruh ke proses selanjutnya yaitu proses forensic. Jika ada sesuatu yang meragukan dalam prosedur penanganan barang bukti digital di TKP itu dapat menyebabkan bukti digital tidak dapat diperiksa secara forensic sehingga tidak dapat digunakan untuk pembuktian dipengadilan.

Kekurangan dari Perkap no 10 Tahun 2009 dibandingkan dengan ACPO dan NIJ adalah terdapat pada penanganan barang bukti digital yang mana dalam Perkap No 10 Tahun 2009 hanya terpaku terhadap penanganan barang bukti digital (computer) dan sifatnya masi kecil sedangkan dalam peraturan ACPO dan NIJ dia memang membuat khusus peraturan penanganan Bukti Digital dalam sebuah aturan yang cukup jelas dan menyangkut seluruh aspek dari Bukti Digital tersebut. Dari Penanganan perangkat Mobile, Network, Volatile Data Collection dan lain sebagainya, sehingga memudahkan seorang Investigator Forensik Digital dalam mengamankan Bukti Digital agar bukti tersebut dapat di Forensic dan sah di hadapan pengadilan.

Demikian pembahasan kita kali ini tentang Perkap No 10 Tahun 2009, ACPO dan NIJ semoga apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca….. sampai ketemu di artikel selanjutnya hehehheeh

 

 Reverensi :


Sumber: https://mydigitalforensic.wordpress.com/penanganan-bukti-digital-berdasarkan-perkap-no-10-tahun-2009-acpo-dan-nij/

Komparasi Penangangan Barang Bukti Elektronik dan/atau Barang Bukti Digital sesuai SOP Pusat Laboratorium Forensik Polri

Dalam situs web Federal Bureau of Investigation[1] yang dimaksud barang bukti digital adalah nilai pembuktian dari sebuah informasi yang tersimpan atau tertransmisi dalam bentul digital. Sementara itu menurut Eoghan Casey barang bukti digital merupakan data yang tersimpan atau tertransmisi menggunakan komputer baik yang bersifat mendukung atau menyanggah teori proses pelanggaran atau mengandung unsur-unsur pelanggaran seperti niat atau alibi[2].


Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak menyebutkan definisi dari barang bukti digital namun ada 2 istilah serupa, yaitu informasi elektronik dan dokumen elektronik. Informasi elektronik satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya [3].


Pelanggaran atau tindakan melawan hukum terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diatur pula dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 pasal 32. Sebagai contoh tindakan menyalin dokumen elektronik tanpa izin dari pemilik aslinya dianggap telah melanggar hukum. Untuk membuktikan tindakan melawan hukum seperti contoh tersebut dilakukan uji forensik digital.


Aktivitas Forensik


Richardus Eko Indrajit[4] menulis ada 14 tahapan aktivitas forensik digital:


Berdasarkan Standar Operating Procedure 1 Pusat Laboratorium Forensik bidang Fisika dan Komputer Forensik Polisi Republik Indonesia tentang prosedur pemeriksaan forensik digital menjelaskan penanganan setiap barang bukti elektronik dan/atau barang bukti digital memiliki tahapan yang sedikit berbeda antara tipe satu dengan yang lainnya[5]. Ada 6 kategori penanganan barang bukti elektronik dan/atau barang bukti digital :


Komparasi Penanganan Forensik Digital

Standar Operating Procedure (SOP) yang disusun oleh Pusat Laboratorium Forensik Polisi RI dalam menangani barang bukti digital antara satu kategori dengan kategori lainnya memiliki kesamaan atau memiliki tahapan yang sama. Terdapat 15 SOP dalam menangani setiap barang bukti elektronik dan/atau barang bukti digital[6]:

Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan.

Apakah Alat Bukti Elektronik itu? Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:

Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.

Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya: (Sitompul, 2012)

Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. (Sitompul, 2012).

Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.

Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan.


Sumber : Josua Sitompul, Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik/, 19052021

Pemeriksaan dan Pelaporan Bukti Elektronik  oleh PPNS

Sumber : Pasal 46-47, Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Administrasi Penyidikan Dan Penindakan Tindak Pidana Di Bidang Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektronik

Cara Pembuktian Cyber Crime

Secara garis besar, Cyber Crime terdiri dari dua jenis, yaitu;

Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), hukum Indonesia telah mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah.

Pasal 5

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6

Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Menurut keterangan Kepala Unit V Information dan Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Kombespol Dr. Petrus Golose dalam wawancara penelitian Ahmad Zakaria, S.H., pada 16 April 2007, menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”), khususnya Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of Investigation (“FBI”) di Amerika Serikat.

Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Rubi Alamsyah, seorang pakar digital forensik Indonesia, dalam wawancara dengan Jaleswari Pramodhawardani dalam situs perspektifbaru.com, memaparkan mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:

Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.

Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3077/pembuktian-cyber-crime-dalam-hukum-pidana

Masih perlu didiskusikan?