PEMBUKTIAN
KULIAH HUKUM SIBER
HIMAWAN DWIATMODJO, S.H., LL.M.
Definisi
Pengertian Bukti, Pembuktian dan Hukum Pembuktian
Tujuan pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah : Untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu tentang fakta-fakta atas nama penilaian tersebut harus didasarkan.
Kata pembuktian (bewijs) bahasa Belanda dipergunakan dalam dua arti, adakalanya ia diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, adakalanya pula sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu terdapatnya suatu kepastian.
Menurut Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej memberikan kesimpulan (dengan mengutip pendapat Ian Denis) bahwa: Kata Evidence lebih dekat kepada pengertian alat bukti menurut Hukum Positif,sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian yang mengarah kepada suatu proses. Evidence atau bukti (pendapat Max. M.Houck) sebagai pemberian informasi dalam penyidikan yang sah mengenai fakta yang kurang lebih seperti apa adanya.
Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan.
R.Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.
Dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana, karena yang dicari adalah kebenaran materiil. Pembuktiannya telah dimulai sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya.
Menurut Munir Fuady bahwa Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, hampir seragam diNegara manapun bahwa beban pembukian diletakkan pada pundak pihak Jaksa Penuntut Umum.
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :
Bagi Penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan Hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah sesuai surat atau catatan dakwaan
Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya, Biasanya bukti tersebut disebut kebalikannya.
Bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
Dengan demikian sejalan dengan pendapat Djoko Sarwoko bahwa sistem pembukian bertujuan :
untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.
Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup proporsional guna membuktikan kesalahan terdakwa.
Apakah kelengkapanpembuktian dengan alat alat bukti masih diperlukan keyakinan hakim.
Berdasarkan teori hukum pembuktian, menurut Munir Fuady bahwa hukum pembuktian harus menentukan dengan tegas ke pundak siapa beban pembuktian (burden of proof, burden of producing evidence) harus diletakkan. Hal ini karena di pundak siapa beban pembuktian diletakkan oleh hukum, akan menentukan secara langsung bagaimana akhir dari suatu proses hukum dipengadilan, misalnya dalam kasus perdata di mana para pihak sama-sama tidak dapat membuktikan perkaranya.
Dengan demikian, jika beban pembuktian diletakkan di pundak penggugat dan penggugat tidak dapat membuktikan perkaranya, penggugat akan dianggap kalah perkara meskipun pihak tergugat belum tentu juga dapat membuktikannya. Sebaliknya, jika beban pembuktian diletakkan di pundak tergugat dan ternyata tergugat tidak dapat membuktikannya, pihak tergugatlah yang akan kalah perkara meskipun pihak penggugat belum tentu juga dapat membuktikannya. Oleh karena itu, dalam menentukan ke pundak siapa beban pembuktian harus diletakkan, hukum haruslah cukup hati-hati dan adil dan dalam penerapannya. Selain itu, hakim juga harus cukup arif.
Lebih lanjut Munir Fuady mengatakan bahwa: yang dimaksud dengan beban pembuktian adalah suatu penentuan oleh hukum tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di pengadilan, untuk membuktikan dan meyakinkan pihak mana pun bahwa fakta tersebut memang benar-benar tejadi seperti yang diungkapkannya, dengan konsekuensi hukum bahwa jika tidak dapat di buktikan oleh pihak yang dibebani pembuktian, fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi seperti yang diungkapkan oleh pihak yang mengajukan fakta tersebut di pengadilan. Selengkapnya...
Sumber: http://mh.uma.ac.id/?s=pembuktian
Alat Bukti Yang Sah Menurut KUHAP
Alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat bukti yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan. Misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk.
Apa itu Keterangan Saksi ?
Saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Saksi biasanya terdiri dari pada saksi yang memberatkan (a charge) yang biasanya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) demi menguatkan dakwaannya, dan juga saksi yang meringankan (a de charge) yang diajukan oleh terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan terhadap dakwaan yang diberikan kepadanya. Ketentuan Hukum mengenai keterangan saksi diatur di dalam Pasal 185 KUHAP.
Apa itu Keterangan Ahli ?
Keterangan ahli itu adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus mengenai hal yang diperlukan untuk membuat terang dari suatu perkara pidana yang berguna untuk kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Angka 28 KUHAP).
Misalnya dalam kasus pembunuhan berencana diperlukan adanya keterangan ahli yang berkaitan dengan visum et repertum maka keterangan ahli yang dibutuhkan adalah dokter forensik dan lain-lain.
Apa itu Surat ?
Surat yang disebut dalam pasal tersebut ialah surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya. Namun agar surat resmi tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti di persidangan nantinya. Maka surat resmi tersebut harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh si pejabat, serta menjelaskan dengan tegas alasan keterangan ini dibuatnya. Jenis surat semacam ini hampir meliputi semua surat yang dikelola oleh aparat administrasi dan kebijakan eksekutif, misalnya KTP, SIM, paspor, akte kelahiran, dan lain-lainnya. Dimana surat-surat tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti surat (Pasal 187 KUHAP).
Apa itu Petunjuk ?
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (Pasal 188 Ayat 1 KUHAP).
Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan/atau keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat 2). Petunjuk sesungguhnya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan keterangan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan hakim. Hakim lah yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap kekuatan suatu petunjuk dengan penuh kecermatan, keseksamaan, arif, bijaksana dan berdasarkan hati nuraninya.
Apa itu Keterangan Terdakwa?
Terdakwa dalam memberikan keterangannya sebagai alat bukti dalam persidangan di pengadilan hanya mencangkup 2 (hal), yaitu pengakuan dan pengingkaran mengenai tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Didalam pasal 189 KUHAP, Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan juga dalam memutus perkara, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain seperti keterangan saksi, keterangan, ahli, surat dan juga petunjuk.
Sumber : http://mh.uma.ac.id/2020/12/alat-bukti-yang-sah-menurut-kuhap/
Alat Bukti & Barang Bukti
A. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
keterangan saksi,
keterangan ahli,
surat,
petunjuk dan
keterangan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
B. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)
Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)
Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :
Merupakan objek materiil
Berbicara untuk diri sendiri
Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :
Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana
Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana
Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara
Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:
Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;
Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.
Dasar hukum:
Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti-
Penanganan Bukti Digital Berdasarkan Perkap No 10 Tahun 2009, ACPO, Dan NIJ
Penanganan Bukti Digital Berdasarkan Perkap No 10 Tahun 2009, ACPO, Dan NIJ
Peratura Kapolri No. 10 Tahun 2009.
Association of Chief Police Officers (ACPO).
National Institute of Justice (NIJ).
Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009
Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009 Tentang tata cara dan persyaratan permintaan pemeriksaan teknis kriminalistik tempat kejadian perkara dan laboratoris kriminalistik barang bukti kepada laboratorium forensic kepolisian Negara Repoblik Indonesia
Dalam Perkap Paragraf 3 “Pemeriksaan Barang Bukti Perangkat Elektronik, Telekomunikasi, Komputer, (Bukti Digital), dan Penyebab proses elektrostatis” Pasal 17 Menjelaskan bahwa Pemeriksaan Barang Bukti Perangkat Elektronik, Telekomunikasi, Komputer, (Bukti Digital), dan Penyebab proses elektrostatis dilaksanakan di Labfor Polri dan /atau di TKP.
Oleh sebeb itu dalam pasal 20 ayat (1) dijelaskan bahwa Pemeriksaan barang bukti perangkat computer sebagai mana dimaksud dalam pasal 17 wajib memenuhi persyaratan formal sebagai berikut :
Pemintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi;
Laporan Polisi
BAP saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan
BA Pengambilan, penyitaan dan pembukusan barang bukti.
Selanjutnya dalam Perkap telah dijelaskan pada pasal 20 ayat (2) tentang bagai mana pemeriksaan barang bukti computer wajib memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut :
Penanganan barang bukti computer, yang berkaitan dengan data yang tersimpan dalam harddisk atau penyimpanan data (storage) lainya, dari sejak penanganan pertama harus sesuai dengan tata cara yang berlaku, karena barang bukti memiliki sifat yang mudah hilang/berubah (volatile), dan bila penyidik tidak memahami cara penyitaan barang bukti computer, dapat meminta bantuan Labfor Polri;
Barang bukti dikirim secara lengkap dengan seluruh sistemnya;
Barang bukti dibungkus, diikat, disegel dan diberi label; dan
Pengiriman barang bukti ke Labfor Polri dapat melalui pos paket atau kurir.
Advertisements
REPORT THIS AD
Dalam hal penanganan Barang bukti Komputer di Tempat Kejadian Perkara (TKP) telah di atur juga dalam pasal 21 yang di bagi atas 2 ayat atau 2 tata cara yaitu :
(1) Tata cara penyitaan barang bukti computer, yang sedang digunakan untuk melakukan kejahatan adalah sebagai berikut :
Mematikan aktivitas computer dari server untuk computer yang terhubung dengan network;
Mencabut kabel input computer dari sumber arus listrik sebelum computer sebelum computer di Shut Down (mematikan secara kasar), untuk laptop/notebook dicabut pula baterainya;
Mematikan saklar pasokan listrik dan segel saklar tersebut untuk menghindari dihidupkan tanpa sengaja;
Mencatat spesifikasi computer dan peralatan input/output (I/O) yang terpasang pada computer tersebut;
Mencabut kabel-kabel yang terpasang pada computer dan I/O–nya masing-masing diberi tanda yang berbeda agar memudahkan pada pemasangannya kembali.
Menyita barang bukti lain yang ada hubunganya dengan computer, antara lain disket, CD/DVD, magnetic tape, memori card, flashdisk, external harddisk, dan buku petunjuk.
Mencatat tanggal dan waktu penyitaan; dan
Perlakukan barang bukti dengan hati-hati seperti barang pecah belah pada saat pengangkutan.
(2) Tata cara penyitaan barang bukti computer, untuk computer yang sudah dimatikan sebagi berikut :
Mencari informasi kapan computer digunakan untuk melakukan kejahatannya
Mencari keterangan mengenai penggunaan computer yang dijadikan sebagai barang bukti sesudah digunakan untuk melakukan kejahatan; dan
Mematikan saklar pasokan listrik dan segel saklar tersebut untuk menghindari dihidupkan tanpa sengaja;
Mencatat spesifikasi computer dan peralatan input/output (I/O) yang terpasang pada computer tersebut;
Mencabut kabel-kabel yang terpasang pada computer dan I/O–nya masing-masing diberi tanda yang berbeda agar memudahkan pada pemasangannya kembali.
Menyita barang bukti lain yang ada hubunganya dengan computer, antara lain disket, CD/DVD, magnetic tape, memori card, flashdisk, external harddisk, dan buku petunjuk.
Mencatat tanggal dan waktu penyitaan; dan
Perlakukan barang bukti dengan hati-hati seperti barang pecah belah pada saat pengangkutan.
Association of Chief Police Officers (ACPO) Good Practice Guide for Computer-Based Elecronic Evidence
Dalam ACPO Prinsip-Prinsip Bukti Digital yang harus diterapkan adalah :
Lembaga penegak hukum dan/atau petugasnya dilarang mengubah data digital yang tersimpan dalam suatu media penyimpanan elektronik yang selanjutnya akan dibawa dan dipertanggungjawabkan di pengadilan.
Jika dalam suatu keadaan, seseorang merasa perlu untuk mengakses data-data digital yang tersimpan dimedia penyimpanan barang bukti, maka orang tersebut harus benar-benar jelas kepetensinya dan dapat menjadi relevansi dan implikasi dari tindakan-tindakan yang ia lakukan selama pemeriksaan dan analisis barang bukti digital
Ada catatan teknis terhadap langka-langka yang diterapkan terhadap media penyimpanan barang bukti selama pemeriksaan dan analisis berlangsung, sehingga ketika barang bukti tersebut diperiksa oleh pihak ketiga, akan didapatkan hasil yang sama dengan yang telah dilakukan investigator/analisis forensic sebelumnya.
Orang yang bertanggung jawab terhadap investigasi kasus maupun pemeriksaan dan analisis barang bukti elektronik harus dapat memastikan bahwa proses yang berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku dn prinsip-prinsi dasar sebelumnya dapat diaplikasikan dengan baik.
Dalam Penanganan Komputer (Bukti Digital) Dalam ACPO mengatur Penanganan Komputer (Bukti Digital) di Tempat Kejadian Perkara (TKP), Adapun tahapan-tahapan nya adalah sebagai berikut :
Jika Komputer Dalam Keadaan MATI (Shut Down)
Amankan dan ambil alih kendali area di sekitar peralatan computer tersebut.
Jauhkan orang-orang dari computer dan pasokan listrik
Ambil foto atau video dari TKP dan semua komponen termasuk keadaan aslinya (in situ). Jika tidak ada kamera, gambit rencana sketsa dari system serta label port dan kabel sehingga system dapat direkontruksi di kemudian hari
Biarkan printer menyelesaikan pencetakannya
Dalam situasi apapun, jangan mengaktifkan computer
Pastikan bahwa computer dimatikan, dengan menggerakkan mouse, tampilan screen server dapat menunjukan bahwa computer dalam keaadan mati, namun harddisk dan lampu monitor mungkin menunjukan bahwa computer dalam keadaan menyala.
Sadarilah bahwa beberapa computer leptop mungkin menyala dengan membuka tutupnya. Lepaskan baterai dari leptop. Namun sebelum melakukannya, perhatikan apakah leptop dalam mode siaga. Jika dalam keadaan demikian, pelepasan baterai dapat mengakibatkan hilanganya data yang tidak dapat dihindari.
Cabut daya dan perangkat lain dari soket pada computer. Yang dalam keadaan mati mungkin sedang dalam mode tidur dan dapat diakses dari jarak jauh, yang memungkinkan perubahan atau penghapusan file.
Meberi label pada port dan dan kabel sehingga computer dapat direkonstruksi di kemudian hari
Memastikan bahwa semua perangkat suda diberi tanda dan dilengkapi dengan penanda/label yang melekat pada barang tersebut. Kegagalan dalam melakukan hal ini dapat menyulitkan pengamanan barang dan menyebabkan barang tersebut ditolak oleh pemeriksa forensic
Cari catatan dan password yang sering melekat atau dekat dengan computer
Pertimbangkan untuk meminta keterangan dari pengguna computer tentang konfigurasi system, termasuk password jika keadaan memungkinkan. Jika password diberikan catat dengan teliti
Membuat catatan rinci dari semua kegiatan yang dilakukan dalam kaitanya dengan peralatan computer yang ditentukan di TKP.
Jika Komputer Dalam Keadaan HIDUP (ON)
Amankan dan ambil alih kendali area di sekitar peralatan computer tersebut
Jauhkan orang-orang dari computer dan pasokan listrik
Ambil foto atau video dari TKP dan semua komponen termasuk keadaan aslinya (in situ). Jika tidak ada kamera, gambit rencana sketsa dari system serta label port dan kabel sehingga system dapat direkontruksi di kemudian hari.
Pertimbangkan untuk meminta keterangan dari pengguna computer tentang konfigurasi system, termasuk password jika keadaan memungkinkan. Jika password diberikan, catat dengan teliti.
Catat apa yang ada di layar dengan memotretnya dan dengan membuat catatan tertulis tentang isi layar
Jangan menyentu keyboard atau mengklik mouse. Jika layar kosong atau screen sever muncul, petugas diminta untuk memutuskan apakah ingin mengembalikan layar. Jika demikian, gerakan singkat mouse dapat mengembalikan layar atau menunjukkan bahwa screen server dilindungi password. Jika layar dapat dikembalikan, foto atau video dan catat isi layar. Jika proteksi password muncul, jangan menyentuh mouse lagi. Catat waktu dan aktivitas penggunaan mouse dalam keadaan ini.
Jika memungkinkan, kumpul data yang mungkin hilang saat melepas catu daya, misalnya proses yang sedang berjalan dn informasi tentang keadaan port jaringan saat itu. Pastikan bahwa tindakan yang dilakukan dan perubahan yang terjadi pada system dipahami dan dicatat.
Pertimbangkan saran dari pemilik/pengguna computer tapi pastikan informasi ini diperlukan dan hati-hati.
Biarkan printer menyelesaikan pencetakan.
Jika tidak ada ahli yang dapat memberikan saran, lepaskan catu daya, lepaskan juga kabel yang terpasang pada komputr namun tidak terpasang pada soket. Ini akan menghindari data ditulis ke harddisk jika perangkat dilengkapi perlindungan catu daya.
Cabut semua kabel yang terpasang dari computer ke perangkat lainya.
Memastikan bahwa semua barang sudah diberi tanda dan dilengkapi dengan penanda/label yang melekat pada barang tersebut. Kegagalan dalam melakukan hal ini dapat menyulitkan pengamanan barang dan menyebabkan barang tersebut ditolang oleh pemeriksa forensic.
Biarkan peralatan ‘dingin’ sebelum dipindahkan
Cari catatan dengan password yang sering melekat atau dekat dengan computer.
Pastikan semua kegiatan dilakukan dalam kaitanya dengan peralatan computer dicatat dengan rinci
National Institute of Justice (NIJ)
Penanganan Bukti Digital pada TKP dalam keadaan MATI (Shut Down) :
Mengenali, mengidentifikasi, menyita dan mengamankan semua bukti digital di TKP.
Dokumentasikan TKP dan lokasi spesifik dari bukti yang ditentukan
Mengumpulkan, memberi label dan menyimpan bukti digital.
Membungkus dan membawa bukti digital dengan cara yang aman
Penanganan Bukti Digital Pada TKP dalam Keadaan HIDUP (On) :
Mencari dan mendengar indikasi bahwa computer dalam keadaan menyala. Dengarkan suara kipas yang bekerja, harddisk yang berputar atau periksa apakah LED menyala.
Periksa tampilan layar apakah ada tanda-tanda bahwa bukti digital sedang dihilangkan. Kata-kata yang muncul seperti “delete”,”format”,”remove”,”copy”,”move”,”cut”, “wipe”.
Carilah indikasi apakah computer sedang diakses secara remote dari computer atau perangkat lain.
Carilah tanda-tanda apakah ada komunikasi yang sedang berlangsung dengan computer atau pengguna lain melalui instant messaging atau chat room.
Perhatikan kamer atau wabcan pada computer dan pastikan apakah dalam keadaan aktif atau tidak.
Kesimpulan
Langkah-langkah penanganan bukti digital di TKP yang berlaku di Indonesia adalah menurut Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 yang man telah mengalami berubahan di tahun 2010 dan terakhir ditahun 2014. Dalam perkap nomor 10 tahun 2009 masi mengadopsi dari proses penanganan bukti digital yang ditetapkan oleh Association of Chief Police Officers (ACPO) Good Practice Guide for Computer-Based Elecronic Evidence yang mana ACPO dalam peraturanya mereka menjabarkan langkah-langkah penanganan bukti digital di TKP secara rinci. Dan selanjutnya yaitu dari National Institute of Justice (NIJ) yang mencabarkan langkah-langkah penanganan barang bukti digital di TKP secara ringkas dan umum. Penanganan barang bukti digital di TKP menjadi hal yang penting dan perlu dilakukan dengan hati-hati oleh petugas karena nantinya akan berpengaruh ke proses selanjutnya yaitu proses forensic. Jika ada sesuatu yang meragukan dalam prosedur penanganan barang bukti digital di TKP itu dapat menyebabkan bukti digital tidak dapat diperiksa secara forensic sehingga tidak dapat digunakan untuk pembuktian dipengadilan.
Kekurangan dari Perkap no 10 Tahun 2009 dibandingkan dengan ACPO dan NIJ adalah terdapat pada penanganan barang bukti digital yang mana dalam Perkap No 10 Tahun 2009 hanya terpaku terhadap penanganan barang bukti digital (computer) dan sifatnya masi kecil sedangkan dalam peraturan ACPO dan NIJ dia memang membuat khusus peraturan penanganan Bukti Digital dalam sebuah aturan yang cukup jelas dan menyangkut seluruh aspek dari Bukti Digital tersebut. Dari Penanganan perangkat Mobile, Network, Volatile Data Collection dan lain sebagainya, sehingga memudahkan seorang Investigator Forensik Digital dalam mengamankan Bukti Digital agar bukti tersebut dapat di Forensic dan sah di hadapan pengadilan.
Demikian pembahasan kita kali ini tentang Perkap No 10 Tahun 2009, ACPO dan NIJ semoga apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca….. sampai ketemu di artikel selanjutnya hehehheeh
Reverensi :
National Institute of Justice, Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition. Url: https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/219941.pdf
Association of Chief Police Officers, Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence. Url: https://www.cps.gov.uk/legal/assets/uploads/files/ACPO_guidelines_computer_evidence[1].pdf
Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Url: https://www.polri.go.id/pustak/pdf/PERATURAN%20KAPOLRI%20NOMOR%2010%20TAHUN%202009%20TENTANG%20TATA%20CARA%20DAN%20PERSYARATAN%20PERMINTAAN%20PEMERIKSAAN%20TEKNIS%20KRIMINALISTIK%20TEMPAT.pdf
Sumber: https://mydigitalforensic.wordpress.com/penanganan-bukti-digital-berdasarkan-perkap-no-10-tahun-2009-acpo-dan-nij/
Komparasi Penangangan Barang Bukti Elektronik dan/atau Barang Bukti Digital sesuai SOP Pusat Laboratorium Forensik Polri
Dalam situs web Federal Bureau of Investigation[1] yang dimaksud barang bukti digital adalah nilai pembuktian dari sebuah informasi yang tersimpan atau tertransmisi dalam bentul digital. Sementara itu menurut Eoghan Casey barang bukti digital merupakan data yang tersimpan atau tertransmisi menggunakan komputer baik yang bersifat mendukung atau menyanggah teori proses pelanggaran atau mengandung unsur-unsur pelanggaran seperti niat atau alibi[2].
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak menyebutkan definisi dari barang bukti digital namun ada 2 istilah serupa, yaitu informasi elektronik dan dokumen elektronik. Informasi elektronik satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya [3].
Pelanggaran atau tindakan melawan hukum terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diatur pula dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 pasal 32. Sebagai contoh tindakan menyalin dokumen elektronik tanpa izin dari pemilik aslinya dianggap telah melanggar hukum. Untuk membuktikan tindakan melawan hukum seperti contoh tersebut dilakukan uji forensik digital.
Aktivitas Forensik
Richardus Eko Indrajit[4] menulis ada 14 tahapan aktivitas forensik digital:
Pernyataan terjadinya kejahatan komputer
Pengumpulan petunjuk atau bukti awal
Penerbitan surat pengadilan
Pelaksanaan prosedur tanggapan dini
Pembekuan barang bukti pada lokasi kejahatan
Pemindahan bukti ke laboratorium forensik
Pembuatan salinan “2 bit stream” terhadap barang bukti
Pengembangan “md5 checksum” barang bukti
Penyiapan rantai posesi barang bukti
Penyimpanan barang bukti asli di tempat aman
Analisa barang bukti salinan
Pembuatan laporan forensik
Penyerahan hasil laporan analisa
Penyertaan dalam proses pengadilan
Berdasarkan Standar Operating Procedure 1 Pusat Laboratorium Forensik bidang Fisika dan Komputer Forensik Polisi Republik Indonesia tentang prosedur pemeriksaan forensik digital menjelaskan penanganan setiap barang bukti elektronik dan/atau barang bukti digital memiliki tahapan yang sedikit berbeda antara tipe satu dengan yang lainnya[5]. Ada 6 kategori penanganan barang bukti elektronik dan/atau barang bukti digital :
Harddisk, flashdisk dan memory card
Ponsel dan simcard
Forensik audio
Forensik video
Forensik gambar digital
Forensik jaringan
Komparasi Penanganan Forensik Digital
Standar Operating Procedure (SOP) yang disusun oleh Pusat Laboratorium Forensik Polisi RI dalam menangani barang bukti digital antara satu kategori dengan kategori lainnya memiliki kesamaan atau memiliki tahapan yang sama. Terdapat 15 SOP dalam menangani setiap barang bukti elektronik dan/atau barang bukti digital[6]:
SOP 1 tentang prosedur analisa forensik digital
SOP 2 tantang komitmen jam kerja
SOP 3 tentang pelaporan forensik digital
SOP 4 tentang menerima barang bukti elektronik dan/atau digital
SOP 5 tentang penyerahan kembali barang bukti elektronik dan/atau digital
SOP 6 tentang triage forensik (penanganan awal barang bukti komputer di TKP)
SOP 7 tentang akuisisi langsung
SOP 8 tentang akuisisi harddisk, flashdisk dan memory card
SOP 9 tentang analisa harddisk, flashdisk dan memory card
SOP 10 tentang akuisisi ponsel dan simcard
SOP 11 tentang analisa ponsel dan simcard
SOP 12 tentang analisa forensik audio
SOP 13 tentang analisa forensik video
SOP 14 tentang analisa gambar digital
SOP 15 tentang analisa forensik jaringan
Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan.
Apakah Alat Bukti Elektronik itu? Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.
Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 butir 1 UU ITE).
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 butir 4 UU ITE).
Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.
Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. (Sitompul, 2012)
Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.
Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya: (Sitompul, 2012)
Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;
Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.
Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. (Sitompul, 2012).
Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.
Syarat formil (Pasal 5 ayat (4) UU ITE), yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis.
Syarat materil (Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE), yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. (Sitompul, 2012)
Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan.
Sumber : Josua Sitompul, Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik/, 19052021
Pemeriksaan dan Pelaporan Bukti Elektronik oleh PPNS
Dalam hal diperlukan Pemeriksaan barang bukti untuk menemukan bukti elektronik, dapat dilaksanakan melalui pengujian forensik Sistem Elektronik.
Forensik terhadap Sistem Elektronik dilakukan berdasarkan prosedur sebagai berikut: a. identifikasi; b. akuisisi; c. pengujian dan analisa; dan d. dokumentasi dan pelaporan.
Forensik dimaksudkan untuk mencari dan menemukan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik, paling sedikit terhadap: a. identitas pelaku, korban, atau Saksi terkait dengan Tindak Pidana; dan/atau b. unsur-unsur tindak pidana.
Prosedur identifikasi, akuisisi, pengujian dan analisa, serta pelaporan forensik Sistem Elektronik harus menjaga privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.
Prosedur forensik Sistem Elektronik diatur dalam petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Identifikasi, akuisisi, pengujian dan analisa, serta dokumentasi dan pelaporan dilakukan oleh AFSE.
Cara Pembuktian Cyber Crime
Secara garis besar, Cyber Crime terdiri dari dua jenis, yaitu;
kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (“TI”) sebagai fasilitas; dan
kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), hukum Indonesia telah mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah.
Pasal 5
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Menurut keterangan Kepala Unit V Information dan Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Kombespol Dr. Petrus Golose dalam wawancara penelitian Ahmad Zakaria, S.H., pada 16 April 2007, menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”), khususnya Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of Investigation (“FBI”) di Amerika Serikat.
Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Rubi Alamsyah, seorang pakar digital forensik Indonesia, dalam wawancara dengan Jaleswari Pramodhawardani dalam situs perspektifbaru.com, memaparkan mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:
Proses Acquiring dan Imaging
Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.
Melakukan Analisis
Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.
Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3077/pembuktian-cyber-crime-dalam-hukum-pidana
Masih perlu didiskusikan?