HUKUM PERSAINGAN USAHA VIII

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

VIII. Pengecualian Dalam UU 5/1999

Persaingan dalam dunia usaha dimengerti sebagai kegiatan positif dan independen dalam upaya mencapai equilibrium.371 Dalam kehidupan sehari-hari, setiap pelaku ekonomi yang masuk dalam pasar akan melalui proses persaingan di mana produsen mencoba memperhitungkan cara untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan dalam upaya merebut pasar dan konsumen. Ketika keadaan ini dapat dicapai, maka produsen atau pelaku usaha tersebut akan berupaya untuk mempertahankan kondisi tersebut paling tidak tetap bertahan menjadi incumbent dengan pangsa pasar tertentu pada pasar bersangkutan. Dilema yang terjadi adalah ketika ada pelaku usaha yang berhasil menjadi seorang monopolis di pasar yang mengakibatkan produsen atau pelaku usaha tersebut menjadi tidak efisien dan mampu meningkatkan hambatan masuk pasar (barrier to entry)372 bagi pesaingnya. Bila kondisi ini terjadi maka efeknya adalah penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan bahkan mampu mengakibatkan pasar terdistorsi.373

Untuk memahami konsep persaingan serta alokasi sumber daya yang efisien maka ilmu ekonomi374 menguraikan beberapa hal mengenai sumber daya yaitu: adanya sumber daya yang dikonsumsi atau dipergunakan manusia, alternatif pengalokasian yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan manusia.375 Sumber daya tidak selamanya merupakan sesuatu yang bebas dan ketersediaannya yang terbatas menjadikannya masuk dalam kategori sumber daya ekonomi (economic resources), misalnya tanah, tenaga kerja atau modal.

Dalam pengaturan sumber daya ini implementasinya dapat dilihat dari cara memproduksi dan pendistribusiannya dalam masyarakat, karena pada dasarnya tidak semua sumber daya ini bebas, maka regulasi ataupun peraturan yang diciptakan pemerintah sangat menentukan agar terdapat keseimbangan bagaimana dan kepada siapakah pengaturan sumber daya tersebut dapat dialokasikan atau didistribusikan. Di samping itu dalam upaya mencapai tujuan ekonomi, yang dapat dilakukan melalui proses mekanisme pasar akan dapat diawasi melalui adanya hukum persaingan (competition law).

Persaingan dalam mekanisme pasar adalah berlaku bagi setiap pelaku pasar tanpa terkecuali. Hukum persaingan melindungi mekanisme proses persaingan tanpa mempertimbangkan siapakah yang menjadi pelakunya dengan tujuan yang baik agar alokasi sumber daya menjadi efisien. Mekanisme pasar yang berjalan melalui persaingan yang sehat dan fair serta konsisten dengan tujuan distribusi yang adil diharapkan mampu mencapai efisiensi nasional serta kesejahteraan umum. Di samping itu hukum persaingan diharapkan mampu mengawasi terjadinya diskriminasi harga, pemerataan informasi pasar bagi yang kurang mampu mempunyai akses, kesempatan atau akses kepada modal, teknologi dan berbagai kesempatan berusaha lainnya. Tetapi bila berbagai tujuan yang baik untuk mendukung mekanisme pasar ini tidak berhasil dicapai, maka dapat berakibat pada kegagalan mekanisme pasar yang kemungkinan dilakukan oleh pelaku pasar yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.

Hukum persaingan berupaya mengawasi agar perbuatan atau perjanjian yang bersifat


371 George Stigler, Perfect Competition, Historically Contemplated, loc. cit.

372 W. Kip Viscusi. et al., Economics of Regulation and Antitrust, The MIT Press, Cambridge, Massachusetss, London, England, 1998, 2nd Edition, hal. 158. Dikatakan bahwa: “The traditional wisdom in industrial organization is that serious and persistent monopolistic deviations of price from costs are likely only when two conditions coexits: suifficiently high seller concentration to permit (collusive) pricing and high barriers to entry of new competition.

373 Ibid., hal. 8-9.

374 Alfred Marshal, ekonom terkenal dari Inggris mengatakan bahwa:”Economics is a study of men as they live and move and think in the ordinary business of life. But it concerns itself chiefly with those motives which affect, most powerfully and most steady, man’s conduct in the business part of life. (The) steadiest motive to ordinary business work is the desire for the pay which is the material reward of work”, A. Marshal, Principles of Economics, London, Mac Millan, 1920 sebagaimana dikutip dari Edwin Mansfield, Principles of Microeconomics, WW Norton & Company, New York, 3rd Edition, 1980, hal. 18.

375 Giles H. Burgess, Jr, op. cit., hal. 18.

 

antipersaingan seperti kartel, monopoli, penggunaan posisi dominan, monopsoni dan lainnya dapat dicegah. Tetapi pada kenyataannya ada juga berbagai kegagalan pasar yang terjadi tetapi tidak dapat dijangkau, dicegah atau diatur melalui hukum persaingan.

Oleh sebab itu ada kebutuhan yang mendasar terhadap pentingnya pengaturan atau regulasi yang jelas mengenai jenis tindakan atau kegiatan, industri ataupun pelaku usaha tertentu yang tidak termasuk dalam pengaturan hukum persaingan. Sebagai contoh, dibutuhkan adanya regulasi terhadap industri yang masuk dalam kategori kepentingan umum (misalnya monopoli alamiah dalam penyediaan air bersih, listrik atau telekomunikasi). Di mana bila diperhitungkan secara ekonomi, maka proses produksi yang dilakukan oleh hanya satu perusahaan akan mampu mengurangi biaya produksi secara keseluruhan. Ada juga keadaan di mana akibat penggunaan sumber daya yang tidak diatur dengan baik terhadap sumber daya yang sifatnya universal akan mengakibatkan terjadinya externalities376   atau pengalokasian sumber daya yang tidak pada tempatnya, misalnya: bilamana cara memproduksi tidak tunduk pada ketentuan undang-undang lingkungan hidup maka akan berakibat pada kerusakan lingkungan yang sukar diperbaiki. Akibat yang mungkin terjadi ini dapat dimitigasi ataupun dielakkan bila pengaturannya diatur dengan regulasi yang baik. Dengan demikian sebenarnya adanya regulasi atau pengaturan dalam pasar persaingan dianggap sebagai alternatif yang dapat dipergunakan untuk mengurangi pemakaian sumber daya yang kurang efisien.

Pada dasarnya tidak semua regulasi dipersiapkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah alokasi sumber daya (allocative efficiency).377 Regulasi yang dibuat harus juga difokuskan pada aspek lainnya, seperti perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses persaingan yang akhirnya dapat mengakibatkan pelaku usaha tersingkir dari pasar. Pertimbangan dapat juga difokuskan pada industri yang memang sebelumnya sudah diproteksi terlebih dahulu melalui undang-undang misalnya adanya undang-undang yang mengatur mengenai transportasi, air, telekomunikasi atau listrik. Keseluruhan unsur dan pertimbangan ini haruslah dipikirkan secara matang oleh pemerintah sehingga justru tidak berakibat pada kesenjangan kesempatan pada yang kurang mampu dalam pasar, proteksi yang berlebihan pada suatu industri atau bahkan pelaku tertentu menjadi sekedar proteksi yang tidak efektif pada suatu kelompok ekonomi tertentu.378

Tetapi apa pun argumentasi yang dikemukakan, terlepas dibutuhkan atau tidak, maka regulasi dalam proses persaingan diyakini sebagai salah satu jalan untuk mengatur mekanisme pasar dan menyeimbangkan berbagai faktor misalnya antara dampak persaingan dengan kepentingan sosial atau umum. Dengan kata lain, mekanisame pasar tidaklah memerlukan berbagai regulasi


376 Robert H. Bork, The Antitrust Paradox, A Policy at War with Itself, Basic Books Inc, New York, 1978, hal. 114

-155. Externalities refer to a cost that one economic actor imposes on another (or benefits that one receives from another) without paying in the market for doing so – ie: environtment waste etc. Dengan kata lain, dalam ilmu eknomi Externalities dinyatakan sebagai biaya di mana suatu perusahaan membebaninya terhadap perusahaan lain (ataupun dapat saja berupa suatu keuntungan yang diterima oleh suatu perusahan dari perusahaan lain) tanpa ikut serta membiayainya dalam suatu pasar atau industri– misalnya: pembuangan limbah dan lain-lain.

377 Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, English Version, OECD, op. cit., hal. 24. Efficiency in the context of industrial organization economics and competition law and policy, relates to the most effective manner of utilizing scarce resources. Two types of efficiency are generally distinguished: technological (or technical) and economic (or allocative). A firm may be more technologically efficient than another if it produces the same level of output with one or fewer physical number of inputs. Because of different production processes, not all firms may be technologically efficient or comparable. Economic efficiency arises when inputs are utilized in a manner such that a given scale of output is produced at the lowest possible cost. Unlike technological efficiency, economic efficiency enables diverse production processes to be compared. Competition is generally viewed by economists to stimulate individual firm(s) or economic agents in the pursuit of efficiency. Efficiency increases the probability of business survival and success and the probability that scarce economic resources are being put to their highest possible uses. At the firm level, efficiency arises primarily through economies of scale and scope and, over a longer period through technological change and innovation.

378 Lawrence A. Sullivan dan Warren S. Grimes, The Law of Antitrust: An Integrated Handbook, West Group, St.

Paul, Minnesota, 2000, hal. 698-699.

 

bila berjalan dan berfungsi dengan baik, sebaliknya bila kegagalan atau distorsi pasar terjadi maka melalui regulasi merupakan salah satu cara terbaik untuk memperbaikinya.

Di negara yang dalam proses mengadopsi sistem ekonomi pasar ataupun sedang dalam proses transisi menuju ekonomi pasar, dirasakan adanya kepentingan pembatasan terhadap perilaku yang bertujuan mengeksploitasi pasar. Di samping itu perlu juga menciptakan mekanisme pengontrolan di industri yang secara ekonomi tidak kompetitif sehingga eksploitasi pasar dapat dihindarkan.

Oleh sebab itu harus ada pengaturan terhadap kondisi yang menghambat persaingan dengan jalan mengontrol perilaku pelaku usaha, melalui regulasi yang mengatur industri apa sajakah yang dikategorikan sebagai competitive dan non-competitive, ataupun regulasi yang jelas mengenai industri yang diproteksi atau dikecualikan dari pengaturan undang-undang. Keseluruhan ini sangat ditentukan oleh kebijakan persaingan serta peraturan pelaksananya.379

Keputusan untuk memberlakukan regulasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya kepentingan sosial, politik dan kondisi perekonomian suatu negara. Oleh sebab itu bentuk, tujuan, karakter dan ruang lingkup pengaturan tersebut dapat saja berubah sesuai kondisi yang ada pada saat itu. Sebagai contoh, selama beberapa dekade pasar di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemberian hak khusus kepada sekelompok pengusaha tertentu dan demikian juga pada saat yang bersamaan Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memproteksi usaha kecil dan menengah yang didasarkan pada interpretasi Pasal 33 UUD 1945.380

Kebijakan ini melahirkan konglomerasi ataupun pada kesempatan lain menciptakan mekanisme bapak angkat untuk koperasi dan UKM. Sesudah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, terjadi perubahan yang cukup signifikan saat pemerintah melakukan deregulasi di berbagai bidang. Berbagai faktor kegagalan perekonomian saat itu dianggap berasal dari ketidakjelasan kebijakan persaingan yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mendorong kebutuhan lahirnya undang-undang antimonopoli beserta peraturan lainnya.381

Di samping itu ada 2 ketetapan MPR yang mengisyaratkan juga selama ini telah terjadi distorsi ekonomi yang mengakibatkan ekonomi Indonesia tidak berjalan kompetitif. Untuk itu MPR mengeluarkan dua ketetapan untuk mengatur tentang kebijakan ekonomi yang lebih kompetitif, yaitu Ketetapan MPR RI No X/MPR/1998 dan Ketetapan MPR RI No XVI/MPR/1998. Tap MPR RI No X/MPR/1998 mengatur tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, dalam Bab II Kondisi Umum Bagian A. Ekonomi yang menyebutkan: “Keberhasilan pembangunan yang telah dicapai selama 32 tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan yang memprihatinkan, karena terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, dan berlanjut menjadi krisis ekonomi yang lebih luas. Landasan ekonomi yang dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal dan kesulitan- kesulitan makro dan mikro ekonomi. Hal ini disebabkan karena penyelenggaraan perekonomian nasional kurang mengacu pada amanat Pasal 33 UUD 1945 dan cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan prioritas khusus yang berdampak timbulnya kesenjangan sosial. Kelemahan fundamental itu juga disebabkan pengabaian perekonomian kerakyatan yang sesungguhnya bersandar pada basis sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai keunggulan komparatif dan kompetitif. Munculnya konglomerasi dan kelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak kompetitif”.

379 Corwin D. Edwards, Maintaining Competition Requisites of a Governmental Policy, 1st Edition, McGraw Hill Book Company, Inc, 1949, hal. 14-15.

380 Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia (Indonesian Competition Report).

381 Lihat pendapat Prof. Sadli dalam Hall Hill, The Indonesian Economy Since 1966, Cambridge University Press, 2nd Edition, 2000, hal. 93.

 

Berdasarkan uraian di atas maka kebijakan persaingan dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu

1. Melalui regulasi yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan mekanisme pasar

Bahwa peraturan yang dibuat adalah untuk mencapai tujuan seperti sebagaimana diamanatkan dalam persaingan, tetapi peraturan tersebut diberlakukan khusus untuk industri yang diproteksi. Regulasi ini sejalan dengan peraturan lainnya yang bertujuan meningkatkan kinerja industri tetapi melalui adanya pembatasan masuk ke pasar (new entry to market), termasuk regulasi mengenai harga atau pelayanan. Sebagai contoh, industri atau pasar yang diatur (regulated market) vital dalam memenuhi kebutuhan rakyat banyak, seperti air, listrik atau telekomunikasi. Dengan dibatasinya entry atau pelaku lain masuk ke pasar, maka pelaku yang telah ada di pasar (incumbent) wajib untuk menjadi efisien, inovatif dan meningkatkan pelayanan sebab tidak perlu lagi mengalokasikan sumber dayanya atau kemampuannya untuk bersaing kecuali hanya fokus pada untuk tujuan-tujuan yang diatur dalam regulasi atau peraturan dimaksud.


2. Memberlakukan hukum persaingan untuk mengatur perilaku dan kegiatan dalam persaingan atau bahkan untuk mengganti atau mendukung peraturan yang telah ada sebelumnya

Bagaimanakah pasal dalam undang-undang persaingan dapat dipersiapkan untuk mengatasi kegagalan pasar dengan tidak bertentangan dengan tujuan undang-undang itu sendiri, misalnya dengan cara memberlakukan pengecualian (exemption) dalam undang-undang tersebut. Sementara itu di lain pihak, kita perlu tidak boleh lupa bahwa undang-undang persaingan ditujukan untuk mengawasi proses persaingan yang berlaku bagi semua pelaku usaha tanpa terkecuali?382 Oleh sebab itu harmonisasi berbagai regulasi yang dibuat harus mempertimbangan bahwa peraturan pengecualian tersebut tidak akan berbenturan dengan persaingan usaha, sistem ekonomi yang dianut maupun peraturan yang lebih tinggi di atasnya. Di antaranya dengan melihat pada pertimbangan norma hukum yang berlaku serta aspirasi kepentingan umum sehingga peraturan pengecualian itu dapat merasionalisasi berbagai kepentingan yang ada.


VIII.1 PENGECUALIAN

Hukum persaingan adalah elemen esensial sehingga dibutuhkan adanya undang-undang sebagai “code of conduct” bagi pelaku usaha untuk bersaing di pasar sesuai dengan aturan undang-undang. Negara berkepentingan bahwa kebijakan persaingan adalah ditujukan untuk menjaga kelangsungan proses kebebasan bersaing itu sendiri yang diselaraskan dengan freedom of trade (kebebasan berusaha), freedom of choice (kebebasan untuk memilih) dan access to market (terobosan memasuki pasar).383 UU No. 5 Tahun 1999 juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi nasional melalui pengalokasian sumber daya dengan berlandaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.384

Di samping tujuan tersebut, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 secara eksplisit UU No. 5 Tahun 1999 juga menegaskan bahwa ada kebijakan persaingan yang berorientasi pada jaminan

382 Lawrence A. Sullivan dan Warren S.Grimes, op. cit., hal. 700.

383 A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, loc. cit.

384 Lihat Bab II Asas dan Tujuan, Pasal 2 yang mengatakan bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

 

kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.385 Oleh sebab itu kebijakan persaingan (competition policy)386 suatu negara dalam penegakan hukum persaingan akan sangat menentukan efektif berlakunya undang-undang persaingan. Kebijakan ini diterjemahkan dengan mempertimbangkan industri manakah yang perlu diregulasi atau industri manakah yang terbuka untuk bersaing.

Pada umumnya kebijakan persaingan dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan misalnya: adanya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HAKI), perdagangan, perlindungan terhadap usaha kecil atau menengah serta kepentingan nasional terhadap perekonomian yang dikelola oleh badan-badan usaha milik negara (BUMN). Hukum persaingan juga mengenal adanya pengecualian (exemption) untuk menegaskan bahwa suatu aturan hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun perilaku/kegiatan tertentu.

Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu acuan yang dipergunakan untuk pengecualian apakah suatu kegiatan, industri/badan, pelaku usaha yang bagaimanakah yang dikecualikan dari pengaturan hukum persaingan. Pemberian pengecualian dalam hukum persaingan umumnya didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:

1. adanya instruksi atau perintah dari UUD 1945;

2. adanya instruksi atau perintah dari undang-undang ataupun peraturan perundangan lainnya;

3. instruksi atau pengaturan berdasarkan regulasi suatu badan administrasi.387


Untuk itu perlu kita mengetahui alasan apakah yang menjadi dasar pertimbangan diberikannya pengecualian dalam undang-undang persaingan. Pada umumnya pengeculian yang diberikan berdasarkan 2 alasan, yaitu:

1. Industri atau badan yang dikecualikan telah diatur oleh peraturan perundang atau diregulasi badan pemerintah yang lain dengan tujuan memberikan perlindungan khusus berdasarkan kepentingan umum (public interests), misalnya transportasi, air minum, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain.

2. Suatu industri memang membutuhkan adanya perlindungan khusus karena praktik kartelisme tidak dapat lagi dihindarkan dan dengan pertimbangan ini maka akan jauh lebih baik memberikan proteksi yang jelas kepada suatu pihak daripada menegakkan undang-undang persaingan itu sendiri.388

Berdasarkan pertimbangan dan alasan ini maka umumnya berbagai negara memberikan atau mengatur tentang pengecualian di dalam undang-undang persaingan mereka. Dengan kata lain, pengecualian merupakan hal yang umum dalam undang-undang persaingan dan tidak dianggap




385 Lihat Pasal 3, Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk: a. menjaga kepentingan umum

dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c. mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha ; dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

386 Edward M. Graham dan J.D. Gravid Richardson, Global Competition Policy, Institute for International Economics, Washington DC, 1997, hal. 23. Competition policy is concerned with the interfirm behavior as well as the behavior of each other firm alone.

387 Thomas Jorde et al, Gilbert Law Summaries - Antitrust, Harcourt Brace Legal and Professional Publications.

Inc, 9th Edition, 1996, hal. 114.

388 Ibid.

 

sebagai hal yang dirasa dapat menghambat persaingan usaha itu sendiri.389


VIII.2 PENGECUALIAN DAN PERTIMBANGANNYA

Pengecualian dari diberlakukannya aturan hukum persaingan dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Salah satu di antaranya adalah proteksi yang disebut dengan monopoli alamiah (natural monopoly). Keadaan ini diberlakukan untuk sesuatu yang bersifat dan berhubungan dengan sarana publik (public utilities) di mana upaya masuk pasar (entry), tarif dan pelayanan akan diatur dalam regulasi.

Pertimbangan dan alasan pembenaran hal ini dilakukan adalah bila produksi dilakukan oleh satu pelaku saja akan jauh lebih efisien, di mana biaya rata rata produksi (average cost) akan menurun bila output ditingkatkan, sehingga lebih efisien kalau industri di monopoli oleh satu pelaku usaha saja. Regulasi dibutuhkan karena ada kemungkinan dalam suatu yang dimonopoli maka pelaku monopoli alamiah mungkin memberlakukan harga monopoli yang dapat mengakibatkan terjadinya deadweight loss390 dan mengakibatkan perpindahan consumer surplus kepada producer surplus.391 Regulasi dibutuhkan untuk menentukan industri mana yang akan dilakukan oleh hanya satu perusahaan dan kemudian baru diatur mengenai tarif, harga, pelayanan serta nilai investasinya. Secara ekonomi dasar untuk memberikan monopoli alamiah dalam suatu industri adalah bila biaya investasi (sunk cost) yang dibutuhkan cukup besar sehingga pengelolaannya diputuskan untuk diberikan kepada BUMN392, misalnya untuk sarana publik seperti air, listrik atau telekomunikasi.393 Oleh sebab itu pelaku usaha yang mendapat kesempatan “monopoli alamiah” wajib mendapat pengontrolan dalam hal kinerja dan pelayanan yang diharapkan.394

Pada umumnya pemberian status pengecualian ini diberikan kepada industri strategis yang dikelola oleh negara melalui BUMN. Kinerja BUMN banyak ditentukan oleh birokrasi dan kurang terbiasa dengan persaingan akan sangat berpengaruh terhadap efektifitas dari pemberian hak monopoli alamiah ini. Pelaku monopoli alamiah memang tidak akan menemukan pesaing sehingga


389 Sebagai contoh, Amerika Serikat memberlakukan pengecualian terhadap Perjanjian Perburuhan

(labor exemption) dan industri asuransi (insurance exemption) dengan mengeluarkan McCarran-Fergusson Act, disamping pengecualian lain terhadap pertanian dan perikanan, usaha kecil dan menengah, asosiasi ekspor dan olah raga dan lainnya. Sementara Jepang terfokus pada pengecualian terhadap pertanian dan koperasi.

390 Deadweight Welfare Loss is a measure of the dollar value of consumer’s surplus lost (but not transferred to producers) as a consequence of a price increase, Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, op. cit., hal. 18. Lihat Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown and Company, 4th Edition, 1992, hal. 277 – 279.

391 Lawrence A Sullivan op. cit., hal. 10-16. Lihat juga Robert H. Lande, Chicago’s False Foundation: Wealth Transfers (Not Just Efficiency) Should Guide Antitrust, Antitrust Law Journal, Volume 58, 1989, hal. 631. Robert H. Lande, Wealth Transfer as the Original and Primary Concern of Antitrust: The Efficiency Interpretation Challenged, Hasting Law Journal, Volume 34, 1982, hal. 68-151. Lande berpendapat bahwa bila efisiensi dicapai maka yang terjadi sebenarnya adalah perpindahan “consumer surplus” dari tangan konsumen ke tangan produser. Dengan kata lain: “The formation and use of market power to force consumers to pay supra competitive prices constituted the “stealing” of their property. Higher prices to consumers were condemned because they unfairly extracted wealth from consumers and turned it into monopoly profit. Unequal distribution of wealth would be resulting from monopolistic over charges. Competitive prices were “fair” whereas monopoly prices were not; therefore, consumers were entitled to own that quantity of wealth known today as “consumer surplus.” The unfair prices, in effect, robbed consumers of that wealth. Therefore, Sherman Act in large part is in an attempt to prevent such “unfair” transfers of wealth from consumers to monopolies.

392 Lihat UU No.1 Tahun 1995 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

393 Monopoli alamiah juga sering diberlakukan untuk infrastruktur umum dengan pengaturan pemerintah karena jauh lebih efisien, misalnya untuk listrik, telekomunikasi atau transportasi. Pertimbangannya adalah sunk cost yang tinggi akan merugikan bila banyak pesaing dalam satu pasar. Lihat juga Richard Posner, Natural Monopoly and Its Regulation, Cato Institute, 1999. Lihat juga Willliam W. Sharkey, The Theory of Natural Monopoly, Cambridge University Press, 1982, hal. 25-26.

394 Edward M. Graham dan J.David Richardson, op. cit, hal. 21. A natural monopoly exits when there are still cost savings from higher volume production even at the point where a single firm serves an entire market. In this case, price-setting and attribute-selection market power may be the inevitable companions of technological efficiency.

 

besar kemungkinannya mereka akan bertindak tidak efisien dan malahan menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat umum sebagai konsumen. Oleh sebab itu, argumentasi mengenai monopoli alamiah lebih ditentukan dari kinerja pelaku yang memperoleh statusnya dibandingkan bila industri tersebut diserahkan kepada mekanisme pasar.

Khusus mengenai pemberian status pengecualian yang berkaitan dengan negara dalam hukum persaingan dikenal adanya “State Action Doctrine”395 di mana perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (atau yang diberikan kewenangan) dari atau mewakili pemerintah akan dikecualikan dari ketentuan undang-undang persaingan. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat ini berasal dari putusan MA AS dalam kasus Parker vs. Brown tahun 1943 sebagai respon terhadap upaya untuk memberlakukan aturan hukum persaingan terhadap usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang sebelumnya tidak terbayangkan ketika Amerika Serikat mengundangkan Sherman Act pada tahun 1890.396

MA Amerika Serikat berpendapat bahwa doktrin ini sesuai dengan keinginan Kongres bahwa tujuan undang-undang persaingan adalah untuk memproteksi persaingan tetapi dengan tidak membatasi kewenangan negara. Berdasarkan pemahaman inilah maka terdapat beberapa kegiatan yang dikecualikan dari pengaturan undang-undang hukum persaingan. Sejak saat itu ruang lingkup doktrin ini diperluas dengan pertimbangan tujuan dari peraturan perundang-undangan yang dimaksud apakah sudah dan memang sesuai dengan maksud dari peraturan tersebut (clear articulation). Doktrin ini kemudian diperluas lagi dengan mengijinkan pemberian status pengecualian yang lebih luas kepada badan-badan usaha yang dibentuk pemerintah yang bahkan bukan sepenuhnya merupakan badan yang dibentuk pemerintah. Doktrin ini terbukti banyak memberikan keuntungan kepada pemerintah sepanjang status ini dipergunakan sesuai dengan tujuannya terutama dari pendekatan efisiensi pada level nasional.

Sejak itu melalui berbagai putusan pengadilan di Amerika menetapkan beberapa kriteria untuk menentukan siapa sajakah yang dapat dikecualikan menurut doktrin ini yaitu:397

1. pihak yang melakukannya adalah negara (state) itu sendiri;

2. pihak yang mewakili negara atau institusi;

3. pihak ketiga atau swasta atau privat yang ditunjuk dan diberikan kewenangan oleh negara.


Di samping dampak positif, perlu diingatkan adanya dampak negatif bila pengawasan tidak dijalankan dengan baik sesuai dengan kebijakan persaingan yang bahkan dapat berdampak juga terhadap ekonomi secara nasional. Oleh sebab itu memberlakukan State Action Doctrine ini harus dibatasi agar pemerintah tidak bertindak oportunis misalnya dengan memastikan apakah kegiatan tersebut benar-benar bertujuan untuk kepentingan umum, hajat hidup orang banyak atau memang diperintahkan oleh konstitusi (active supervision). Dalam implementasinya pengawasan juga penting dilakukan untuk menghindari terjadinya perilaku antipersaingan yang bersifat privat (bukan negara) tetapi dengan menggunakan alasan doktrin ini.398

Pengecualian dalam hukum persaingan juga dapat diberikan dengan alasan proteksi kepada suatu industri atau pelaku usaha tertentu yang dianggap masih memerlukan perlindungan.

395 State action doctrine is a legal principle that applies only to state and local governments, not to private entities. Under state action doctrine, private parties outside of government do not have to comply with procedural or substantive due process (being exempted. The state action doctrine provides immunity from antitrust liability when a state indicates that it has a substantial desire to limit competition in a particular situation.

396 Parker vs. Brown, 317 U.S. 341 (1943), 317 U.S. 341.

397 Jeffery D. Schwartz, The Use of the Antitrust Stae Doctrine in the Deregulated Electric Utility, American University Law Review, Vol. 49, 1999.

398 Timothy J. Muris, Robert Pitofsky, Public Servant and Scholar, 52 Case Wes. Res. L. Rev. 25 (2001).

 

Pemerintah merasa perlu memberikan proteksi dengan alasan industri ini belum mampu menghadapi persaingan yang disebabkan faktor, misalnya keterbatasan modal, belum mampu efisien, kendala distribusi, kurang inovatif sehingga tidak akan mampu bertahan di pasar. Jenis pelaku usaha yang masuk dalam kategori seperti ini adalah koperasi399 dan usaha kecil dan menengah400 yang masuk dalam usaha industri kecil rumah tangga dalam skala sederhana.

Sedangkan pemberian proteksi terhadap jenis pelaku usaha tertentu pada umumnya bukan saja diberikan berdasarkan kemampuan, tetapi juga dengan melihat jumlah mereka dalam perekonomian nasional apakah jumlahnya signifikan atau mayoritas dalam suatu pasar atau tidak.401 Di samping itu undang-undang persaingan umumnya memberikan pengecualian atas

dasar perjanjian, misalnya perjanjian HAKI ataupun keagenan. Bila diperhatikan kedua masalah ini sering kontradiktif karena kedua aspek ini yaitu HAKI dan keagenan telah diatur dan berperan penting dalam proses persaingan. HAKI merupakan insentif dan alasan diberikan hak memonopoli dan proteksi karena HAKI membutuhkan sumber daya dan waktu dalam upaya mendapatkannya. Undang-undang di bidang HAKI sendiri menjamin bahwa penemuan paten dan lain-lain akan diberikan perlindungan sebelum dapat menjadi milik publik (public domain). Faktor ini menjadi penentu bagi perusahaan karena insentif ini dianggap sebagai jalan menguasai pasar tetapi tidak merupakan pelanggaran undang-undang.402 Perlakuan yang sama berlaku dalam perjanjian waralaba (franchise) sedangkan dalam perjanjian keagenan, maka analisis ekonomi menunjukkan bahwa dampak dari perjanjian ini diyakini memberikan efisiensi dan menguntungkan dari segi ekonomi.


VIII.3 PENGECUALIAN DALAM UU NO. 5 TAHUN 1999

Untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan atas ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) ditentukan pula pembentukan KPPU dengan Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. UU No. 5 Tahun 1999 mengatur beberapa ketentuan antara lain yang berkaitan dengan:

a. Perjanjian yang dilarang;

b. Kegiatan yang dilarang;

c. Posisi dominan; dan

d. Sanksi terhadap pelanggar ketentuan yang diatur.


Salah satu kewenangan dari KPPU adalah mengeluarkan pedoman yang berisikan tentang bagaimana menyamakan penafsiran dan bagaimana interpretasi KPPU terhadap isi pasal UU No. 5 Tahun 1999 tersebut.403 KPPU bukan hanya bertindak mengawasi penegakan hukum saja tetapi juga memastikan pengawasan terhadap pengecualian yang diatur dalam pasal-pasal UU No. 5 Tahun 1999. UU No. 5 Tahun 1999 juga memberikan beberapa pengecualian dalam pengaturan pasal- pasalnya. Pengecualian diberikan kepada pelaku usaha tertentu, kegiatan usaha tertentu serta perjanjian tertentu. Banyak pertimbangan yang dijadikan alasan pemberian status ini di antaranya


399 Lihat UU Koperasi No. 25 Tahun 1992.

400 Lihat UU UMKM No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

401 Roderick Brazier dan Sahala Sianipar.eds, Undang-Undang Antimonopoli Indonesia dan Dampaknya Terhadap Usaha Kecil dan Menengah, The Asia Foundation, 1999.

402 Lawrence A Sullivan op. cit., hal. 801. Both antitrust and intelectual property can be multi-valued systems, the predominant goal of each is the same: consumer welfare, resulting from efficient resources allocation. Beyond allocative efficiency, both systems support the all important goal of dynamic efficiency: the fostering changes, innovations, and technological progress.

403 Pasal 35 huruf g UU No. 5 Tahun 1999: menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini.

 

yang paling kuat adalah alasan latar belakang philosophis yuridis berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 di mana dikatakan bahwa: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” dan dalam ayat (4) dinyatakan bahwa

“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Oleh sebab itu, demokrasi ekonomi dalam pemahaman Indonesia adalah berdasarkan pada perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan di mana:

1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

2. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

3. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.


Dari pemahaman di atas, maka sudah jelas UUD 1945 secara tegas sejak awalnya telah menginstruksikan diakui dan harus dilakukannya proteksi terhadap bidang-bidang usaha atau perekonomian tertentu. Dalam implementasi pengertian dan pemberian proteksi ini maka Pemerintah Indonesia mengacu kepada beberapa aspek dalam upaya menegakkan demokrasi ekonomi dengan menghindarkan hal hal yang dianggap bertentangan dengan sistim perekonomian yang berorientasi pada Pancasila dan ekonomi kerakyatan, yaitu:

1. Sistem free fight liberalism yang menimbulkan eksploitasi terhadap manusia dengan hanya mengandalkan tujuan ekonomi;

2. Dominasi negara dan aparatur negara yang mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara;

3. Persaingan tidak sehat dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita- cita keadilan sosial.


Oleh sebab instruksi UUD 1945 yang jelas tersebut maka dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1999, pengecualian diberlakukan sebagai bagian dari undang-undang yang melingkupi berbagai aspek:

1. Pengaturan monopoli alamiah yang dikelola oleh negara404;

2. Pengecualian terhadap perbuatan atau kegiatan405;

3. Pengecualian terhadap perjanjian tertentu406;

4. Pengecualian terhadap pelaku usaha tertentu.407;


Pengaturan mengenai pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Bab IX, Pasal 50, di mana pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagaimana dijabarkan di bawah ini.


404 Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999.

405 Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999.

406 Pasal 50 huruf b-g UU No. 5 Tahun 1999.

407 Pasal 50 huruf h UU No.5 Tahun 1999.

 

VIII.3.1 PERBUATAN DAN ATAU PERJANJIAN YANG BERTUJUAN MELAKSANAKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU


a. Hukum dan Kebijakan Persaingan Usaha

Hukum dan kebijakan persaingan usaha diterapkan terhadap seluruh sektor dan seluruh pelaku usaha, baik dalam perdagangan barang maupun jasa. Berkaitan dengan hal tersebut, seluruh sektor dan seluruh pelaku usaha, baik swasta maupun publik (BUMN atau BUMD) mendapat perlakuan yang sama dalam hukum persaingan. Terdapat alasan hukum dan alasan ekonomi yang sangat mendasar mengenai penerapan hukum persaingan usaha secara umum.

Alasan hukum, bahwa terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatan yang sama atau yang dapat disamakan akan mendapat perlakuan yang sama menurut prinsip dan standar hukum persaingan usaha yang berlaku, antara lain memberikan jaminan adanya keadilan (fairness), kesamaan kesempatan (equality) dan perlakuan yang sama atau non diskriminasi. Pendekatan berdasarkan alasan hukum diharapkan dapat menjamin konsistensi dalam penafsiran dan penerapan hukum serta meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum yang bertanggungjawab dalam mengimplementasi hukum persaingan usaha. Pendekatan ini juga akan mendorong proses penegakan hukum (due process of law) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Alasan ekonomi, pengecualian penerapan hukum persaingan usaha di suatu sektor dapat memicu distorsi yang berdampak pada efisiensi ekonomi di sektor lain. Pengecualian penerapan hukum persaingan usaha, di sisi lain, dapat dan perlu dilakukan oleh Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Bagi Negara Republik Indonesia, pengecualian secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi:

“(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, keberlanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”


Pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (4) tersebut tidak hanya diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tetapi juga diatur dalam berbagai undang-undang sektoral, sehingga penerapan kebijakan adanya ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf a dimaksud agar tidak terjadi saling kontradiksi kebijakan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 dan yang diatur dalam undang- undang sektoral tersebut.


b. Kebijakan Persaingan Usaha Dikaitkan dengan Kebijakan Lainnya di Bidang Ekonomi

Kebijakan persaingan di bidang usaha dapat mendorong pelaku usaha untuk bertindak semakin efisien dalam menyediakan pilihan produk, baik berupa barang maupun jasa yang lebih baik dengan harga yang murah. Hukum persaingan yang berlaku di Indonesia mengandung berbagai aspek kebijakan yang tidak semata-mata untuk mencapai tujuan ekonomi. Berbagai aspek kebijakan tersebut antara lain merefleksikan kepentingan masyarakat, budaya atau sejarah yang perlu ditampung atau diakomodir dalam hukum persaingan usaha.

 

Keterkaitan UU No. 5 Tahun 1999 dengan undang-undang sektoral dapat bersifat komplementer tetapi juga dapat menimbulkan kontradiksi karena terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut. Perbedaan tujuan yang ada tidak menutup kemungkinan timbulnya permasalahan untuk memilih secara tepat peraturan perundang-undangan yang harus diterapkan. Untuk dapat menerapkan peraturan perundang- undangan secara tepat, benar dan adil perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Sejauh mana hukum dan kebijakan di bidang persaingan usaha sebagai prioritas yang harus diterapkan;

2. Jika ketentuan pengecualian yang harus diterapkan, maka harus jelas alasan dan parameter yang menjadi dasar pemilihan ketentuan pengecualian tersebut, dan

3. Dalam hal apa kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain dapat tetap dilaksanakan walau tidak sejalan dengan UU No. 5 Tahun 1999.


c. Tujuan Ketentuan Pengecualian dalam Pasal 50 Huruf a

Ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk:

1. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dalam rangka meningkatkan kekuatan penawarannya ketika menghadapi pelaku usaha yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat, dalam kasus demikian terhadap pelaku usaha kecil dapat diberikan pengecualian dalam penerapan hukum persaingan usaha.

2. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan UU No. 5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin diwujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan perundang-undangan misalnya pengecualian bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian. Sektor keuangan perlu dijaga stabilitasnya, mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam proses pengembangan ekonomi.

4. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (4) UUD 1945.


d.Pengertian Peraturan Perundang-Undangan

Pengertian Peraturan Perundang-undangan harus mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan diartikan sebagai Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) ditentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan mencakup:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten, Kota.

 

Selain itu, berdasarkan penjelasan Pasal 7 ayat (2) disebutkan pula berbagai jenis peraturan yang digolongkan dalam peraturan perundang-undangan, yakni yang mencakup Peraturan yang ditetapkan oleh:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

2. Dewan Perwakilan Rakyat;

3. Dewan Perwakilan Daerah;

4. Mahkamah Agung;

5. Mahkamah Konstitusi;

6. Badan Pemeriksa Keuangan;

7. Komisaris Yudisial

8. Bank Indonesia;

9. Menteri;

10. Badan;

11. Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang;

12. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;

13. Gubernur;

14. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

15. Bupati/Walikota; dan

16. Kepala Desa atau yang setingkat.


Ketentuan Pasal 50 huruf a merupakan pengecualian (exceptions) atau ”pembebasan” (exemptions) dalam sistem Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan yang bersifat pengecualian atau pembebasan ini, dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan dari berbagai kebijakan yang saling tolak belakang namun sama-sama diperlukan dalam menata perekonomian nasional.

Ketentuan yang bersifat pengecualian atau pembebasan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a, sering tidak dapat dihindari karena selain terikat pada hukum atau perjanjian internasional, juga karena kondisi perekonomian nasional menuntut kepada Pemerintah untuk menetapkan ketentuan pengecualian untuk menyeimbangkan antara perlunya penguasaan bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan pemberian perlindungan pada pengusaha berskala kecil. Jadi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a dapat dibenarkan secara hukum dan tidak mungkin dapat dihindari sama sekali.

Pemberian perlakuan khusus bagi cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk dikuasai oleh Negara, secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2), dan ayat (3) sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999. Selanjutnya, walaupun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176, Pasal 177, dan Pasal 178 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberi kewenangan ekonomi untuk mengatur dan mengurus perekonomian daerah, namun pengaturan dan pengurusan di bidang ekonomi harus tetap berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk yang diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

 

Dengan demikian kebijakan otonomi daerah di bidang perekonomian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan perekonomian nasional karena materi peraturan perundang- undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Ketentuan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU No. 12 Tahun 2011 yang menentukan adanya asas kenusantaraan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan, yakni yang menentukan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang- undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Jadi, kedudukan Pasal 50 huruf a, merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mempunyai daya laku secara nasional dan peraturan yang dibuat di daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tersebut.


e.Unsur-Unsur Pasal 50 Huruf a

Beberapa unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 50 huruf a yang berbunyi “perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah sebagai berikut:


1. Perbuatan

Kata “perbuatan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sesuatu yang diperbuat (dilakukan). Selanjutnya jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Bab IV UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur tentang “Kegiatan yang Dilarang” yang kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 berupa suatu larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan sesuatu, maka kata ”kegiatan” maknanya sama dengan ”perbuatan” untuk melakukan sesuatu.


Demikian juga jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Bab V yang mengatur mengenai “Posisi Dominan” yang kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 isinya berupa larangan bagi pelaku usaha menggunakan posisi dominan, dalam arti larangan melakukan suatu perbuatan. Oleh karena itu “kata perbuatan” dalam Pasal 50 huruf a tidak tepat jika diartikan secara harafiah artinya hanya tertumpu dengan kata “perbuatan” tetapi harus diartikan lebih luas yang dapat mencakup “esensi atau makna dasar” yang terkandung dalam kata “perbuatan”.


Berdasarkan uraian tersebut, kata “perbuatan” mempunyai makna yang sama dengan melakukan “kegiatan”. Jadi, kegiatan yang dilarang dalam Bab IV dapat diterjemahkan juga dengan melakukan “perbuatan” yang dilarang, sehingga ketentuan yang diatur dalam Bab IV (Pasal 17 sampai dengan Pasal 24) jika kegiatan dilakukan bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga termasuk yang dikecualikan oleh ketentuan Pasal 50 huruf a.


Selanjutnya, pengertian kata “perbuatan” dalam Pasal 50 huruf a mencakup juga pengecualian terhadap hal-hal yang dilarang sebagaimana diatur dalam Bab V Posisi Dominan, sepanjang pelaku usaha dalam melakukan perbuatan tersebut yakni menggunakan posisi dominan berdasarkan kewenangan dari Undang-Undang atau dari peraturan perundang-undangan yang secara tegas mendapat delegasi dari undang-undang. Di sini perlu ditegaskan wewenang yang

 

didelegasikan oleh undang-undang bukan oleh “peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”.


Penegasan wewenang yang didelegasikan oleh undang-undang sangat penting, mengingat “peraturan perundang-undangan” jenisnya sangat banyak termasuk berbagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sedangkan terdapat suatu ketentuan bahwa peraturan perundangundangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.


Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak secara langsung diamatkan sebagai peraturan pelaksana dari suatu undang-undang, maka peraturan tersebut tidak dapat mengesampingkan UU No. 5 Tahun 1999. Dengan demikian apabila materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tersebut bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 maka tidak dapat diterjemahkan sebagai pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999. Sebaliknya, walaupun peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan perbuatan dan atau perjanjian adalah dalam bentuk Peraturan Menteri misalnya, tetapi jika Peraturan Menteri tersebut ditetapkan atas delegasi langsung dari undang-undang, maka perbuatan dan atau perjanjian tersebut walaupun akibatnya tidak sejalan dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha yang bersangkutan tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Hal tersebut karena, tindakan hukum pelaku usaha adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jadi termasuk dalam kategori pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a.


2. Perjanjian

Definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.


Pemahaman terhadap “perjanjian” ini pun sama dengan untuk “perbuatan” artinya perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha, memang secara tegas wewenangnya didasarkan atas ketentuan undang-undang atau ketentuan “peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang” tetapi berdasarkan delegasi secara tegas dari undang-undang. Selanjutnya yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 adalah orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum.


3. Bertujuan melaksanakan

Dengan frasa “bertujuan melaksanakan” dapat diartikan bahwa pelaku usaha melakukan sesuatu tindakan bukan atas otoritas sendiri tetapi berdasarkan perintah dan kewenangan yang secara tegas diatur dalam undang-undang atau dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang.


Dengan demikian “perbuatan dan atau perjanjian” yang dikecualikan dalam ketentuan Pasal 50 huruf a adalah perbuatan dan atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha karena berdasarkan perintah dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau oleh peraturan

 

perundangundangan di bawah undang-undang tetapi berdasarkan delegasi secara tegas dari undang-undang, untuk dilaksanakan. Melaksanakan peraturan perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan sama dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan. “Melaksanakan” selalu dikaitkan dengan kewenangan yang secara tegas diberikan pada subjek hukum tertentu oleh undang-undang (peraturan perundang-undangan) sedangkan “berdasarkan” tidak terkait dengan pemberian kewenangan, tetapi semata-mata hanya menunjukkan untuk suatu hal tertentu diatur dasar hukumnya.


Contoh I: Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku (Pemberian Kewenangan).

1. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

2. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi “Komisi dapat membentuk kelompok kerja”.


Kedua contoh tersebut menunjukkan pemberian kewenangan kepada subjek hukum tertentu untuk melakukan suatu perbuatan.


Contoh II: Tindakan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku (bukan merupakan pemberian kewenangan):

Ketentuan Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:

a. keterangan saksi,

b. keterangan ahli,

c. surat dan atau dokumen,

d. petunjuk,

e. keterangan pelaku usaha.


Ketentuan Pasal 42 tersebut bukan pemberian kewenangan kepada Komisi untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi semata-mata berupa penegasan tentang jenis alat bukti yang dapat digunakan oleh Komisi dalam melakukan pemeriksaan. Jadi, jika Komisi dalam memberikan putusan berdasarkan alat-alat bukti tersebut, keabsahan alat bukti tidak dapat disangkal karena sudah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Dari kedua contoh di atas, yaitu melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku berupa pemberian kewenangan dan tindakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang bukan merupakan pemberian kewenangan, didapat bahwa peraturan perundang-undangan selain undang-undang (misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Menteri) dapat dijadikan dasar pemberian kewenangan, tetapi untuk ketentuan Pasal 50 huruf a harus dibatasi hanya kewenangan yang didasarkan pada ketentuan undang-undang atau pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetapi berdasarkan delegasi secara tegas dari undang-undang. Pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

 

Berdasarkan pemahaman bahwa terdapat perbedaan yang esensial antara ”Peraturan Perundang-undangan” dan ”Undang-Undang” maka ketentuan pengecualian dalam Pasal 5 ayat (2) tidak dapat diterapkan jika perjanjian yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 5 ayat

(1) tidak didasarkan pada instrumen hukum ”Undang-Undang”, misalnya hanya didasarkan pada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Menteri, maka pelaku usaha tersebut dianggap telah melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, karena Pasal 5 ayat (2) secara tegas menyebut berdasarkan Undang-Undang.


4. Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

Peraturan perundangundangan yang berlaku harus mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dalam Pasal 7 ayat (1) ditentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan mencakup:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah, Provinsi; dan 9 Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.


Selanjutnya dalam Pasal 8 diatur mengenai peraturan perundangundangan selain yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Jenis dari peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Peraturan yang dikeluarkan oleh :

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

b. Dewan Perwakilan Rakyat;

c. Dewan Perwakilan Daerah;

d. Mahkamah Agung;

e. Mahkamah Konstitusi;

f. Badan Pemeriksa Keuangan;

g. Komisi Yudisial;

h. Bank Indonesia;

i. Menteri;

j. Badan;

k. Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang;

l. Dewan Perwakilan Daerah Provinsi;

m. Gubernur;

n. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

o. Bupati/Walikota;

p. Kepala Desa atau yang setingkat.


Termasuk pengertian peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah instrumen hukum dalam bentuk ”Keputusan” yang bersifat mengatur yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (misalnya Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota) yang ditetapkan sebelum berlakunya UU No. 12 Tahun 2011.

 

Hal tersebut karena berdasarkan ketentuan dalam Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 ditegaskan bahwa: semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus maknai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.


Mengingat bahwa terdapat bermacam-macam jenis peraturan perundang-undangan, maka perlu ada kepastian hukum, jenis peraturan perundang-undangan yang mana yang berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf a dikecualikan dari berlakunya ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Kepastian hukum mengenai ”jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku” yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf a secara tepat sangat penting mengingat beberapa prinsip dalam sistem peraturan perundang-undangan yang harus ditaati, yakni:

1. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum yang jelas;

2. Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan hukum, tetapi hanya peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya;

3. Adanya prinsip hanya peraturan yang lebih tinggi atau sederajat dapat menghapuskan atau mengesampingkan berlakunya peraturan yang sederajat tingkatannya atau lebih rendah tingkatannya;

4. Harus ada kesesuaian antara jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang harus diatur.


Perlu terdapat pemahaman bahwa pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf a hanya berlaku bagi pelaku usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah, mengingat pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf a secara tegas dikatakan “untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku” jadi perbuatan pelaku usaha tersebut jelas karena adanya “kewenangan” yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pemberian kewenangan selalu terdapat penegasan kepada siapa diberikan kewenangan tersebut. Jadi, pengecualian dalam Pasal 50 huruf a, tidak dapat diterapkan kepada semua pelaku usaha.


Dari hal-hal yang diuraikan di atas, berarti bahwa walaupun ”perbuatan dan atau perjanjian bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku”, yang diatur dalam Pasal 50 huruf a, namun harus tetap pada prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan tersebut hierarkinya lebih tinggi atau yang sederajat, atau peraturan perundangundangan yang lebih rendah dari undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang.


Jadi pengecualian tidak berlaku jika pelaku usaha melakukan perbuatan dan atau perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang kecuali peraturan yang dilaksanakan tersebut berdasarkan delegasi secara tegas dari undang- undang yang bersangkutan. Dengan kata lain, karena yang dikecualikan adalah ketentuan yang diatur dalam undang-undang yakni UU No. 5 Tahun 1999, maka ”peraturan perundang- undangan yang berlaku” dalam ketentuan Pasal 50 huruf a harus diartikan UUD 1945 dan atau undang-undang sektoral yang terkait atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang yang bersangkutan.

 

Jadi kedudukan ketentuan ”Peraturan Perundang-undangan yang berlaku” dalam Pasal 50 huruf a jika dikaitkan dengan sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, tidak boleh ditafsirkan secara luas dengan mengacu untuk melaksanakan seluruh jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 50 huruf a hanya dapat diterapkan jika:

1. Pelaku usaha melakukan perbuatan dan atau perjanjian karena melaksanakan ketentuan undang-undang atau peraturan perundangundangan di bawah undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang; dan

2. Pelaku usaha yang bersangkutan adalah pelaku usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.


f. Contoh Ketentuan Undang-Undang yang Dikecualikan dari Penerapan Ketentuan Larangan dalam UU No. 5 Tahun 1999, karena Substansi yang Diatur sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 50 Huruf a


1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memuat ketentuan sebagai berikut:


Pasal 5 mengatur bahwa “Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.


Pasal 12 menyebutkan bahwa “Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah”.


Pasal 13 mengatur bahwa “Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor secara langsung oleh lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.“


Pabrik obat tersebut dalam melakukan kegiatan memproduksi, mengedarkan, dan menyalurkan psikotropika tidak dapat dikategorikan melakukan monopoli karena kewenangannya diberikan oleh undang-undang.


2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berbunyi:


“Mentri Kesehatan memberi ijin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki ijin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang- undangan untuk melaksanakan impor narkotika”.


Dalam hal Menteri Kesehatan menunjuk satu perusahaan pedagang besar farmasi milik negara untuk melakukan impor narkotika maka penunjukan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, karena penunjukan tersebut dilakukan sesuai dengan

 

ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 dan bagi pedagang besar farmasi yang ditunjuk apabila melakukan perbuatan atau perjanjian untuk melaksanakan impor narkotika termasuk yang dikecualikan oleh ketentuan Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999.


3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 66 ayat (1) menentukan:


“(1) Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN”.


Jadi jika terdapat BUMN yang melakukan perbuatan dan/atau perjanjian berdasarkan penugasan dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, termasuk yang dikecualikan dalam Pasal 50 huruf a, dengan demikian tidak melanggar UU No. 5 Tahun 1999.


4. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 5 ayat (3) menentukan:


“Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah

a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);

b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen);

c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RI (ASABRI)

d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)”


Dalam hal keempat persero tersebut melakukan perbuatan dan/atau perjanjian dalam melaksanakan penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional, maka perbuatan dan/atau perjanjian tersebut termasuk dalam kategori pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a karena:

1. kewenangan penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan berdasarkan delegasi yang ditentukan undang-undang;

2. monopoli yang diberikan kepada keempat persero tersebut dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999


Contoh kasus yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 50 huruf a


Kasus VIII.1

 

Tindakan yang dapat diambil oleh Komisi adalah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 35 huruf e UU No. 5 Tahun 1999 yakni memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah atau menteri yang bersangkutan terhadap kebijakan pemerintah yang berpotensi mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, untuk mencabut peraturan yang materinya bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999.

Tetapi masalahnya menjadi beda jika yang melakukan perbuatan dan atau perjanjian tersebut bukan pelaku usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah, maka terhadap pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi karena tidak termasuk yang dikecualikan dalam ketentuan Pasal 50 huruf a untuk kategori ”melaksanakan” yang berarti diberi kewenangan oleh peraturan yang bersangkutan.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) menetapkan bahwa:

(1) Penyelenggaraan pelabuhan umum dilaksanakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Badan Hukum Indonesia dapat diikutsertakan dalam penyelenggaraan pelabuhan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas dasar kerja sama dengan badan usaha milik negara yang melaksanakan pengusahaan pelabuhan.

Contoh Penerapan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut:

PT X menjalankan fungsi untuk menyelenggarakan pelabuhan umum, serta dapat mengikutsertakan dan bekerja sama dengan badan hukum Indonesia, yang dalam hal ini adalah PT Y dalam menyelenggarakan fungsi tersebut.


Tindakan

Bentuk kerja sama antara PT X dan PT Y dituangkan dalam Authorization Agreement berupa kerja sama pengelolaan (pengoperasian dan pemeliharaan) untuk masa konsesi 20 (dua puluh) tahun. Dalam klausula 32.4 Authorization Agreement menyebutkan bahwa para pihak setuju tidak akan ada pembangunan terminal peti kemas internasional lainnya yang dilaksanakan di Pelabuhan A sebagai tambahan atas Terminal Peti Kemas I, II, dan III sampai troughput di Pelabuhan A telah mencapai 75% (tujuh puluh lima persen) dari kapasitas rancang bangun tahunan yaitu 3,8 juta Teus. Terminal peti kemas yang terdapat di Pelabuhan A adalah Unit Terminal Peti Kemas I dan II yang dikelola oleh PT Y, serta Unit Terminal Peti Kemas III yang dikelola berdasarkan kerja sama antara PT X dengan Operasi Terminal Peti kemas Z (OTP Z). PT Y dan OTP Z menerapkan kebijakan kepada pengguna jasa untuk harus mengikatkan diri dengan perjanjian eksekutif agar memperoleh pelayanan bongkar muat peti kemas.


Potensi yang terkait dengan UU No. 5 Tahun 1999

Dalam Authorization Agreement terdapat klausula 32.4, yang pada dasarnya menyatakan mengenai pelimpahan kewenangan atau pelimpahan “hak monopoli” dengan memberikan jaminan untuk menguasai 75% pangsa pasar bersangkutan dari PT X. Hal ini berpotensi menghambat konsumen dan pelaku usaha pesaingnya untuk melakukan hubungan usaha. Selain itu PT Y

 

 


VIII.3.2 PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL SEPERTI LISENSI, PATEN, MEREK DAGANG, HAK CIPTA, DESAIN PRODUK INDUSTRI, RANGKAIAN ELETRONIK TERPADU, DAN RAHASIA DAGANG, SERTA PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN WARALABA

Perjanjian sebagaimana diatur dalam definisi yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7408 diartikan sama dengan perbuatan, artinya perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam pasal pengecualian ini ada dua perjanjian yang harus diperhatikan untuk dikecualikan, satu berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise). Dalam hukum persaingan HAKI maupun waralaba sering dianggap bersifat paradoks karena memberikan hak untuk memonopoli secara eksklusif yang bahkan dilindungi pula oleh undang-undang.

Sementara itu undang-undang persaingan berupaya mengatur agar monopoli yang diijinkan haruslah seimbang dan tidak dieksploitasi. Prinsip dasarnya adalah HAKI bertujuan untuk peningkatan kualitas kehidupan manusia dan untuk mendapatkannya harus melalui penelitian, waktu dan biaya yang tidak murah. Sehingga wajar memberikan insentif untuk menikmati hasil temuannya dan mendapatkan keuntungan secara ekonomi melalui pemberian monopoli dalam kurun waktu tertentu sebelum menjadi milik publik (public domain). Pada intinya HAKI mengatur tentang penghargaan atas karya orang lain yang berguna bagi masyarakat banyak. Ini merupakan titik awal dari pengembangan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan inovasi, kreasi, desain dan berbagai bentuk karya intelektual lainnya. HAKI bersifat privat, namun HAKI hanya akan bermakna jika diwujudkan dalam bentuk produk di pasaran, digunakan dalam siklus permintaan, penawaran dan sesudahnyalah barulah akan berperan penting dalam ekonomi yang memberikan

408 Pasal 1 angka 7: ”Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.

 

insentif kepada pelaku usaha yang mewujudkannya untuk menikmati hasilnya.409

Pengertian lain mengenai HAKI adalah hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya yang diakui dan terdaftar secara resmi menurut peraturan yang berlaku. HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten dan Hak Merek. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateriil atau intangible goods). Pengelompokan HAKI dari segi hukum dapat dikategorikan sebagai berikut:410

1. Hak Cipta

a. Hak Cipta (Copy Rights);

b. Hak yang bertentangan dengan hak cipta (Neighbouring Rights);

2. Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights)

a. Hak Paten (Patent Right);

b. Model dan Rancang Bangun (Utility Models);

c. Desain Industri (Industrial Design);

d. Merek Dagang (Trade Mark);

e. Nama Niaga/Nama Dagang (Trade Names);

f. Sumber Tanda atau Sebutan Asal (Indication of Source or Appelation of Origin);


Dewasa ini di Indonesia baru tiga area dalam HAKI yang diatur dalam undang-undang,

yaitu:

1. Hak Cipta yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 1982 (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987, UU No. 12 Tahun 1997, UU No. 19 Tahun 2002) dan terakhir diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014;

2. Hak Paten diatur dalam UU No. 6. Tahun 1989 (sebagaimana diubah dengan UU No. 13 Tahun 1997 dan UU No. 14 Tahun 2001) dan terakhir UU No. 13 Tahun 2016;

3. Hak Merek diatur dalam UU No. 19 Tahun 1992 (sebagaimana diubah dengan UU No. 14 Tahun 1997 dan UU No. 15 Tahun 2001) dan terakhir UU No. 20 Tahun 2016.


Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa UU HAKI Indonesia yang mencakup Hak Cipta, Hak Paten, dan Hak Merek sebetulnya sudah sejalan dengan elemen yang ada dalam persetujuan mengenai HAKI. Namun demikian perlu juga dikaji kembali khusus mengenai Indikasi Geografis dalam Pasal 22 Persetujuan TRIPS411 mengenai Perlindungan atas Indikasi Geografis menyebutkan bahwa Indikasi geografis, sebagaimana dimaksud dalam persetujuan ini, adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu barang sebagai berasal dari wilayah salah satu anggota, atau suatu daerah di dalam wilayah tersebut, di mana tempat asal barang tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi reputasi dari barang yang bersangkutan karena kualitas dan karakteristiknya.412 Apabila mengamati makna pasal tersebut, ditujukan adanya syarat utama, yaitu tanda yang mengidentifikasikan suatu barang sebagai berasal dari wilayah salah satu anggota, atau suatu daerah di dalam wilayah tersebut, di mana tempat asal barang tersebut.


409 Zen Umar Purba, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan

Intelektual. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2000, hal. 1.

410 Arimbi Heroepoetri, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan Masyarakat Adat, WALHI, Jakarta, 1998,

hal. 1.

411 H.O.K Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PTRaja Grafindo Persada, Cetakan ke IV, Jakarta,

2004, hal. 386.

412 Agreement on Trade ReIated Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Annex 1 C.

 

a. Hak Cipta

a.i Subyek Hak Cipta

Subyek hak cipta adalah pencipta dan pemegang hak cipta. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Pencipta adalah orang yang namanya disebut dalam Ciptaan, disebutkan dalam surat pencatatan ciptaan, dan/atau tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai Pencipta (pasal 31).

Negara adalah pemegang Hak Cipta atas ekspresi budaya negara. Negara untuk kepentingan Pencipta juga sebagai pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan tersebut belum dilakukan Pengumuman, dan Negara sebagai pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan pihak yang melakukan Pengumuman.


a.ii Obyek Hak CIpta

Obyek Hak Cipta meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas;

a. Buku, pamphlet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan:

d. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama, drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atu kolase;

g. Karya seni terapan;

h. Karya arsitektur;

i. Peta;

j. Karya seni batik atau seni motif lain;

k. Karya fotografi;

l. Potret;

m. Karya sinematografi;

n. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dari karya lain dari hasil transformsi;

o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

p. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;

q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

r. Permain video; dan

s. Program Komputer.

 

a.iii Masa Berlaku

Masa Berlaku hak cipta bervariasi antara 25 sampai 50 tahun. Untuk Ciptaan berupa karya seni terapan berlaku selama 25 tahun dan hak cipta atas ciptaan lainnya berlaku selama 50 tahun (Pasal 59). Sementara hak cipta yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berlaku tanpa batas waktu. Kecuali hak cipta yang diatur dalam pasal 39, ini berlaku selama 50 tahun (Pasal 60).


b. Hak Paten

b.i Subyek Hak Paten

Subyek hak paten adalah inventor dan pemegang paten. Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan kedalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Sementara pemegang paten adalah inventor sebagai pemilik hak paten, pihak yang menerima hak atas Paten tersebut dari pemilik Paten, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak atas paten tersebut dari pemilik Paten, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak atas Paten tersebut yang terdaftar dalam daftar umum Paten.


b.ii Obyek hak Paten

Invensi merupakan obyek hak paten, yaitu ide inventor yang dituangkan kedalam suatu kegiatan pemecah masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya (Pasal 5). Paten hanya dapat diberikan untuk invensi yang baru, di mana mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri (Pasal 3 ayat (1)). Sedangkan paten sederhana dapat dimintakan untuk invensi baru yang merupakan pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, dan dapat diterapkan dalam industri. (Pasal 3 ayat (2))

Namun demikian ada pembatasan pemberian paten. Undang-undang Paten menggariskan bahwa paten tidak diberikan untuk:

a. Invensi tentang proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum atau kesusilaan;

b. Invensi tentang metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan;

c. Invensi tentang teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;

d. Invensi tentang mahluk hidup, kecuali jasa renik

e. Invensi tentang proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.


b.iii Masa Berlaku Hak Paten

Umumnya masa berlaku hak paten adalah 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permintaan paten (Pasal 22). Khusus untuk paten sederhana diberikan jangka waktu sampai 10 tahun sejak tanggal diberikan Surat Paten Sederhan (Pasal 23).

 

c. Hak merek

c.i Subjek Hak Merek

Subyek hak merek adalah pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau membuat izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum. Pemilik merek dapat terdiri satu orang, atau bersama-sama atau badan hukum.


c.ii Jenis Merek

Undang-undang Merek mengenal 3 jenis merek, yaitu merek dagang, merek jasa dan merek kolektif. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa- jasa sejenis lainnya. Sedangkan merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.

Khusus untuk merek kolektif, beberapa pendapat para ahli menganggap tidak dapat dikategorikan sebagai jenis merek, karena merek kolektif ini sebenarnya juga terdiri dari merek jasa dan merk dagang


c.iii Jangka Waktu Perlindungan

Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”. Undang-undang ini dikenal dengan sebutan Undang-Undang Merek dan merupakan perubahan tentang ketentuan yang mengatur tentang merek sejak zaman kolonial dahulu yang disebut “Reglement Industrial Eigendom Kolonial”.

Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek yang bersangkutan (Pasal 35 ayat (1)). Jangka waktu perlindungan merek dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu yang sama, atas permintaan pemilik merek. Permintaan tersebut ditujukan ke Kantor Merek dan diajukan secara elektronik atau non-elektronik oleh pemilik atau kuasanya dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 6 bulan dan tidak lebih dari 12 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek yang terdaftar tersebut (Pasal 35 ayat (2), (3), (4)).

HAKI sering menjadi topik yang kontroversial dalam hukum persaingan karena hak monopoli yang diberikannya adalah legal sesuai dengan ketentuan undang-undang. HAKI memberikan beberapa beberapa nilai ekonomi pada pemilik atau penemunya yaitu:

1. sebagai hak milik yang bersifat alamiah atau natural;

2. sebagai insentif di mana penemu atau pemilik berhak menerima kompensasi sebagai keberhasilan usaha mereka yang menguntungkan konsumen;

3. sebagai kelanjutan insentif di mana penemu atau pemilik akan terus melakukan penemuan atau peningkatan terhadap temuan awalnya.

 

HAKI merupakan benda yang bersifat tidak berwujud sehingga perlu mendapat perlindungan hukum, kalau tidak maka penumpang gelap (free rider) akan menggunakan kesempatan untuk menikmati hasil temuannya tanpa perlu mengeluarkan biaya. Oleh sebab itu, pencegahan dapat dilakukan dengan jalan:

1. memberikan hak yang dilakukan oleh pemerintah maupun peraturan perundang-undangan;

2. menjamin hal para penemu untuk melindungi penemuannya, kebebasan untuk menjual, menyewakan temuan atau hak-nya termasuk menikmati keuntungan yang bersifat ekslusif.


Dalam hal ini HAKI mengadopsi pilihan yang kedua karena diberikan ijin untuk melindungi temuannya sebagaiman hak milik yang dapat diperlakukan sebagai produk dengan mempertimbangkan adanya permintaan dan penawaran selayaknya hukum pasar. Pada umumnya penggunaan ijin atau kepemilikan HAKI bukanlah berarti secara absolut melanggar hukum persaingan tetapi diprediksi hak kepemilikannya dapat menjadi masalah bila tidak diatur dengan baik dan benar. Kemungkinan terjadinya pelanggaran ini dapat terjadi melalui:

1. Bila HAKI didapatkan hanya dalam bidang tertentu maka dapat berakibat pada upaya memonopoli;

2. Pemberian hak paten dapat saja menghambat persaingan bila dipergunakan dengan cara yang tidak benar dan disalahgunakan maka dapat mengakibatkan timbulnya hambatan dan diskriminasi (yang dilarang dalam hukum persaingan);

3. Pelaku usaha pesaing dapat secara tidak benar atau dengan sengaja melakukan apa yang disebut dengan “pool” (mengumpulkan) paten/HAKI.


Oleh sebab itu walaupun kepemilikan mutlak yang mendekati monopoli yang diijinkan tetapi pembatasan tetap dibutuhkan. Pembatasan HAKI dapat dilakukan dengan cara berikut ini.

1. Hak yang diberikan: Undang-Undang HAKI tidak memberikan kepada penemu atau pemilik HAKI kepemilikan yang mutlak tetapi memberikan beberapa hak tertentu, misalnya pemilik paten dapat membatasi orang lain untuk membuat, menggunakan atau menjualnya;

2. Ruang Lingkup: HAKI hanya melindungi bagian tertentu dari penemuan, seperti hak paten hanya memberikan perlindungan kepada paten yang diajukan atau didaftarkan;

3. Waktu: HAKI memberikan batasan waktu dan akan berakhir setelah periode tertentu (hak paten dan hak cipta) atau bila timbulnya keadaan tertentu (merek atau hak cipta);


Oleh sebab itu bagaimana sebaiknya batasan pengecualian diberikan dalam undang-undang persaingan? Dampak kekhawatiran terjadinya monopoli, sementara HAKI merupakan hak yang legal untuk memonopoli yang dijamin oleh undang-undang. HAKI yang legal dan sah dapat dijadikan alasan pembenaran bila pasar yang diduga dimonopoli tersebut didukung oleh HAKI yang sah pula. Pertanyaan yang timbul adalah apakah monopoli tersebut berifat absolut atau tidak? Dalam beberapa keadaan, tujuan kepemilikan HAKI akan sangat menentukan.

Di samping itu pemberian ijin untuk menjual oleh pemilik HAKI kepada pihak lain untuk menggunakan HAKI dianggap efisien dan mengurangi upaya monopolisasi HAKI. Tetapi bila tidak hati-hati, maka pemberian hak atau ijin yang tertuang dalam perjanjian dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menghambat persaingan karena memberikan para pihak keuntungan ekonomi.

Dengan kata lain, pembatasan mutlak diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan. Pembatasan dapat dilakukan dengan jalan pembatasan pada pemilik HAKI di mana pihak yang

 

membeli HAKI (terutama paten) dapat menjual kembali tanpa berarti melanggar HAKI karena pemilik dianggap telah menikmati hak monopolinya sebelum menjualnya. Adanya pembatasan dalam perjanjian penetapan harga jual kembali antara pemilik HAKI dan pembeli atau penerima haruslah dibatasi (walaupun rasionalnya sudah tentu pemilik HAKI berkeinginan untuk membatasi persaingan dengan penerima atau pembeli). Di samping itu antara pemilik dan pembeli atau penerima HAKI (hak paten) sudah tentu dilarang untuk melakukan perjanjian penetapan harga, membagi wilayah atau melakukan boikot serta tidak dapat melakukan perjanjian yang bersifat ekslusif di antara mereka.

Hal lain yang berkaitan antara HAKI dengan undang-undang persaingan adalah mengenai apa yang disebut dengan ”grant back clauses” (kewajiban untuk tetap menjual hak paten yang akan ditingkatkan atau diperbaharui kepada satu pihak saja) atau akumulasi dari hak paten. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran hukum persaingan karena adanya upaya untuk memperpanjang atau memperluas monopoli dalam hak paten tersebut. Di samping itu HAKI juga dapat berakibat pada kemungkinan terjadinya perjanjian ekslusif antara pemilik HAKI dengan para distributor yang setuju untuk tidak menjual produk mereka yang dianggap bersaing dengan produk lain sehingga dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan hak paten.

Kemungkinan lain adalah terjadinya perjanjian tertutup di mana penerima hak paten tidak dapat memperluas hak monopolinya dengan memaksa pelanggan untuk membeli produk yang tidak mempunyai paten ketika mereka menginginkan justru sebaliknya. Di samping itu apa yang disebut dengan ”block booking” yaitu di mana penerima atau pembeli hak paten dipaksa untuk membeli beberapa hak paten padahal yang dibutuhkannya hanya satu. Dengan melihat begitu banyak kompleksitas yang dapat timbul dari hubungan antara HAKI dan pengecualian, maka pengecualian yang yang ditetapkan dalam undang-undang hukum persaingan harus diberikan pedoman yang jelas.

Oleh sebab itu dalam menentukan bagaimana HAKI dapat diberikan pengecualian dalam undang-undang persaingan haruslah dengan tetap mempertimbangkan bahwa pengecualian ini tidak bersifat mutlak. Perlu juga dipastikan bahwa HAKI yang mempunyai sifat alamiah diberikan hak monopoli tidak dipergunakan justru sebagai cara atau alat untuk mempertahankan atau memperluas pasar yang memang sudah dimonopoli atau bahkan memperkuat posisi dominannya.

Pada bulan Mei 2009, KPPU mengeluarkan Peraturan Komisi No. 2 Tahun 2009 dan Pedoman tentang Ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 mengenai Pengecualian Perjanjian HAKI. Berikut ini adalah rangkuman dari penjelasan isi pedoman tersebut.

KPPU menjelaskan dalam Pedoman bahwa ada tiga hal yang perlu diperdalam dari rumusan Pasal 50 huruf b tersebut. Pertama, penyebutan istilah ’lisensi’ yang diikuti dengan istilah ’paten, merek dagang, hak cipta...dan seterusnya’ seolah-olah menempatkan lisensi sebagai salah satu jenis hak dalam rezim hukum HAKI, padahal sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Lisensi adalah salah satu jenis perjanjian dalam lingkup rezim hukum HAKI yang dapat diaplikasikan di semua jenis hak dalam rezim hukum HAKI. Kedua, penggunaan istilah merek dagang yang seolah-olah mengesampingkan merek jasa. Padahal maksudnya tidaklah demikian. Istilah ’merek dagang’ dalam pasal tersebut digunakan sebagai padanan dari bahasa Inggris trademark; namun yang dimaksud dari istilah tersebut adalah mencakup merek dagang dan merek jasa. Ketiga, istilah ’rangkaian elektronik terpadu’ bukanlah salah satu jenis hak yang terdapat dalam rezim HAKI. Jenis hak yang benar adalah hak atas desain tata letak sirkuit terpadu.

Oleh sebab itu KPPU dalam Pedomannya menyatakan bahwa Pasal 50 huruf b menjelaskan: Pertama, bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta,

 

hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang. Kedua, bahwa istilah ’merek dagang’ hendaknya dimaknai sebagai merek yang mencakup merek dagang dan merek jasa. Ketiga, bahwa istilah ’rangkaian elektronik terpadu’ hendaknya dimaknai sebagai desain tata letak sirkuit terpadu.

Hukum persaingan dan HAKI dianggap sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Kesamaan yang dimiliki oleh kedua rezim hukum tersebut di antaranya ialah pada tujuannya yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Walaupun pada kenyataannya HAKI dapat memberikan hak eksklusifitas (bahkan memonopoli) sebagai insentif dari penemuan HAKI tersebut. Di samping itu yang mungkin terjadi sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman KPPU adalah: Pertama, pemusatan kekuatan ekonomi dapat terjadi ketika pemegang hak menjadi satu-satunya pihak yang mengadakan usaha untuk itu atau ketika pemegang hak hanya menunjuk perusahaan tertentu saja sebagai penerima lisensi. Kedua, penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran dapat terjadi ketika barang dan/atau jasa tersebut hanya dibuat dan/atau dipasarkan oleh pemegang hak dan penerima lisensinya. Ketiga, persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi ketika kegiatan usaha pemegang hak dan/atau penerima lisensi dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Keempat, kerugian terhadap kepentingan umum dapat terjadi ketika kegiatan usaha pemegang hak dan/atau penerima lisensi dipandang dapat mencederai kepentingan orang banyak. Namun demikian, untuk dapat efektif melakukan praktik monopoli pemegang hak harus secara aktif melakukan upaya hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAKI yang dianggap mencederai hak eksklusifnya.

Berdasarkan asas dan tujuan diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 maka asas yang dimaksud ialah bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Sedangkan, tujuan yang dimaksud adalah:

“a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c. mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.”


Dengan demikian pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b harus dimaknai secara selaras dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam asas dan tujuan yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 5 Tahun 1999.


d. Perjanjian Lisensi

Perjanjian lisensi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana satu pihak yaitu pemegang hak bertindak sebagai pihak yang memberikan lisensi, sedangkan pihak yang lain bertindak sebagai pihak yang menerima lisensi. Pengertian lisensi itu sendiri adalah izin untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu obyek yang dilindungi HAKI untuk jangka waktu tertentu. Sebagai imbalan

 

atas pemberian lisensi tersebut, penerima lisensi wajib membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Mengingat hak ekonomis yang terkandung dalam setiap hak eksklusif adalah banyak macamnya, maka perjanjian lisensi pun dapat memiliki banyak variasi.

Ada perjanjian lisensi yang memberikan izin kepada penerima lisensi untuk menikmati seluruh hak eksklusif yang ada, tetapi ada pula perjanjian lisensi yang hanya memberikan izin untuk sebagian hak eksklusif saja, misalnya lisensi untuk produksi saja, atau lisensi untuk penjualan saja.

Perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua pihak.

Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:

1. tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;

2. nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi;

3. obyek perjanjian lisensi;

4. Jangka waktu perjanjian lisensi;

5. dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang;

6. pelaksanaan lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak ekslusif;

7. jumlah royalti dan pembayarannya;

8. dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;

9. batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan; dan

10. dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri karya yang telah dilisensikan.


Sesuai dengan ketentuan dalam paket undang-undang tentang HAKI, maka suatu perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian dimuat dalam Daftar Umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Namun, jika perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, yang dengan sendirinya tidak termasuk kategori pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pedoman ini.

Perjanjian lisensi dapat dibuat secara khusus, misalnya tidak bersifat eksklusif. Apabila dimaksudkan demikian, maka hal tersebut harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian lisensi. Jika tidak, maka perjanjian lisensi dianggap tidak memakai syarat noneksklusif. Oleh karenanya pemegang hak atau pemberi lisensi pada dasarnya masih boleh melaksanakan sendiri apa yang dilisensikannya atau memberi lisensi yang sama kepada pihak ketiga yang lain.

Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya (referensi undang-undang Paten). Pendaftaran dan permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan atau memuat hal yang demikian harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Berdasarkan pada paparan tersebut di atas, setiap orang hendaknya memandang bahwa perjanjian lisensi yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi yang telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan hukum HAKI. Perjanjian lisensi yang belum memenuhi persyaratan tidak masuk dalam pengertian perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan hukum persaingan usaha.


e.Batasan Pemberlakuan Pengecualian

Secara harfiah makna dari ’pengecualian’ adalah tidak memberlakukan suatu aturan yang seharusnya diberlakukan. Dalam konteks hukum persaingan usaha yang pada intinya mengatur mengenai

 

larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam kaitannya dengan perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan, ketentuan ’pengecualian’ seolah-olah berarti tidak memberlakukan secara mutlak ketentuan tentang larangan-larangan tersebut terhadap para pihak yang bersangkutan. Sesungguhnya hal tersebut tidaklah tepat, karena jika larangan-larangan tersebut tidak diberlakukan maka pelaksanaan persaingan usaha yang terjadi kelak dapat merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat yang sesungguhnya sesuatu yang hendak dicegah dan diberantas dengan adanya undang- undang persaingan usaha.

Oleh karena itu, agar ketentuan ’pengecualian’ tersebut selaras dengan asas dan tujuan pembentukan undang-undang persaingan usaha, maka setiap orang hendaknya memandang ketentuan ’pengecualian’ tersebut tidak secara harfiah atau sebagai pembebasan mutlak dari segenap larangan yang ada. Setiap orang hendaknya memandang ’pengecualian’ tersebut dalam konteks sebagai berikut:

1. Bahwa perjanjian lisensi HAKI tidak secara otomatis melahirkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;

2. Bahwa praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang timbul akibat pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang hendak dicegah melalui hukum persaingan usaha;

3. Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan perjanjian lisensi HAKI haruslah dibuktikan: (a) perjanjian lisensi HAKI tersebut telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perundang-undangan HAKI, dan (b) adanya kondisi yang secara nyata menunjukkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;

4. Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian lisensi HAKI hanya diberlakukan dalam hal perjanjian lisensi HAKI yang bersangkutan tidak menampakkan secara jelas sifat antipersaingan usaha.


Dalam konteks tersebut maka langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis apakah suatu perjanjian lisensi merupakan pengecualian yang dikecualikan adalah sebagai berikut:

1. Pertama, sebelum diperiksa lebih lanjut perlu diperjelas mengenai hal yang akan dianalisa mengenai kemungkinan penerapan pengecualian Pasal 50 huruf b. Apabila yang menjadi masalah ialah penolakan untuk memberikan lisensi dan bukan lisensi itu sendiri maka perlu dianalisa HAKI yang dimintakan lisensinya dapat dikategorikan merupakan prasarana yang sangat penting (essential facilities). Apabila tidak termasuk kategori essential facilities maka pengecualian dapat diberikan, namun sebaliknya apabila termasuk kategori essential facilities maka tidak dapat diberikan pengecualian sehingga ditindaklanjuti mengenai kemungkinan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999.

2. Kedua, hal yang perlu diperiksa adalah apakah perjanjian yang menjadi pokok permasalahan adalah perjanjian lisensi HAKI. Apabila perjanjian tersebut bukan perjanjian lisensi HAKI, maka pengecualian tidak berlaku.

3. Ketiga, perlu diperiksa apakah perjanjian lisensi HAKI tersebut telah memenuhi persyaratan menurut undang-undang, yaitu berupa pencatatan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Apabila perjanjian lisensi HAKI tersebut belum dicatatkan, maka pengecualian tidak berlaku.

4. Keempat, perlu diperiksa apakah dalam perjanjian lisensi HAKI tersebut terdapat klausul- klausul yang secara jelas mengandung sifat antipersaingan. Apabila indikasi yang jelas tidak ditemukan, maka terhadap perjanjian lisensi HAKI tersebut berlaku pengecualian dari ketentuan-ketentuan hukum persaingan usaha.

 

Hal yang perlu dianalisis dari suatu perjanjian lisensi HAKI untuk mendapat kejelasan mengenai ada tidaknya sifat antipersaingan adalah klausul yang terkait dengan kesepakatan eksklusif (exclusive dealing). Dalam pedoman ini, perjanjian lisensi HAKI yang dipandang mengandung unsur kesepakatan eksklusif adalah yang di antaranya mengandung klausul mengenai:

1. Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) dan Lisensi Silang (Cross Licensing);

2. Pengikatan Produk (Tying Arrangement);

3. Pembatasan dalam bahan baku;

4. Pembatasan dalam produksi dan penjualan;

5. Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali;

6. Lisensi Kembali (Grant Back).


Hal yang penting untuk diperhatikan, bahwa adanya satu atau lebih dari satu unsur di atas dalam suatu perjanjian lisensi HAKI tidaklah menunjukkan bahwa perjanjian lisensi HAKI tersebut secara serta merta memiliki sifat antipersaingan. Harus ada kondisi tertentu yang harus diperiksa dari masing-masing klausul tersebut untuk menentukan apakah klausul tersebut mengandung sifat antipersaingan.

Lebih lanjut, di bawah ini diuraikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisa suatu klausul kesepakatan eksklusif, sebagai berikut:

1. Penghimpunan lisensi (pooling licensing) dan lisensi silang (cross licensing)

Penghimpunan Lisensi (pooling licensing) merupakan tindakan para pelaku usaha untuk saling bekerja sama dengan para mitra usahanya untuk menghimpun lisensi HAKI terkait komponen produk tertentu. Sedangkan, Lisensi silang (cross-licensing) merupakan tindakan saling melisensikan HAKI antar para pelaku usaha dengan mitranya, biasanya hal tersebut dilakukan dalam kegiatan research and development (R&D). Dengan melakukan Penghimpunan lisensi dan/ atau lisensi silang para pelaku usaha dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost) hak eksklusif yang pada akhirnya membuat produk yang dihasilkan menjadi lebih murah.

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai penghimpunan lisensi dan lisensi silang bersifat antipersaingan usaha atau tidak, maka setiap pihak hendaknya memandang bahwa pemberi lisensi (licensor) pada prinsipnya dapat melakukan penghimpunan lisensi dan lisensi silang untuk mengefisiensikan kegiatan usahanya. Namun demikian, apabila dari tindakan tersebut membuat produksi atau pemasaran terhadap suatu produk dikuasai secara dominan oleh suatu pelaku usaha, sehingga pelaku usaha lain sulit untuk bersaing secara efektif, maka klausul tersebut dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat antipersaingan usaha.


2. Pengikatan produk (tying arrangement)

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pengikatan produk bersifat antipersaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa licensor pada prinsipnya dapat menggabungkan dua atau lebih produknya yang telah dilindungi HAKI untuk diperdagangkan kepada masyarakat. Namun demikian, konsumen tetaplah harus diberikan pilihan untuk membeli salah satu produk saja.

Oleh karena itu, klausul yang mengatur tentang penggabungan produk yang disertai dengan keharusan bagi penerima lisensi untuk menjual produk tersebut sebagai satu kesatuan kepada

 

konsumen, sehingga konsumen tidak dapat membeli salah satu produk saja, maka dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat antipersaingan usaha.


3. Pembatasan dalam bahan baku

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan bahan baku bersifat antipersaingan usaha atau tidak, maka setiap pihak hendaknya memandang bahwa pemberi lisensi (licensor) pada prinsipnya dapat memberikan pembatasan kepada penerima lisensi (licensee) mengenai kualitas bahan baku yang digunakan. Hal ini dipandang perlu untuk memaksimalkan fungsi teknologi, menjaga keselamatan, dan untuk mencegah bocornya rahasia.

Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa pembatasan terhadap sumber penyedia bahan baku dapat mengakibatkan tidak adanya kebebasan bagi licensee untuk memilih kualitas bahan baku dan pemasok (supplier) bahan baku; yang pada akhirnya dapat membuat pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut justru tidak efisien secara ekonomi.

Selain itu, pembatasan tersebut juga dapat merugikan perusahaan-perusahaan yang menyediakan bahan baku, karena menghambat akses ke pasar tersebut. Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat kewajiban licensee untuk menggunakan bahan baku dari sumber yang ditentukan oleh licensor secara eksklusif, padahal bahan baku serupa telah tersedia di dalam negeri dalam jumlah dan harga yang memadai serta dengan kualitas yang sama, dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan dalam proses produksi bersifat antipersaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa pada prinsipnya licensor dapat memberikan pembatasan bagi licensee dalam hal proses produksi atau penjualan produk yang bersaing dengan produk milik licensor. Dalam hal pembatasan tersebut dibuat berdasarkan maksud untuk menjaga kerahasiaan know how, atau untuk mencegah penggunaan teknologi secara tidak sah, maka pembatasan tersebut dapat dianggap tidak termasuk mengganggu persaingan usaha. Tetapi, apabila pembatasan tersebut akan menghambat licensee dalam menggunakan teknologi secara efektif, maka pembatasan tersebut dapat menghilangkan para pesaing dari kesempatan dalam perdagangan.

Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan dalam hal proses produksi atau penjualan produk yang bersaing dengan produk milik licensor, sehingga menghambat licensee dalam menggunakan teknologi secara efektif, dapat dipandang sebagai klausul yang secara jelas bersifat antipersaingan usaha.


4. Pembatasan dalam produksi dan penjualan

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan dalam penjualan bersifat antipersaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa pada prinsipnya licensor dapat menetapkan pembatasan terhadap wilayah atau jumlah produk yang diproduksi dengan menggunakan teknologi milik licensee yang boleh di pasarkan. Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa apabila pembatasan tersebut membuat licensee tidak dapat melakukan inovasi teknologi, maka hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien.

Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan wilayah dan jumlah produk yang dapat dipasarkan yang terbukti menghambat licensee dalam melakukan inovasi

 

teknologi, sehingga pengembangan produk menjadi tidak efisien, dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat antipersaingan usaha.


5. Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan harga jual dan harga jual kembali bersifat antipersaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa licensor dapat menentukan pada tingkat harga berapa produknya dapat di pasarkan sesuai dengan rasionalitas investasi dari produk yang bersangkutan. Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa pembatasan harga tersebut dapat mengakibatkan pembatasan persaingan kegiatan bisnis antara licensee dan distributor yang akan berdampak pada berkurangnya persaingan, yang pada akhirnya hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien.

Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan harga jual dan harga jual kembali dengan cara menetapkan harga bawah, dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.


6. Lisensi kembali (grant back)

Lisensi kembali (Grant-back) merupakan salah satu ketentuan dalam suatu perjanjian lisensi di mana penerima lisensi (licensee) disyaratkan untuk selalu membuka dan mentransfer informasi kepada pemberi lisensi (licensor) mengenai seluruh perbaikan dan pengembangan yang dibuat terhadap produk yang dilisensikan, termasuk di dalamnya know-how terkait pengembangan tersebut. Dalam menganalisis apakah klausul mengenai lisensi kembali bersifat antipersaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa tindakan ini menghalangi penerima lisensi untuk memperoleh kemajuan dalam penguasaan teknologi dan mengandung unsur ketidakadilan karena melegitimasi pemberi lisensi untuk selalu memiliki hak atas suatu karya intelektual yang tidak dihasilkannya sendiri.

Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat kewajiban lisensi kembali (Grant-back), dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.


Pedoman KPPU juga memuat beberapa tolak ukur untuk memastikan penerapan Pasal 50 huruf b dengan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:


1. Apakah telah terdapat kesepakatan atau merupakan bentuk penolakan untuk memberikan lisensi (refusal to license)?

Sebelum diperiksa lebih lanjut perlu diperjelas mengenai hal yang akan dianalisa mengenai kemungkinan penerapan pengecualian Pasal 50 huruf b. Apabila yang menjadi masalah ialah penolakan untuk memberikan lisensi dan bukan lisensi itu sendiri maka perlu dianalisa HAKI yang dimintakan lisensinya dapat dikategorikan merupakan prasarana yang sangat penting (essential facilities). Apabila tidak termasuk kategori essential facilities maka pengecualian dapat diberikan, namun sebaliknya apabila termasuk kategori essential facilities maka tidak dapat diberikan pengecualian sehingga ditindaklanjuti mengenai kemungkinan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999.

 

2. Apakah hal yang ingin dikecualikan berbentuk perjanjian lisensi?

Pengecualian Pasal 50 huruf b hanya dapat diberikan pada perjanjian lisensi, sedangkan hal-hal lain yang terkait dengan HAKI maka pengecualian tidak dapat diterapkan sehingga pemeriksaan kasus dilanjutkan untuk memeriksa mengenai kemungkinan terjadinya bentuk praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.


3. Apakah perjanjian lisensi tersebut telah didaftarkan pada pihak yang berwenang (Dirjen HAKI)?

Sebagaimana diketahui perjanjian lisensi seharusnya dicatatkan di Dirjen HAKI bahkan pada ketentuan terkait hak cipta dapat berpengaruh pada pihak ketiga.413 Pada prinsipnya dalam beberapa ketentuan peraturan perundangan terkait HAKI telah melarang adanya ketentuan yang menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.414

Ketentuan tersebut serta merta telah menunjukkan konsistensi dengan semangat UU No. 5 Tahun 1999 sehingga pihak Dirjen HAKI seharusnya telah memperhatikan ketentuan tersebut sebelum mencatatkannya, sehingga pemeriksaan awal mengenai kemungkinan bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 dapat diminimalkan. Apabila perjanjian lisensi tersebut telah dicatatkan maka terdapat kemungkinan diberikan pengecualian sebagaimana ketentuan pasal 50 huruf b. Sebaliknya, apabila perjanjian lisensi tersebut tidak dicatatkan maka pengecualian tidak dapat diterapkan sehingga pemeriksaan kasus dilanjutkan untuk memeriksa mengenai kemungkinan terjadinya bentuk praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.


4. Apakah perjanjian lisensi tersebut mencantumkan hal-hal yang bersifat antipersaingan?

Pemeriksaan selanjutnya ialah mengenai kemungkinan perjanjian lisensi tersebut mencantumkan hal-hal yang bersifat antipersaingan. Hal yang paling mudah diidentifikasi ialah ada/tidaknya ketentuan yang bersifat ekslusif, seperti pembatasan bahan baku, pooling licensing & cross licensing, tying arrangement, pembatasan produksi dan penjualan, pembatasan penjualan dan harga jual kembali, lisensi kembali (grant back). Apabila diketemukan hal yang bersifat ekslusif tersebut seterusnya perlu diperiksa mengenai latar belakang, tujuan, alasan dari pencatuman ketentuan tersebut.


Apabila tidak diketemukan sifat antipersaingan dalam perjanjian lisensi tersebut maka penerapan Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 dapat dilaksanakan. Dengan kata lain perjanjian lisensi tersebut dikecualikan. Sebaliknya, apabila diketemukan sifat antipersaingan dalam perjanjian lisensi tersebut maka pengecualian tidak dapat diterapkan sehingga pemeriksaan kasus dilanjutkan untuk memeriksa mengenai kemungkinan terjadinya bentuk praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.



413 Lihat Pasal 47 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

414 Lihat beberapa ketentuan terkait HAKI antara lain: 1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan “Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten menyebutkan perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi paten tersebut pada khususnya.

 

f. Perjanjian Waralaba

f.i Latar Belakang

Perkembangan jenis usaha dalam bentuk waralaba di Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain di bidang makanan siap saji (fast food), jasa konsultasi, minimarket, jasa kesehatan, rekreasi dan hiburan, serta sistem pendidikan. Perkembangan jenis usaha dalam bentuk waralaba tidak dapat dihindari seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di era globalisasi. Terkait dengan perkembangan jenis usaha dan bentuk waralaba yang pesat tersebut, pemerintah menyadari perlu untuk memberi ruang gerak bagi perkembangan waralaba agar masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara kondusif. Oleh karena itu, dalam UU No. 5 Tahun 1999 diadakan pengecualian untuk berlakunya ketentuan undang-undang tersebut terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b.

Pengertian Waralaba, dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, didefinisikan sebagai:

“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”


Pengertian tersebut secara prinsip berbeda dengan yang didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Usaha Waralaba yang telah dicabut dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Usaha Waralaba, Waralaba didefinisikan adalah:

“Perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa”.


Jika melihat pada titik berat hubungan pemberi waralaba dengan penerima waralaba yakni timbul setelah terdapat perikatan, maka definisi dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 kiranya lebih relevan.

Penerima waralaba (franchisee) dalam menjalankan usahanya memakai sistem usaha yang diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) berdasarkan suatu perjanjian. Perjanjian antara pemberi waralaba dan penerima waralaba berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu dasar yang harus dipatuhi oleh masing- masing pihak. Akan tetapi, karena suatu usaha waralaba adalah suatu sistem pemasaran yang vertikal, yakni pemberi waralaba bersedia menyerahkan semua sistem usaha waralabanya kepada penerima waralaba, maka perjanjian waralaba mencakup juga perjanjian lisensi yang merupakan salah satu jenis dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

UU No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian untuk tidak memberlakukan ketentuannya terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50

 

huruf b. Termasuk yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian yang berkaitan dengan HAKI antara lain mengenai lisensi.

Namun perlu dipahami, dalam praktik ternyata terdapat perjanjian yang terkait dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam kategori sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 huruf b.

Menyadari bahwa terdapat kemungkinan ada perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka penerapan ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999, perlu diterapkan secara hati- hati dan bijaksana sehingga tidak menyimpang dari tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3, antara lain untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif. Dengan demikian, perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba.

Sedangkan mengenai perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat walaupun berkaitan dengan waralaba tidak termasuk yang dikecualikan. Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba terdapat unsur yang ternyata dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 tetap dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.

Penerapan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 tersebut pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang menentukan bahwa: “Dalam melaksanakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.” Pasal 26 antara lain mengatur kemitraan dengan pola waralaba (Pasal 26 huruf c). Selanjutnya yang dimaksud dengan “berlaku hukum Indonesia” di bidang pengaturan usaha tentunya adalah UU No. 5 Tahun 1999. Untuk tidak keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999, Komisi menetapkan Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.


f.ii Pengertian Perjanjian

Pengertian Perjanjian dalam kaitannya dengan UU No. 5 Tahun 1999, harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 undang-undang tersebut, yang berbunyi sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun baik tertulis maupun tidak tertulis.”


Selain mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 tersebut, untuk membuat perjanjian juga harus tetap memperhatikan asas-asas perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”


f.iii Pengertian Waralaba

Pengertian waralaba dalam pedoman secara yuridis mengacu pada definisi waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 1

 

angka 1 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba mendefinisikan waralaba sebagai:

“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”


Dari definisi waralaba tersebut unsur-unsur yang tercakup adalah:

1. Terdapat hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha;

2. Terdapat sistem bisnis dengan ciri khas dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa dan sistem tesebut telah terbukti berhasil; dan

3. Sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain (penerima waralaba) berdasarkan perjanjian.


Perlu digarisbawahi bahwa dalam definisi tersebut mengenai “badan usaha” tidak disyaratkan harus berbentuk badan hukum, apalagi badan hukum Indonesia.

Selanjutnya Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba menentukan bahwa waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Memiliki ciri khas usaha

“Ciri khas usaha” adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.

2. Terbukti sudah memberikan keuntungan

“Terbukti sudah memberikan keuntungan” adalah menunjuk pada pengalaman pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha dengan menguntungkan.

3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis

“Standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis” adalah standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (standard operational procedure)

4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan

“Mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba.

5. Terdapat dukungan yang berkesinambungan

“Dukungan yang berkesinambungan” adalah dukungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi.

6. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar

“Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar” adalah HAKI yang terkait dengan usaha seperti merk, hak cipta, paten, dan rahasia dagang, sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.

 

f.iv Syarat-Syarat Perjanjian Waralaba

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pengertian dari waralaba yang dimaksud dalam pedoman adalah waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yakni “hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/ atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”

Dalam perjanjian waralaba, pemberi waralaba biasanya menetapkan berbagai persyaratan kepada penerima waralaba yang dimaksudkan untuk menjaga ciri khas usaha, standar pelayanan, dan barang dan/atau jasa yang dipasarkan.

Persyaratan yang demikian biasanya untuk menjaga HAKI dan konsep waralaba itu sendiri sehingga dapat dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999. Namun demikian, dalam praktik berbagai persyaratan perjanjian waralaba sering memuat klausula yang dapat juga menghambat atau memberikan batasan kepada penerima waralaba dalam menjalankan usahanya, sehingga berpotensi menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal terdapat persyaratan yang demikian maka perjanjian waralaba tersebut tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999.

Sejalan dengan tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999, pengembangan iklim usaha yang kondusif dan pemberian kesempatan berusaha bagi usaha mikro, kecil, dan menengah juga menjadi pertimbangan dalam pembentukan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Kemitraan dengan pola waralaba dalam bentuk usaha mikro, kecil, dan Menengah digiatkan melalui UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:

1. pendanaan;

2. sarana dan prasarana;

3. informasi usaha;

4. kemitraan;

5. perizinan usaha;

6. kesempatan berusaha;

7. promosi dagang; dan

8. dukungan kelembagaan.


Mengenai aspek kemitraan dalam Pasal 11 huruf f dan g undang-undang tersebut ditujukan

untuk:

1. mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen;

2. mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan usaha mikro, kecil, dan menengah.


Dalam Penjelasan Pasal 11 huruf g disebutkan bahwa: “Penguasaan pasar dan pemusatan usaha harus dicegah agar tidak merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.“

Pengaturan mengenai perjanjian waralaba sebagai dasar penyelenggaraan usaha waralaba diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang

 

Waralaba dan Pasal 26 huruf c serta Pasal 29 UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

1. Pasal 4 mengatur bahwa :

“(1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.

(2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.”


2. Pasal 5 menentukan bahwa dalam perjanjian waralaba paling sedikit memuat ketentuan tentang:

a. nama dan alamat para pihak;

b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;

c. kegiatan usaha;

d. hak dan kewajiban para pihak;

e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

f. wilayah usaha;

g. jangka waktu perjanjian;

h. tata cara pembayaran imbalan;

i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;

j. penyelasaian sengketa; dan

k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.


3. Pasal 6 menyebutkan bahwa:

“(1). Perjanjian waralaba dapat memuat klausula pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba lain.

(2). Penerima waralaba yang diberi hak untuk menunjuk penerima waralaba lain harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit 1 (satu) tempat usaha Waralaba.”


4. Pasal 26 huruf c UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menentukan Kemitraan dilaksanakan dengan pola:

1. inti-plasma;

2. subkontrak;

3. waralaba;

4. perdagangan umum;

5. distribusi dan keagenan; dan

6. bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).


5. Pasal 29 UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terkait dengan waralaba memuat ketentuan sebagai berikut:

“(1) Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil,

 

dan Menengah yang memiliki kemampuan.

(2) Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.

(3) Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.“


Ketentuan mengenai penggunaan produksi dalam negeri di samping diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2008 juga diatur dalam Pasal 9 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang menegaskan bahwa:

“(1) Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba.

(2) Pemberi Waralaba harus bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba.“


Dalam rangka pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah dan penggunaan produksi dalam negeri, maka penerapan Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999, khususnya tentang pengecualian terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, tetap harus memperhatikan prinsip larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, agar dapat menjamin kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan iklim usaha yang kondusif sebagaimana dijamin dalam UU No. 5 Tahun 1999. Prinsip tersebut ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang menentukan bahwa:

“Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.”


Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan usaha waralaba tetap tidak boleh melanggar ketentuan yang diatur oleh hukum Indonesia, antara lain adalah ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


f.v Unsur-Unsur Pasal 50 huruf b, Khususnya Mengenai Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba

Unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 50 huruf b khususnya mengenai perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba, mencakup:

1. Perjanjian

Sebagaimana telah diuraikan, mengenai perjanjian harus mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”

 

Selanjutnya mengenai prinsip pembuatan perjanjian harus mengacu pada ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


2. “yang berkaitan dengan”

Frase ”yang berkaitan dengan” harus dapat dibuktikan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba benar-benar memenuhi kriteria waralaba sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah:

a) UU No. 5 Tahun 1999;

b) UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (lihat Pasal 26 huruf c, Pasal 29, Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 40);

c) PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.


3. Waralaba

Pengertian waralaba, kriteria waralaba, ketentuan yang harus dimuat dalam perjanjian waralaba, dan semua yang terkait dengan waralaba mengacu pada ketentuan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 1 angka 1 mendefinisikan waralaba sebagai berikut:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”


Dari ketiga unsur tersebut harus benar-benar dipertimbangkan baik oleh pemberi waralaba maupun penerima waralaba dalam memformulasikan suatu perjanjian di bidang waralaba, agar dapat diterapkan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999.

f.vi Penerapan Pasal 50 Huruf B, Khususnya Mengenai Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba


1. Prinsip Penerapan Persaingan Usaha dalam Perjanjian Waralaba

Prinsip penerapan persaingan usaha dalam analisis terhadap perjanjian waralaba selalu diarahkan untuk mencapai tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu untuk meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha, mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Berdasarkan Pasal 50 huruf b perjanjian yang terkait dengan waralaba termasuk salah satu yang dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999. Prinsip pengecualian terhadap perjanjian yang terkait dengan waralaba berangkat dari asas bahwa pada dasarnya ketentuan/klausul dalam perjanjian waralaba yang merupakan hal yang esensial untuk menjaga identitas bersama dan reputasi jaringan waralaba, atau untuk menjaga kerahasiaan HAKI yang terkandung dalam konsep waralaba dapat dikenakan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b. Berdasarkan prinsip tersebut maka dalam perjanjian waralaba diperbolehkan memuat ketentuan/klausul yang mengatur mengenai kewajiban-kewajiban bagi penerima waralaba dalam rangka menjamin konsep waralaba dan HAKI yang dimiliki oleh pemberi waralaba. Ketentuan/

 

klausul tersebut misalnya antara lain adalah kewajiban untuk menggunakan metoda usaha yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, mengikuti standar perlengkapan dan penyajian yang ditentukan pemberi waralaba, tidak merubah lokasi waralaba tanpa sepengetahuan pemberi waralaba, dan tidak membocorkan HAKI yang terkait dengan waralaba kepada pihak ketiga, bahkan setelah berakhirnya masa berlakunya perjanjian waralaba.

Namun demikian perlu disadari bahwa dalam perjanjian waralaba dapat pula mengandung ketentuan/klausul yang berpotensi menghambat persaingan, seperti penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba. Klausul/ketentuan yang demikian berpotensi bertentangan dengan pencapaian tujuan UU No. 5 Tahun 1999 yang menginginkan adanya efisiensi, kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan pengembangan teknologi.

Dalam hal perjanjian waralaba memuat ketentuan/klausul yang menghambat persaingan, maka perjanjian waralaba tidak termasuk dalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b dan Komisi akan melakukan penilaian lebih lanjut mengenai dampak dari hambatan persaingan tersebut terhadap efisiensi ekonomi.

Klausul/ketentuan mengenai pembatasan wilayah yang biasa terdapat dalam perjanjian waralaba untuk mengatur sistem jaringan waralaba biasanya termasuk dalam kategori yang dikecualikan. Pemberi waralaba pada dasarnya dapat mengatur wilayah eksklusif bagi penerima waralaba, dalam hal demikian maka pengecualian dapat diberikan terhadap ketentuan/klausul yang bertujuan untuk membatasi kegiatan pemberi waralaba di dalam wilayah yang telah diperjanjikan dan kegiatan penerima waralaba di luar wilayah yang diperjanjikan.

Namun demikian, pengecualian tidak dapat diberikan apabila hambatan berupa pembatasan wilayah tersebut mengarah pada perlindungan wilayah secara absolut. Dalam hal pemberi waralaba dan penerima waralaba, baik secara langsung maupun tidak langsung menghalangi konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa dengan alasan tempat kediaman konsumen di luar wilayah waralaba yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan membagi pasar maka hal tersebut tidak termasuk dalam kategori pengecualian. Pengecualian terutama tidak dapat diterapkan apabila pembatasan wilayah mengakibatkan membatasi persaingan pada pasar bersangkutan sehingga berdampak pada efisiensi ekonomi.

Klausul/ketentuan mengenai kewajiban pasokan dalam perjanjian waralaba biasanya dimaksudkan untuk menjaga standar kualitas produk waralaba. Jaminan adanya standar minimum kualitas produk sangat penting dalam usaha waralaba agar tidak merusak identitas dari konsep waralaba itu sendiri. Untuk itu pemberi waralaba biasanya mewajibkan penerima waralaba untuk memasok hanya dari pemberi waralaba atau pihak tertentu produk yang menjadi esensi dari konsep waralaba, di mana khususnya terkait dengan HAKI yang telah dipatenkan yang menjadi bagian utama dari konsep waralaba.

Namun demikian perlu dipahami bahwa perjanjian pasokan yang demikian juga dapat menghambat persaingan karena membatasi pelaku usaha lain untuk dapat ikut memasok kepada penerima waralaba. Untuk itu maka ketentuan yang demikian, apabila tidak terkait dengan HAKI produk yang menjadi esensi dari konsep waralaba, tidak dikecualikan dari

 

penerapan UU No. 5 Tahun 1999. Perjanjian waralaba biasanya memuat pula klausul/ketentuan yang mengatur mengenai penetapan harga jual. Pengaturan mengenai penetapan harga jual biasanya dimaksudkan agar penerima waralaba tidak menetapkan harga yang dapat merusak identitas/imej dari waralaba. Untuk itu rekomendasi harga yang dibuat oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba dapat dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999. Namun demikian perlu disadari bahwa penetapan harga yang mengarah pada kartel harga sehingga menghilangkan persaingan harga tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5 tahun 1999. Ketentuan/klausul yang mewajibkan penerima waralaba untuk membeli beberapa jenis barang dari pemberi waralaba dalam rangka menjaga standar kualitas dari konsep waralaba pada dasarnya tidak melanggar prinsip persaingan usaha.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa kewajiban yang demikian dapat menghalangi produk substitusi dan menghambat persaingan. Untuk itu maka kewajiban untuk membeli barang lain yang tidak terkait dengan konsep waralaba, yang dapat menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha lain tidak dapat kenakan pengecualian terhadap penerapan UU No. 5 Tahun 1999.

Ketentuan/klausul yang melarang penerima waralaba untuk melakukan kegiatan usaha yang sama yang dapat bersaing dengan jaringan usaha waralaba dapat dikenakan ketentuan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b. Larangan tersebut dimaksudkan untuk perlindungan HAKI pemilik waralaba dan menjaga identitas dan reputasi jaringan waralaba, khususnya bila pemberi waralaba telah melakukan transfer know how, baik berupa pengetahuan, pengalaman dan keahlian, serta kemampuan (skill) teknis kepada penerima waralaba.

Namun demikian perlu disadari bahwa hambatan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama tersebut dalam jangka waktu panjang justru akan mempengaruhi persaingan dan berdampak negatif pada efisiensi ekonomi. Untuk itu maka ketentuan hambatan setelah berakhirnya perjanjian waralaba dalam waktu yang terlalu panjang tidak termasuk dalam pengecualian penerapan UU No. 5 Tahun 1999. Untuk menetapkan jangka waktu yang tidak melanggar persaingan usaha maka Komisi akan memperhatikan berbagai pertimbangan, antara lain teknologi dari waralaba dan investasi yang telah dikeluarkan. Apabila teknologi waralaba sudah merupakan domain publik dan investasi yang dikeluarkan tidak besar, maka jangka waktu untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama biasanya adalah 1 (satu) tahun.


2. Penerapan Ketentuan Pasal 50 huruf b Terkait dengan Perjanjian Waralaba

Dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b, khususnya perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, KPPU harus mempertimbangkan dengan bijaksana agar tidak melanggar hakikat tujuan dibentuknya UU No. 5 Tahun 1999. Adapun pertimbangan yang perlu diperhatikan antara lain kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba harus terpenuhi:

a) Kriteria perjanjian waralaba dan pendaftarannya sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba harus terpenuhi;

b) Pembuatan perjanjian harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 jo. Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c) Perjanjian waralaba merupakan bentuk kemitraan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c jo. Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha

 

Mikro, Kecil, dan Menengah; dan

d) Isi Perjanjian Waralaba tidak berpotensi melanggar prinsip larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.


Beberapa contoh kriteria perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar prinsip larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sehingga ketentuan Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan:

1. Penetapan harga jual (resale price maintenance).

Pemberi waralaba membuat perjanjian dengan penerima waralaba yang memuat penetapan harga jual yang harus diikuti oleh penerima waralaba. Penerima waralaba sebagai pelaku usaha mandiri pada dasarnya memiliki kebebasan untuk menetapkan harga jual barang dan/atau jasa yang didapatnya dari pemberi waralaba. Dari perspektif persaingan usaha, penetapan harga jual dalam waralaba dilarang karena akan menghilangkan persaingan harga antara penerima waralaba.

Hal tersebut menimbulkan harga yang seragam di antara penerima waralaba dan akibatnya konsumen dihadapkan pada harga yang seragam pula. Penetapan harga yang demikian tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999. Namun demikian, untuk menjaga nilai ekonomis dari usaha waralaba, maka pemberi waralaba diperbolehkan membuat rekomendasi harga jual kepada penerima waralaba, sepanjang harga jual tersebut tidak mengikat penerima waralaba.


2. Persyaratan untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa hanya dari pemberi waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemberi waralaba. Perjanjian waralaba memuat persyaratan yang mengharuskan penerima waralaba untuk membeli barang atau jasa yang menjadi bagian dari konsep waralaba hanya dari pemberi waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemberi waralaba.

Persyaratan tersebut dapat dikecualikan sepanjang dilakukan untuk mempertahankan identitas dan reputasi dari waralaba yang biasanya dimaksudkan untuk menjaga konsep waralaba yang telah diciptakan oleh pemberi waralaba. Meskipun demikian, pemberi waralaba tidak boleh melarang penerima waralaba untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa dari pihak lain sepanjang barang dan atau jasa tersebut memenuhi standar kualitas yang disyaratkan oleh pemberi waralaba. Penetapan pembelian pasokan hanya dari pemberi waralaba atau pihak tertentu dapat menimbulkan hambatan bagi pelaku usaha lain yang mampu menyediakan pasokan dengan kualitas yang sama. Untuk itu pemberi waralaba tidak diperbolehkan menetapkan secara mutlak akses pembelian atau pasokan yang diperlukan oleh penerima waralaba sepanjang hal itu tidak menggangu konsep usaha waralaba.


3. Persyaratan untuk membeli barang dan/jasa lain dari pemberi waralaba.

Pemberi waralaba mengharuskan penerima waralaba untuk bersedia membeli barang atau jasa lain dari pemberi waralaba (tie-in). Perjanjian waralaba yang memuat kewajiban kepada penerima waralaba untuk membeli produk lain dari pemberi waralaba tidak dipandang sebagai pelanggaran persaingan usaha, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan identitas dan reputasi waralaba. Perlu diketahui bahwa kewajiban untuk membeli produk lain

 

yang bukan menjadi bagian dari paket waralaba tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999.


4. Pembatasan wilayah.

Pemberi waralaba melakukan pembatasan wilayah dengan cara menetapkan wilayah tertentu kepada penerima waralaba. Dalam perjanjian waralaba biasanya memuat klausul tentang wilayah usaha. Klausul tersebut dimaksudkan untuk membentuk sistem jaringan waralaba.

Dalam hal demikian, maka pengaturan wilayah usaha tidak dipandang sebagai pelanggaran persaingan usaha, sehingga dapat dikecualikan. Namun demikian, pembatasan wilayah yang tidak dilakukan dalam rangka membentuk sistem jaringan waralaba melainkan untuk membatasi pasar dan konsumen tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999.


5. Persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba. Pemberi waralaba mensyaratkan agar penerima waralaba tidak melakukan kegiatan usaha yang sama dengan usaha waralaba selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.

Syarat tersebut dapat dikecualikan dari UU No. 5 Tahun 1999 sepanjang dimaksudkan untuk melindungi dan/atau berkaitan dengan HAKI pemberi waralaba atau untuk menjaga identitas dan reputasi usaha waralaba. Namun demikian, persyaratan tersebut dalam jangka waktu panjang dapat berakibat pada terhambatnya persaingan dan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama dengan usaha waralaba dalam jangka waktu yang lama tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999.

Dalam hal mempertimbangkan lamanya jangka waktu yang dipandang berpotensi melanggar UU No. 5 Tahun 1999 Komisi memperhatikan berbagai hal di antaranya adalah teknologi produk waralaba, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk waralaba, sifat produk waralaba (apakah sudah menjadi public domain atau tidak).


Kasus VIII.2


 

1. Membantu penerima waralaba dalam periode praoperasi toko dalam hal:

a. rekomendasi kelayakan lokasi toko yang dimaksud;

b. bantuan seleksi tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi karyawan Toko P;

c. perencanaan, pelaksanaan dan supervisi renovasi toko sesuai standar Toko P.

2. Memberikan latihan kepada penerima waralaba beserta seluruh karyawan toko dalam suatu program latihan terpadu dengan materi dan jadwal yang telah ditetapkan.

3. Memberikan pedoman praktis operasional dan administrasi toko sebagai referensi penerima waralaba dalam menyelenggarakan operasi rutin toko.

4. Mengirim barang sesuai dengan permintaan penerima waralaba dengan mengacu kepada ketentuan Pengelolaan Barang Dagangan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian ini.

5. Memberikan bantuan konsultasi kepada penerima waralaba agar pelaksanaan operasi toko tetap berjalan dalam standard operasional Toko P.

6. Mensuplai pengadaan barang perlengkapan rutin toko, seperti kantong plastik, stiker label, perlengkapan komputer dan sebagainya sesuai standar penggunaan Toko P.

Dalam perjanjian waralaba ditetapkan mengenai pengelolaan barang dagangan yang akan disuplai oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba, merupakan hak pemberi waralaba, yaitu:

1. Penentuan barang dagangan, termasuk komposisi jenis, tingkat harga jual dan sumber barang dagangan toko merupakan hak pemberi waralaba.

2. Seluruh barang dagangan toko harus dibeli dari pemberi waralaba dan dijual maksimal seharga yang tercantum dalam daftar harga barang dagangan yang berlaku saat itu dari pemasok pemberi waralaba ditambah mark up 2% dua persen.

Bilamana pemberi waralaba melihat adanya suatu nilai potensi yang baik atau dianggap perlu suatu tindakan preventif, sehingga diperlukan pembukaan toko baru dalam radius 100 (seratus) meter dari toko penerima waralaba, maka penerima waralaba akan diberikan prioritas berupa penawaran pertama secara tertulis, sebelum ditawarkan kepada pihak lain atau dibuka oleh pemberi waralaba.

Kewajiban penerima waralaba sebagai berikut:

1. Membayar nilai pembelian seluruh barang dagangan Toko P kepada pemberi waralaba sesuai dengan jumlah barang yang diterima oleh penerima waralaba.

2. Memeriksa kondisi kelayakan jual atas seluruh barang dalam Toko P.

3. Dilarang menerima, menyimpan, memajang dan menjual barang-barang lain selain barang dagangan toko yang sudah ditentukan sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian ini.

4. Wajib melaksanakan administrasi barang dagangan sesuai ketetapan dalam Pedoman Praktis Operasional dan Administrasi Toko.

5. Dalam mengoperasikan Toko P wajib menggunakan piranti keras (hardware) dan paket

 

program komputer (software), serta sistem jaringan telekomunikasi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, yang secara periodik akan terus disempurnakan oleh pemberi waralaba sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.

6. Wajib mengoperasikan toko miliknya sesuai dengan Pedoman Praktis Operasional dan Administrasi yang telah ditetapkan.

7. Wajib memberikan informasi/bukti-bukti transaksi dalam hal dilaksanakan audit intern oleh pemberi waralaba.

Analisis Penyelesaian Terhadap Contoh Kasus

Secara konseptual perjanjian waralaba dikecualikan jika memenuhi syarat-syarat perjanjian waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam contoh perjanjian di atas memuat kesepakatan yang dapat berpotensi mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, yaitu klausula penetapan harga jual yang ditetapkan oleh pemberi waralaba.

Dalam perjanjian waralaba tersebut penerima waralaba diharuskan menjual barang-barang waralaba sesuai dengan daftar harga yang ditetapkan oleh pemberi waralaba ditambah dengan mark up 2%. Penetapan harga dalam perjanjian tersebut tidak melanggar UU No. 5 Tahun 1999, karena walaupun ditetapkan daftar harga jual, tetapi penerima waralaba diberikan kebebasan untuk menaikkan harga jual sebesar 2%. Sedangkan penetapan harga jual akhir dapat terkena ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, karena penetapan harga jual akhir tidak memberikan kebebasan kepada penerima waralaba sebagai pelaku usaha mandiri untuk menentukan sendiri harga jual barang-barang usaha waralaba tersebut. Jika penetapan mark up 2% menjadi ketentuan yang baku, yaitu yang harus diikuti oleh penerima waralaba, sehingga penerima waralaba tidak bebas menentukan harga jual dan tidak terjadi intra-brand competition, maka ketentuan tersebut dapat dikenakan ketentuan pengecualian menurut Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999.

Dalam perjanjian waralaba pada contoh di atas tidak terdapat persyaratan untuk membeli pasokan barang dan atau jasa hanya dari pemberi waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemberi waralaba, pembatasan wilayah, ataupun persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.

Dengan demikian, perjanjian waralaba tersebut dapat dikenakan pengecualian berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999.

Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, tidak dapat diterapkan secara mutlak mengingat tidak tertutup kemungkinan terjadi pembuatan suatu perjanjian yang berkaitan dengan waralaba tetapi dalam perjanjian tersebut memuat suatu klausula yang berpotensi terjadinya monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, dapat diterapkan sepanjang memenuhi kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan ketentuan dalam PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

 

   


VIII.3.3 PERJANJIAN PENETAPAN STANDAR TEKNIS PRODUK BARANG DAN ATAU JASA YANG TIDAK MENGEKANG DAN ATAU MENGHALANGI PERSAINGAN

Suatu industri umumnya kerap sekali menerapkan standardisasi dengan tujuan untuk efisiensi. Standar teknis produk barang atau jasa ini umumnya ditetapkan baik oleh Kementerian Perdagangan atau Perindustrian dan juga melalui asosiasi industri tersebut. Standardisasi ini diaplikasikan untuk jenis, tipe, ukuran produk sehingga diharapkan mampu untuk mengurangi biaya ekonomi yang timbul. Hal ini termasuk kegiatan inspeksi rutin yang dilakukan oleh asosiasi atau suatu badan untuk menjaga kesepakatan industri tersebut.

Dalam hal ini kegiatan suatu badan dapat diselaraskan dengan pengawasan dari kementerian terkait, misalnya Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Bila kegiatan ini dilakukan misalnya dalam rangka memfasilitasi usaha untuk menghambat persaingan, misalnya dalam penetapan harga, barulah dinyatakan melanggar hukum. Standardisasi produk dapat digunakan sebagai cara untuk menetapkan harga.415 Walaupun demikian, pembenaran dari tindakan penyeragaman melalui penetapan standar ini dilakukan adalah karena standardisasi ini juga diwajibkan oleh pemerintah sehingga tindakan standardisasi tidak semata mata dinyatakan ilegal walaupun berkaitan dengan harga atau produk itu sendiri.

Indonesia sendiri telah mengadopsi prinsip standardisasi ini dengan beberapa pertimbangan, antara lain ikut sertanya Indonesia dalam kerja sama ekonomi seperti Asean Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO) dan mengukuhkan masuknya globalisasi perdagangan. Hal ini memperluas gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara dan menjadikan pasar nasional bersifat terbuka terhadap barang dan atau jasa impor. Untuk mendukung pasar nasional dalam menghadapi proses globalisasi perdagangan tersebut, dipandang perlu untuk menyiapkan perangkat hukum nasional di bidang standardisasi yang tidak saja mampu menjamin perlindungan terhadap masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan hidup, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Perjanjian World Trade Organization (WTO), sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1994, khususnya mengenai Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT) yang mengatur mengenai standardisasi ditegaskan bahwa negara anggota wajib menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang standardisasi.

Standardisasi dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan


415 Lihat kasus Milk and Ice Cream Can Institute vs. FTC, 152 F2d, 478 (7th Cir.1946) di mana para manufaktur

pembuat kaleng es krim menyeragamkan ukurannya dan kemudian menetapkan harga yang serupa dengan berdasarkan perhitungan dari penyeragaman ukuran ini. Pengadilan menyatakan: ”that much of this (standardization) effort was to comply with various governmental regulations and for health purposes, but the fact still remains that it was easier to reach the goal of uniform prices on a standard product than one which was not”.

 

maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup, serta untuk membantu kelancaran perdagangan dan mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.

Untuk dapat meningkatkan efektifitas pengaturan di bidang standardisasi diperlukan adanya peranan dan kerja sama yang sinergik antara konsumen, pelaku usaha, ilmuwan dan instansi pemerintah. Dengan adanya standardisasi nasional maka akan ada acuan tunggal dalam mengukur mutu produk dan atau jasa di dalam perdagangan, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Adapun beberapa pedoman yang dikeluarkan dalam rangka mendukung standardisasi ini adalah berupa pedoman di bidang standardisasi nasional meliputi ketentuan-ketentuan yang lebih rinci sebagai penjabaran dari Sistem Standardisasi Nasional untuk digunakan sebagai panduan di dalam melaksanakan kegiatan standardisasi. Pedoman tersebut antara lain berupa Pedoman Perumusan SNI, Pedoman Penulisan SNI, Pedoman Kaji Ulang SNI dan Pedoman Penerapan SNI.416 Sesuai dengan Agreement on Technical Barrier to Trade dan Sanitary and Phyto Sanitary yang diatur dalam Agreement on World Trade Organization (Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia), ditegaskan bahwa negara anggota harus menjamin dalam peraturan teknis mengenai pemberlakuan standar secara wajib bahwa produk yang diimpor tidak boleh diperlakukan berbeda dengan produk dalam negeri atau produk yang diimpor dari negara lainnya. Berkaitan dengan hal dimaksud, setiap negara berkewajiban untuk menotifikasikan kepada WTO setiap rencana regulasi atau rencana pemberlakuan standar secara wajib, untuk memperoleh tanggapan dari negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia.

Regulasi dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain di bidang perindustrian, ketenagalistrikan, kesehatan, perlindungan konsumen dan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan kegiatan standardisasi nasional.

Saat ini pemerintah Indonesia menerapkan SNI dengan mengadopsi WTO Code of good practice, yaitu:

1. Openess (keterbukaan): Terbuka agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI;

2. Transparency (transparansi): Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap penetapannya. Dapat dengan mudah memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI;

3. Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak): Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil;

4. Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

5. Coherence: Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan internasional; dan


416 SNI yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan dan keamanan umum antara lain SNI tentang alat- alat yang berkaitan dengan gas bertekanan tinggi, kabel listrik, dan lain-lain. SNI yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan masyarakat antara lain SNI tentang obat, bahan obat, alat dan perbekalan kesehatan, makanan yang dibubuhi zat tambahan dan lain-lain. SNI yang berkaitan dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup antara lain SNI tentang nilai ambang batas, limbah, dan lain-lain. SNI yang berkaitan dengan pertimbangan ekonomis adalah SNI yang terkait dengan barang ekspor atau SNI yang dapat meningkatkan nilai tambah seperti SNI tentang karet remah.

 

6. Development dimension (berdimensi pembangunan): Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.417


Untuk itu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (PP No. 102 Tahun 2000)418 dengan pertimbangan mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan atau personel, yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup dan lain-lain.

Dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan beberapa ketentuan, yaitu:

1. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat- syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

2. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pihak.

3. Standar Nasional Indonesia (SNI), adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional.

4. Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI), adalah rancangan standar yang dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang terkait.

5. Perumusan Standar Nasional Indonesia adalah rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait.

6. Penetapan Standar Nasional Indonesia adalah kegiatan menetapkan Rancangan Standar Nasional Indonesia menjadi Standar Nasional Indonesia.

7. Penerapan Standar Nasional Indonesia adalah kegiatan menggunakan Standar Nasional Indonesia oleh pelaku usaha.

8. Revisi Standar Nasional Indonesia adalah kegiatan penyempurnaan Standar Nasional Indonesia sesuai dengan kebutuhan.

9. Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan Standar Nasional Indonesia secara wajib terhadap barang dan atau jasa.

10. Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), yang menyatakan bahwa suatu lembaga/laboratorium telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu.

11. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan atau jasa.

12. Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.

417 (Sumber Strategi BSN 2006-2009), Distribusi SNI menurut sector ICS terbagi menjadi 9 sektor sebagai berikut: Agriculture and food technology, Construction, Electronics, information technology and communication, Engineering technology, Generalities, infrastructure and science, Materials technology Special technology, Transportation and distribution of foods.

418 Peraturan Pemerintah ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia.

 

13. Tanda SNI adalah tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada barang kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan Standar Nasional Indonesia.

14. Sistem Standardisasi Nasional (SSN), adalah tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional, yang meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi, metrologi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerja sama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan dan pendidikan dan pelatihan standardisasi.

15. Badan Standardisasi Nasional (BSN), adalah Badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Tujuan dari dilakukannya standardisasi nasional yang mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan metrologi teknik, standar, pengujian dan mutu adalah untuk:

1. meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup;

2. membantu kelancaran perdagangan;

3. mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.419


Pelaksanaan dan pengawasan standardisasi dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang akreditasi dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang bertugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Sedangkan pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang standar nasional untuk satuan ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). KSNSU mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran.

Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi produsen, konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan, keselamatan, kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan standardisasi secara nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem nasional yang mampu mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang dan/atau jasa serta mampu memfasilitasi penerimaan produk nasional dalam transaksi pasar global. Dari sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global.

Adapun pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang standar nasional untuk satuan ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran. BSN menyusun dan menetapkan sistem standardisasi nasional dan pedoman di bidang standardisasi nasional yang merupakan dasar dan pedoman pelaksanaan yang harus diacu untuk setiap kegiatan standardisasi di Indonesia. Adapun SNI disusun melalui proses perumusan Rancangan SNI oleh panitia teknis melalui konsensus dari semua pihak yang terkait yang kemudian menjadi SNI oleh Kepala BSN. BSN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 yang merupakan lembaga pemerintah nondepartemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. Badan ini menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional – DSN.


419 Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

 

SNI diterapkan di seluruh wilayah Republik Indonesia dan bersifat sukarela diterapkan oleh pelaku usaha. Penerapan SNI dilakukan melalui kegiatan sertifikasi dan akreditasi yang diberikan sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI. Di samping bersifat sukarela, maka ada pelaku usaha yang menerapkan SNI yang diberlakukan secara wajib, harus memiliki sertifikat dan atau tanda SNI. Di samping itu pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang dan atau jasa, yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan SNI yang telah diberlakukan secara wajib dikenakan sama, baik terhadap barang dan atau jasa produksi dalam negeri maupun terhadap barang dan atau jasa impor.

Kegiatan standardisasi yang meliputi standar dan penilaian kesesuaian (conformity assessment) secara terpadu perlu dikembangkan secara berkelanjutan khususnya dalam memantapkan dan meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus perdagangan dan melindungi kepentingan umum. Untuk membina, mengembangkan serta mengkoordinasikan kegiatan di bidang standardisasi secara nasional menjadi tanggung jawab BSN.

Dengan melihat kepada perjanjian sebagaimana diatur dalam definisi yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7420 diartikan sama dengan perbuatan, artinya perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan pengecualian untuk jenis perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan adalah dapat merujuk kepada jenis penetapan standar sebagaimana yang diamanatkan oleh PP No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Dari sudah pandang hukum persaingan, prasyarat untuk tunduk pada standardisasi ini dapat saja diartikan sebagai hambatan (barrier) bagi pelaku usaha, artinya bila pelaku usaha tidak mampu untuk tunduk sesuai standar maka menjadi hambatan untuk dapat masuk ke pasar. Tetapi bila mengacu kembali kepada Pedoman Pasal 50 huruf a di mana PP termasuk sumber peraturan yang dapat dikecualikan maka pengecualian ini dapat melihat pada jenis-jenis perjanjian yang berkaitan dengan penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa mana sajakah yang dapat dikecualikan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 huruf a tersebut. Sampai saat ini KPPU belum mengeluarkan pedoman mengenai pengaturan pengecualian ini.


VIII.3.4 PERJANJIAN DALAM RANGKA KEAGENAN YANG ISINYA TIDAK MEMUAT KETENTUAN UNTUK MEMASOK KEMBALI BARANG DAN ATAU JASA DENGAN HARGA LEBIH RENDAH DARIPADA HARGA YANG TELAH DIPERJANJIKAN

Perjanjian sebagaimana diatur dalam definisi yang dirumuskan dalam Bab I, Pasal 1 angka 7421 diartikan sama dengan perbuatan, artinya perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian keagenan atau (distributorship) adalah sesuatu yang wajar dilakukan. Tindakan yang melanggar hukum persaingan mengenai perjanjian keagenan ini pada dasarnya telah diatur dalam hambatan yang sifatnya vertikal (vertical restraint) sebagaimana diatur dalam Pasal 8, 14, 15, 16 UU No. 5 Tahun








420 Pasal 1 angka 7: suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau

lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

421 Ibid.

 

1999.422 Dalam teori ekonomi, perjanjian tentang keagenan sebenarnya banyak juga memberikan efek positif berupa efisiensi ataupun menghindarkan adanya free rider423 . UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur tentang penetapan harga jual kembali pada Pasal 8 yang mengatakan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.


Oleh sebab itu, harus dilihat dengan hati-hati bahwa perjanjian keagenan (distributorship, dealership agreement) sifatnya dikecualikan atau dibenarkan, tetapi isi klausula dari perjanjian tersebut adalah tidak serta merta dibenarkan (tidak dikecualikan) dari pengaturan Pasal 8 yang melarang perjanjian mengenai penetapan harga jual kembali sebagaimana disebutkan di atas.

Dalam hal regulasi yang ada tercatat bahwa Menteri Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat dan Tanda Daftar Agen atau Distributor Barang dan atau Jasa. Dalam pertimbangan Pemerintah disebutkan bahwa era globalisasi dan pasar bebas memberi kesempatan yang sama bagi pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam pemasaran barang dan/atau jasa guna terciptanya iklim usaha yang kondusif dan mengendalikan distribusi barang dan/atau jasa secara tertib dan lancar melalui agen dan/atau distributor, diarahkan untuk memberikan perlindungan konsumen, serta memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha. Dalam peraturan ini diatur hal-hal sebagai berikut ini:

1. Prinsipal adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai. Prinsipal dibedakan menjadi prinsipal produsen dan prinsipal supplier.

2. Prinsipal produsen adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, berstatus sebagai produsen yang menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal untuk melakukan penjualan atas barang hasil


422 Pasal 8: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 14: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Pasal 15: (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari perilaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: (a) harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau (b) tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Pasal 16: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 423 Free rider is a person who is able to take advantage of the services offered by someone else without paying for them.

Misalnya bila ada seorang retailer menjual suatu produk dari distributor menawarkan produk tersebut sekaligus dengan pelayanan purna jual, ruang pamer dan iklan di mana keseluruhan sarana ini termasuk dalam harga jual produk tersebut. Sementara retailer yang lain menjual produk yang sama tetapi tidak menawarkan pelayanan yang demikian, maka retailer ini dapat menjual produk tersebut dengan harga lebih murah dari retailer yang lain karena tidak mengeluarkan biaya tambahan. Jenis jenis fasilitas free rider yang umumnya menjadikan biaya tambahan bagi distributor adalah: iklan, ruang pamer, pelatihan untuk staff dan upaya menjaga kualitas dan reputasi.

 

produksi dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.

3. Prinsipal supplier adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang ditunjuk oleh prinsipal produsen untuk menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal sesuai kewenangan yang diberikan oleh prinsipal produsen.

4. Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya.

5. Distributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.

6. Hak eksklusif adalah hak istimewa yang diberikan oleh prinsipal kepada perusahaan perdagangan nasional sebagai agen tunggal atau distributor tunggal.

7. Agen tunggal adalah perusahaan perdagangan nasional yang mendapatkan hak eksklusif dari prinsipal berdasarkan perjanjian sebagai satu-satunya agen di Indonesia atau wilayah pemasaran tertentu.

8. Distributor tunggal adalah perusahaan perdagangan nasional yang mendapatkan hak eksklusif dari prinsipal berdasarkan perjanjian sebagai satu-satunya distributor di Indonesia atau wilayah pemasaran tertentu.

9. Sub agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan penunjukan atau perjanjian dari agen atau agen tunggal untuk melakukan pemasaran.

10. Subdistributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan penunjukan atau perjanjian dari distributor atau distributor tunggal untuk melakukan pemasaran dan seterusnya.


Untuk pendaftaran dan kewenangan dari setiap perusahaan perdagangan nasional yang membuat perjanjian dengan prinsipal barang atau jasa produksi luar negeri atau dalam negeri sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal wajib didaftarkan di Kementerian Perdagangan untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran. Kemudian agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal yang telah memperoleh STP dapat menunjuk subagen atau subdistributor yang wajib didaftarkan di Kementerian Perdagangan untuk memperoleh STP.

Dalam hal ini Menteri memiliki kewenangan pengaturan pendaftaran keagenan atau distributor yang melimpahkan kewenangan itu kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang juga melimpahkan kewenangan kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan.

Penunjukan agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal dapat dilakukan oleh :

1. Prinsipal produsen;

2. Prinsipal supplier berdasarkan persetujuan dari prinsipal produsen;

3. Perusahaan Penanaman Modal Asing yang bergerak di bidang perdagangan sebagai distributor/

wholesaler;

4. Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing.


Untuk Perusahaan Penanaman Modal Asing dalam melaksanakan kegiatan usaha perdagangan harus:

 

1. menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal;

2. penunjukkan dibuat dalam bentuk perjanjian yang dilegalisir oleh notaris;

3. perjanjian dengan perusahaan perdagangan nasional harus mendapat persetujuan tertulis dari prinsipal produsen yang diwakilinya di luar negeri.


Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing yang sudah memiliki Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (SIUP3A) dalam melaksanakan kegiatan usaha perdagangan harus :

1. menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal;

2. penunjukkan dalam bentuk perjanjian yang dilegalisir oleh notaris;

3. perjanjian dengan perusahaan perdagangan nasional harus mendapat persetujuan tertulis dari prinsipal produsen yang diwakilinya di luar negeri.


Untuk tata cara dan persyaratan pendaftaran permohonan pendaftaran agen, agen tunggal, subagen, distributor, distributor tunggal atau subdistributor barang dan/atau jasa produksi luar negeri atau dalam negeri disampaikan secara tertulis kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan, Departemen Perdagangan yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.424 Khusus untuk Pendaftaran agen/distributor barang dan/atau jasa produksi luar negeri permohonan atau perpanjangan pendaftaran sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal barang dan/atau jasa produksi luar negeri disampaikan kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan, dengan melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan wajib dilengkapi dengan :

1. Konfirmasi dari prinsipal yang telah dilegalisir oleh notary public dan surat keterangan dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara


424 Pasal 8: Permohonan pendaftaran sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal barang

dan/atau jasa produksi luar negeri disampaikan kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan dengan melampirkan dokumen:

a. Perjanjian yang telah dilegalisir oleh notary public dan surat keterangan Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Pejabat Kantor Perwakilan RI di negara prinsipal, dengan memperlihatkan aslinya;

b. Apabila perjanjian dilakukan oleh prinsipal supplier, prinsipal supplier berkewajiban menunjukkan kewenangan dari prinsipal produsen;

c. Copy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);

d. Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang masih berlaku;

e Copy Angka Pengenal Impor Umum (API-U) yang masih berlaku, khusus untuk distributor atau distributor tunggal;

f. Copy Akta Pendirian Perusahaan dan/atau Akta Perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang;

g. Copy pengesahan Badan Hukum dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bagi Perseroan Terbatas;

h. Khusus bagi agen atau agen tunggal, membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa tidak melakukan penguasaan dan penyimpanan barang yang diageni;

i. Asli leaflet/brosur/katalog dari prinsipal untuk jenis barang dan/atau jasa yang diageni;

j. Copy surat izin atau surat pendaftaran lainnya dari instansi teknis yang masih berlaku untuk jenis barang tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku;

k. Copy Surat Izin Usaha Tetap/Surat Persetujuan BKPM apabila perjanjian dilakukan dengan Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang distributor/wholesaler;

l. Copy Surat Izin Usaha Perusahaan Perwakilan Perdagangan Asing (SIUP3A) apabila perjanjian dilakukan dengan Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing.

 

prinsipal dengan memperlihatkan aslinya;

2. Laporan kegiatan perusahaan setiap 6 (enam) bulan;

3. STP asli yang dimintakan perpanjangannya.


Agen, agen tunggal, subagen, distributor, distributor tunggal atau subdistributor berhak mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pelayanan purnajual dari prinsipal, serta secara teratur mendapatkan informasi tentang perkembangan produk. Bila diperlukan, agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal dapat mempekerjakan tenaga ahli warga negara asing dalam bidang teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal wajib melindungi kepentingan dan kerahasiaan prinsipal terhadap barang dan/atau jasa yang diageni sesuai yang disepakati dalam perjanjian. Prinsipal produsen yang memasok barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu paling sedikit 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang atau pelayanan purnajual dan memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.425

Perikatan antara prinsipal dengan agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal barang dan/atau jasa produksi dalam dan luar negeri harus berbentuk perjanjian yang dilegalisir notary public dan surat keterangan dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Pejabat Kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara prinsipal. Prinsipal dapat membuat perjanjian hanya dengan satu agen tunggal atau distributor tunggal untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dari suatu merek di wilayah pemasaran tertentu untuk jangka waktu tertentu.

Prinsipal dapat membuat perjanjian dengan satu atau lebih agen atau distributor untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dari suatu merek di wilayah pemasaran tertentu di luar wilayah pemasaran agen tunggal atau distributor tunggal. Dalam hal prinsipal membuat perjanjian lebih dari satu agen atau distributor, prinsipal wajib menyebutkan nama-nama agen atau distributor yang telah ditunjuk. Apabila terdapat perjanjian lebih dari satu agen tunggal atau distributor tunggal oleh prinsipal untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dari suatu merek dalam wilayah pemasaran tertentu, maka STP diberikan kepada pemohon pertama. Perjanjian tersebut paling tidak memuat:

1. Nama dan alamat lengkap pihak-pihak yang membuat perjanjian;

2. Maksud dan tujuan perjanjian;

3. Status keagenan atau kedistributoran;

4. Jenis barang dan/atau jasa yang diperjanjikan;

5. Wilayah pemasaran;

6. Hak dan kewajiban masing-masing pihak;

7. Kewenangan;

8. Jangka waktu perjanjian;

9. Cara-cara pengakhiran perjanjian;

10. Cara-cara penyelesaian perselisihan;

11. Hukum yang dipergunakan;

12. Tenggang waktu penyelesaian.


Dari ketentuan Peraturan Menteri tersebut maka terlihat beberapa aturan yang bertentangan dengan prinsip dalam hukum persaingan, misalnya antara prinsipal dapat membuat perjanjian hanya dengan satu agen tunggal atau distributor tunggal untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama

425 Pasal 20 Kep. Men Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat dan Tanda Daftar Agen atau Distributor Barang dan atau Jasa.

 

dari suatu merek di wilayah pemasaran tertentu untuk jangka waktu tertentu (pembagian wilayah dan produk). Bila melihat beberapa unsurnya maka jenis perjanjian ini dapat mengacu kepada pengecualian sebagaimana jenis perjanjian yang dikecualikan dalam Pasal 50 huruf a yaitu dengan dasar hukum Peraturan Menteri. Pengecualian Pasal 50 huruf d memang ditujukan untuk perjanjian dalam rangka keagenan tetapi isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan (kecuali mengenai pembagian wilayah pemasaran dan produk).

Saat ini KPPU telah memiliki pedoman mengenai Pasal 50 huruf d yaitu Peraturan KPPU No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanan Pasal 50 huruf d tentang Pengecualian dari Ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

Pasal 50 huruf d termasuk salah satu pasal yang tidak mudah diterapkan dalam kasus-kasus tertentu. Hal ini disebabkan karena bunyi teksnya memungkinkan berbagai penafsiran, khususnya tentang makna keagenan. Pasal tersebut berbunyi:

“Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan”.


Dalam perkembangan ilmu hukum, makna keagenan dapat ditafsirkan secara luas (broad terms) dan sempit (narrow terms), tergantung pada konteksnya. Keagenan dalam arti luas mencakup semua hubungan hukum antara yang diwakili (principal) dengan yang mewakili (agent) termasuk segala akibat hukumnya. Misalnya hubungan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa (lastgeving); hubungan antara Perseroan Terbatas dengan direksinya; hubungan antara majikan dengan buruh; hubungan antara client dengan pengacaranya; hubungan antara produsen dengan distributor dan sebagainya.

Dalam arti sempit biasanya hubungan keagenan hanya mencakup hubungan antara produsen dengan agen, di mana agen di sini merupakan seorang wakil yang bertindak atas nama (on behalf) produsen dalam hubungannya dengan pemasaran atau penjualan produk yang bersangkutan. Dalam hubungan ini, seorang agen secara hukum hanya mewakili produsen, dan oleh karenanya tidak terikat dalam hak dan kewajiban atas kontrak yang dibuatnya atas nama produsen. Apakah perjanjian keagenan yang disebutkan dalam Pasal 50 huruf d termasuk dalam kategori keagenan dalam arti luas atau keagenan dalam arti sempit? Ketidakjelasan ini berakibat pada sulitnya penerapan ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d.

Penjelasan terhadap masing-masing unsur dalam ketentuan Pasal 50 huruf d adalah:

1. Perjanjian

Pengertian “perjanjian” dalam ketentuan Pasal 50 huruf d ini mencakup pengertian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 UU No 5 Tahun 1999, yaitu suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun baik tertulis maupun tidak tertulis.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum.


2. Keagenan

a. Keagenan dalam arti luas mencakup semua hubungan hukum antara yang diwakili

 

(principal) dengan yang mewakili (agent), termasuk segala akibat hukumnya. Misalnya hubungan antara pemberi kuasa dengan pemberi kuasa (lastgeving), hubungan antara Perseroan Terbatas dengan Direksinya, hubungan antara majikan dengan buruh, hubungan antara client dengan pengacaranya, hubungan antara produsen dengan distributor dan sebagainya.

b. Keagenan dalam arti sempit hanya mencakup hubungan antara produsen dengan agen, di mana agen hanyalah seorang wakil yang bertindak untuk dan atas nama (on behalf) produsen dalam hubungannya dengan pemasaran atau penjualan produk yang bersangkutan. Dalam hubungan ini, seorang agen secara hukum hanya mewakili produsen, dan oleh karenanya tidak terikat dalam hal dan kewajiban atas kontrak yang dibuatnya atas nama produsen.


Oleh karena itu, keagenan yang dimaksud dalam pedoman ini adalah keagenan dalam arti sempit, yaitu agen yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Artinya, agen hanya mewakili produsen yang tidak terikat dalam hak dan kewajiban atas kontrak yang dibuatnya atas nama produsen. Hal ini sesuai dengan definisi agen yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Perdagangan no 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen Atau Distributor Barang dan atau Jasa.426

Secara umum berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum, maka ciri-ciri agen adalah:

a. Agen bertindak untuk dan atas nama produsen / prinsipal (on behalf);

b. Tidak memiliki hak milik atas barang/jasa;

c. Tidak memiliki hak untuk menentukan harga;

d. Tidak menanggung risiko atas barang/jasa yang diperdagangkan.


Pengertian agen dalam Pasal 50 huruf d harus diartikan dalam arti sempit sehingga diperoleh suatu kepastian hukum atas aturan yang ada. Agen dalam Pasal 50 huruf d diartikan sebagai agen sesungguhnya/agen murni (genuine agent) yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal, serta tidak menanggung risiko perjanjian yang dilakukan agen dengan pihak ketiga (karena ditanggung oleh prinsipal).

Jadi perjanjian keagenan pada tingkat pertama di mana agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal seharusnya dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999. Jika suatu agen bertindak sebagai pelaku usaha mandiri atau disebut agen semu, maka segala tindakan (perilaku) agen semu tersebut tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999, karena dia bertindak untuk dan atas namanya sendiri.


. Pada dasarnya perjanjian keagenan, dalam hal ini perjanjian antara prinsipal dan agen, merupakan perjanjian pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata, sehingga apabila terjadi perjanjian antara agen dan pihak ketiga, maka pada dasarnya perjanjian tersebut hanya mengikat prinsipal dan pihak ketiga dengan siapa agen melakukan transaksi.


426 Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama

prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan atau jasa yang dimiliki / dikuasai oleh principal yang menunjukannya.

 

Pengertian perjanjian keagenan dapat mengacu pada buku Himpunan Peraturan Keagenan dan Distributor yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan RI (2006), bahwa “perjanjian keagenan adalah perjanjian antara prinsipal dan agen di mana prinsipal memberikan amanat kepada agen untuk dan atas nama prinsipal menjualkan barang dan atau jasa yang dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal.427

Isi perjanjian keagenan secara umum adalah sebagai berikut :

a. Agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal

Dalam suatu perjanjian keagenan yang sesungguhnya (murni), agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Artinya, perjanjian jual beli yang dilakukan agen dengan pihak ketiga untuk dan atas nama prinsipal atau produsen. Agen adalah hanya sebagai perpanjangan tangan dari prinsipal atau produsen.

b. Harga jual suatu barang atau jasa ditetapkan oleh prinsipal

Dalam suatu perjanjian keagenan di mana prinsipal menetapkan harga jual suatu barang atau jasa yang akan dijual atau dipasarkan oleh agen. agen memasarkan (menjual) barang prinsipal kepada pihak ketiga sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh prinsipal. Agen tidak mengubah harga jual tersebut kepada pihak ketiga.

c. Prinsipal menanggung risiko akibat perjanjian yang dilakukan agen dengan pihak ketiga

Dalam perjanjian keagenan yang dikecualikan, prinsipal menanggung risiko jual beli yang dilakukan oleh agen dengan pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena hubungan hukum yang timbul dari perjanjian antara agen dengan pihak ketiga sesungguhnya hanya mengikat prinsipal dan pihak ketiga yang dimaksud. Oleh karenanya risiko sebagai salah satu akibat dari hubungan hak dan kewajiban yang diakibatkan adanya perjanjian tersebut sepenuhnya ditanggung oleh prinsipal dan bukan agen.

d. Hubungan prinsipal dengan agen sebagai hubungan kerja berada posisi tingkat pertama

Dalam perjanjian keagenan ditetapkan, bahwa hubungan prinsipal dengan agen adalah merupakan hubungan kerja, namun bukan dalam arti hubungan antara perusahaan dengan karyawan (biasanya dalam konteks hubungan perburuhan). Dalam hubungan keagenan, prinsipal mengontrol seluruh perilaku agen dalam melaksanakan tugasnya. Agen harus melaksanakan setiap ketentuan yang ditetapkan oleh prinsipal. Jika agen dalam melakukan perjanjian dengan pihak ketiga menyimpang dari yang disepakati antara prinsipal dengan agen, maka agen akan menanggung risiko perjanjian tersebut, kecuali sebelumnya agen mendapatkan persetujuan dari prinsipal.

e. Agen mendapat komisi atau salary dari hubungan kerja antara prinsipal dengan agen Dalam hubungan keagenan, agen berhak mendapatkan komisi dari prinsipal sesuai dengan yang diperjanjikan. Jadi, dalam kaitan hubungan kerja berupa keagenan, agen bukanlah karyawan prinsipal, melainkan hubungan khusus yang ditetapkan dalam perjanjian keagenan, seperti halnya hubungan pelayanan jasa pada umumnya. Oleh karenannya agen tidak mendapatkan gaji dari prinsipal melainkan mendapatkan


427 Departemen Perdagangan RI, Himpunan Peraturan Keagenan dan Distributor, (Jakarta Direktorat Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri 2006), hal. 8 & 17.

 

komisi tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.

Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian keagenan yang dikecualikan adalah jika:

a. Agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal;

b. Harga jual suatu barang atau jasa ditetapkan oleh prinsipal;

c. Prinsipal menanggung risiko akibat perjanjian antara agen dengan pihak ketiga;

d. Hubungan antara prinsipal dengan agen adalah hubungan kerja yang berada pada tingkat pertama;

e. Agen mendapatkan komisi atau salary dari hubungan kerja tersebut


Dari penjelasan di atas, sebaliknya dapat disimpulkan suatu perjanjian keagenan yang tidak dikecualikan adalah jika:

a. Agen bertindak untuk dan atas namanya sendiri;

b. Agen bebas menetapkan harga jual barang atau jasa;

c. Agen menanggung risiko akibat perjanjian dengan pihak ketiga dalam penjualan / pemasaran barang atau jasa prinsipal;

d. Hubungan agen dengan prinsipal adalah suatu hubungan sebagai antara penjual dan pembeli;

e. Agen tidak mendapatkan komisi atau salary dari prinsipal, tetapi berupa hasil keuntungan dari penjualan barang atau jasa prinsipal.


3. Isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan /atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan

Harga yang diperjanjikan adalah harga yang telah ditetapkan oleh prinsipal dengan agen. Ketentuan Pasal 50 huruf d menuntut bahwa di dalam perjanjian keagenan tersebut tidak menetapkan suatu ketentuan untuk memasok kembali dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan. Tuntutan Pasal 50 huruf d sebenarnya adalah suatu konsekuensi dari perjanjian keagenan secara otomatis, bahwa di dalam suatu perjanjian keagenan tidak boleh memuat ketentuan untuk memasok kembali suatu barang atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada yang telah ditetapkan oleh prinsipal kepada agen. Artinya adalah sesuatu yang mustahil jika di dalam perjanjian keagenan terdapat klausula atau ketentuan untuk memasok kembali barang atau jasa tertentu dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan. Hal ini disebabkan karena agen memang tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan harga. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan prinsipal. Agen hanya bertindak untuk dan atas nama prinsipal.

 

Ilustrasi Perjanjian Keagenan:

(a) perjanjian Keagenan

(b) perjanjian dengan pihak ketiga untuk dan atas

nama Produsen



Berdasarkan ilustrasi di atas:

1. Menggambarkan hubungan antara produsen dengan agen, hubungan ini dikenal sebagai kontrak keagenan.

2. Menggambarkan hubungan antara agen dengan pihak ketiga, kontrak antara agen dengan pihak ketiga berdasarkan kepada mandate dari produsen dan dilakukan untuk dan atas nama produsen.

Seorang agen ketika berhubungan dengan pihak ketiga dilakukan atas mandate yang dibebankan oleh produsen. Risiko atas pelaksanaan mandat tersebut sepenuhnya ditanggung oleh produsen. Agen hanyalah pihak yang mewakili produsen dalam memasarkan atau menjual produk dari produsen di suatu daerah atau wilayah tertentu sesuai dengan yang diperjanjikan. Penentuan tentang hak dan kewajiban, termasuk harga, juga sepenuhnya menjadi hak produsen (prinsipal). Seorang agen hanyalah “penyambung lidah” produsen. Ia tidak menanggung risiko atas hubungan hukum antara produsen dengan pihak ketiga, dengan siapa seorang agen menutup perjanjian atas nama produsen.


Keterkaitan Pasal 50 huruf d dengan pasal lain dalam UU No. 5 Tahun 1999 dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang dikecualikan menurut Pasal 50 huruf d adalah agen yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal, dengan demikian, di antara agen tidak akan terjadi persaingan, khususnya dalam hal harga jual suatu barang dan atau jasa tertentu, karena masing-masing agen diberikan perintah yang sama oleh pihak prinsipal untuk menjual barang dan atau jasa dengan harga yang sama. Agen tidak dapat menaikkan atau menurunkan harga dari harga yang telah ditetapkan oleh prinsipal.

Selain itu, perjanjian keagenan yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf d adalah perjanjian keagenan pada level pertama yaitu langsung ditetapkan oleh produsen (prinsipal). Untuk itu di dalam perjanjian keagenan harus jelas dan tegas ditetapkan hak dan kewajiban antara agen dengan prinsipal.

Dengan pemahaman ini berarti ketentuan Pasal 50 huruf d harus diterapkan secara terpisah (otonom), tidak dapat diterapkan bersamaan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 8 dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.

 

Bila agen menjual barang dan atau jasa kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan atau di antara agen terjadi persaingan harga, maka agen tersebut tidak dikecualikan dari ketentuan Pasal 50 huruf d UU No. 5 Tahun 1999. Sedangkan Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur tentang larangan melakukan perjanjian eksklusif dengan persyaratan tertentu. Penetapan harga yang dikecualikan oleh Pasal 50 huruf d bukan penetapan harga level kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ini, melainkan pada tingkat pertama, yaitu langsung ditetapkan oleh prinsipal.

Kasus VIII.3


Kasus VIII.4


 

 


Kasus VIII.5


Salah satu contoh agen yang mungkin dapat dikecualikan atau tidak dikecualikan menurut Pasal 50 huruf d adalah Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) mobil. Untuk mengetahui dengan pasti apakah ATPM itu dikecualikan atau tidak dikecualikan harus dilihat isi perjanjian antara prinsipal dengan ATPM yang ada di Indonesia. Apakah ATPM seratus persen sebagai agen dari produsen yang tidak berhak mengubah harga penjualannya kepada dealer mobil ataukah ATPM tersebut berhak menentukan harga jual di Indonesia?

ATPM sebelumnya adalah agen tunggal pemegang merek dari suatu produsen mobil tertentu, ketika sektor otomotif diliberalisasi melalui Paket Deregulasi 24 Juni 1999, maka ATPM tidak lagi sepenuhnya menjadi agen, namun juga sekaligus sebagai distributor. Produsen otomotif asing mulai mengijinkan importir umum memasarkan merek kendaraan yang sudah diageni oleh ATPM. Sebagai akibat dari liberalisasi otomotif tersebut terjadi persaingan harga antara ATPM dengan importir umum pada pasar bersangkutan.

Secara faktual, ATPM bukan lagi sebagai agen tunggal, sehingga ijin ATPM yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya sudah dicabut. ATPM dalam contoh kasus ini tidak lagi berkedudukan sebagai agen melainkan sebagai distributor yang bersaing dengan distributor- distributor lainnya, oleh karenanya tidak dikecualikan dari UU No. 5 tahun 1999.

Apabila perusahaan ATPM masih berkedudukan sebagai “agen tunggal pemegang merek” maka berdasarkan Undang-Undang Merek, sesungguhnya berhak mengajukan tuntutan atas pelanggaran merek kepada pengguna merek yang bersangkutan di wilayah RI sesuai dengan klausula “agen tunggal pemegang merek”, namun jika dia adalah distributor maka kedudukannya adalah sama dengan distributor-distributor lainnya dan oleh karena itu tunduk pula pada UU No. 5 Tahun 1999.

 

Kasus VIII.6


Salah satu contoh agen yang dikecualikan yang menjual barang atau jasa dari beberapa prinsipal, di mana masing-masing prinsipal mengadakan perjanjian dengan agen tersebut. PT X menjadi agen PT A, PT B dan PT C, yang menawarkan jasa PT A, PT B, dan PT C kepada konsumen. Di dalam perjanjian keagenan antara PT A dan masing-masing PT A, PT B dan PT C ditetapkan bahwa PT X menjual jasa PT A, PT B dan PT C untuk dan atas nama PT A, PT B dan PT C.

Agen tidak berhak menentukan harga jual jasa PT A, PT B dan PT C melainkan ditetapkan oleh masing-masing prinsipal. PT X hanya mendapatkan komisi dari hasil penjualan jasa masing-masing prinsipal. Jadi PT X sekaligus menjadi agen dari tiga perusahaan dan menjual jasa yang sejenis. Walaupun PT X menjual atau memasarkan jasa dari beberapa prinsipal, maka perjanjian keagenan antara PT X dengan PT A, PT B dan PT C dikecualikan dari penerapan UU No. 5 tahun 1999, karena PT X bertindak untuk dan atas nama PT A, PT B dan PT C dalam memasarkan jasa masing-masing.

Akan tetapi jika PT X dalam memasarkan jasa PT A, PT B dan PT C atas namanya sendiri, menentukan harga jual sendiri dan menanggung risiko sendiri atas penjualan jasa kepada pihak ketiga maka perjanjian keagenan antara PT X dengan PT A, PT B dan PT C tunduk pada UU No. 5 Tahun 1999.

Penerapan Pasal 50 huruf d dalam Putusan KPPU menggunakan metode deduktif sebagai berikut:


Premis Major

Di dalamnya berupa penjabaran tentang substansi ketentuan umum yang terdapat dalam Pasal 50 huruf d tersebut, yang dimaksud sebagai perjanjian keagenan yang dikecualikan berdasarkan bunyi Pasal 50 huruf d adalah perjanjian keagenan yang kedudukan agennya hanya sebagai seorang penerima kuasa biasa yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal tanpa diberi wewenang untuk menentukan harga barang atau jasa yang menjadi obyeknya. Selanjutnya subyek atau agen yang dimaksud bukanlah agen mandiri melainkan agen yang s