HUKUM PERSAINGAN USAHA VII

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

VII. Merger (Penggabungan, Peleburan, Dan Pengambilalihan)

Pelaku usaha sebagai subjek ekonomi senantiasa berupaya untuk memaksimalkan keuntungan dalam menjalankan kegiatan usahanya (maximizing profit). Memaksimalkan keuntungan akan diupayakan oleh pelaku usaha dengan berbagai cara, dan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pelaku usaha adalah dengan metode merger dan akuisisi (selanjutnya akan disebut ‘merger’, kecuali disebutkan lain). Peningkatan keuntungan diharapkan dapat terjadi karena secara teori, merger dapat menciptakan efisiensi sehingga mampu mengurangi biaya produksi perusahaan hasil merger.

Efisiensi diharapkan dapat tercipta karena perusahaan hasil merger akan dapat mengeksploitasi skala ekonomi (economies of scale) dalam proses produksi. Skala ekonomi menjadi penting bila di dalam suatu pasar, biaya produksi yang diperlukan akan sangat tinggi dibandingkan dengan besarnya pasar. Selain itu efisiensi dapat juga dicapai dengan skema merger melalui eksploitasi economies of scope, efisiensi marketing, atau sentralisasi research and development.

Selain untuk alasan efisiensi, merger juga merupakan salah satu bentuk pelaku usaha untuk keluar dari pasar atau bagi pelaku usaha kecil jika dianggap tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk meneruskan usahanya330. Sehingga merger juga dapat menjadi salah satu jalan keluar jika pelaku usaha mengalami kesulitan likuiditas, sehingga kreditor, pemilik, dan karyawan dapat terlindungi dari kepailitan.

Merger juga menjadi jalan keluar bagi pelaku usaha dalam memenuhi peraturan pemerintah apabila masih ingin bertahan dalam pasar. Sebagai misal adanya program Arsitektur Perbankan Indonesia yang dijalankan oleh Bank Indonesia yang menginginkan peningkatan kecukupan rasio cadangan dari bank umum, membuat para pelaku usaha pemilik bank dihadapi 2 (dua) pilihan, yaitu menyuntikan dana tambahan atau melakukan merger

Tujuan ekonomi pada dasarnya adalah tujuan kepentingan umum. Dan masih menjadi perdebatan apakah tujuan ekonomi merupakan satu-satunya alasan dibuatnya kebijakan merger. Perlu diskusi mengenai ruang lingkup tujuan kepentingan umum dalam penyusunan kebijakan merger antara kriteria nonkompetisi secara umum dengan pengajuan merger pada sektor-sektor tertentu.

Kebijakan merger adalah bagian dari kebjiakan persaingan, yang juga merupakan bagian kebijakan publik yang cukup luas, yang mempengaruhi bisnis (kegiatan usaha), pasar, dan ekonomi. Mengapa kebijakan merger diperlukan? Ada dua alasan.


PENGERTIAN MERGER

Secara sederhana, merger, akuisisi dan konsolidasi, dapat diartikan sebagai “the act or an instance of combining or uniting”. Merger adalah bentuk penggabungan perusahaan atau bergabungnya dua atau lebih pelaku usaha yang independen334 atau berintegrasinya kegiatan yang dilakukan oleh dua pelaku usaha secara menyeluruh dan permanen.

Secara peraturan perundang-undangan, merger, akusisi, dan konsolidasi atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan memiliki perbedaan definisi. Definisi penggabungan dalam Pasal 1 butir 9 UU No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan Terbatas disebutkan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Sedangkan peleburan dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 40 Tahun 2007 dinyatakan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 40 Tahun 2007 disebutkan bahwa pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.

Definisi dari ketentuan di UU No. 40 Tahun 2007 ini pula yang digunakan dalam PP No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menjadi acuan dalam pengaturan merger terkait persaingan usaha di Indonesia.

Dalam ekonomi, merger dan akuisisi meski memiliki perbedaan pengertian namun sering digunakan untuk saling menggantikan (interchangeably). Akuisisi adalah pembelian sebagian atau keseluruhan perusahaan lain. Sedangkan merger diartikan sebagai tindakan korporasi secara legal di mana dua atau lebih perusahaan bergabung dan hanya menyisakan satu perusahaan yang terdaftar secara legal.

Secara komprehensif Henry Black memberi batasan merger sebagai berikut:

“Merger is an amalgamation of two corporations pursuant to statutory provision in which one of the corporations survives and the other disappears. The absorption of one company by another, the former losing its legal identity and latter retaining its own name and identity and acquiring assets, liabilities, franchises, and powers of former, and absorbed company ceasing exist as separate business entity.”


Fusi atau absorpsi terjadi melalui kombinasi 2 (dua) perusahaan atau lebih, di mana 1 (satu) di antaranya merupakan perusahaan yang lebih kecil yang akan kehilangan identitasnya dan bergabung atau menjadi bagian dari perusahaan lainnya yang tetap eksis (survive) dan tetap mempertahankan nama dan identitasnya.

 

BENTUK UMUM MERGER

Merger secara umum dapat terjadi dalam 3 (tiga) macam bentuk338, yaitu:

Merger horizontal terjadi apabila dua perusahaan yang memiliki lini usaha yang sama bergabung atau apabila perusahaan-perusahaan yang bersaing di industri yang sama melakukan merger. Dengan kata lain, merger horizontal adalah merger antar pesaing.

Merger vertikal melibatkan suatu tahapan operasional produksi yang berbeda yang saling terkait satu sama lainnya, mulai dari hulu hingga ke hilir. Merger vertikal adalah merger antara dua atau lebih perusahaan yang tidak saling bersaing, namun berada dalam rantai pasok (supply of chain) yang sama. Merger vertikal dapat juga berbentuk 2 jenis, yakni upstream vertical merger dan downstream vertical merger.

Merger konglomerat terjadi apabila 2 (dua) perusahaan yang tidak memiliki lini usaha yang sama bergabung. Dengan kata lain, merger konglomerat terjadi antara perusahaan-perusahaan yang tidak bersaing dan tidak memiliki hubungan penjual-pembeli.


Pada berbagai bentuk merger yang umumnya terjadi, yaitu merger horizontal, vertikal dan konglomerat, maka merger horizontal merupakan bentuk merger yang perlu diwaspadai oleh hukum persaingan. Pada merger jenis ini, dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam lini usaha yang sama bergabung menjadi satu entitas bisnis yang lebih besar. Jika perusahaan dengan lini usaha yang sama bergabung, maka secara otomatis jumlah pesaing di pasar akan berkurang. Hal inilah yang dapat merusak iklim persaingan, sebab semakin sedikit jumlah pesaing di dalam pasar, maka akan semakin kecil fleksibilitas persaingan di pasar yang bersangkutan. Pada akhirnya, kondisi ini akan merugikan masyarakat dan kepentingan umum.

Akibat dari berkurangnya jumlah pesaing dalam pasar serta semakin kuatnya posisi dominan perusahaan hasil merger di dalam pasar, maka potensi terjadinya hambatan masuk pasar (entry barrier) bagi pelaku usaha baru akan semakin besar. Hal inilah yang sangat membahayakan. Merger menjadi sangat berbahaya apabila situasi entry barrier ini muncul di dalam pasar.



MOTIVASI MERGER

Banyak alasan perusahaan untuk melakukan tindakan merger, namun utamanya adalah untuk menciptakan nilai lebih (value) bagi pemegang saham. Salah satu value yang tercipta dari merger adalah sinergi. Sinergi adalah kondisi ketika kinerja perusahaan hasil merger (gabungan) lebih tinggi dari kinerja ketika perusahaan berdiri sendiri terpisah. Nilai lebih yang muncul dari merger berasal dari efisiensi yang berhasil dicapai. Pengurangan duplikasi fasilitas akan dapat menghasilkan efisiensi.

Salah satu sumber efisiensi lain adalah skala ekonomis (economies of scale), di mana biaya per unit akan menjadi lebih murah ketika perusahaan memproduksi dalam jumlah output yang lebih besar. Selain dari produksi dan operasional perusahaan, efisiensi juga dapat muncul karena terciptanya pengelolaan (management) yang lebih baik ketika perusahaan melakukan merger.

Namun di sisi lain, terutama untuk merger horizontal, merger juga berdampak pada peningkatan market power. Peningkatan market power muncul karena merger horizontal akan meningkatkan pangsa pasar perusahaan hasil merger, dan tereliminasinya satu atau lebih pesaing, sehingga kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga menjadi meningkat. Peningkatan market power ini akan berdampak pada penurunan kesejahteraan konsumen di pasar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa merger dapat berdampak positif dalam bentuk efisiensi dan penurunan biaya namun pada saat yang bersamaan juga dapat meningkatkan market power. Tujuan dari kebijakan merger adalah memastikan bahwa keuntungan efisiensi yang dihasilkan merger lebih tinggi daripada peningkatan market power-nya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melarang sama sekali sebuah aktivitas merger, atau memberikan beberapa rekomendasi perubahan sebelum merger diperbolehkan.



PERLUNYA PENGATURAN MERGER

Membahas mengenai persaingan usaha tidak akan bisa tanpa membahas mengenai merger, karena merger dapat berpengaruh terhadap persaingan yang terjadi dalam suatu pasar. Selain itu larangan- larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan oleh perjanjian maupun kegiatan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 akan mudah untuk disimpangi melalui merger.

Dengan bahasa lain, merger menjadi alat yang sah dan legal bagi pelaku usaha untuk menyingkirkan pesaingnya dan/atau mengurangi persaingan karena walaupun pada dasarnya merger merupakan perbuatan hukum yang legal, tetapi merger akan menjadi ilegal manakala transaksi tersebut menimbulkan dampak-dampak negatif sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Sebagai suatu perilaku antipersaingan misal, Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama, secara umum kondisi dalam pasal ini disebut sebagai secara singkat sebagai penetapan harga (price fixing)341 , dan ketentuan penetapan harga berdasarkan undang-undang persaingan usaha di Indonesia diatur secara per se illegal342 dengan pengecualian apabila perjanjian ini merupakan dalam suatu usaha patungan atau didasarkan undang-undang yang berlaku. Oleh karena hal-hal yang demikian, maka otoritas persaingan di seluruh dunia menilai perlu dilakukannya penilaian terhadap transaksi merger yang terjadi.

Penilaian terhadap transaksi merger tersebut kemudian dituangkan dalam suatu merger review guidelines, untuk menilai apakah transaksi merger yang terjadi dapat mengganggu persaingan atau tidak. Dalam hal ini, merger review guidelines bertindak sebagai acuan untuk menentukan boleh atau tidaknya suatu transaksi merger dilakukan, dengan mempertimbangkan aspek-aspek hukum dan ekonomi yang mungkin timbul sebagai konsekuensi dari transaksi tersebut. Karena itulah, transaksi merger secara prosedural sangat dihalalkan, tetapi efek ke depan dari semua itu harus diperhitungkan oleh otoritas persaingan. Merger merupakan suatu bentuk perbuatan hukum yang bersifat materil. Akibat dari transaksi merger akan membawa banyak pengaruh dari berbagai aspek yang sangat luas ruang lingkupnya.

Hal ini yang menyebabkan ketentuan merger tidak dapat dilepaskan dari hukum persaingan di negara mana pun yang telah menerapkan undang-undang persaingan. Penyusun undang-undang persaingan usaha Indonesia juga menyadari hal ini sehingga tidak lupa untuk memasukan larangan melakukan merger yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai salah satu norma dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Pengaturan merger di dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu bentuk pencegahan (dan atau penanggulangan) kegiatan merger yang dapat mengurangi persaingan. Merger, sangat erat kaitannya dengan potensi terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, karena pada dasarnya esensi dari merger adalah adanya pertambahan nilai dari perusahaan- perusahaan yang melakukan merger.

Penilaian terhadap transaksi merger yang digunakan oleh suatu negara tercermin dalam merger review guidelines sebagai alat pengendalian mergernya. Kebanyakan negara-negara di dunia mengakomodir sistem pre-notifikasi sebagai sistem pelaporan merger, di mana pelaporan lebih didahulukan dibanding perbuatan.

Ketentuan merger sebagaimana telah diuraikan di atas pada dasarnya sudah cukup mengatur secara prosedural. Namun, seiring berkembangnya aktivitas bisnis dunia dewasa ini, ketentuan- ketentuan tersebut tampaknya sudah jauh tertinggal (out of date) oleh aktivitas bisnis itu sendiri. Karena itulah, peraturan mengenai merger (berupa suatu sistem pengendalian merger/merger review control) harus mampu mengakomodir berbagai strategi merger pelaku usaha yang sudah sangat beragam bentuknya. Bahkan, dengan iklim dunia usaha yang semakin memanas di era globalisasi saat ini, strategi-strategi usaha dalam bentuk merger mulai bermunculan mewarnai aktivitas dunia bisnis, baik secara nasional maupun internasional.

Akibat dari merger yang paling utama adalah menyebabkan berpindahnya kepemilikan dan kendali terhadap aset perusahaan, termasuk aset fisik dan intangibles asset (misalnya reputasi perusahaan, reputasi produk). Di sisi lain, merger juga dapat meningkatkan efisiensi bagi perusahaan dan lebih luas lagi, bagi perekonomian. Bukti empiris dari kegiatan merger adalah keuntungan dan nilai saham. Selain dari itu merger dapat meningkatkan profit (atau kemampuan untuk meningkatkan profit) dengan jalan efisiensi, dan juga kekuatan pasar yang dimilikinya.

Kebanyakan, merger tidak menyebabkan dampak yang serius pada meningkatnya kekuatan pasar. Tetapi, pada beberapa kasus yang aktual, ditemukan terdapat dampak serius pada kondisi persaingan sebagai akibat dari merger. Jika tidak terdapat alat yang dapat mengendalikan merger, maka tidak dapat diragukan lagi, pastilah aktivitas merger akan tumbuh dengan begitu pesat.

Tujuan daripada merger control (sistem pengendalian merger) adalah untuk mencegah efek antipersaingan dengan mengenakan hukuman yang wajar dan sesuai, termasuk ketentuan larangan apabila diperlukan. Terdapat hal yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan sebelumnya, apakah merger control dimaksudkan untuk melindungi persaingan ataukah untuk melindungi konsumen.

Jika orientasinya adalah perlindungan terhadap konsumen, maka sebaiknya sistem pengendalian merger tersebut difokuskan terhadap merger yang dapat memperlemah persaingan dengan jalan meningkatkan kepentingan perusahaan (higher profits). Dengan jalan ini, merger control harus menghasilkan keuntungan bagi konsumen (harga murah, kualitas yang bagus, pilihan yang tepat, dan sebagainya).

Teori ekonomi mengatakan bahwa semakin sedikit jumlah pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan, maka akan semakin besar potensi terjadinya kolusi di antara pelaku usaha (coordinated behaviour). Untuk membuktikan hal tersebut, HHI dan CR4 dapat digunakan untuk menguji ada/ tidaknya kolusi di dalam pasar bersangkutan dimaksud. Perjanjian antar pelaku usaha, baik eksplisit maupun implisit, biasanya berkisar pada perjanjian dalam hal penentuan harga, margin, kegiatan promosi, pangsa pasar, kuantitas produksi, dan alokasi pasar/konsumen. Penyusunan rumusan sistem pengendalian merger tidak hanya memerlukan analisa hukum yang mendalam, tetapi juga memerlukan pertimbangan dan analisa ekonomi yang cukup komprehensif, mengingat merger merupakan bagian dari kebijakan perekonomian nasional.

Adapun kondisi pasar yang kondusif terhadap munculnya praktik kolusi di antara para pelaku usaha di suatu pasar bersangkutan antara lain:


Pedoman merger di Amerika Serikat diawali dari premis mendasar bahwa ketentuan merger antipersaingan Clayton Act bermaksud untuk mencegah peningkatan market power yang mungkin timbul sebagai konsekuensi dari merger. Dengan menggunakan basis analisis dari mikro ekonomi monopoli dan oligopoli, pedoman merger difokuskan pada enam isu krusial, berikut ini.

Globalisasi ekonomi meningkat pada saat yang bersamaan di beberapa negara. Karenanya, pada saat menilai suatu transaksi merger, otoritas persaingan terlebih dahulu melakukan dengar pendapat (dengan partisipasi penuh ataupun terbatas) dengan pihak-pihak yang berkepentingan, konsultan, dan para ahli di bidangnya.347


SUBSTANSI YANG PERLU DIAKOMODIR DALAM SISTEM

Dengan melihat sistem pengendalian yang digunakan di negara Jepang, tampaknya suatu hal yang masuk akal apabila pemerintah turut serta memasukkan kategori merger seperti apakah yang boleh dilakukan, dengan perhitungan ekonomis tertentu yang menjadi landasan pemikirannya. Ketentuan ini akan mempermudah peran KPPU dalam menilai boleh/tidaknya suatu transaksi merger dilakukan. Dengan demikian, KPPU hanya harus melakukan perhitungan ekonomis saja dalam pengendaliannya, tanpa harus meneliti aspek legalitas transaksi merger yang bersangkutan. Ada beberapa ketentuan yang belum diatur dan rasanya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai merger di Indonesia. Beberapa di antaranya ialah sebagai berikut.


a. Masalah Divestasi Saham

Merger pada dasarnya merupakan suatu bentuk investasi. Ketika suatu aktivitas merger dibatalkan (dengan berbagai alasan), maka sesungguhnya pada saat yang demikian terjadi suatu bentuk divestasi. Ketentuan mengenai hal ini harus diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan sebab berpotensi merugikan salah satu pihak yang melakukan merger.

b. Ketentuan mengenai Holding Company

Hubungan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan dalam sebuah rangkaian holding company tidak sedikit yang menimbulkan permasalahan persaingan usaha. Selain dapat memperlemah persaingan di pasar (lemahnya pesaing di dalam pasar bersangkutan), hubungan ini juga berpotensi menaikkan market power (kekuatan pasar) dari perusahaan holding yang bersangkutan, terlebih apabila perusahaan holding tersebut melakukan merger.

c. Ketentuan mengenai Spin-off dan Corporate Split

Dalam suatu perusahaan holding, pemisahan ataupun pemecahan perusahaan merupakan hal yang biasa terjadi. Aktivitas ini sebenarnya erat kaitannya dengan masalah divestasi, namun aktivitas spin-off dan corporate split pada kenyataannya banyak digunakan sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan guna meningkatkan keuntungan. Pemisahaan telah diatur secara umum dalam undang- undang perseroan terbatas yang baru ini.

d. Masalah Merger Lintas Negara (Cross Border Merger)

Era globalisasi cukup merangsang pelaku usaha untuk melakukan merger dengan pihak asing dalam rangka ekspansi bisnisnya. Ketentuan mengenai larangan membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebenarnya sudah diatur di dalam Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999. Namun, ketentuan mengenai merger (yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk perjanjian) belum ada pengaturannya. Banyak aspek yang dapat ditimbulkan dari merger jenis ini, selain efek yang mengglobal di antara negara-negara yang bersangkutan, merger jenis ini juga dapat bersangkut paut dengan masalah perdagangan internasional.

e. Sinkronisasi Merger Perseroan Terbatas, Merger Bank dan Merger Perusahaan Terbuka

Tersebarnya pengaturan mengenai merger dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia pada suatu saat mungkin akan menimbulkan dilematisasi hukum. Perbedaan pengaturan, kekosongan pengaturan, terlebih jika pengaturannya tumpang-tindih, akan mempersulit pemerintah dalam mengatur aktivitas merger, dan tentu saja, akan semakin banyak merger yang dapat membahayakan persaingan.

f. Strategi Merger (Merger Game)

Tak jarang merger digunakan oleh pelaku usaha sebagai strategi ampuh untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Penyalahgunaan aktivitas merger sebagai strategi bisnis dikhawatirkan akan menimbulkan distorsi yang dapat merugikan banyak pihak, merusak persaingan, dan kemungkinan munculnya kekuatan ekonomi di satu tangan.

g. Akuisisi Aset

Saham dan aset merupakan aspek-aspek yang sangat fundamental bagi jalannya suatu perusahaan. Ketentuan mengenai akuisisi saham sudah diatur baik dalam undang-undang, maupun dalam berbagai peraturan pelaksanaannya. Namun, masalah akuisisi aset belum mendapatkan porsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia layaknya akuisisi saham. Oleh karenanya, akuisisi aset dapat menyebabkan berpindahnya hak kepemilikan aset kepada pelaku usaha yang mengakuisisi (acquiring company). Terlebih lagi, aktivitas akuisisi aset dewasa ini banyak diwarnai dengan perjanjian “assets for shares exchange” yang secara langsung menyebabkan berpindahnya kepemilikan saham.

h. Aspek Pajak

Aktivitas merger, akuisisi, dan konsolidasi merupakan aktivitas yang sarat akan modal. Oleh karena itu, aspek pajak dari transaksi merger tersebut perlu diatur supaya sektor perpajakan tidak terlupakan. Walaupun menjadi agak luas cakupannya, ketentuan tersebut dapat dituangkan dengan menunjuk pada peraturan organik sebagai peraturan pelaksanaannya.

i. Leverage Buy Out (LBO) dan Management Buy Out (MBO)

LBO adalah pembelian seluruh atau sebagian besar saham dari suatu perusahaan, dengan dana yang dipinjam dari pihak ketiga. Dana tersebut biasanya dibayar secara cicilan oleh perusahaan target (acquired company) LBO. Sedangkan MBO adalah sekelompok pelaku usaha dari suatu perusahaan tertentu membeli saham (seluruh atau bagian substansial) dari suatu perusahaan. LBO dan MBO ini merupakan suatu cara atau strategi pelaku usaha yang secara tidak langsung pada akhirnya dapat merugikan perusahaan target.


TES SUBSTANSI (SUBSTANTIVE TEST)

Melihat praktik di banyak negara, ditemukan paling tidak terdapat 3 (tiga) alasan utama mencegah penutupan transaksi merger, yaitu bahwa merger dilakukan untuk menimbulkan atau mempertahankan posisi dominan (dominant test) atau untuk mengurangi persaingan (substantial lessening competition test) atau menimbulkan kerugian terhadap kepentingan umum (public interest test).


DP Test lebih dikenal sebagai tes substansi yang digunakan selama ini di Eropa, standar ini pada intinya mengatakan bahwa transaksi merger harus dicegah “[if it is] likely to create or strengthening dominant position [of the merging firms] 348. Beberapa kriteria harus dianalisa untuk menentukan ada atau tidak adanya posisi dominan. Pertama, pangsa pasar perseroan hasil merger sangat besar (paramount) sehingga dalam pasar bersangkutan tidak terdapat pesaing atau pesaing berarti. Ukuran untuk menentukan adanya posisi dominan berbeda antara satu negara dengan negara lain.

Di Jerman misalnya, dikatakan mempunyai posisi dominan di pasar apabila satu perseroan selama beberapa tahun menguasai 1/3 pasar atau lebih. Posisi dominan juga dapat dilihat dari aspek lain, misalnya kekuatan finansial, akses terhadap suplai dan pasar penjualan, serta hubungannya dengan perusahaan terkait.

Selain berdasarkan pangsa pasar, juga perlu dinilai sejauh mana perseroan hasil merger mempunyai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menaikkan harga jauh di atas harga kompetitif atau mengurangi jumlah penjualan. Apabila strukturnya oligopolistik, maka dikatakan menguasai pasar secara dominan apabila dua atau tiga perseroan menguasai pasar 50% atau lebih, atau empat atau lima perseroan menguasai pasar 75% atau lebih. Juga perlu dinilai sejauh mana perseroan yang tidak bergabung dalam transisi merger tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyesuaikan kebijakannya dengan kebijakan perseroan yang merger.

Rezim kontrol merger Uni Eropa kemudian mengalami perubahan pada bulan Mei 2004 dengan diamandemennya Merger Regulation (ECMR) dan dikeluarkannya Horizontal Merger Guidelines (HMG) yang baru. Dalam Pasal 2 ayat (3) ECMR No. 139/2004 ditetapkan bahwa:

“A concentration which would significantly impede effective competition, in the common market or in a substantial part of it, in particular as a result of the creation or strengthening of a dominant position, shall be declared incompatible with the common market”.

Sebelum diamandemen, pasal ini menjadi dasar bagi pelanggaran merger yang menciptakan atau menguatkan posisi dominan.

Kini posisi dominan bukanlah harga mati, dalam arti jika merger tersebut merintangi persaingan tanpa menciptakan atau menguatkan posisi dominan maka merger tersebut tetap akan dilarang. Setelah diamandemen, Uni Eropa beralih mempergunakan significantly impede effect competition test (SIEC test). Pendekatan ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan rezim substantial lessening of competition test (SLC test).

SLC Test digunakan oleh otoritas persaingan di Amerika Serikat yang kemudian diikuti oleh banyak negara. Pada intinya SLC test mengatakan bahwa transaksi merger harus dilarang “[if it is] likely to substantially lessen competition or to facilitate its exercise”349. Beberapa kriteria harus dianalisis untuk menentukan apakah sebuah transaksi merger berpotensi mengurangi persaingan. Berkurangnya persaingan dapat terjadi apabila sebuah merger melahirkan kemampuan perseroan hasil merger untuk mendapatkan keuntungan tidak wajar secara unilateral (unilateral effect) dengan cara mengurangi hasil penjualan maupun menaikkan harga jauh di atas harga kompetitif untuk jangka waktu yang relatif lama.

Selain unilateral effect, transaksi merger juga perlu dianalisis sejauh mana transaksi tersebut menimbulkan coordinated effect, yaitu memberikan kemampuan kepada para pelaku usaha dalam pasar untuk mendapatkan keuntungan melalui tindakan koordinasi atau suatu accomodating reaction of the others sehingga merugikan konsumen. Salah satu kondisi yang memungkinkan coordinated-effect adalah adanya kemampuan masing-masig pelaku usaha untuk saling mendeteksi serta kemampuan untuk menjatuhkan tindakan disiplin bagi pelaku yang menyimpang dari kesepakatan. Hal ini dimungkinkan apabila masing-masing pelaku mempunyai informasi penting yang cukup mengenai kondisi para pesaing.

Salah satu kriteria untuk menilai adanya kemampuan tersebut adalah adanya peningkatan konsentrasi pasar perseroan setelah merger. Dalam menghitung konsentrasi pasar, otoritas persaingan di Amerika Serikat, yaitu DoJ dan FTC, menggunakan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). HHI dihitung dengan cara menjumlahkan hasil perkalian kuadrat pasar masing-masing perseroan di pasar bersangkutan. Tingkatan konsentrasi dibagi ke dalam tiga yaitu, pertama, tidak terkonsentrasi apabila HHI di bawah 1.000; kedua, terkonsentrasi secara moderat apabila HHI antara 1.000 sampai 1.800; dan ketiga, terkonsentrasi tinggi apabila HHI mencapai 1.800 lebih. Apabila konsentrasi pasar mencapai 1.800 lebih dan peningkatan konsentrasi pasar perseroan setelah merger (delta) mencapai lebih dari 100 poin dan faktor lain tidak berubah maka merger sangat berpotensi mengurangi persaingan dan karena itu layak dilarang.

PI test juga berlaku di banyak negara meskipun dalam cakupan terbatas pada sektor dan keadaan tertentu. Pada intinya PI test mengatakan bahwa merger perlu dilarang apabila merugikan kepentingan umum. Meskipun tidak dibahas secara mendalam seperti halnya DP test dan SLC test beberapa negara memperbolehkan isu kepentingan umum digunakan untuk menghentikan transaksi merger. Di Amerika Serikat, misalnya, kepentingan umum khususnya lapangan kerja dijadikan pertimbangan dalam menilai transaksi merger di sektor kereta api dan telekomunikasi.

Di Jerman, larangan transaksi merger oleh otoritas persaingan yaitu Bundeskartellamt dapat ditimpa (overruled) a ministerial authorization oleh Menteri Ekonomi. Meskipun demikian, otorisasi tersebut hanya dapat dikeluarkan apabila telah terpenuhi syarat-syarat tertentu misalnya kepentingan umum atau pembangunan ekonomi nasional justru lebih diuntungkan oleh sebuah transaksi merger.

Apa saja tes substansi yang diatur oleh UU No. 5 Tahun 1999? Apakah UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan DP test atau SLC test atau mempunyai standar tes yang berbeda dengan tes substansi yang dipakai di banyak negara? UU No. 5 Tahun 1999 tidak secara tegas mengatur mengenai tes substansi untuk melarang atau memperbolehkan sebuah transaksi merger. UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa apabila dapat menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat maka transaksi merger harus dilarang bahkan dapat dibatalkan oleh KPPU. Sementara itu, UU No. 40 Tahun 2007 menentukan bahwa merger harus dicegah apabila transaksi tersebut memungkinkan terjadinya monopoli atau monopsoni.

Meskipun UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan istilah yang berbeda dengan istilah yang dipakai oleh banyak negara tapi pada intinya mempunyai makna yang sama. Unsur praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang digunakan oleh UU No. 5 tahun 1999 pada intinya menggunakan tes substansi yang tidak berbeda dengan SLC test maupun DP test. Dalam SLC test unsur pentingnya adalah “berkurangnya persaingan” yang pada intinya sama dengan “terhambatnya persaingan” sebagai unsur penting dari tes “praktik monopoli”.

Dalam DP test unsur pentingnya adalah “posisi dominan” yang pada intinya sama dengan “menguasai produksi dan atau pemasaran” sebagai salah satu unsur penting dari tes “praktik monopoli”. Penjelasan ketentuan Pasal 126 UU No. 40 Tahun 2007 juga menunjukkan digunakannya DP test untuk menentukan apakah transaksi merger diperbolehkan. Ketentuan ini pada intinya melarang transaksi merger apabila transaksi tersebut memungkinkan pelaku usaha yang merger memonopoli pasar.

Terkait dengan PI test, UU No. 5 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan bahwa traksaksi merger yang merugikan kepentingan umum dilarang. “Kepentingan umum” adalah salah satu unsur penting dari unsur “praktik monopoli”. UU No. 5 Tahun 1999 tidak memberikan batas bahwa PI test hanya berlaku untuk sektor-sektor tertentu seperti yang dilakukan di beberapa negara antara lain Amerika Serikat, atau hanya boleh digunakan oleh otoritas tertentu seperti Menteri Ekonomi di Jerman. Ini berarti bahwa otoritas persaingan dalam hal ini KPPU dapat menggunakan PI test untuk menentukan apakah proposal merger boleh diteruskan atau harus dihentikan. Hal yang perlu dilakukan oleh KPPU adalah bahwa pengertian kepentingan umum harus didefinisikan sehingga pelaku usaha mempunyai pegangan yang jelas. Otoritas persaingan Afrika Selatan, misalnya, pernah melarang transaksi merger karena transaksi tersebut menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 40 % lebih.


METODE PENGHITUNGAN KONSENTRASI

a. Pasar Bersangkutan

Pasar bersangkutan sesuai dengan Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 adalah:

“Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut”.

Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu dalam hukum persaingan dikenal sebagai pasar geografis. Sedangkan barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi (barang pengganti) dari barang dan atau jasa tersebut dikenal sebagai pasar produk. Karena itu analisis mengenai pasar bersangkutan dilakukan melalui analisis pasar produk dan pasar geografis. Analisis pasar produk pada intinya bertujuan untuk menentukan jenis barang dan atau jasa yang sejenis atau tidak sejenis tapi merupakan substitusinya yang saling bersaing satu sama lain. Untuk melakukan analisis ini maka suatu produk harus ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:  kegunaan, karakteristik, dan harga. Sedangkan analisis pasar geografis bertujuan untuk menjelaskan di area mana saja pasar produk yang telah didefinisikan saling bersaing satu sama lain. Analisis ini pada umumnya didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan Komisi sebelumnya, regulasi yang berlaku, data sekunder yang tersedia, keterangan dari asosiasi pelaku usaha, pelaku usaha, konsumen dan atau proxy konsumen. Guna menambah keyakinan Komisi terhadap akurasi hasil analisis terhadap pasar bersangkutan, otoritas pengawas persaingan usaha dapat melakukan serangkaian survey pasar. Survei dilakukan baik terhadap konsumen atau proxi-nya dan kepada produsen yang kemungkinan besar berada dalam pasar bersangkutan. Survei ini bertujuan untuk memperoleh keterangan mengenai perilaku konsumen dan produsen di pasar terhadap perubahan harga yang terjadi sehingga Komisi dapat memprediksi substitutability dari suatu barang dan atau jasa. Definisi pasar bersangkutan yang akurat sangat berpengaruh dalam melakukan analisis tahap berikutnya, yaitu pangsa pasar. Semakin luas pasar bersangkutan didefinisikan, maka semakin rendah kemungkinan penguasaan pangsa pasar oleh satu pelaku usaha. Demikian sebaliknya, semakin sempit definisi suatu pasar bersangkutan, maka semakin tinggi kemungkinan penguasaan pangsa pasar oleh satu pelaku

usaha.


b. Pangsa Pasar

Pangsa pasar mengindikasikan persentase dari total penjualan suatu barang atau jasa yang dikuasai oleh masing-masing pelaku usaha yang akan merger dan para pesaingnya dalam pasar bersangkutan. Pangsa pasar merupakan indikator awal bagi otoritas pengawas persaingan usaha untuk menyimpulkan perlu tidaknya penilaian secara menyeluruh terhadap suatu merger. Perbedaan yang signifikan atas pangsa pasar sebelum dan sesudah terjadi merger akan menjadi perhatian bagi Komisi dalam melakukan penilaian. Merger dari dua atau lebih pelaku usaha yang menghasilkan pangsa pasar yang tinggi umumnya akan mengundang permasalahan persaingan usaha, dan sebaliknya sangat jarang terjadi permasalahan persaingan usaha dalam merger yang tidak memiliki pangsa pasar signifikan.

Secara umum, terdapat dua cara untuk menilai suatu konsentrasi pasar yaitu dengan menghitung Konsentrasi Rasio (CRn) atau dengan menggunakan HHI.

b. i Konsentrasi Rasio (CRn)

Konsentrasi Rasio menghitung agregrat pangsa pasar dari sejumlah kecil dari para pelaku usaha terbesar dalam pasar. Umumnya konsentrasi rasio mempergunakan pangsa pasar dari tiga perusahaan terbesar (CR3) atau empat (CR4) atau lima (CR5). Sebagai suatu misal rasio konsentrasi dari 3 perusahaan terbesar (CR3) yang masing-masing memiliki 15% pangsa pasar akan menghasilkan CR3 sebesar 45%.

b.ii Herfindahl-Hirschman Index (HHI)

HHI melakukan penghitungan kuadrat dari pangsa pasar seluruh perusahaan yang aktif dalam pasar. HHI dapat menggambarkan jumlah seluruh pelaku usaha dalam pasar dan juga pangsa pasarnya. Nilai HHI dapat bervariasi antara 0 sampai dengan 10.000 yang akan terjadi apabila hanya ada satu pelaku usaha yang menguasai 100% pangsa pasar. Konsentrasi pasar dianggap tinggi apabila misalnya dalam pasar bersangkutan terdapat 6 penjual dan pasar masing-masing adalah penjual A 30%, B 25%, C 20%, D 16%, E 5%, dan F 4% karena HHI mencapai 2.222 dengan perhitungan sebagai berikut:

A (302) + B (252) + C (202) + D (162)+ E (52) = 2.222

Ketika dua perusahaan yaitu C dan D merger maka terjadi peningkatan konsentrasi karena HHI berubah menjadi 2.862 dengan penghitungan sebagai berikut:

A (302) + B (252) + {C (20) + D (16)}2 + E (52) = 2.862

dan delta HHI mencapai 640, dengan penghitungan sebagai berikut:

2.862 – 2.222 = 640


Menurut pedoman merger Amerika Serikat delta di atas 100 poin dianggap tinggi. Sementara itu, jika delta di bawah 50 poin, maka merger tersebut belum dapat dikatakan akan membahayakan persaingan usaha. Misalnya saja, jika merger terjadi antara perusahaan E dan F, meskipun HHI menjadi 2.262 namun delta masih di bawah 50 poin, yakni sebesar 40 poin.


Penerapan rezim hukum persaingan tidak akan lepas dari adanya kontrol terhadap merger yang dilaksanakan oleh otoritas pengawas persaingan usaha. Tujuan adanya kontrol tersebut adalah untuk tetap menjaga agar tetap terjaga persaingan usaha yang sehat karena merger bagaimanapun juga adalah upaya legal memperbesar pangsa pasar secara cepat dan murah dibandingkan dengan mengupayakan pertumbuhan dari pelaku usaha itu sendiri.

Oleh karena itu sudah menjadi tugas dari otoritas pengawas persaingan usaha untuk mengidentifikasi tindakan merger yang dapat berdampak persaingan usaha yang tidak sehat dan menghentikannya bila perlu.



PENGATURAN MERGER DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Ketentuan mengenai merger telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU No. 1 Tahun 1995) dalam Pasal 102 sampai dengan Pasal 109. Ketentuan pasal-pasal merger tersebut kemudian dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Tata Cara Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (PP No. 27 Tahun 1998). Ketentuan dalam PP No. 27 Tahun 1998 ini berisi hal-hal yang bersifat teknis dan prosedural dalam aktivitas merger.

Secara umum, ketentuan merger dalam UU No. 1 Tahun 1995 dan PP No. 27 Tahun 1998 sudah cukup mengakomodir kebutuhan akan kepastian hukum dalam melakukan merger di Indonesia, hanya saja pengaturan dalam kedua ketentuan tersebut belum menyentuh pada aspek persaingan usaha.

Ketentuan mengenai merger berlaku secara umum bagi seluruh pelaku usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas, oleh karena itu ketentuan merger ini memiliki cakupan yang sangat luas, bahkan dalam kasus-kasus tertentu merger merupakan strategi nasional untuk menciptakan daya saing ditingkat internasional, dan bahkan merger dilakukan secara transnasional untuk tujuan tersebut. Mengingat cakupannya yang luas tersebut, secara khusus di Indonesia aktivitas merger di bidang usaha perbankan dan pasar modal memiliki peraturan tersendiri yang dikeluarkan oleh lembaga otoritasnya masing-masing.

Ketentuan mengenai merger bagi emiten atau pelaku usaha yang sudah listing di pasar modal diatur melalui Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, sedangkan merger di bidang perbankan diatur dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998) dan sebagai peraturan pelaksanaannya dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 (PP No. 28 Tahun 1999) dan Bank Indonesia juga menerbitkan beberapa peraturan terkait.

Keberadaan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007) sebagai pengganti UU No. 1 Tahun 1995 diharapkan dapat membawa kepastian hukum yang semakin nyata khususnya bagi pelaku usaha. UU No. 40 Tahun 2007 yang disahkan pada tanggal 16 Agustus 2007 ini mengalami beberapa penambahan dan banyak penyempurnaan dari UU No. 1 Tahun 1995, termasuk dalam hal pengaturan kegiatan merger yang diatur dalam Pasal 122 sampai dengan Pasal 137.

Adapun PP No. 27 Tahun 1998 sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 1 Tahun 1995 kini sedang dalam tahap penyempurnaan, guna menyelaraskan ketentuan-ketentuan yang baru yang dimuat dalam UU No. 40 Tahun 2007.

Jika ditelaah lebih rinci, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan dalam pengaturan merger di dalam UU No. 1 Tahun 1995 dengan UU Perseroan Terbatas yang baru, yaitu UU No. 40 Tahun 2007. Beberapa ketentuan yang baru dan ketentuan yang disempurnakan, antara lain adalah:


Menelaah ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 40 Tahun 2007, tampaknya pengaturan mengenai perseroan terbatas di Indonesia sudah semakin komprehensif, walaupun khusus mengenai merger belum sepenuhnya sempurna, karena aktivitas merger menyangkut dengan berbagai aspek yang sangat luas, dalam hal ini kaitannya dengan masalah persaingan usaha. Karena sebagaimana kita ketahui, kegiatan bisnis bergerak sangat cepat, dan inovasi-inovasi bisnis berkembang dengan sifat untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada dua Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada satu Perseroan atau lebih”.  UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 122 “(1) Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum; (2) Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu”.

UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 127: ”Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambil-alihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS”.

 

dan jumlah yang sangat bervariatif. Melalui merger, pelaku usaha mengharapkan dapat meningkatkan keuntungan keuangan dari perusahaan hasil merger, namun peningkatan keuangan tersebut dapat diperoleh melalui merger yang pro terhadap persaingan maupun yang antipersaingan.

UU No. 5 Tahun 1999 yang diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku efektif mulai satu tahun kemudian, dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar359. Selain itu UU No. 5 Tahun 1999 juga dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu yang dapat menghalangi persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Maksud dan tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999 tersebut dituangkan dalam pasal-pasal yang mengatur bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan penyalahgunaan posisi dominan, yang di dalamnya termasuk merger, yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Ketentuan mengenai merger dalam kaitannya dengan persaingan usaha yang tidak sehat telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 dalam Pasal 28 yang berbunyi:

“(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.”


Dan juga di dalam Pasal 29 yang berbunyi:

“(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.

(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuansebagaimanadimaksuddalamayat(1),diatur dalam Peraturan Pemerintah.”


Sejalan dengan UU No. 5 Tahun 1999, UU No. 40 Tahun 2007 dalam Pasal 126 ayat (1) butir c, telah mengatur bahwa merger atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha361.

Pengaturan pasal mengenai merger dalam UU No. 5 Tahun 1999 dapat dikatakan sebagai sebuah lex imperfecta karena baru dapat diimplementasikan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang disyaratkan oleh Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 29 ayat (2)362. Pada tahun 2010 PP yang disyaratkan oleh Pasal 28 dan pasal 29 telah diterbitkan. Oleh karena itu, larangan tersebut sudah dapat dilaksanakan.

Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP No. 57 Tahun 2010) yang disyaratkan oleh Pasal 28 ayat (3) mengatur mengenai larangan merger yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2). Di dalam PP No. 57 Tahun 2010 diatur mengenai pelarangan merger, penilaian merger yang dilakukan oleh KPPU, serta pemberitahuan atas penggabungan dan peleburan badan usaha serta pengambilalihan saham perusahaan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).

Berdasarkan Pasal 3 PP 57 No. Tahun 2010, Komisi akan melakukan penilaian terhadap penggabungan badan usaha, peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham perusahaan yang telah berlaku efektif secara yuridis, di mana penilaian tersebut akan menggunakan analisis:


UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 28 tidak menyatakan secara jelas sistem pelaporan merger. Pasal tersebut hanya menyatakan bahwa pelaku usaha yang hendak melakukan merger berkewajiban untuk memastikan bahwa tindakan mergernya tidak mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila merger tersebut ternyata berdampak kepada persaingan usaha tidak sehat, maka merger tersebut dapat dibatalkan oleh KPPU sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yaitu berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 47 ayat (2) butir e yang mengatur bahwa KPPU dapat mengenakan sanksi administratif berupa penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham. Selain itu KPPU juga dapat mengenakan sanksi denda363 dan ganti rugi.


Kasus VII.1

-----------------------------------

LG International Corp. diduga melakukan keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham PT Binsar Natorang Energi. Pengambilalihan saham PT Binsar Natorang Energi oleh LG International Corp. telah berlaku efektif secara yuridis sejak tanggal 12 Juni 2014 berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Oleh karena itu, LG International Corp. wajib untuk melakukan pemberitahuan selambat-lambatnya pada tanggal 24 Juli 2014. Namun, LG International Corp. baru melakukan pemberitahuan kepada KPPU pada tanggal 27 Agustus 2014. Dengan demikian, LG International Corp. telah melakukan keterlambatan selama 20 (dua puluh) hari kerja. 

Komposisi pemegang saham dari PT Binsar Natorang Energi sebelum pengambilalihan saham oleh LG International Corp. adalah 95% (sembilan puluh lima persen) saham dimiliki oleh PT Energy Jaya Persada dan 5% (lima persen) saham dimiliki oleh PT Bumi Sinergi Internasional.

Setelah pengambilalihan saham oleh LG International Corp., komposisi saham menjadi: LG International Corp. sejumlah 51% (lima puluh satu persen), PT Energy Jaya Persada sejumlah 44% (empat puluh empat persen), dan PT Bumi Sinergi Internasional sejumlah 5% (lima persen). Bahwa dengan memiliki saham sebesar 51% (lima puluh satu persen), maka LG International Corp. menjadi pengendali baru dari PT Binsar Natorang Energi.

Pemberitahuan kepada KPPU harus dilakukan apabila nilai aset dan atau nilai penjualan melebihi jumlah tertentu diatur dalam Pasal 5 ayat (2) PP No. 57 Tahun 2010 yang menentukan nilai aset sebesar Rp. 2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah); dan/atau nilai penjualan sebesar Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Berdasarkan fakta-fakta nilai aset dan/atau nilai penjualan badan usaha pengambilalih dengan badan usaha yang diambilalih sebesar Rp. 3.826.916.343.127 untuk nilai aset dan Rp. 5.315.794.952.347 untuk nilai penjualan. Dengan demikian unsur nilai aset dan atau nilai penjualan yang melebihi jumlah tertentu terpenuhi.

Berdasarkan analisis sebagaimana dijabarkan di atas, LG International Corp. telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999, oleh karena itu Pasal 6 PP No. 57 Tahun 2010 telah dapat dikenakan kepada LG International Corp., dengan demikian unsur keterlambatan melakukan pemberitahuan kepada Komisi terpenuhi.

Komisi kemudian menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999 juncto Pasal 6 PP No. 57 Tahun 2010, dan menghukum Terlapor membayar denda sebesar Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

-------------------------------------------------------


Berbeda dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 29 yang secara tegas menyatakan bahwa kewajiban bagi Pelaku Usaha untuk melaporkan telah terjadinya merger selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal terjadinya merger tersebut. Ketentuan ini jelas memperlihatkan bahwa undang-undang persaingan usaha Indonesia menganut sistem post-merger notification 364. Padahal untuk mencegah terjadinya pembatalan merger, undang-undang persaingan usaha di banyak negara lain mewajibkan pelaku usaha yang hendak merger untuk memberitahukan rencana mergernya terlebih dahulu (pre-merger notification) kepada otoritas persaingan usaha, sehingga otoritas tersebut dapat melakukan penilaian apakah merger tersebut mengakibatkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat, sehingga bisa ditentukan apakah merger tersebut dapat diteruskan atau tidak.

Di dalam Pasal 5 PP No. 57 Tahun 2010, ditekankan kembali bahwa pemberitahuan secara tertulis kepada Komisi wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis penggabungan badan usaha, peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham perusahaan. Namun tidak semua kegiatan merger wajib dilaporkan kepada

364 Knud Hansen et al., berpendapat kewajiban melapor setelah terjadinya merger bukan berarti sistem ini menganut post-merger notification, melainkan hanya bertujuan untuk memberitahukan lembaga pengawas mengenai diwujudkannya proses konsentrasi. Lihat Knud Hansen (et al.), op.cit., hal. 366.

 

KPPU. Kewajiban pelaporan hanya berlaku bila hasil dari merger menyebabkan nilai aset melebihi Rp.2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah); dan/atau nilai penjualan melebihi Rp.5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Sementara pelaku usaha di bidang perbankan diatur dengan nilai yang lebih besar, yaitu jika nilai aset melebihi Rp.20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah).

Knud Hansen, et al.365, berpendapat bahwa larangan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 harus diartikan bahwa rencana merger harus dilaporkan terlebih dahulu kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan apakah merger tersebut berdampak buruk bagi persaingan atau tidak. Pemahaman ini didukung juga dengan sejarah hukum persaingan di negara-negara yang telah menerapkan merger review yang menunjukan bahwa suatu merger yang telah selesai dilaksanakan akan sulit untuk dibatalkan dan perusahaan hasil merger dikembalikan pada keadaan semula sebelum merger, yang hal ini dikenal di Indonesia sebagai “nasi sudah menjadi bubur”.

Pembatalan merger juga merugikan bagi pelaku usaha yang telah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk persiapan dan pelaksanaan merger tersebut. Pembatalan merger juga dapat berdampak kepada kondisi ketidakpastian dalam berusaha sehingga justru dapat menghambat merger yang pro kepada persaingan yang sehat.

Untuk mendukung hal ini, PP No. 57 Tahun 2010 pada dasarnya juga memungkinkan bagi pelaku usaha untuk memberitahukan rencana merger kepada KPPU, yang disebut sebagai konsultasi366. Konsultasi ini juga dilakukan sebagaimana layaknya tata cara pemberitahuan setelah terjadinya merger, di mana KPPU akan melakukan penilaian. Berdasarkan penilaian tersebut, Komisi memberikan saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis mengenai rencana merger. Namun, penilaian dari konsultasi tersebut bukan merupakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana merger, dan tidak menghapuskan kewenangan Komisi untuk melakukan penilaian setelah merger berlaku efektif secara yuridis.



DAMPAK MERGER TERHADAP PERSAINGAN

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, kegiatan merger dapat menjadi propersaingan, namun juga dapat menjadi antipersaingan apabila tidak ada kontrol dari otoritas persaingan usaha. Keberadaan merger di dalam dunia usaha seharusnya membawa pengaruh yang cukup positif bagi perusahaan yang gagal dari segi operasional. Namun, pada praktiknya, kegiatan merger banyak disalahgunakan oleh pelaku usaha yang bermaksud untuk mengekspansi pasarnya.

Selain itu sering kali juga timbul benturan antara kepentingan merger dengan alasan efisiensi dan permasalahan persaingan usaha. Pelaku usaha akan selalu mempergunakan alasan efisensi sebagai landasan merger dan otoritas persaingan usaha akan lebih melihat kepada permasalahan persaingan usahanya terlebih dahulu.

Merger yang mengarah kepada antipersaingan adalah merger yang dikhawatirkan oleh hukum persaingan. Karena secara langsung maupun tidak langsung, merger dapat membawa pengaruh yang relatif besar terhadap kondisi persaingan di pasar yang bersangkutan.

Pada kondisi di mana terdapat dua atau lebih perusahaan bergabung, maka pangsa pasar kedua perusahaan yang bergabung tersebut akan bersatu dan membentuk gabungan pangsa pasar yang lebih besar. Inilah yang menjadi fokus dari hukum persaingan. Merger dapat menimbulkan atau bahkan memperkuat market power dengan meningkatkan konsentrasi pada produk relevan dan pasar geografis. Peningkatan market power ini dapat memperbesar kemampuan mereka untuk berkoordinasi baik secara implisit maupun eksplisit.

Di Amerika Serikat, kekhawatiran utama dari merger adalah penciptaan atau penguatan market power dari perusahaan hasil merger. Di Uni Eropa, beberapa dampak yang menjadi perhatian sebagai akibat dari suatu merger, antara lain:369


Penguasaan pangsa pasar erat kaitannya dengan posisi dominan. Dalam ajaran Structure, Conduct and Performance (SCP), persentase pangsa pasar menjadi patokan dalam penentuan posisi dominan suatu perusahaan. Apabila dua atau lebih perusahaan bergabung, maka perusahaan hasil merger tersebut dapat meraih atau memperkuat posisi dominan dalam pasar. Jika demikian halnya, maka peluang terjadinya penyalahgunaan posisi dominan pun akan semakin besar.

American Bar Association memisahkan dampak penggabungan merger horizontal ke dalam dua kategori:

Merger ini menciptakan satu pelaku usaha tunggal yang memiliki kekuatan penuh atas pasar, memantapkan posisi satu pelaku usaha yang sebelumnya telah memiliki kekuatan atas pasar (posisi dominan), dan menghalangi para pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar (barriers to entry);

Merger ini memudahkan para pelaku usaha yang telah ada di dalam pasar untuk mengkoordinasikan perilaku para pelaku usaha tersebut sehingga mengurangi persaingan harga, kualitas, dan kuantitas. Contoh dampak merger ini adalah terciptanya kesepakatan eksplisit maupun implisit atas harga yang ditetapkan, pembagian wilayah dalam menjual barang dan/atau jasa. Dampak terkoordinasi ini sering terjadi dalam industri yang mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu produk yang homogen, penjualan dalam volume kecil, serta kesamaan dalam biaya produksi barang atau jasa.


Kasus VII.2

-------------------------------------------

KPPU menyetujui Akuisisi Saham PT Axis Telekom Indonesia oleh PT XL Axiata, Tbk.

KPPU menyimpulkan bahwa akuisisi PT Axis Telekom Indonesia (AXIS) oleh PT XL Axiata, Tbk (XL) tidak menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Namun demikian, KPPU memberikan beberapa catatan atas akuisisi tersebut.

Catatan pertama adalah, mengingat besarnya penguasaan pangsa pasar oleh tiga pelaku usaha di sektor jasa telekomunikasi (Telkom, Indosat, dan XL) yang mencapai 89,05%, maka KPPU mewajibkan XL untuk memberikan laporan perkembangan pasar, produk, dan tarifnya setiap 3 (tiga) bulan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun. KPPU juga mencatat bahwa pendapat tersebut diberikan setelah mempertimbangkan komitmen XL untuk tetap menjadi pelopor tarif kompetitif di pasar jasa telekomunikasi seluler, sehingga komitmen tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendapat KPPU tersebut. Selain itu, KPPU juga mencatat bahwa pendapat yang disampaikan tersebut hanya terbatas pada pengambilalihan saham AXIS oleh XL, sehingga jika di masa mendatang ditemukan perilaku antipersaingan yang dilakukan oleh para pihak maupun anak perusahaannya, maka perilaku tersebut tidak akan dikecualikan dari aplikasi undang-undang persaingan.

Pendapat resmi tersebut ditetapkan KPPU pada tanggal 18 Februari 2014 sebagai tindak lanjut dari upaya konsultasi yang diajukan oleh XL pada tanggal 1 Agustus 2013. Konsultasi tersebut dilaksanakan seiring rencana pembelian 95% saham AXIS oleh XL yang ditempatkan di Teleglobal Investment B.V dan Althem B.V. Dengan akuisisi tersebut, maka aset XL (berdasarkan data tahun 2012) akan mencapai sekitar Rp 45,27 triliun dan dengan nilai gabungan penjualan sekitar Rp 23,38 triliun.

Dalam proses penilaian oleh KPPU yang dimulai sejak 18 November 2013, KPPU mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain pasar bersangkutan, konsentrasi pasar, hambatan masuk, potensi perilaku antipersaingan, efisiensi, dan kepailitan. Pasar yang menjadi perhatian analisa KPPU meliputi pasar jasa telekomunikasi seluler dan pasar jasa penyewaan menara di 14 (empat belas) provinsi. Hasil analisa menujukkan terjadi peningkatan indeks konsentrasi pasar pada pasar jasa telekomunikasi seluler secara nasional. Dengan adanya akuisisi tersebut, maka pasar jasa telekomunikasi seluler Indonesia akan dikuasai oleh tiga pelaku usaha besar, yakni Telkomsel (41,04%), XL (26%), dan Indosat (22,01%), dengan total pangsa pasar yang mencapai 89,05%. Peningkatan indeks konsentrasi pasar juga terjadi di pasar jasa penyewaan menara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun dengan banyaknya pelaku usaha penyewaan menara di provinsi tersebut dan adanya kebijakan penggunaan menara bersama, maka potensi perilaku antipersaingan di pasar tersebut dapat diminimalisir.

Lebih lanjut, sebagai upaya pencegahan seiring dengan penguasaan pasar oleh tiga pelaku usaha tersebut, KPPU akan melakukan pengawasan intensif atas kondisi pasar jasa telekomunikasi seluler di Indonesia.

---------------------------------------------------