PERSEROAN TERBATAS

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

Istilah

Istilah Perseroan Terbatas (PT) yang digunakan dewasa ini, dulunya dikenal dengan istilah (Naamloze Vennootschap, disingkat NV). Bagaimana asal muasal digunakannya istilah Perseroan Terbatas dan disingkat dengan PT tidak dapat ditelusuri.101 Sebutan tersebut telah menjadi baku di dalam masyarakat bahkan juga dibakukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas)102 dan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.103

Istilah Perseroan Terbatas terdiri atas dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Kata terbatas merujuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimilikinya.104

Dasar pemikiran bahwa modal PT itu terdiri atas sero-sero atau saham- saham dapat ditelusuri dari ketentuan Pasal 1 angka 1 UUPT, yakni:

“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.

Penunjukkan terbatasnya tanggung jawab pemegang saham tersebut dapat dilihat dari Pasal 3 UUPT yang menentukan:

“Pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah dimilikinya”.

 

Istilah Naamloze Vennootschap (NV) yang dulunya digunakan Pasal 36 KUHD secara literal bermakna persekutuan tanpa nama (anonymous partnership). Hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 16 KUHD yang menentukan bahwa firma adalah persekutuan perdata yang menjalankan perusahaan dengan nama bersama. Nama bersama atau nama dari para sekutu itu dijadikan sebagai nama perusahaan. Nama bersama dari para sekutu atau pemegang saham PT itu tidak digunakan sebagai nama perusahaan. Dalam perkembangannya, ketentuan larangan penggunaan nama seperti ditentukan Pasal 36 KUHD itu di Belanda sudah ditinggalkan.

Buku 2 Titel 4 Artikel 64 ayat (1) NBW mendefinisikan NV sebagai een rechtsperson met een in overdraagbare aandelen verdeelt maatschappelijk kapitaal. Een aandelhouder is niet persoonlijk aansprakelijk voor hetgeen in naam de vennotschap wordt verricht en is niet gehouden boven het bedrag dap op zijn aandeel behoort te wonden gestort in de verliezen van de vennotsvhap bij te dragen. Ten minste een aandeel wordt gehouden door een ander dan een anders voor rekening van de vennootschap of een van haar dochtermaatchappiken.

NV dimaknai sebagai badan hukum yang didirikan dengan penyerahan saham yang terbagi dalam modal dasar di mana pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi terhadap kerugian yang diderita perseroan, kecuali hanya sebatas modal yang disetor.

Di Perancis, digunakan istilah Society Anoynyme. Hukum Perancis lebih menampilkan anoynyme. Di sini yang ditonjolkan adalah keterikatan badan itu dengan orang-orangnya.

Di dalam hukum Inggris PT dikenal dengan istilah Limited Company. Company memberikan makna bahwa lembaga usaha yang diselenggarakan itu tidak seorang diri, tetapi terdiri dari beberapa orang yang tergabung dalam suatu badan. Limited menunjukkan terbatasnya tanggung jawab pemegang saham, dalam arti bertanggungjawab tidak lebih dari dan semata-mata dengan harta kekayaan yang terhimpun dalam badan tersebut. Dengan kata lain, hukum Inggris lebih menampilkan segi tanggung jawabnya.107 Pemegang saham pada dasarnya tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya melebihi jumlah nominal saham yang ia setor ke dalam perseroan.

Di dalam Hukum Jerman PT dikenal dengan istilah Aktien Gesellschaft. Aktien adalah saham. Gesellschaft adalah himpunan. Berarti Hukum Jerman lebih menampilkan segi saham yang merupakan ciri bentuk usaha ini.

Menurut Rudi Prasetya, istilah PT yang digunakan Indonesia sebenarnya mengawinkan antara sebutan yang digunakan hukum Inggris dan hukum Jerman. Di satu pihak ditampilkan segi sero atau sahamnya, tetapi sekaligus di sisi lain juga ditampilkan segi tanggung jawabnya yang terbatas.

Definisi otentik PT ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UUPT. Pasal ini menyebutkan bahwa PT merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Dari definisi itu dapat ditarik unsur-unsur yang melekat pada PT, yakni:

 

Ad. 1. Perseroan Terbatas Merupakan Badan Hukum

Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia, memiliki kekayaan sendiri, dan digugat dan menggugat di depan pengadilan.

Ad. 2. Perseroan Terbatas Merupakan Persekutuan Modal

Penegasan PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal merupakan penegasan bahwa PT tidak mementingkan sifat kepribadian para pemegang saham yang ada di dalamnya. Penegasan ini ditujukan pula untuk membedakan secara jelas substansi atau sifat badan usaha PT dibandingkan dengan badan usaha lainnya, seperti persekutuan perdata.

Persekutuan perdata, termasuk firma dan persekutuan komanditer terdiri atas dua orang atau lebih yang masing-masing saling mengenal secara pribadi, misalnya antar saudara atau sahabat karib. Meskipun di dalam persekutuan ada peraturan tentang keluar masuknya sekutu, tetapi tidak boleh mengurangi sifat kepribadian pada persekutuan tersebut. Lain halnya dengan keadaan dalam PT, tujuan utamanya adalah penumpukan modal sebanyak-banyaknya dalam batas waktu yang telah ditentukan dalam anggaran dasar. Bagi PT pada umumnya tidak peduli siapa yang akan memasukkan modalnya dalam perseroan, mereka dapat saja saling tidak mengenal satu dengan lainnya. Jadi, dalam PT ini tidak terdapat sifat kepribadian.112

Dalam kenyataannya, tidak semua PT bertujuan untuk menghimpun dana semata (persekutuan atau asosiasi modal) dan mengabaikan sifat kepribadian atau hubungan pribadi pemegang saham. PT dapat diklasifikasikan menjadi dua macam PT, yakni Tertutup dan PT Terbuka atau PT Publik. Di dalam PT Tertutup hubungan pribadi para pemegang saham masih diutamakan. Mereka saling mengenal secara dekat dan tidak banyak jumlahnya. Pemegang saham PT semacam seringkali berasal dari anggota keluarga atau sahabat karib sendiri sehingga seringkali pula PT semacam ini disebut PT keluarga. Ini berlainan kondisinya dengan PT terbuka atau PT publik. Di dalam PT Terbuka atau PT Publik yang diutamakan adalah untuk menghimpun modal sebanyak mungkin dan mengabaikan hubungan pribadi para pemegang saham. Mereka dapat saja saling tidak mengenal satu dengan yang lain. Bagi PT yang melakukan penawaran umum di pasar modal, jumlah para pemegang saham ratusan orang baik orang pribadi maupun badan hukum, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Ad. 3. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Didirikan Berdasarkan Perjanjian

Pasal 1 angka 1 UPPT dengan tegas menyatakan bahwa PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian. Ketentuan ini berimplikasi bahwa pendirian PT harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian. Jadi, dalam pendirian PT, selain tunduk kepada UUPT, tunduk pula pada hukum perjanjian.

Oleh karena PT dinyatakan sebagai badan hukum yang didirikan perjanjian, maka pendirian PT harus pula tunduk kepada persayaratan sahnya perjanjian yang ditentukan KUHPerdata.

Ad. 4. Perseroan Terbatas Melakukan Kegiatan Usaha

Mengingat PT adalah persekutuan modal, maka tujuan PT adalah mendapat keuntungan atau keuntungan untuk dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan itu, PT harus melakukan kegiatan usaha. Jika UUPT menggunakan istilah melakukan kegiatan usaha, KUHD menggunakan istilah menjalankan perusahaan.

Ad. 5. Modal Dasar Perseroan Terbatas Seluruhnya Terbagi dalam Saham

Agar badan hukum dapat berinteraksi dalam pergaulan hukum seperti membuat perjanjian, melakukan kegiatan usaha tertentu diperlukan modal. Modal awal badan hukum itu berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Modal awal itu menjadi kekayaan badan hukum, terlepas dari kekayaan pendiri. Oleh karena itu, salah satu ciri utama suatu badan hukum seperti PT (termasuk PT Persero) adalah kekayaan yang terpisah itu, yaitu kekayaan terpisah kekayaan pribadi pendiri badan hukum itu.114 Pasal 31 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa modal perseroan terdiri seluruh nilai nominal saham. Modal dasar (maatschappelijk kapitaal atau authorized capital atau nominal capital) merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada dalam perseroan.

Pasal 32 ayat (1) UUPT menentukan, bahwa modal dasar perseroan paling sedikit sejumlah Rp. 50. 000.000.000,00 (limapuluh juta rupiah). Namun, Pasal 32 ayat (2) UUPT menentukan pula bahwa untuk bidang usaha tertentu berdasarkan undang-undang atau peraturan pelaksanaan yang usaha tertentu tersebut, jumlah minimum modal perseroan dapat diatur berbeda. Misalnya pengaturan jumlah modal bagi perusahaan- perusahaan yang berkaitan dengan kegiatan pasar modal diatur berdasar UU No. 8 Tahun 1995 jo PP No. 45 Tahun 1995. Penentuan jumlah modal minimum jauh lebih tinggi daripada yang ditentukan Pasal 25 ayat (1) UUPT.

Besarnya jumlah modal dasar perseroan itu tidaklah menggambarkan kekuatan finansial riil perseroan, tetapi hanya menentukan jumlah maksimum modal dan saham yang dapat diterbitkan perseroan. Jika perseroan akan menambah modal yang melebihi jumlah modal tersebut, perseroan harus mengubah anggaran dasar. Perubahan anggaran dasar tersebut harus diputus RUPS.

Besarnya jumlah modal dasar itu disebutkan secara tegas dalam akta pendirian perseroan atau anggaran perseroan. Misalnya ditentukan modal perseroan adalah sejumlah “Rp.250.000.000.000,00 terbagi atas 250.000.000,00 saham, masing-masing saham bernilai nominal sejumlah Rp. 1.000,00.”

Nama PT

Pengaturan mengenai penggunaan nama PT terdapat dalam PP No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. Nama PT itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (1) PP No. 26 Tahun 1998 adalah nama diri PT yang bersangkutan.

Pasal 2 PP No. 26 Tahun 1998 menentukan, bahwa perkataan Perseroan Terbatas atau disingkat “PT” hanya dapat dipergunakan oleh badan usaha yang didirikan sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1995.115 Perkataan “PT” tersebut diletakkan di depan nama perseroan. Misalnya, nama perseroan adalah “Alam Rimba Raya”, maka penyebutan lengkap adalah “PT Alam Rimba Raya”. Khusus bagi perseroan terbuka, di belakang nama perseroan harus ditambahkan kata “Tbk”, misalnya “PT Alam Rimba Raya Tbk”.

Menurut Pasal 3 PP No. 26 Tahun 1998, pemakaian nama perusahaan tersebut harus diajukan kepada Menteri Hukum dan Asasi Manusia (dalam hal ini melalui Direktur Perdata Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undanga116 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) guna mendapatkan persetujuan. Permohonan persetujuan tersebut dapat diajukan bersama atau lebih dahulu secara terpisah dari permohonan pengesahan Akta Pendirian atau permohonan akta Perubahan Anggaran Dasar.

Pasal 4 ayat (1) PP No. 26 Tahun 1998 menentukan bahwa persetujuan pemakaian nama perseroan yang diajukan lebih dahulu terpisah dari permohonan pengesahan akta pendirian atau permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar tersebut di atas diberikan dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari setelah permohonan diterima. Kemudian di dalam ayat (2) ditentukan lagi, bahwa apabila permohonan tersebut di atas ditolak, maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada pemohon secara tertulis beserta alasan dalam jangka waktu 15 hari setelah permohonan diterima.

Pengaturan bagaimana suatu permohonan nama perseroan ditolak atau tidak diterima Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menurut Pasal 5 ayat (1) PP No. 26 Tahun 1998 apabila nama tersebut:

Penjelasan Pasal 5 ayat (1) PP No. 26 Tahun 1998 tersebut menambahkan bahwa termasuk dalam pengertian mirip tersebut adalah kemiripan dalam tulisan, arti atau cara mengucapkannya, misalnya Bhayangkara dengan PT Bayangkara, PT Sampurna dengan PT Sampoerna, PT Bumi Pertiwi dengan PT Bumi Pratiwi.

Di samping alasan tersebut di atas, menurut Pasal 5 ayat (2) PP No. 26 Tahun 1998, Menteri juga menolak memberikan persetujuan pemakaian nama perseroan kepada pemohon apabila nama tersebut:

Modal & Saham PT

Keanggotaan suatu perseroan didasarkan pada kepemilikan satu atau lebih saham perseroan. Setiap saham hanya mewakili satu bagian kecil dari keseluruhan kekayaan yang dimiliki perseroan. Pemegang saham (shareholder atau stockholder) tidak memiliki bagian khusus kekayaan perseroan. Perseroan itu sendiri yang menjadi pemilik seluruh kekayaan yang ada dalam perseroan.

Saham yang diterbitkan kepada pemegang saham disebut sebagai outstanding share. Adapun capital stock adalah modal yang secara kolektif untuk mendirikan suatu perseroan yang dibagi dalam saham-saham. Capital stock mengacu kepada nilai yang diterima oleh perseroan melalui outstanding share di atas.

Modal awal perseroan terbatas berasal dari kontribusi para pemegang saham perseroan. Para pemegang saham tersebut diwajibkan untuk memberikan kontribusi tertentu seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian pelaksanaan kegiatan perseroan atau anggaran dasar perseroan. Modal yang berasal dari kontribusi para pemegang saham tersebut disebut sebagai equitas (equity). Di sini perseroan menerbitkan equity securities berupa saham.139 Para pemegang saham wajib mengambil saham dalam jumlah nominal tertentu yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau anggaran dasar perseroan.

Berkaitan dengan modal equitas ini undang-undang di berbagai negara telah menentukan macam dan persyaratan modal tersebut. Di Indonesia, berdasarkan UUPT modal perseroan tersebut dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

 

Ad. 1. Modal Dasar

Modal dasar (maatschappelijk kapitaal atau authorized capital atau nomi- nal capital) merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada dalam perseroan. Modal ini ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Modal ini terdiri dari sejumlah modal yang terdiri atas saham yang dapat dikeluarkan atau diterbitkan perseroan beserta dengan nilai nominal setiap saham yang diterbitkan tersebut.

Modal dasar juga dapat dipahami sebagai jumlah seluruh modal yang boleh diterbitkan oleh perseroan. Modal dasar harus dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan. Jumlah modal dasar ini dapat ditambah ataupun dikurangi. Penambahan modal hanya dapat dilakukan dengan penerbitan saham baru. Ini hanya dapat dilakukan dengan mengubah anggaran dasar perseroan. Pengubahan anggaran itu sendiri harus dilakukan melalui forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Modal dasar ini harus terbagi menjadi saham-saham dalam jumlah yang tetap (nilai nominal). Perseroan tidak dapat menerbitkan saham jika melebihi jumlah modal dasar yang telah diatur dalam akta pendirian.143 Pasal 32 ayat (1) UUPT menentukan, bahwa modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun, Pasal 32 ayat (2) UUPT menentukan pula bahwa untuk bidang usaha tertentu, seperti perasuransian dan perbankan berdasarkan undang-undang atau peraturan pelaksanaan yang mengatur usaha tertentu tersebut, jumlah minimum modal perseroan dapat diatur berbeda. Misalnya pengaturan jumlah modal bagi perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan kegiatan pasar modal diatur berdasar UU No. 8 Tahun 1995 jo PP No. 45 Tahun 1995. penentuan jumlah modal minimum jauh lebih tinggi daripada yang ditentukan Pasal 25 ayat (1) UUPT.

Pasal 32 ayat (3) UUPT menyebutkan bahwa perubahan persyaratan jumlah minimal modal dasar yang ditentukan sebagaimana ditentukan Pasal 32 ayat (1) di atas dapat diubah melalui PP. Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (3), ketentuan ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan ekonomi. Persyaratan jumlah minimal modal dasar perseroan dapat saja ditambah atau dikurangi sesuai keadaan perekonomian. Perubahan persayaratan tersebut lebih mudah dilakukan jika ditentukan dalam PP. Mekanismenya lebih singkat dan sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah.

Besarnya jumlah modal dasar perseroan itu tidak menggambarkan kekuatan finansial riil perseroan, tetapi hanya menentukan jumlah maksimum modal dan saham yang dapat diterbitkan perseroan.

Besarnya jumlah modal dasar itu disebutkan secara tegas dalam akta pendirian perseroan atau anggaran dasar perseroan. Misalnya ditentukan modal perseroan adalah sejumlah “Rp.250.000.000.000,00 (duaratus limapuluh miliar rupiah) dan terbagi atas 250.000.000,00 (duaratus limapuluh ribu) saham masing-masing saham bernilai nominal sejumlah Rp. 1.000,00 (seribu rupiah).”

Ad. 2. Modal yang Ditempatkan

Modal yang ditempatkan (geplaatst kapitaal atau issued capital atau allotted capital) merupakan modal yang disanggupi para pendiri untuk disetor ke dalam kas perseroan pada saat perseroan didirikan. Modal ini menentukan jumlah nominal saham yang benar-benar diterbitkan oleh perseroan.

Modal yang ditempatkan dapat pula dipahami sebagai modal dasar perseroan yang ditempatkan kepada pemegang saham. Perseroan tidak terikat untuk menempatkan modalnya hanya sekali saja, penempatan tersebut dapat dilakukan berulang kali. Di Inggris, perusahaan publik harus menempatkan modal sahamnya minimal £50,000 dengan tidak melebihi ¼ nilai nominal dari setiap saham ditambah seluruh saham premium yang dibayarkan secara tunai atau sebaliknya. Dalam hal ini, saham para pegawai tidak dihitung dan semua saham bukan termasuk saham pegawai harus dimasukkan dalam penghitungan ini.

Pasal 33 ayat (1) UUPT menentukan, bahwa paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.

Sisa saham yang belum diambil menjadi dana cadangan (reserve capital).146 Dana cadangan itu menjadi saham simpanan atau saham tambahan modal, sehingga dapat dikeluarkan saham simpanan.

Menurut Pasal 33 ayat (2) UUPT modal ditempatkan disetor penuh sebagaimana dimaksud ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Menurut Penjelasan Pasal 33 ayat (2), yang dimaksud dengan bukti penyetoran yang sah, antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening atas nama perseroan, data dari laporan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca perseroan yang ditandatangani oleh direksi atau dewan komisaris.

Pasal 33 ayat (3) UUPT menyebutkan bahwa pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh. Menurut Penjelasan pasal 33 ayat (3) UUPT, ketentuan ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran saham dengan mengangsur.

Ad. 3. Modal yang Disetor

Modal yang disetor (gestort kapitaal atau paid up capital) merupakan modal perseroan yang berupa sejumlah uang tunai atau bentuk lainnya yang diserahkan pada pendiri kepada kas perseroan pada saat perseroan didirikan. Ini merupakan proporsi nominal saham yang benar-benar dibayar pemegang saham.

Modal yang disetor dapat pula dipahami sebagai modal yang disetorkan oleh pemegang saham pada saat perseroan didirikan. Modal disetor yang dimiliki oleh perseroan tidak hanya dalam bentuk saham, tetapi juga dapat berupa surat berharga atau bentuk yang lain.148

Berbeda dengan Pasal 26 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1995, yang menentukan bahwa setiap penempatan modal di atas harus telah disetor paling sedikit 50% dari nominal setiap saham yang dikeluarkan, Pasal 33 ayat (2) UUPT menentukan bahwa modal yang ditempatkan itu harus disetor secara penuh.

Penyetoran atas modal saham tersebut menurut Pasal 34 ayat (1) dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Menurut Penjelasan Pasal 34 (2) UUPT, pada umumnya penyetoran saham adalah dalam bentuk uang. Namun, tidak ditutup kemungkinan penyetoran saham dalam bentuk lain, baik berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud, yang dapat dinilai dengan uang dan yang secara nyata telah diterima oleh perseroan. Penyetoran saham dalam bentuk selain uang harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut.

Menurut Pasal 34 ayat (2) UUPT, dalam penyetoran saham tidak berbentuk uang, penilaian setoran saham ditentukan berdasar nilai wajar yang ditentukan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli tidak terafiliasi dengan perseroan.

Menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UUPT nilai wajar setoran modal saham ditentukan sesuai dengan nilai pasar tidak tersedia, nilai wajar ditentukan berdasarkan teknik penilaian yang paling sesuai dengan karakteristik setoran, berdasarkan informasi yang relevan dan terbaik.

Adapun yang dimaksud dengan ahli yang tidak terafiliasi menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UUPT adalah ahli yang tidak mempunyai:

Dalam hal penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak, berdasar Pasal 34 ayat (3) UUPT, harus diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar harian, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran tersebut. Maksud diumumkannya penyetoran saham dalam bentuk benda bergerak dalam surat kabar menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (3) adalah agar diketahui umum dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk dapat mengajukan keberatan atas penyerahan benda tersebut sebagai setoran saham, misalnya ternyata diketahui benda tersebut bukan milik penyetor.

Karena modal yang disetor berupa uang tunai atau bentuk lainnya yang secara riil disetor para pendiri ke dalam kas perseroan, maka dengan modal yang disetor dapat menggambarkan kekuatan finansial riil perseroan pada saat perseroan didirikan.

Berlainan dengan UUPT yang hanya mensyaratkan pendirian PT pada jumlah minimum modal dasar, dalam bidang usaha tertentu justru yang dipersyaratkan dengan modal minimumnya adalah modal yang disetor. Misalnya, pendirian perusahaan efek nasional yang menjalankan Perantara Pedagang Efek harus memiliki modal yang disetor minimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).149 Pola yang sama juga dipersyaratkan dalam permodalan bank berdasarkan Undang-Undang Perbankan.

Tujuan persyaratan modal minimum tersebut dimaksudkan agar PT didirikan setidak-tidaknya sudah memiliki modal yakni sebesar modal yang disetor. Tentunya pula hal tersebut dapat menjadi jaminan bagi setiap tagihan terhadap pihak ketiga terhadap PT. Jelaslah bahwa kesemuanya itu dalam rangka pemberian perlindungan jaminan terhadap tagihan pihak ketiga.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, modal PT terbagi habis dalam saham-saham. Pihak yang menjadi pemodal dalam PT tersebut mendapatkan saham dan menjadi pemegang saham di PT yang bersangkutan. Pasal 52 ayat (1) UUPT menentukan bahwa saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk:

Pasal 31 ayat (1) UUPT menentukan bahwa modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Bahkan, Pasal 15 ayat (1) Huruf d, menentukan bahwa dalam anggaran dasar harus tercantum besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Kemudian dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e ditentukan lagi bahwa dalam anggaran dasar disebutkan jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal saham. Selanjutnya Pasal 49 UUPT menentukan:

1.    Nilai saham harus ditentukan dalam nilai rupiah.

2.    Saham tanpa nilai nominal tak dapat dikeluarkan.

3.    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan diaturnya pengeluaran saham tanpa nominal dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Dengan demikian, pada dasarnya saham harus memuat nilai nomi- nal tertentu. Saham tidak dapat diterbitkan tanpa nominal. Namun, UUPT memberikan peluang untuk dikeluarkannya saham tanpa nilai nominal berdasarkan undang-undang di bidang pasar modal.

Pasal 28 ayat (1) UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) menentukan bahwa Saham Reksa Dana Terbuka berbentuk perseroan dikeluarkan tanpa nilai nominal.

Dalam Pasal 84 A ayat (1) Rancangan Undang-Undang Pasar Modal ditentukan bahwa emiten dan perusahaan publik dapat menerbitkan saham tanpa nilai nominal atau saham tanpa nominal. Kemudian ayat (2)  pasal tersebut menentukan lagi bahwa emiten dan perusahaan publik hanya dapat menerbitkan salah satu dari saham dengan nilai nominal atau saham tanpa nilai nominal.

UUPT memungkinkan perseroan mengeluarkan saham dalam beberapa klasifikasi saham (class of shares). Klasifikasi saham sendiri adalah kelompok saham yang satu sama lain mempunyai karakteristik yang sama, dan karakteristik mana membedakannya dengan saham yang merupakan kelompok saham dari klasifikasi yang berbeda.

Jika saham diterbitkan dengan klasifikasi, maka klasifikasi beserta jumlah klasifikasi saham dan jumlah saham untuk setiap klasifikasi harus disebutkan di dalam anggaran dasar perseroan.

Pasal 53 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa anggaran dasar menyebutkan satu klasifikasi saham atau lebih. Menurut Pasal 46 ayat (2) UUPT, setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan hak yang sama kepada pemegangnya.

Kemudian, dalam hal terdapat lebih dari satu klasifikasi saham, maka menurut Pasal 53 ayat (3) UUPT, anggaran dasar menetapkan salah satu diantaranya sebagai saham biasa. Apabila saham yang diterbitkan lebih dari satu klasifikasi, maka menurut Pasal 53 ayat (4) UUPT, di dalam anggaran dasar dapat ditetapkan satu klasifikasi saham atau lebih, antara lain:

Berdasarkan klasifikasi di atas, saham-saham tersebut dapat dibedakan berdasarkan hak pemegang sahamnya, yakni:

Saham biasa adalah saham yang tidak memiliki keistimewaan. Setiap saham ini biasanya memberikan hak kepada pemegangnya satu suara, hak untuk mendapat dividen, dan hak untuk mendapatkan sisa kekayaan setelah pembubaran dan likuidasi.

Menurut Penjelasan Pasal 53 ayat (3) UUPT, saham biasa adalah saham yang mempunyai hak suara untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, mempunyai hak menerima dividen yang dibagikan, dan menerima sisa kekayaan hasil likuidasi. Hak bersuara yang dimaksud di atas juga dimiliki oleh pemegang saham klasifikasi lainnya.

Pemegang saham biasa ini tidak memiliki hak lebih tertentu dari pemegang saham klasifikasi lainnya.

Saham istimewa merupakan saham yang memiliki keunggulan atau keistimewaan daripada saham biasa,. Keunggulan tersebut antara lain berkaitan dengan pembagian dividen, pembagian sisa kekayaan perseroan setelah perseroan dibubarkan dan dilikuidasi.1

Umumnya hak untuk menerima dividen bergantung pada pengumuman dividen yang dilakukan oleh dewan direksi untuk jangka waktu tertentu. Jika tidak ada dana pada saat pengumuman pembagian dividen tersebut atau jika direksi mengumumkan bahwa tidak ada dan yang tersedia pada saat pengumuman dividen, maka pemegang saham tidak memiliki hak atas dividen. Pemegang saham yang tidak menerima dividen tersebut tidak serta merta akan mendapat dividen yang diakumulasikan pada tahun berikutnya. Jika tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa hak atas dividen non akumulatif, maka pemegang saham tidak memiliki hal akumulasi dividen. akumulasi dividen ini diberikan untuk setiap tahun jika ada kelebihan dana pada saat pengumuman pembagian dividen dilaksanakan.

Ini merupakan hak yang termasuk dalam klausul oligarchie atau klausul autokratis. Kepada pemegang saham prioritas ini diberikan kekuasaan berbicara yang sangat penting.155 Klausul ini tidak selalu ada dalam anggaran dasar, tetapi dapat diadakan jika dikehendaki. Klausul oligarchie (oligarchie clausule)156 sendiri adalah klausul di dalam anggaran dasar PT di mana pemegang saham tertentu memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki pemegang saham lainnya. Pemilihan atau penunjukkan direksi dan komisaris perseroan biasanya terikat pada pencalonan yang dikemukakan oleh pemegang saham yang memiliki hak istimewa tersebut.

Dalam mekanismenya, dalam anggaran dasar dapat ditentukan dua macam saham Disamping ada saham biasa juga dikeluarkan saham prioritas. Saham prioritas ini adalah saham, khusus yang memberikan hak istimewa kepada pemegang atau pemiliknya, Keistimewaan saham ini terletak dalam RUPS ketika dilakukan pemilihan pengurus. dalam anggaran dasar dapat ditentukan bahwa pemegang prioritas berhak mengajukan calon yang akan dipilih sebagai pengurus. Pemegang saham biasa hanya tinggal memilih siapa yang akan ditunjuk sebagai pengurus dari calon yang telah diajukan pemegang saham prioritas.

Selain memiliki hak untuk mengajukan untuk mengajukan calon pengurus, pemegang saham prioritas ini dapat pula memiliki hak veto terhadap perubahan anggaran dasar dalam RUPS. Dapat pula dirumuskan dalam anggaran dasar bahwa RUPS tidak sah jika tidak dihadiri pemegang saham prioritas atau hasil keputusan RUPS tidak sah jika tidak disetujui pemegang saham prioritas.

Saham prioritas ini biasanya diberikan kepada pendiri atau anggota dewan komisaris tertentu.

Contoh saham prioritas dapat dilihat dari anggaran dasar PT Telekomunikasi Indonesia (Persero).

Pasal 4 anggaran dasar perseroan tersebut menyebutkan:

“Modal dasar perseroan berjumlah Rp. 20.000.000.000.000,00 (Dua puluh triliun rupiah) terbagi atas 400.000.000.000 (Empat ratus milyar) saham yang terdiri dari 1 (satu) saham Seri A Dwiwarna dan 39.999.999.999 (Tiga puluh sembilan milyar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan) saham seri B, tiap-tiap saham dengan nilai nominal Rp. 500,00 (lima ratus rupiah).

Negara Republik Indonesia memiliki sebanyak 1 (satu) saham Seri A Dwiwarna yang memiliki hak istimewa, dan juga saham biasa Seri B.”

 Pasal 9 ayat (3):

“Pengangkatan dan pemberhentian para anggota Direksi dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, dimana dalam Rapat Umum Pemegang Saham tersebut harus dihadiri oleh pemegang saham Seri A Dwiwarna dan keputusan Rapat tersebut harus disetujui pemegang saham Seri A Dwiwarna”

Pasal 13 ayat (2):

“Pengangkatan dan pemberhentian para anggota Dewan Komisaris dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham, di mana dalam Rapat Umum Pemegang Saham tersebut harus dihadiri oleh pemegang saham Seri A Dwiwarna dan keputusan rapat tersebut harus disetujui oleh pemegang saham Seri A Dwiwarna”

 

Biasanya dalam saham istimewa tidak terdapat hak voting di dalamnya. Hal ini merupakan hal yang tidak lazim bagi perseroan untuk mengeluarkan saham istimewa tanpa adanya hak voting dalam RUPS, bahkan jika saham tersebut tercatat dalam bursa saham. Untuk itu, pemegang saham istimewa harus diberikan hak voting yang memadai dalam anggaran dasar perseroan. Hak voting akan diberikan kepada pemegang saham istimewa secara memadai dalam hal:

Saham biasa juga mempunyai keuntungan yang lain, seperti dividen mereka tidak tetap dan dapat terus meningkat seiring dengan tingkat keuntungan perseroan. Keuntungan lainnya yaitu bahwa perseroan dapat memberikan bonus bagi pemegang saham yang tidak membayar secara tunai, atau perseroan dapat mengeluarkan saham baru dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang dijual untuk pihak luar, dan kedua hal tersebut secara umum hanya ditawarkan perseroan kepada pemegang saham biasa.

Selain ketiga jenis saham di atas dikenal pula saham pendiri dan saham bonus. Saham pendiri adalah saham diberikan sebagai balas jasa terhadap jasa-jasa para pendiri dalam mendirikan dan mengembangkan perseroan.

Di sini tidak ada kewajiban penyetoran baik berwujud uang atau bentuk lainnya.

Adapun saham bonus adalah saham biasa yang diberikan kepada pemegang saham yang telah ada tanpa penyetoran. Saham bonus diberikan sebagai ganti hak menagih kepada perseroan atas dana cadangan atau dana kelebihan (surplus) dari modal yang ditempatkan. Hak menagih itu timbul misalnya, karena adanya keuntungan atau hasil luar biasa dari kegiatan perseroan atau penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap.157

Berdasarkan cara peralihan saham, saham dapat dibedakan:

Berbeda dengan UUPT yang lama, UUPT 2007 hanya mengakui saham atas nama. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 48 ayat (1) UUPT (2007) menentukan bahwa saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Penjelasan Pasal 48 ayat (1) menambahkan bahwa perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan atas nama pemiliknya dan perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk.

Berkaitan dengan pemindahan hak atas saham, Pasal 55 UUPT menyebutkan bahwa dalam anggaran dasar ditentukan cara pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 56 ayat (1) UUPT menentukan bahwa, pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak. sedangkan untuk peralihan atas tunjuk cukup dilakukan dengan penyerahan secara fisik. Akta pemindahan hak tersebut dapat dilakukan dengan akta notaris (akta otentik) maupun dengan akta di bawah tangan (private deed). Menurut Pasal 56 ayat (2) UUPT, akta pemindahan hak tersebut atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada perseroan.

Pasal 56 ayat (3) UUPT mewajibkan direksi untuk mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham dan memberitahukannya perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri untuk dicatat cat dalam daftar perseroan. Pemberitahuan tersebut harus disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak. Menurut Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UUPT, memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri adalah termasuk juga perubahan susunan pemegang saham yang disebabkan karena warisan, pengambilalihan, atau pemisahan. Khusus untuk pemindahan hak atas saham yang diperdagangkan di pasar modal berlaku ketentuan khusus. Pemindahan hak atas saham di sini tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 57 ayat (1) UUPT menentukan, bahwa dalam anggaran dasar dapat diatur mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu:

Pasal 57 ayat (2) UUPT menentukan, bahwa ketentuan yang disebut dalam pasal 67 ayat (1) di atas tidak berlaku dalam hal pemindahan hak atas saham disebabkan peralihan hak karena hukum, kecuali keharusan mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang yang disebut di atas. Menurut Penjelasan Pasal 57 ayat (2) UUPT yang dimaksud dengan peralihan karena hukum, antara lain peralihan karena kewarisan atau peralihan hak sebagai akibat penggabungan, peleburan, atau pemisahan. Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menjual sahamnya kepada pihak ketiga.

Setiap pemegang saham penjual yang diharuskan menawarkan saham kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain itu berhak menarik kembali penawaran tersebut setelah melewati 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penawaran.

Kewajiban menawarkan kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain tersebut hanya berlaku 1 (satu) kali.60 Makna hanya satu kali di sini adalah anggaran dasar perseroan tidak boleh menentukan penawaran saham lebih dari satu kali sebelum menawarkan kepada pihak ketiga.

Pemberian persetujuan pemindahan hak atas saham yang memerlukan persetujuan organ atau penolakannya harus diberikan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal organ perseroan menerima permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut.162 Apabila lewat dalam jangka waktu tersebut, organ perseroan tidak memberikan pernyataan tertulis, maka organ perseroan dianggap menyetujui pemindahan hak atas saham tersebut.163 Dalam hal pemindahan hak disetujui oleh organ perseroan, pemindahan hak harus dilakukan dengan akta pemindahan hak dan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilanpuluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan.

Organ PT

Perseroan adalah badan hukum. Hal ini berarti bahwa perseroan merupakan subjek hukum di mana perseroan sebagai sebuah badan yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia pada umumnya. Oleh karena itu, sebagai badan hukum perseroan terbatas mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan pengurusnya, dan dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan atas nama dirinya sendiri.

Walaupun PT adalah subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, memiliki kekayaan, dapat dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan atas nama dirinya sendiri, namun tidak sebagaimana manusia, PT sebagai badan hukum tidak memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri. Oleh karena itu, ia tidak dapat melakukan perbuatan dan hubungan sendiri. Ia harus bertindak dengan perantaraan orang alamiah yang menjadi pengurus badan hukum tersebut. Perbuatan para pengurus tersebut bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama serta tanggung jawab badan hukum.164

Ketentuan-ketentuan yang memuat persyaratan konstitutif badan hukum dapat ditemukan dalam anggaran dasar dan/atau peraturan perundang-undangan yang menunjuk orang-orang mana yang dapat bertindak untuk dan atas tanggung jawab badan hukum. Orang-orang tersebut disebut sebagai organ badan yang merupakan suatu esensial organisasi itu.165

Pasal 1 Butir 2 UUPT secara tegas menyebutkan, bahwa organ perseroan terdiri atas:

UUPT mengharuskan PT untuk memiliki tiga organ, yakni rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris. Dalam sistem hukum perseroan Belanda ditentukan bahwa, NV setidak-tidaknya memiliki dua organ, yakni RUPS (algemene vergadering van aandeelhouders) dan direksi (raad van bestuur). Jika diperlukan, anggaran dasar dapat menentukan pembentukan dewan komisaris (raad van commisarissen). Apabila suatu perseroan termasuk dalam kategori perseroan besar (large companies), ditentukan aturan khusus. Bagi perseroan besar atau perseroan yang memiliki lebih dari 50 (limapuluh) pekerja) berdasar Wet op Ondernemingsgraden wajib ada organ yang lain, yaitu ondernemingsraad. Di dalam sistem Common Law hanya ada organ PT, yakni RUPS (general meeting of shareholders) dan direksi (board of directors).

1.  Rapat Umum Pemegang Saham

a.         Kedudukan dan Kewenangan RUPS

Pemegang saham di dalam perseroan tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka tidak boleh mencampuri pengelolaan perseroan. Pemegang saham itu baru memiliki kekuasaan tertentu terhadap perseroan jika mereka bertemu dalam satu forum yang disebut RUPS.

Forum ini merupakan metode terbaik untuk mengambil keputusan. Tujuan diadakannya RUPS baik berdasar peraturan perundang-undangan maupun anggaran dasar adalah untuk memungkinkan pemegang saham memiliki kesempatan untuk mengetahui dan mengevaluasi kegiatan perseroan dan manajemen perseroan pada waktu yang tepat tanpa turut campur tangan terhadap perseroan manakala perseroan melakukan kegiatan bisnis.166

Dalam hukum perseroan Indonesia, suatu RUPS dikatakan sah jika forum dihadiri oleh minimal dua orang pemegang saham. Oleh karena PT didirikan berdasar perjanjian, maka pendiri atau pemegang saham PT minimal harus ada dua orang. Kata rapat atau meeting dalam bahasa Inggris bermakna sebagai pertemuan dua orang atau lebih.

Sekarang timbul pertanyaan, apa urgensi RUPS di dalam perseroan yang pemegang saham satu orang? Hal ini dapat terjadi mengingat hukum perseroan di beberapa negara seperti Belanda memungkinkan perseroan didirikan oleh satu orang saja. Dengan perkataan lain, di dalam perseroan dimungkinkan hanya terdiri atas satu pemegang saham saja. Dalam konteks ini pemegang saham dapat langsung mengambil keputusan tanpa melibatkan pihak lain.






Pasal 1 angka 4 UUPT jo Pasal 78 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa RUPS merupakan organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak

166 Simon Fisher, et.al, Corporation Law (Australia: Butterworths, 2001), hlm 102.


 

diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.

Walaupun tidak ada ketentuan yang tegas dalam undang-undang mengenai batas-batas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh RUPS dalam suatu perseroan terbatas, tetapi dapat ditarik beberapa pedoman sebagai berikut:167

1)   RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku

2)   RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan dalam anggaran dasarnya. Namun demikian, anggaran dasar dapat diubah oleh RUPS asal memenuhi syarat untuk itu.

3)   RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan yang dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor, masyarakat sekitar, dan sebagainya.

4)   RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan dari direksi dan dewan komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip kewenangan residual dari RUPS.

RUPS sebagai organ PT, memiliki beberapa kewenangan eksklusif tertentu yang diberikan UUPT. Kewenangan tersebut berkaitan dengan:

1) Penetapan perubahan anggaran dasar;

2)     Pembelian kembali saham oleh perseroan atau pengalihannya;

3)     Penambahan modal perseroan;

4)     Pengurangan modal perseroan;

5)     Persetujuan rencana kerja tahunan;

 6) Pengesahan neraca dan laporan keuangan perseroan;

7)     Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan pengawasan dewan komisaris;

8) Penetapan penggunaan laba;

9)     Pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris;176 10)Penetapan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan;

dan

11)Penetapan pembubaran perseroan.

Di dalam sistem hukum perseroan Belanda, RUPS bukan merupakan forum untuk mengangkat dan mengusulkan penggantian anggota direksi (raad van bestuur) atau dewan komisaris (raad van commissarissen), tetapi lebih banyak untuk menentukan pembagian dividen atau pembagian laba. Apabila pemegang saham tidak puas dengan kebijakan perseroan yang dilakukan oleh dewan komisaris (raad van commissarissen), maka mereka dapat melakukan gugatan atau memilih jalan keluar terakhir dengan menjual saham perusahaan yang dimilikinya.179

b.        Penyelenggaraan RUPS

1). Mata Acara RUPS

Menurut Pasal 75 ayat (2) UUPT, dalam forum RUPS pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari direksi dan/atau dewan komisaris sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan perseroan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) di atas, Penjelasan Pasal 75 (2) UUPT menjelaskan bahwa ketentuan pada ayat ini dimaksudkan dengan hak pemegang saham untuk memperoleh keterangan berkaitan dengan mata acara rapat dengan tidak mengurangi hak pemegang saham untuk mendapat keterangan lainnya berkaitan dengan hak pemegang saham yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain hak pemegang saham untuk melihat daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4), serta hak pemegang saham untuk mendapatkan bahan rapat segera setelah panggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 75 ayat (3) UUPT menentukan bahwa RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata rapat. Kemudian oleh Pasal 75 ayat (4) ditentukan pula bahwa keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan itu harus pula disetujui dengan suara bulat.

2) Tempat Pelaksanaan RUPS

Berkaitan dengan tempat penyelenggaraan RUPS, di dalam UUPT diatur dalam Pasal 76 ayat (1) sampai dengan (6). RUPS diadakan di tempat kedudukan perseroan atau di tempat perseroan melakukan kegiatan usaha utamanya yang ditentukan oleh anggaran dasar. Bagi Perseroan terbuka, RUPS diadakan di tempat kedudukan bursa di mana perseroan dicatatkan (listed). Semua tempat di atas harus terletak di wilayah Republik Indonesia. Ketentuan ini menutup kemungkinan RUPS diadakan di luar negeri. Jika dalam RUPS hadir dan /atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakannya di manapun juga sepanjang tempat itu masih di wilayah Republik Indonesia. Pengambilan keputusan ini dalam RUPS harus disetujui secara bulat.

Mengingat perkembangan teknologi elektronik dan komunikasi, Pasal 77 ayat (1) UUPT memberikan kemungkinan RUPS tidak dilaksanakan bertatap muka secara langsung. RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi (teleconference), video konferensi (video conference), atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.

3)    RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa

UUPT mengenal dua macam RUPS. Pasal 78 ayat (1) menyebutkan RUPS terdiri atas RUPS tahunan (annual general meetings) dan RUPS lainnya. RUPS lainnya ini adalah apa yang di dalam masyarakat atau praktik dikenal sebagai RUPS Luar Biasa (extra ordinary general meetings). RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir,180 sedangkan RUPS lainnya atau rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan.181 Dalam RUPS tahunan, semua dokumen dari laporan tahunan perseroan

harus diajukan.

Biasanya RUPSLB diadakan untuk membahas dan mengambil keputusan atas masalah-masalah yang timbul secara mendadak dan memerlukan penanganan segera. Jika tidak segera dilakukan penanganan terhadap permasalahan tersebut akan menghambat operasionalisasi PT. Adapun RUPS Tahunan antara lain bertujuan untuk menilai dan memberikan keputusan atas laporan direksi mengenai kegiatan PT pada tahun yang lampau dan rencana kegiatan direksi pada tahun berikutnya.182

Di dalam praktik seringkali ada kesalahan dalam memahami kedua bentuk RUPS tersebut. Seringkali sebuah PT menyelenggarakan kedua RUPS tersebut pada hari yang sama. Pertama diadakan RUPS Tahunan, berselang beberapa jam kemudian diselenggarakan RUPSLB. Misalnya, di dalam RUPS diagendakan acara laporan pertanggungjawaban direksi atas jalannya perseroan tahun buku 2007, pengesahan dan laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit dan berakhir per 31 Desember 2007. Kemudian RUPSLB diagendakan acara tentang peningkatan modal dasar perseroan. Di sini sebenarnya tidak ada urgensinya penyelenggaraan RUPSLB, karena tidak ada masalah mendadak yang segera diputus. Permasalahan penambahan modal tersebut sebenarnya dibicarakan di RUPS tahunan saja. Jadi, kedua mata acara tersebut dijadikan satu di dalam RUPS Tahunan.

Salah satu masalah yang segera diselesaikan dan memerlukan keputusan RUPS adalah pengangkatan atau penunjukkan salah seorang anggota direksi karena anggota direksi yang lama meninggal dunia, padahal RUPS Tahunan masih lama, sehingga perlu segera diadakan RUPSLB.

4)  Penyelenggara RUPS

Organ PT yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan dan RUPSLB adalah direksi. Penyelenggaraan RUPS adalah wewenang direksi. Dalam hal-hal tertentu (direksi berhalangan atau ada pertentangan kepentingan antara direksi dengan perseroan) sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, maka pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh komisaris.

Penyelenggaraan RUPS baik RUPS Tahunan maupun RUPSLB dapat pula dilaksanakan atas permintaan:183

a)   1 (satu) orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih kecil bila diperbolehkan oleh anggaran dasar perseroan; atau

b)   Dewan komisaris.

Permintaan tersebut diajukan kepada direksi dengan surat tercatat disertai alasannya. Surat tercatat tersebut yang disampaikan oleh pemegang saham tembusannya disampaikan kepada dewan komisaris.184

Direksi wajib melakukan pemanggilan dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.185 Dalam hal direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS tersebut:186

a)   permintaan penyelenggaraan RUPS tersebut diajukan kembali kepada dewan komisaris; atau

b)   dewan komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS tersebut.

Dewan komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS tersebut dalam jangka waktu paling lama 15 (limabelas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.187

Berdasar Pasal 79 ayat (8) UUPT, RUPS yang diselenggarakan direksi sebagaimana dimaksud Pasal 79 ayat (5) UUPT membicarakan masalah dengan alasan yang dimaksud ayat (3) yakni alasan permintaan diadakannya RUPS dan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh direksi.188

Kemudian RUPS yang diselenggarakan oleh dewan komisaris berdasar panggilan yang dimaksud ayat (6) huruf a hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan permintaan diadakannya RUPS.189

Menurut Pasal 79 ayat (10) UUPT, penyelenggaraan RUPS Perseroan Terbuka tunduk kepada ketentuan UUPT sepanjang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak menentukan lain.

5)  Peranan Pengadilan dalam Penyelenggaraan RUPS

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa direksi atau dewan komisaris memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan RUPS, namun dalam hal tertentu pemegang saham juga dapat meminta kepada direksi untuk diselenggarakan RUPS. Apabila permohonan tersebut tidak ditolak atau tidak dilaksanakan oleh direksi, pemohon dapat meminta penetapan ketua pengadilan negeri untuk melaksanakan RUPS dimaksud. Dalam kondisi semacam ini penetapan tersebut memiliki peranan penting untuk mengatasi kebuntuan pelaksanaan RUPS.

Dalam hal direksi atau komisaris tidak melakukan sendiri pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima, maka pemohon yakni pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS. Hal itu dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. Permohonan tersebut diajukan untuk meminta penetapan izin kepada pemohon untuk melakukan pemanggilan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.190

Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, direksi dan/atau dewan komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggrakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.191 Penetapan ketua pengadilan tersebut menurut Pasal 80 ayat (3) UUPT memuat juga ketentuan mengenai:

a)   bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan / atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan UUPT atau anggaran dasar; dan/atau

b)   perintah yang mewajibkan direksi dan/atau dewan komisaris untuk hadir dalam RUPS.

Ketua pengadilan akan menolak permohonan tersebut apabila pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon memiliki yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.192

RUPS yang demikian ini menurut Pasal 80 ayat (5) UUPT hanya boleh embicarakan mata acara sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Dengan ketentuan ini, tertutup kemungkinan bagi pemohon penyelenggara RUPS tersebut untuk membuat mata acara tersendiri.

Penetapan pemberian izin penyelenggaraan RUPS dari ketua pengadilan negeri berdasar Pasal 80 ayat (6) UUPT adalah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri itu menolak permohonan penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham, berdasar Pasal 80 ayat (7) dapat dilakukan upaya hukum berupa kasasi.

Ketentuan mengenai permohonan penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham kepada pengadilan ini menurut Pasal 80 ayat (8) UUPT berlaku juga bagi perseroan terbuka dengan memperhatikan persayaratan pengumuman akan diadakannya RUPS dan persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.

Dikabulkan atau tidak suatu permohonan untuk penetapan izin penyelenggaraan RUPS yang dimohon pemegang saham oleh ketua pengadilan negeri sangat bergantung pada bukti-bukti dan alasan hukum yang didalilkan pemohon.

6)  Pemanggilan RUPS

Pada dasarnya direksi merupakan organ di dalam PT yang memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS. Oleh karena kewenangan dan kewajiban tersebut ada di direksi, maka kewajiban untuk melakukan pemanggilan kepada pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS juga berada pada direksi.

Dalam hal tertentu pemanggilan tersebut dilakukan oleh dewan komisaris atau pemegang saham berdasar penetapan ketua pengadilan negeri.193 Pemanggilan RUPS yang dilakukan oleh dewan komisaris antara dilakukan dalam hal direksi tidak menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud Pasal 79 ayat (6) UUPT, direksi berhalangan atau terdapat pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan.

Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS tersebut dilakukan dengan surat tercatat dan/atau dengan iklan di surat kabar.195 Jangka waktu 14 (empat belas) hari ini adalah jangka waktu minimal untuk memanggil rapat. Oleh karena itu, dalam anggaran dasar tidak dapat menentukan jangka waktu lebih singkat dari 14 (empat belas) hari kecuali untuk rapat kedua atau rapat ketiga sesuai dengan ketentuan UUPT.196

Di dalam pemanggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS diadakan. Perseroan wajib memberikan salinan bahan-bahan tersebut secara cuma- cuma jika diminta.

Dalam hal pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, keputusan RUPS tetap sah jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.

Bagi perseroan terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan pengumuman. Pengumuman ini berisi pemanggilan RUPS dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pengumuman ini dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.199 Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham mengusulkan kepada direksi untuk penambahan acara RUPS.

 7)  Kuorum dalam RUPS

Kuorum RUPS adalah jumlah minimum pemegang saham dengan hak suara yang sah yang harus hadir dalam rapat. Jumlah ini dihitung menurut banyaknya saham yang dipegangnya atau yang dikuasakan kepadanya sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasar dan/atau peraturan perundang-undangan. Jika jumlah kuorum tidak mencukupi, rapat tidak boleh mengambil keputusan apapun. Setelah kuorum terpenuhi, rapat dapat dilanjutkan dan dapat mengambil keputusan.201

Pasal 91 UUPT menentukan bahwa pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 91 UUPT menyebutkan bahwa yang dimaksud “pengambilan keputusan di luar RUPS” dalam praktik dikenal dengan usul keputusan yang diedarkan (circular resolution). Ditambahkan lagi oleh penjelasan pasal tersebut bahwa pengambilan keputusan seperti dilakukan tanpa diadakan RUPS secara fisik, keputusan diambil dengan cara mengirim secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Terakhir, penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “keputusan yang mengikat” adalah keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS.

RUPS dengan cara circular resolution atau circular letter bukan merupakan bentuk RUPS tersendiri seperti RUPS Tahunan dan RUPSLB. Ini hanya merupakan cara untuk melaksanakan RUPS. Cara ini dapat diterapkan baik untuk pelaksanaan RUPS Tahunan atau RUPSLB.

2.  Direksi

a.         Kedudukan Direksi

Direksi merupakan dewan direktur (board of directors) yang dapat terdiri atas satu atau beberapa orang direktur. Apabila direksi lebih dari satu orang direktur, maka salah satunya menjadi Direktur Utama atau Presiden Direktur dan yang lainnya menjadi direktur atau wakil direktur.202 Menurut Pasal 1 butir 5 UUPT, direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Selanjutnya Pasal 92 ayat (1) UUPT menentukan bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Kemudian Pasal 92 ayat (2) UUPT menentukan bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan tersebut sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran dasar.203

Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa direksi di dalam perseroan memiliki 2 (dua) fungsi, yakni fungsi pengurusan (manajemen) dan fungsi perwakilan (representasi).

Pada dasarnya anggota direksi adalah buruh atau pegawai perseroan. Perseroan sebagai badan hukum adalah majikan anggota direksi. Di dalam PT Tertutup seringkali pemegang saham juga menjadi direksi perseroan yang bersangkutan. Walaupun direktur itu adalah pemegang saham, namun ketika dia menjadi direktur, maka dia terikat pada hubungan kerja dengan perseroan. Dengan perkataan lain, dia adalah karyawan perseroan. Di dalam PT Terbuka, biasanya orang yang menjadi anggota direksi adalah orang profesional yang bukan pemegang saham di perseroan yang bersangkutan. Dalam kondisi demikian, anggota direksi murni pekerja

atau karyawan perseroan.

Sebagai konsekuensi dari kedudukan tersebut, maka hubungan hukum antara direksi dan perseroan adalah hubungan kerja yang tunduk kepada hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan. Konsekuensi dari hubungan tersebut adalah hak anggota direksi untuk mendapat upah atau gaji dari perseroan.

Di dalam Pasal 96 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa ketentuan besarnya gaji dan tunjangan anggota direksi ditetapkan berdasar keputusan RUPS. Oleh Pasal 96 ayat (2) UUPT ditentukan bahwa kewenangan RUPS tersebut dapat dilimpahkan kepada dewan komisaris. Kemudian oleh Pasal 96 ayat (3) UUPT ditambahkan bahwa dalam kewenangan tersebut dilimpahkan kepada dewan komisaris, besarnya dan tunjangan anggota direksi ditetapkan berdasar keputusan dewan direksi.

Hubungan antara direksi dan perseroan selain didasarkan hubungan kerja, direksi juga memiliki hubungan fidusia dengan perseroan. Direksi memiliki kedudukan fidusia (fiduciary position) di dalam perseroan.204

PT sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum mesti melalui pengurusnya. Tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak akan dapat berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab mengapa antara badan hukum dan pengurus lahir hubungan fidusia (fiduciary duties) di mana pengurus selalu pihak yang dipercaya bertindak dan menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan perseroan semata.205

Fidusia (fiduciary) dalam bahasa Latin dikenal sebagai fiduciarius bermakna kepercayaan. Secara teknis istilah dimaknai sebagai “memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang”. Seseorang memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala ia memiliki kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki kapasitas fiduciary jika bisnis yang ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang dikuasainya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain. Orang yang memberinya kewenangan tersebut, memiliki kepercayaan yang besar kepadanya. Pemegang amanah pun wajib memiliki iktikad baik dalam menjalankan tugasnya.206

Fiduciary duty akan tercipta jika ada fiduciary relationship. Fiduciary relationship telah menjadi bagian dalam yurisprudensi hukum Anglo- American selama hampir 250 tahun. Sebelumnya pengertian mengenai fiduciary relationship masih menjadi perdebatan panjang. Selain itu, para ahli hukum dan praktisi hukum tidak dapat menjelaskan kapan fiduciary relationship itu muncul, tindakan apa yang termasuk pelanggaran fiduciary relationship, dan apa akibat hukum atas terjadinya pelanggaran tersebut.207 Setelah melalui proses perdebatan yang panjang, para ahli hukum dan praktisi hukum akhirnya menyekapati satu konsep awal fiduciary relationship. Konsep ini menyatakan bahwa fiduciary relationship terjadi ketika terdapat dua pihak di mana salah satu pihak (beneficiary) mempunyai kewajiban untuk bertindak atau memberikan nasehat demi dan untuk kepentingan pihak kedua (fiduciary) mengenai persoalan-persoalan tertentu yang ada di dalam ruang lingkup hubungan tersebut.208

Bentuk fiduciary relationship yang paling umum antara lain trustee – beneficiary, agent – principal, corporate director/officer – corporation, dan partner – partnership. Walaupun demikian, pengadilan menegaskan bahwa bentuk fiduciary relationship tidak hanya semata-mata itu saja.

Fiduciary duty direksi akan memberikan perlindungan yang berarti bagi pemegang saham dan perusahaan. Hal ini dikarenakan pemegang saham dan perusahaan tidak dapat sepenuhnya melindungi dirinya sendiri dari tindakan direksi yang merugikan di mana direksi bertindak atas nama perusahaan dan pemegang saham. Sehingga, untuk menghindari adanya penyalahgunaan aset-aset perusahaan dan wewenang oleh direksi maka direksi dibebankan dengan adanya fiduciary duty.210

Biasanya fiduciary duty direksi dibagi menjadi dua komponen utama yaitu duty of care dan duty of loyalty. Duty of care pada dasarnya merupakan kewajiban direksi untuk tidak bertindak lalai, menerapkan ketelitian tingkat tinggi dalam mengumpulkan informasi yang digunakan untuk membuat keputusan bisnis, dan menjalankan manajemen bisnisnya dengan kepedulian dan kehati-hatian yang masuk akal. Duty of loyalty mencakup kewajiban direksi untuk tidak menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan perusahaan dalam melakukan transaksi di mana transaksi tersebut dapat menguntungkan direksi dengan menggunakan biaya-biaya yang ditanggung oleh perusahaan atau corporate opportunity.211 Duty of loyalty dapat pula dipahami sebagai kewajiban untuk bertindak tanpa rasa egois atau kewajiban beneficiary untuk mengutamakan kepentingan fiduciary-nya.212

Dua kewajiban ini seringkali dibagi lagi menjadi beberapa kewajiban seperti duty of honesty, duty of candor, dan duty of disclosure. Kewajiban- kewajiban tersebut merupakan pengembangan dari penerapan fiduciary duty direksi secara umum untuk beberapa keadaan tertentu. Dengan kata lain, kewajiban-kewajiban tersebut hanya merupakan model untuk membantu mempermudah mengeksplorasi konsep fiduciary duty jika diterapkan dalam satu keadaan tertentu.213

Kepengurusan perseroan terbatas sehari-hari dilakukan oleh direksi. Keberadaan direksi dalam suatu organ perseroan merupakan suatu keharusan dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi. Hal ini dikarenakan perseroan sebagai artificial person, di mana perseroan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan anggota direksi sebagai natural person.

Berdasarkan fiduciary duty, direksi suatu perseroan diberi kepercayaan yang tinggi oleh perseroan untuk mengelola suatu perusahaan. Dalam hal ini, direksi harus memiliki standar integritas dan loyalitas yang tinggi, tampil serta bertindak untuk kepentingan perseroan, secara bona fides.

Direksi juga harus mampu mengartikan dan melaksanakan kebijakan perseroan secara baik demi kepentingan perseroan, memajukan perseroan, meningkatkan nilai saham perseroan, menghasilkan keuntungan pada perseroan, shareholders dan stakeholders. Berdasarkan kewenangan yang ada padanya (proper purposes), direksi harus mampu mengekspresikan dan menjalankan tugasnya dengan baik, agar perusahaan selalu berjalan di jalur yang benar atau layak. Dengan demikian, direksi harus mampu menghindarkan perusahaan dari tindakan-tindakan yang illegal, bertentangan dengan peraturan dan kepentingan umum serta bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat dengan organ perseroan lain, shareholders dan stakeholders.214

Fiduciary duty oleh Black’s Law Dictionary diartikan sebagai a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as the duty that one partner owes to another).

Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya sendiri. Fiduciary duty direksi ini mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:

1)   Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan perseroan.

2)   Direksi tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas persetujuan perseroan.

3)   Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan aset perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga. Selain itu, direksi dalam perseroan juga harus memperhatikan hal-

hal yang bersifat negatif pada perseroan, seperti unfettered discretion, maksudnya agar direksi jangan sampai terbelenggu oleh keinginan- keinginan membuat kebijakan di luar kewenangannya. Dalam artian ini, direksi harus mampu menolak berbagai intervensi dari pemegang saham yang memaksanya untuk mengambil kebijakan demi kepentingan atau motif-motif pribadi.217

Karena kedudukan direksi yang bersifat fiduciary, yang oleh UUPT sampai batas-batas tertentu diakui, maka tanggung jawab direksi menjadi sangat tinggi (high degree). Tidak hanya bertanggungjawab terhadap ketidakjujuran yang disengaja (dishonesty), tetapi dia juga bertanggungjawab secara hukum terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perseroan.218

Pasal 97 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.

Dengan demikian direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, artinya secara fiduciary harus melaksanakan standard of care. Fiduciary duty adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (perseroan).

Dalam menjalankan tugas fiduciary duties, seorang direksi harus melakukan tugasnya sebagai berikut:

1)   Dilakukan dengan iktikad baik;

2)   Dilakukan dengan proper purposes;

3)   Dilakukan dengan kebebasan yang tidak bertanggungjawab (unfettered discretion); dan

4)   Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest).

Oleh karena itu, apabila terjadi conflict of duty dan benturan kepentingan pada saat menjalankan perseroan, direksi harus mampu mengelola secara bijak berbagai pertentangan sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan para pemegang saham. Namun dalam pelaksanaannya, pengelolaan perbedaan kepentingan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya membuat berbagai perjanjian yang menguntungkan perseroan, tidak menyembunyikan suatu informasi untuk kepentingan pribadi, tidak menyalahgunakan kepercayaan dan tidak melakukan kompetisi yang tidak sehat.220

Selain kewajiban berdasarkan fiduciary duty, direksi masih memiliki kewajiban yang yaitu:

1)   Duty of care;

2)   Duties of Loyalty;

3)   Duties of Skill; dan

4)   Duties to Act Lawfully

Ad. 1). Duty of Care;

Direktur dalam menjalankan perusahaan berdasarkan kewenangan yang ada harus selalu waspada dan bertindak dengan perhitungan yang cermat. Dalam kebijakan yang dibuatnya, direktur harus selalu bertindak dengan hati-hati dan mempertimbangkan keadaan, kondisi dan biaya pengelolaan yang besar.221 Dalam duty of care direksi dituntut pertanggungjawabannya secara hukum dan duty of care ini wajib diterapkan bagi direksi dalam membuat setiap kebijakan perseroan dan dalam mengawasi serta memantau kegiatan perseroan. Dengan adanya Duty of care maka direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati- hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap kebijakan direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi yang ada secara patut dan wajar.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan standard of care dengan: “under the law of negligence or of obligations, the conduct demanded of a person in given situation. Typically this involves a person’s giving attention with the possible dangers, mistakes, and pitfalls and to ways of minimizing those risks.

Standard of care merupakan suatu standar yang mewajibkan seseorang dalam bertindak untuk tetap memperhatikan segala risiko, bahaya dan perangkap yang ada dan berupaya untuk meminimalisisi munculnya risiko-risiko tersebut. Sehingga dalam bertindak seorang direksi harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan ketelitian, supaya dapat menghindari segala kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan duty of reasonable care, maka Business Judgment Rule sebagai salah satu usaha pembelaan diri bagi direksi dalam mengelola perusahaan. Business Judgment Rule mendalilkan bahwa seorang direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai direksi, bila direksi meyakini, bahwa tindakan yang dilakukan adalah yang terbaik untuk perseroan dan dilakukan dengan jujur, beriktikad baik hanya untuk kepentingan perseroan semata.

Ad. 2). Duties of Loyalty

Sikap setia yang harus ditunjukkan oleh direksi dalam perusahaan adalah sikap yang didasarkan pada pertimbangan rasional dan profesional. Dalam arti ini, direksi harus mampu bersikap tegas sesuai dengan visi dan misi serta Anggaran dasar Perseroan Terbatas. Maksud dari kesetiaan adalah direksi harus selalu berpihak pada kepentingan perusahaan yang dipimpinnya. Direksi yang diberikan kepercayaan oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham dan stakeholders, bertindak untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta bertindak dengan mengutamakan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadi.226

Black’s Law Dictionary mendefinisikan duty of loyalty dengan: “A person’s duty not to engage in self-dealing or otherwise use his or her position to further personal interests rather than those of the beneficiary”.

Jadi dalam hal ini, kepatuhan dan pengabdian kepada perseroan adalah tugas dan kewajiban utama direksi. Direksi dilarang menggunakan posisinya untuk mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan perusahaan yang telah memberinya kepercayaan dan segala perbuatan hukum yang menguntungkan pribadi direksi dan merugikan perseroan merupakan hal yang bertentangan dengan duty of loyalties.

Terkait dengan duty of loyalty, direksi juga dilarang untuk melakukan hal-hal seperti bersaing dengan perusahaan yang bertujuan merusak perusahaan tersebut, merebut kesempatan yang ada dalam perusahaan, merealisasikan keuntungan pribadi yang berasal dari informasi material yang ada, menggunakan aset perusahaan demi kepentingan pribadinya, dan ikut serta dalam pembuatan perjanjian yang memunculkan adanya benturan kepentingan.

Ad. 3). Duties of Skill

Kemampuan atau keahlian mengurus perseroan merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh direksi dan komisaris. Sebagai pucuk pimpinan suatu perseroan, kualifikasi profesional ini menjadi persyaratan yang tidak dapat ditawar.

Direksi harus mempunyai keahlian dan pengetahuan untuk mengelola suatu perusahaan. Beberapa ketentuan mengenai persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Direksi adalah berumur antara 21-55 tahun, minimum pendidikan S1 dari perguruan tinggi, lulus psycho test serta telah mempunyai pengalaman kerja pada perusahaan sejenis paling sedikit 5 (lima) tahun. Untuk perusahaan tertentu direksi harus terlebih dahulu lulus fit & proper test.

Ad. 4). Duties to Act Lawfully

Direksi yang diberi kepercayaan oleh pemegang saham berkewajiban untuk memimpin perseroan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Apabila direksi mengetahui perbuatan yang akan dilakukannya bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku, maka pengurus perseroan tersebut sudah seharusnya tidak melakukannya. Direksi dalam menjalankan tugas perseroan harus sesuai dengan ketentuan dari UUPT dan Anggaran dasar perseroan, tugas tersebut harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian, iktikad baik, konsekuen dan konsisten.

Direksi juga harus mematuhi segala macam hukum yang berlaku, terutama hukum yang menyangkut badan usaha PT, seperti hukum pajak, hukum perdata, hukum perburuhan, hukum pertanahan, hukum lingkungan hidup dan hukum bangunan sepanjang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perseroan serta peraturan pelaksana yang ada hubungannya dengan perseroan.232

b.        Kewajiban Direksi dalam UUPT

Terkait dengan kewajiban direksi, Anisitus Amanat mengklasifikasikan kewajiban direksi menjadi dua bagian, yakni kewajiban yang berkaitan dengan perseroan dan RUPS, yang akan diuraikan sebagai berikut:

1)   Kewajiban Direksi yang berkaitan dengan Perseroan

a) Mengusahakan pendaftaran akta pendirian atas akta perubahan anggaran dasar perseroan secara lengkap

b)   Mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham dan daftar khusus yang memuat keterangan mengenai kepemilikan saham dari anggota direksi atau komisaris beserta keluarganya pada perseroan tersebut atas perseroan lain

c) Mendaftarkan atau mencatat setiap pemindahan hak atas saham disertai dengan tanggal dan hari pemindahan hak dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus;

d)   Dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan usaha perseroan;

e)    Menyelenggarakan pembukuan perseroan;

f)     Membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan perseroan;

g) Memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan perseroan

h)   Direksi atau anggota direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya beserta keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain.

2)   Kewajiban Direksi yang berkaitan dengan RUPS

a) meminta persetujuan RUPS, jika ingin membeli kembali saham yang telah dikeluarkan;

b)   meminta persetujuan RUPS, jika perseroan ingin menambah atau mengurangi besarnya jumlah modal perseroan ;

c)    menyampaikan laporan tahunan;

d)   menandatangani laporan tahunan sebelum disampaikan kepada RUPS;

e) menyampaikan laporan secara tertulis tentang perhitungan tahunan;

f) pada saat diselenggarakan RUPS, direksi mengajukan semua dokumen perseroan;

g) menyelenggarakan panggilan RUPS;

h)   meminta persetujuan RUPS, jika hendak melakukan tindakan hukum pengalihan atau menjadikan jaminan uang atas seluruh atau sebagian besar aset perseroan;

i) menyusun rancangan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan untuk disampaikan kepada RUPS guna mendapatkan keputusannya; dan

j)     mengumumkan dalam dua surat kabar harian tentang rencana penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum panggilan RUPS dilakukan.

Pasal 98 ayat (1) UUPT menentukan bahwa direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kemudian oleh Pasal 98 ayat (2) UUPT ditentukan lagi bahwa dalam hal anggota direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Dengan ketentuan dapat saja anggaran dasar perseroan yang bersangkutan menentukan bahwa yang berwenang mewakili perseroan berhubungan dengan pihak ketiga hanyalah direktur utama saja.

Kewenangan untuk mewakili perseroan tersebut menurut ketentuan Pasal 98 ayat (3) UUPT adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UUPT, anggaran dasar dan keputusan RUPS.

Keputusan RUPS mengenai pengaturan kewenangan anggota direksi tersebut menurut Pasal 98 ayat (5) tidak boleh bertentangan dengan UUPT dan/atau anggaran dasar perseroan.

Dalam hal tertentu anggota direksi tidak memiliki kewenangan untuk mewakili perseroan. Pasal 99 ayat (1) UUPT menentukan bahwa anggota direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila:

a)   terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dan anggota direksi yang bersangkutan; atau

b)   anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.

Selanjutnya Pasal 99 ayat (2) menentukan, menentukan dalam keadaan tersebut anggota direksi tidak berwenang mewakili perseroan sebagaimana disebutkan di atas, yang berhak mewakili perseroan adalah:

a) anggota direksi lainnya yang tidak memiliki benturan kepentingan dengan perseroan;

b)   dewan komisaris dalam seluruh anggota direksi mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan; atau

c) pihak yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota direksi atau dewan komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.


 

Direksi tidak hanya mempunyai kewajiban, tetapi juga mempunyai hak. Hak-hak tersebut adalah:

Pertama, hak untuk mewakili untuk dan atas nama perseroan di dalam dan di luar pengadilan.

Kedua, hak untuk memberi kuasa tertulis kepada seorang atau lebih karyawan perseroan atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan tindakan hukum tertentu sebagaimana ditetapkan dalam surat kuasa tersebut.

Ketiga, hak untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada pengadilan setelah mendapat persetujuan RUPS.

Keempat, hak untuk membela diri di dalam forum RUPS jika direksi telah diberhentikan untuk sementara waktu oleh RUPS atau komisaris. Kelima, hak untuk mendapatkan gaji, tansim (tantiem), dan tunjangan-tunjangan, dan tunjangan-tunjangan lainnya sesuai dengan

ketentuan akta pendirian atau anggaran dasar.

c.          Pengangkatan Direksi, Pemberhentian Direksi, Jumlah Anggota Direksi, dan Masa Tugas Direksi

Tidak semua orang dapat menjadi anggota direksi PT. Pasal 93 ayat

(1) UUPT menentukan bahwa orang yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:

1)   dinyatakan pailit;

2)   menjadi anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau

3)   dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut terhitung sejak yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap telah menyebabkan perseroan pailit atau apabila dihukum terhitung sejak selesai menjalani hukuman.

Sektor keuangan di sini antara lain mencakup lembaga keuangan bank dan nonbank, pasar modal, dan sektor lain yang berkaitan dengan penghimpunan dan pengelolaan dana masyarakat.236

Anggota direksi diangkat oleh RUPS. Kewenangan ini tidak dilimpahkan kepada organ perseroan yang lain atau pihak lain, tetapi pengangkatan anggota direksi untuk pertamakalinya dilakukan oleh pendiri. Pendiri tersebut mencantumkan nama anggota direksi di dalam akta pendirian.

Menurut Pasal 94 ayat (4) UUPT, anggaran mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi dan dapat juga mengatur tentang tata cara pencalonan anggota direksi.

Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi menurut Pasal 94 ayat (5) UUPT juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut.

Selanjutnya berdasar Pasal 94 ayat (6) UUPT dalam hal RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.

Pasal 94 ayat (7) UUPT menentukan, dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi, direksi wajib memberitahukan perubahan anggota direksi238 kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemberitahuan itu disampaikan untuk dicatat dalam daftar perseroan. Pemberitahuan tersebut disampaikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.

Dalam hal pemberitahuan tersebut belum dilakukan, menurut Pasal 94 ayat (8) UUPT, Menteri menolak setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri oleh direksi yang belum tercatat dalam daftar perseroan.

Pemberitahuan tersebut menurut Pasal 94 ayat (9) UUPT tidak termasuk pemberitahuan yang disampaikan oleh direksi baru atas pengangkatan dirinya sendiri.

Pengangkatan anggota direksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan Pasal 93 UUPT batal karena hukum sejak saat anggota direksi lainnya atau dewan komisaris mengetahui tidak dipenuhinya persyaratan tersebut.239

Dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, anggota direksi lainnya atau dewan komisaris harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota direksi yang bersangkutan dalam surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar perseroan.240

Anggota direksi lainnya ini adalah di luar anggota direksi yang pengangkatannya batal dan memiliki wewenang mewakili direksi sesuai dengan anggaran dasar. Jika tidak terdapat anggota direksi yang demikian itu, yang melaksanakan pengumuman adalah dewan komisaris.241

Perbuatan yang telah dilakukan untuk dan atas nama perseroan oleh direksi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab perseroan.242 Kemudian perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama perseroan oleh direksi tersebut sesudah pengangkatannya batal, adalah tidak sah dan menjadi tanggung jawab pribadi anggota direksi yang bersangkutan.243

Pasal 105 UUPT menentukan bahwa anggota direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS. Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota direksi menurut Penjelasan Pasal 105 ayat (1) UUPT dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan yang ditetapkan UUPT, antara lain melakukan tindakan yang merugikan perseroan atau karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS. Oleh Pasal 105 ayat (2) ditentukan bahwa kepada anggota direksi yang diberhentikan tersebut diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. Kemudian

Dalam keputusan untuk memberhentikan anggota direksi tersebut dilakukan dengan keputusan di luar RUPS (circular resolution), anggota direksi yang bersangkutan diberitahu terlebih dahulu tentang rencana pemberhentian tersebut. Kemudian kepada yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan pemberhentian.244

Berkaitan dengan kapan mulai berlakunya pemberhentian anggota direksi tersebut, Pasal 105 ayat (5) UUPT menentukan bahwa pemberhentian anggota direksi berlaku sejak:

1)   ditutupnya RUPS;

2)   tanggal keputusan pemberhentian anggota direksi yang dilakukan melalui circular resolution;

3)   tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS; atau

4)   tanggal lain yang ditetapkan dalam circular resolution.

Anggota direksi juga dapat diberhentikan sementara oleh dewan komisaris. Kewenangan dewan komisaris ini didasarkan pada rasio bahwa pemberhentian anggota direksi oleh RUPS memerlukan waktu untuk pelaksanaannya, sedangkan kepentingan perseroan tidak dapat ditunda. Untuk itu dewan komisaris sebagai organ pengawas wajar diberikan kewenangan untuk melakukan pemberhentian sementara.245

Pemberhentian sementara anggota direksi oleh dewan komisaris harus menyebutkan alasannya. Kemudian pemberhentian sementara itu harus diberitahukan secara tertulis kepada anggota direksi yang bersangkutan.246 Anggota direksi yang telah diberhentikan sementara oleh dewan komisaris tersebut berdasar ketentuan Pasal 106 ayat (3) UUPT tidak berwenang melakukan tugas menjalankan pengurusan perseroan. Anggota direksi ini juga tidak berwenang lagi mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan.

Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara tersebut harus diselenggarakan RUPS. RUPS di sini harus didahului dengan panggilan RUPS yang dilakukan organ perseroan yang melakukan pemberhentian sementara itu, yaitu dewan komisaris.247 Di dalam forum RUPS ini anggota direksi yang bersangkutan harus diberi kesempatan untuk membela diri.248

Menurut Pasal 106 ayat (7) UUPT, RUPS memiliki alternatif untuk mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara. Kemudian oleh Pasal 106 ayat (7) UUPT ditentukan lagi bahwa dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut, anggota direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.

Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari lewat, RUPS tersebut tidak diselenggarakan atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, maka pemberhentian sementara itu batal.249

UUPT tidak mengatur permasalahan yang berkaitan tata cara pengunduran anggota direksi dan tata cara pengisian jabatan anggota direksi yang lowong. Pasal 107 UUPT menyerahkan pengaturannya dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Demikian pengaturan pihak yang memiliki wewenang pengurusan dan mewakili perseroan dalam hal seluruh anggota direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara diserahkan kepada anggaran perseroan yang bersangkutan.

UUPT tidak membatasi masa jabatan anggota direksi perseroan. Pasal 94 ayat (3) UUPT hanya menentukan bahwa anggota direksi diangkat untuk waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Penjelasan Pasal 94 ayat (3) UUPT menyebutkan persyaratan pengangkatan anggota direksi untuk ‘jangka waktu tertentu”, dimaksudkan anggota direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan jabatan semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS. Misalnya untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun atau 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatannya, maka sejak berakhirnya jangka waktu tersebut mantan anggota direksi yang bersangkutan tidak berhak lagi bertindak atas nama perseroan, kecuali setelah diangkat kembali oleh RUPS.

Berkaitan dengan jumlah anggota direksi, Pasal 92 ayat (3) UUPT menentukan bahwa direksi perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota direksi atau lebih. Khusus untuk perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau perseroan terbuka menurut Pasal 92 ayat (4) UUPT wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota direksi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 92 ayat (5), dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) orang anggota direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan diantara anggota direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Jika tidak RUPS tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota direksi menurut Pasal 92 ayat (6) ditetapkan berdasar keputusan direksi.

d.        Tanggung Jawab Pribadi Direksi

Di atas telah dijelaskan bahwa direksi memiliki kewajiban untuk melaksanakan amanah yang diberikan perseroan (fiduciary duties). Dengan amanah tersebut anggota direksi wajib menjalankan pengurusan perseroan sebaik mungkin semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan. Anggota direksi tidak boleh memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadinya. Selain itu, anggota direksi juga wajib menjalankan pengurusan perseroan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan kecermatan (duty of care).

Apabila anggota direksi menyalahgunakan kedudukannya sebagai pemegang amanah perseroan atau apabila bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan perseroan menderita kerugian, maka setiap anggota direksi bertanggung secara pribadi. 

Sehubungan dengan hal ini, Pasal 97 ayat (3) UUPT menentukan bahwa setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas dalam mengurus perseroan.

Pasal 97 ayat (4)UUPT menentukan bahwa jika direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab secara pribadi tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.

Namun demikian, jika anggota direksi dapat membuktikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 97 ayat (5) UUPT, maka anggota direksi tidak bertanggungjawab secara pribadi. Pasal ini menyebutkan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian yang menimpa perseroan jika dia dapat membuktikan:

1)   kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2)   telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3)   tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

4)   telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

e.         Tanggung Jawab Pribadi Direksi terhadap Tindakan Ultra Vires

Ultra vires berasal dari bahasa Latin yang berarti di luar atau melebihi kekuasaan (outside the power), yakni di luar kekuasaan yang diijinkan oleh hukum terhadap badan hukum. Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh anggaran dasarnya atau peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut.250

Istilah ultra vires diterapkan dalam arti yang luas, yakni termasuk tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh anggaran dasar, tetapi termasuk juga tindakan yang tidak dilarang, tetapi melampaui yang diberikan kepadanya. Istilah ini diterapkan juga tidak hanya jika perseroan melakukan tindakan yang ia miliki kewenangannya, tetapi dilaksanakan secara tidak teratur (irregular). Bahkan, lebih jauh lagi, suatu tindakan digolongkan sebagai ultra vires bukan hanya jika tindakannya itu melampaui kewenangan baik yang tersurat maupun tersirat dalam anggaran dasar, tetapi juga jika tindakan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ataupun ketertiban umum.

Anggaran dasar memiliki arti bagi perseroan. Anggaran dasar ini harus memuat maksud dan tujuan perseroan. Maksud dan tujuan perseroan ini dapat menjadi limitasi ruang lingkup kewenangan bertindak perseroan yang bersangkutan. Kewenangan bertindak perseroan terbatas dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan maksud dan tujuan perseroan.

Suatu perbuatan hukum dipandang berada di luar maksud dan tujuan perseroan manakala memenuhi salah satu kriteria:

1)   Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh anggaran dasar.

2)   Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan menunjang kegiatan- kegiatan yang disebut dalam anggaran dasar.

3)   Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai menunjang kepentingan perseroan terbatas.

Pada umumnya suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa atau melebihi wewenang (authority) untuk melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan, perbuatan tersebut adalah ultra vires bila dilakukan di luar atau melampaui wewenang direksi sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Sampai seberapa jauh perbuatan dapat dikatakan menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan, dan karenanya dapat dikategorikan sebagai perbuatan ultra vires, dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktek dunia usaha.

Sebenarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasarnya. Setiap tindakan yang dilakukan direksi di luar kewenangan yang diberikan disebut sebagai tindakan ultra vires. Perbuatan hukum direksi dikatakan ultra vires apabila melampaui batas wewenang yang tercantum dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Direksi dalam melakukan pengurusan perseroan tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan melainkan juga dapat menunjang atau memperlancar tugas-tugasnya (sekunder), tetapi masih berada dalam batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (intra vires) asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran, dan kepatutan (tidak ada ultra vires).

Fred B,G Tumbuan membedakan antara perbuatan intra vires dan ultra vires. Perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak perseroan terbatas (termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan terbatas) adalah perbuatan intra vires. Perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak perseroan terbatas (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan perseroan terbatas) adalah perbuatan ultra vires. Pengertian ultra vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu, yang apabila dilakukan manusia adalah sah, ternyata berada di luar kecakapan bertindak perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam anggaran dasar, dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.

Menurut Fred B.G. Tumbuan,259 suatu perbuatan hukum berada di luar maksud dan tujuan perseroan terbatas apabila terpenuhi salah satu atau lebih kriteria di bawah ini:

1)   Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh anggaran dasar.

2)   Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan menunjang kegiatan- kegiatan yang disebut dalam anggaran dasar.

3)   Dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai tertuju kepada kepentingan perseroan terbatas.

Dari penjelasan yang diberikan di atas, dapat dilihat bahwa pada dasarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan.260

Doktrin ultra vires dimaksudkan untuk melindungi para investor atau pemegang saham, yaitu untuk mencegah direksi melakukan perbuatan ultra vires atau kemudian untuk memperoleh ganti kerugian dari perseroan Hal ini disebut sebagai aspek internal dari ultra vires, Sedangkan aspek eksternal dari ultra vires adalah persoalan apakah kontrak ultra vires mengikat pihak ketiga dan perseroan bersangkutan. Pada dasarnya suatu kontrak ultra vires adalah tidak sah (unlawful), batal demi hukum dan tidak dapat disahkan kemudian oleh suatu RUPS. Dengan demikian, perseroan dapat menolak melaksanakan kewajiban berdasarkan kontrak,261 karena tidak mengikat perseroan. Sehingga, kewajiban ini menjadi tanggung jawab pribadi direksi.

 f.            Business Judgment Rule

Sepanjang direksi bertindak dengan iktikad dan tindakan tersebut semata-mata untuk kepentingan perseroan, tetapi ternyata perseroan tetap menderita kerugian, tidak serta merta kerugian tersebut menjadi beban tanggung jawab pribadi direksi.

Di dalam hukum perseroan, dikenal doktrin yang mengajarkan bahwa direksi perseroan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan putusan, apabila tindakan tersebut didasarkan pada iktikad baik dan hati-hati. Direksi mendapat perlindungan hukum tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.262

Business judgment rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil risiko daripada terlalu berhati-hati, sehingga perseroan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada direksi. Para hakim umumnya tidak memiliki keterampilan bisnis dan mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.

Dengan demikian, tindakan yang dilakukan beberapa direksi perseroan yang menjalankan perusahaan, termasuk melakukan investasi yang dianggap merugikan negara dan kemudian dituduh melakukan tindak pidana korupsi patut dipertanyakan kebenaran atau ketepatannya. Apalagi, jika hal yang dituduhkan kepada direksi itu adalah kerugian yang terjadi suatu transaksi bisnis akibat kesalahan direksi dapat dimintakan tanggung jawab kepada dirinya.

Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi iktikad baik, maka ia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi. Misalnya, jika direksi menginvestasikan dana yang dimiliki perseroan yang dilandasi iktikad baik dan semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan perseroan, tindakan investasi itu pun atas dasar pertimbangan ahli analisis investasi yang bekerja sesuai dengan standar profesinya, tetapi ternyata menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dengan sendirinya timbul tanggung jawab pribadi direksi.

3.  Dewan Komisaris

a.         Kedudukan dan Fungsi Dewan Komisaris

Organ ketiga dalam perseroan adalah komisaris. Komisaris menurut Pasal 1 angka 6 UUPT adalah sebagai organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasihat kepada direksi. Ketentuan ini dilanjutkan oleh Pasal 108 ayat (1) UUPT yang menyebutkan bahwa dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi.

Menurut Pasal 108 ayat (2) UUPT, pengawasan dan pemberian nasihat dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Penjelasan Pasal 108 ayat (2) UUPT menjelaskan bahwa yang dimaksud “untuk kepentingan dan sesuai maksud dan tujuan perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasihat yang dilakukan oleh dewan komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu. Pengawasan dan pemberian nasihat itu untuk kepentingan perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Dengan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa, dewan komisaris di dalam perseroan berkedudukan sebagai badan supervisi. Komisaris adalah badan non eksekutif yang tidak berhak mewakili perseroan, kecuali dalam hal tertentu yang disebutkan dalam UUPT dan anggaran dasar perseroan.

Khusus untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usaha prinsip syariah berdasar Pasal 109 UUPT selain memiliki dewan komisaris wajib memiliki dewan pengawas syariah. Dewan pengawas syariah ini terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dewan pengawas syariah ini bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.

Dalam melaksanakan tugasnya, komisaris dalam perseroan terbatas tunduk pada beberapa prinsip yuridis menurut ketentuan UUPT. Prinsip- prinsip tersebut adalah sebagai berikut:263

1)   Komisaris merupakan badan pengawas

Komisaris dimaksudkan sebagai badan pengawas (badan supervisi). Selain mengawasi tindakan direksi, komisaris juga mengawasi perseroan secara umum.

2)   Komisaris merupakan badan independen

Seperti halnya dengan direksi dan RUPS, pada prinsipnya komisaris merupakan badan yang independen, komisaris tidak tunduk kepada kekuasaan siapapun dan komisaris melaksanakan tugasnya semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan.

3)   Komisaris tidak mempunyai otoritas manajemen (non executive) Meskipun komisaris merupakan pengambil keputusan (decision maker), tetapi pada prinsipnya komisaris tidak memiliki otoritas manajemen (non executive). Pihak yang memiliki tugas manajemen atau eksekutif hanyalah direksi.

4)   Komisaris tidak bisa memberikan instruksi yang mengikat kepada direksi Walaupun tugas utama komisaris adalah untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas direksi, tetapi komisaris tidak berwenang untuk memberikan instruksi-instruksi langsung kepada direksi. Hal ini dikarenakan jika kewenangan ini diberikan kepada komisaris, maka posisinya akan berubah dari badan pengawas menjadi badan eksekutif. Sehingga dalam hal ini fungsi pengawasan komisaris dilakukan melalui jalan sebagai berikut:

a)    Menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang diambil oleh direksi

b)   Memberhentikan direksi untuk sementara

c) Memberi nasehat kepada direksi, baik diminta ataupun tidak, dalam rangka pelaksanaan pengawasan 

5)   Komisaris tidak dapat diperintah oleh RUPS

Sebagai konsekuensi dari kedudukan komisaris yang independen, maka komisaris tidak dapat diperintah oleh RUPS, meskipun diketahui bahwa RUPS memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu perseroan. RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dapat memberhentikan komisaris, dengan atau tanpa menunjukkan alasan pemberhentiannya (with or without cause)

Pasal 108 ayat (3) UUPT menentukan bahwa dewan komisaris terdiri atas 1 (satu) orang atau anggota atau lebih. Oleh Pasal 108 ayat (4) UUPT ditentukan lagi bahwa dewan komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasar keputusan dewan komisaris.

Khusus untuk perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dana/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau perusahaan terbuka, oleh Pasal 108 ayat (5) UUPT ditentukan wajib paling sedikit memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota direksi.

b.        Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris

Pasal 110 ayat (1) UUPT menentukan bahwa orang yang dapat diangkat menjadi anggota dewan direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:

1)   dinyatakan pailit;

2)   menjadi anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau

3)   dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Menurut Pasal 110 ayat (2) UUPT, ketentuan persyaratan di atas tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-


 

undangan. Misalnya persyaratan untuk menjadi komisaris bank, Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) dapat menambah persyaratan tersebut.

Pemenuhan persyaratan di atas oleh Pasal 110 ayat (3) UUPT harus dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh perseroan. Surat tersebut menurut Penjelasan Pasal 110 ayat (3) UUPT dijelaskan sebagai surat pernyataan yang dibuat oleh calon anggota dewan komisaris yang bersangkutan berkenaan dengan persyaratan di atas dan surat dari instansi yang berwenang berkenaan dengan persyaratan di atas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 111 ayat (1) UUPT, anggota dewan direksi hanya dapat diangkat RUPS. RUPS merupakan satu-satu organ di dalam perseroan yang memiliki hak untuk mengangkat anggota dewan komisaris. Namun untuk pertamakali pengangkatan anggota dewan komisaris menurut Pasal 111 ayat (2) UUPT dilakukan pendiri dengan mencantumkan nama anggota dewan direksi dalam akte pendirian perseroan. Anggota dewan komisaris itu berdasar Pasal 111 ayat (3) UUPT diangkat untuk jangka waktu tertentu.

Pasal 111 ayat (4) UUPT memerintahkan agar anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota dewan komisaris serta dapat juga mengatur tentang pencalonan anggota direksi.

Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian dan pemberhentian anggota dewan komisaris juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut.264 Dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya

pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota dewan komisaris, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.265

Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota dewan komisaris, direksi wajib memberitahukan perubahan tersebut kepada menteri untuk dicatat dalam daftar perseroan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut.266

Dalam hal pemberitahuan tersebut belum dilakukan, Menteri menolak setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan dewan komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada menteri oleh direksi.267

Pasal 112 ayat (1) UUPT menentukan bahwa pengangkatan anggota dewan komisaris yang tidak memenuhi persyaratan yang telah disebutkan di atas batal karena hukum sejak saat anggota dewan komisaris lainnya mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.

Menurut Pasal 112 ayat (2) UUPT, dalam jangka waktu paling lambat 17 (tujuh belas) hari terhitung sejak diketahui, direksi harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota dewan komisaris yang bersangkutan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar perseroan.

Pasal 112 ayat (3) UUPT menentukan, perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh anggota dewan komisaris tersebut untuk dan atas nama dewan komisaris sebelum pengangkatannya batal, tetapi tetap mengikat dan menjadi tanggung perseroan.

Pasal 119 UUPT menentukan ketentuan mengenai perhentian anggota direksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 UUPT mutatis mutandis berlaku pemberhentian anggota dewan komisaris.

c.          Tanggung Jawab Anggota Dewan Komisaris

Pasal 114 ayat (1) menentukan bahwa dewan komisaris bertanggungjawab atas pengawasan perseroan berkenaan dengan kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan.

Pasal 114 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa komisaris wajib dengan iktikad baik, kehati-hatian dan bertanggungjawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Pasal 114 ayat (3) UUPT menentukan bahwa setiap anggota direksi ikut bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Sehubungan dengan hal ini, Penjelasan Pasal 113 ayat (3) UUPT menyebutkan bahwa ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa apabila dewan komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan kerugian pada perseroan karena pengurusan yang dilakukan direksi, anggota dewan komisaris tersebut ikut bertanggungjawab sebatas kesalahan atau kelalaiannya.

Dalam hal anggota dewan komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota dewan komisaris atau lebih, tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota dewan komisaris.268

Pasal 114 ayat (5) UUPT menentukan anggota dewan komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian tersebut di atas apabila dia dapat membuktikan:

1)   telah melakukan pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

2)   tidak memiliki kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian; dan

3)   telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Apabila kesalahan atau kelalaian anggota dewan direksi tersebut mengkibatkan perseroan menderita kerugian, pemegang saham memiliki hak untuk mengajukan gugatan derivatif. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 114 ayat (6) UUPT menentukan bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili 1/110 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota dewan komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan ke pengadilan negeri.

Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan perseroan tidak mencukupi untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota dewan komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggungjawab dengan anggota direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.269 Tanggung jawab tersebut juga berlaku bagi anggota dewan komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.270

Anggota dewan komisaris tidak dapat diminta tanggung jawabnya atas kepailitan perseroan tersebut di atas apabila:271

1)   kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2)   telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati- hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3)   tidak memiliki kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan

4)   telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.

d.        Kewenangan Komisaris di luar Bidang Pengawasan

Pasal 117 ayat (1) UUPT menentukan dalam anggaran dasar dapat ditetapkan wewenang kepada dewan komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi, dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Penjelasan Pasal 117 ayat (1) UUPT menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “memberikan persetujuan” adalah memberikan persetujuan secara tertulis dari dewan komisaris. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan dewan komisaris mendampingi direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Persetujuan atau bantuan oleh dewan komisaris kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu yang dimaksud ayat ini bukan merupakan tindakan pengurusan.

Pasal 117 ayat (2) UUPT menentukan bahwa dalam hal anggaran dasar menetapkan persyaratan pemberian persetujuan bantuan tersebut di atas, tanpa persetujuan atau bantuan dewan komisaris, perbuatan hukum tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beriktikad baik. Penjelasan Pasal 117 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan hukum tetap mengikat perseroan” adalah perbuatan hukum yang dilakukan tanpa persetujuan dewan komisaris sesuai dengan ketentuan anggaran dasar tetap mengikat perseroan, kecuali dapat dibuktikan pihak lainnya tidak beriktikad baik. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat ini dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi direksi sesuai dengan ketentuan UUPT.

Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu dan jangka waktu tertentu. Dalam tindakan pengurusan tersebut berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga.272 Ditambahkan oleh Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada dewan komisaris untuk melakukan pengurusan perseroan dalam hal direksi tidak ada. Adapun yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu antara lain dalam Pasal 99 ayat (2) Huruf b dan Pasal 107 Huruf c UUPT. Berdasar Pasal 99 ayat (2) Huruf c UUPT dewan komisaris mewakili perseroan dalam hal seluruh anggota direksi memiliki benturan kepentingan dengan perseroan. Kemudian berdasar Pasal 107 Huruf c UUPT, dewan komisaris mewakili perseroan apabila seluruh anggota direksi berhalangan atau diberhentikan sementara.

 e.         Komisaris Independen dan Komisaris Utusan

Keberadaan komisaris independen dalam perseroan terbatas saat ini sudah menjadi keharusan. UUPT mewajibkan perseroan untuk mempunyai sekurang kurangnya satu orang komisaris independen, yang berasal dari luar perusahaan serta tidak mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan atau afiliasinya dan komisaris utusan. Kehadiran komisaris independen dalam PT diharapkan dapat menciptakan keseimbangan di antara berbagai kepentingan pihak, seperti pemegang saham utama, direksi, komisaris, manajemen, karyawan, maupun pemegang saham publik.

Menurut Munir Fuady, komisaris independen adalah komisaris yang tidak ada hubungan keluarga atau hubungan bisnis dengan direksi mapun dengan pemegang saham.273 Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa komisaris independen yang ada dalam pedoman tata kelola perseroan yang baik (code of good corporate governance) adalah “komisaris dari pihak luar”.

Dalam perspektif hukum terdapat tiga acuan yang menjadi landasan adanya komisaris independen.274 Pertama, acuan tentang kedudukan komisaris dalam suatu perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Pasal 108 sampai dengan Pasal 121 UUPT.

Kedua, ketentuan Pasal 80 UUPM, yaitu tentang tanggung jawab atas informasi yang tidak benar dan menyesatkan, di mana komisaris termasuk pihak yang diancam oleh pasal tersebut, bila ikut menandatangani setiap dokumen yang berhubungan dengan penyampaian informasi kepada publik di dalam rangka pernyataan pendaftaran. Bagi setiap calon emiten yang akan mencatatkan saham di bursa efek, maka PT Bursa Efek Jakarta, mewajibkan adanya komisaris independen di dalam kepengurusan emiten tersebut.

Ketiga, adanya pedoman yang dikeluarkan Komite Nasional GCG sehubungan kehadiran komisaris independen yang ada di perusahaan publik. Di bagian II.1 pedoman tersebut disebutkan bahwa pada prinsipnya, komisaris bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan direksi, dan memberikan nasehat kepada direksi jika diperlukan. Untuk membantu komisaris dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan prosedur yang ditetapkan sendiri, maka seorang komisaris dapat meminta nasehat dari pihak ketiga dan/atau membentuk komite khusus. Setiap anggota komisaris harus berwatak amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Mengenai komisaris independen, PT Bursa Efek Jakarta (BEJ)275 di dalam peraturan Pencatatan Efek No 1-A: tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa, dalam angka 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris independen yaitu komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris. Selanjutnya dalam angka 2 ditentukan persyaratan komisaris independen yang melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali (controlling shareholders),  direksi  atau  komisaris lainnya, dilarang untuk bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi dan harus

memahami peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Keberadaan komisaris independen sangat dibutuhkan oleh perusahaan- perusahaan di Indonesia baik BUMN maupun perusahaan swasta, khususnya PT Terbuka. Pengertian mengenai komisaris independen dapat dikategorikan dalam beberapa kriteria yaitu sebagai berikut:276

1)   Dipilih dan diangkat secara independen

2)   Penilaian objektif dan independen

3)   Berasal dari luar perusahaan

4)   Bebas dari pengaruh

5)   Tidak ada hubungan afiliasi

6)   Tidak memiliki kepentingan di perusahaan

7)   Bertindak secara independen

8)   Memiliki kompetensi dan integritas yang memadai

Independensi bagi komisaris merupakan hal yang diharuskan dalam suatu perusahaan publik agar komisaris dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan efektif. Agar suatu perusahaan menjadi efektif dalam melaksanakan tugasnya, maka jumlah komisaris independen dalam perusahaan harus ditingkatkan.277 Makna independensi di sini adalah di mana komisaris tidak memiliki

hubungan dengan para pegawai yang terlebih dahulu bekerja di perusahaan tersebut, bebas dari hubungan kontraktual yang menguntungkan dan bebas dari hubungan keluarga yang dianggap dapat mempengaruhi independensinya.278

Keberadaan komisaris independen dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih objektif dan independen, dan juga untuk menjaga fairness serta mampu memberikan keseimbangan antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham minoritas, bahkan kepentingan para stakeholders lainnya.279

Pasal 120 UUPT mengintroduksikan lagi satu bentuk komisaris, yakni komisaris utusan. Komisaris utusan ini merupakan anggota dewan komisaris yang ditunjuk berdasarkan keputusan rapat dewan komisaris. Adapun tugas dan wewenang komisaris utusan ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan dengan ketentuan tidak bertentangan dengan tugas dan wewenang dewan komisaris dan tidak mengurangi tugas pengurusan yang dilakukan direksi.

F.  Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas

Dalam perjalanan sebuah perusahaan pada tahap-tahap tertentu memerlukan suatu restrukturisasi atau reorganisasi. Sebuah perusahan perlu memikirkan suatu restrukturisasi perusahaan, apabila menginginkan usahanya dapat melakukan persaingan dengan perusahaan-perusahaan lain baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional.

Restrukturisasi perusahaan berarti perusahaan melakukan perombakan secara mendasar seluruh mata rantai bisnis perusahaan yang bertujuan untuk mencapai daya saing dan kompetisi, ini berarti tidak semata-mata untuk menjadikan perusahaan tersebut tetap eksis namun juga dapat memenuhi tuntutan pasar.280

Perombakan terhadap perusahaan tidak hanya menyangkut aspek bisnis tetapi menyangkut usaha, organisasi, manajemen, keuangan, maupun aspek hukumnya. Bagi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan terancam kepailitan maka, melakukan upaya restrukturisasi perusahaan merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan.281

Restrukturisasi usaha adalah melakukan penataan terhadap nilai seluruh mata rantai bisnis perusahaan dengan tujuan terciptanya daya saing dan kompetisi, dan cara yang dapat dilakukan untuk melakukan restrukturisasi usaha adalah melalui:

1.    Merger dan akuisisi;

2. Mengatur kembali perusahaan holding dan konsolidasi (regrouping holding and consolidation);

3. Kerjasama operasional atau manajemen (joint operation or management);

4. Kerjasama strategis (strategic alliance);

5.    Mengurangi beberapa usahanya atau produk-produknya, atau cabang- cabang perusahaannya (discontinue some business or product or branches)282

6. Memecah perusahaan menjadi beberapa perusahaan (break up the firm to some companies).

7. Likuidasi.

  

1.  Penggabungan

Penggabungan (merger) perusahaan di sini harus penggabungan antara satu atau lebih perusahaan dengan bentuk badan hukum yang sama. Pasal

2.309.1 BW Belanda menyebutkan bahwa badan hukum yang melakukan merger harus dilakukan oleh dua badan hukum yang memiliki bentuk kedudukan hukum yang sama (rechtspersonen kunnen fuseren met rechtspersonen die de zelfde rechtsvorm hebben). Dengan demikian perseroan hanya dapat melakukan merger dengan sesama perseroan. Perseroan tidak dapat melakukan merger dengan koperasi.

Pasal 1 angka 4 PP No. 4 Tahun 1994 mendefinisikan penggabungan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) a 10 UU No. 20 Tahun 2000 mendefinisikan penggabungan sebagai penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya.

Selanjutnya Pasal 1 angka 6 PP 43 Tahun 2005 menyebutkan bahwa penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh salah satu BUMN atau lebih untuk menggabungkan diri dengan BUMN diri yang lain dan selanjutnya BUMN yang menggabungkan diri menjadi bubar.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Muchyar Yara yang menyebutkan bahwa penggabungan atau merger adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan ke dalam satu perusahaan yang melakukan penggabungan. Perusahaan atau perusahaan-perusahaan yang menggabungkan diri berakhir kedudukannya sebagai badan hukum (perusahaan) karena dibubarkan dan dilikuidasi, dan yang masih ada adalah perusahaan yang menerima penggabungan.283

Pasal 1 angka 9 UUPT menyebutkan penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perusahaan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Dari definisi penggabungan yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 9 UUPT tersebut dapat ditarik unsur-unsur di dalam penggabungan, yaitu:

a. Penggabungan adalah perbuatan hukum;

b. Penggabungan dua pihak, yakni satu atau lebih perseroan menggabungkan diri (target company atau absorbed company) dan perseroan yang menerima penggabungan (absorbing company);

c. Aktiva dan pasiva perseroan yang dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan;

d. Status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Dari pengertian penggabungan di atas secara teknis dapat dijelaskan sebagai berikut: Misalnya PT A menggabungkan diri dengan PT B. Setelah PT A bergabung ke dalam PT B, maka hanya PT yang diakui eksistensinya. PT harus mengakhiri eksistensinya. PT B yang menerima penggabungan tersebut disebut absorbing company atau survive company, sedangkan PT A yang menggabungkan diri itu disebut sebagai absorbed

Penggabungan perseroan yang telah diuraikan di atas membawa implikasi atau akibat-akibat hukum tertentu. Akibat-akibat hukum tersebut adalah:

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 122 ayat (1) UUPT, penggabungan perseroan mengakibatkan perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Berakhirnya eksistensi perseroan yang digabungkan tersebut menurut Pasal 122 ayat (2) UUPT terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. Perseroan yang menggabungkan diri tersebut menurut ketentuan Pasal 122 ayat (3) UUPT berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal penggabungan berlaku. 

b. Semua aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri, setelah berakhirnya eksistensi perseroan yang digabungkan berdasar ketentuan Pasal 122 ayat (3) UUPT, beralih kepada perseroan yang menerima penggabungan.

c. Para pemegang saham perseroan yang digabungkan karena hukum menjadi pemegang saham di perseroan penerima penggabungan.184 Namun demikian, jika ada pemegang saham yang menolak pelaksanaan penggabungan perseroan, kepada mereka diberikan kompensasi dalam bentuk uang tunai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa pemegang saham yang tidak setuju terhadap putusan RUPS mengenai penggabungan hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud Pasal 62 UUPT.

Pasal 62 ayat (1) UUPT menentukan bahwa setiap pemegang saham berhak meminta perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan berupa:

a.     perubahan anggaran dasar;

b. pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan bersih perseroan; atau

c. penggabungan, pemisahan, peleburan, pengambilalihan, atau peleburan.

Selanjutnya Penjelasan Pasal 126 ayat (2) menyebutkan bahwa pemegang saham yang tidak menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli sesuai dengan harga wajar saham perseroan sebagaimana dimaksud Penjelasan Pasal 123 ayat (2) huruf c dan Pasal 125 ayat (6) huruf d.

2.  Peleburan

Peleburan atau konsolidasi merupakan peleburan dari dua atau lebih perseroan ke dalam suatu perseroan yang baru dibentuk dan status badan hukum perseroan-perseroan yang meleburkan diri tersebut terakhir.285 Pasal 1 angka 10 UUPT mendefinisikan peleburan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.

Tindakan hukum penataan perseroan jenis inilah yang mengakibatkan masing-masing perseroan yang meleburkan diri serentak menghentikan eksistensinya dan kemudian bersatu kembali membentuk usaha perseroan terbatas yang baru sebagai wadah usaha milik bersama. Semua aset, pemegang saham, dan kreditur dari masing-masing perseroan yang meleburkan diri secara yuridis menjadi aset, pemegang saham, dan kreditor perseroan baru hasil peleburan.286

Dari pengertian peleburan di atas, dapat ditarik beberapa unsur yang terkandung dalam peleburan, yaitu:

a.     Peleburan adalah perbuatan hukum;

b.    Peleburan melibatkan dua perseroan atau lebih;

c.     Perseroan yang meleburkan dirinya dan melahirkan suatu perseroan;

d. Perseroan baru tersebut adalah perseroan hasil peleburan, perseroan baru ini memperoleh aktiva dan pasiva perseroan-perseroan yang meleburkan diri;287

e. Para pemegang saham perseroan yang meleburkan diri menjadi pemegang saham pada perseroan hasil peleburan;288 dan

f.  Status badan hukum perseroan-perseroan yang meleburkan diri tersebut berakhir karena hukum.289

Peleburan perseroan yang telah diuraikan di atas membawa implikasi atau akibat-akibat hukum tertentu. Akibat-akibat hukum tersebut adalah:

a.    Berdasarkan ketentuan Pasal 122 ayat (1) UUPT, peleburan perseroan mengakibatkan perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Berakhirnya eksistensi perseroan yang digabungkan tersebut menurut Pasal 122 ayat (2) UUPT terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. Perseroan yang meleburkan diri tersebut menurut ketentuan Pasal 122 ayat (3) UUPT berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal peleburan berlaku.

b.    Semua aktiva dan pasiva perseroan yang meleburkan diri, setelah berakhirnya eksistensi perseroan yang digabungkan berdasar ketentuan Pasal 122 ayat (3) UUPT, beralih kepada perseroan hasil peleburan.

c.     Para pemegang saham perseroan yang meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham di perseroan hasil peleburan.290 Namun demikian, jika ada pemegang saham yang menolak pelaksanaan peleburan perseroan, kepada mereka diberikan kompensasi dalam bentuk uang tunai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa pemegang saham yang tidak setuju terhadap putusan RUPS mengenai peleburan hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud Pasal 62 UUPT.

Pasal 62 ayat (1) UUPT menentukan bahwa setiap pemegang saham berhak meminta perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan berupa:

a.     perubahan anggaran dasar;

b. pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan bersih perseroan; atau

c. penggabungan, pemisahan, peleburan, pengambilalihan, atau peleburan.

Selanjutnya Penjelasan Pasal 126 ayat (2) menyebutkan bahwa pemegang saham yang tidak menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli sesuai dengan harga wajar saham perseroan sebagaimana dimaksud Penjelasan Pasal 123 ayat (2) huruf c dan Pasal 125 ayat (6) huruf d.

3.  Pengambilalihan

Menurut Munir Fuady, istilah akuisisi merupakan satu komponen dari serangkaian perbuatan hukum, yaitu berupa merger, konsolidasi, dan akuisisi. Ketiga hal tersebut terkadang dalam praktik bisnis disebut dengan istilah merger dan akuisisi (M&A). Jika dengan merger perusahaan yang satu masuk ke dalam perusahaan yang lain, sehingga hanya tinggal satu perusahaan saja, sementara dengan konsolidasi, kedua perusahaan asal menjadi lenyap, dan yang tinggal adalah perusahaan yang baru terbentuk. Kemudian dengan akuisisi, baik perusahaan pengambilalih maupun yang diambilalih tetap eksis. Jadi, dengan akuisisi tidak ada perusahaan yang lenyap dan tidak ada perusahaan yang baru terbentuk dari akuisisi tersebut.291

Menurut Felix Oentoeng Soebagjo, akuisisi perusahaan itu pada dasarnya berbeda dengan merger dan juga berbeda dengan konsolidasi (peleburan). Jika yang dilakukan adalah akuisisi perusahaan, maka baik pihak yang melakukan akuisisi maupun pihak yang diakuisisi tetap eksis. Pihak yang melakukan akuisisi akan menjadi pengendali dari pihak yang diakuisisi. Perbedaannya dengan merger atau peleburan usaha adalah bahwa pada suatu merger yang dilakukan secara penuh dan tuntas akan menjadikan satu diantara pihak-pihak yang melakukan merger akan menjadi surviving company sedangkan pihak-pihak lain yang merupakan disappearing company. Di lain pihak, jika para pihak memilih melakukan peleburan usaha, maka yang akan menjadi surviving company adalah suatu perusahaan yang baru yang didirikan para pihak sedangkan perusahaan yang merupakan peserta peleburan menjadi pendiri dari perusahaan disappearing company. 

Muchyar Yara menyebutkan bahwa pengambilalihan (akuisisi) adalah pembelian seluruh atau sebagai saham satu atau lebih perusahaan oleh perusahaan lainnya atau pemilik perusahaan lainnya, namun perusahaan atau perusahaan-perusahaan yang diambilalih sahamnya tetap hidup bagai badan hukum atau perusahaan, hanya saja kini berada di bawah kontrol perusahaan yang mengambilalih saham-sahamnya itu.293

Pasal 1 angka 3 PP No. 27 Tahun 1998 menyebutkan bahwa pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Pengertian pengambilalihan yang dianut PP ini mengacu kepada definisi pengambilalihan dalam UU No. 1 Tahun 1995 yang sekarang sudah tidak berlaku lagi.

Pasal 1 angka 11 UUPT menentukan bahwa pengambilalihan (akuisisi atau acquisition) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut. Berbeda dengan definisi pengambilalihan yang diatur dalam UUPT yang lama, UUPT yang baru tidak lagi mensyaratkan pengambilalihan tersebut dengan cara mengambilalih seluruh atau sebagian besar saham. UUPT yang baru hanya merumuskan unsur pengambilalihan saham tersebut harus memungkinkan orang atau badan hukum yang mengambilalih menjadi pemegang kendali perseroan yang diambilalih.

Berdasarkan definisi pengambilalihan yang dimaksud Pasal 1 ayat angka 11 UUPT, dapat ditarik beberapa unsur yang melekat di dalam pengambilalihan, yaitu:

a.     Pengambilalihan adalah perbuatan hukum;

b.    Pihak yang mengambilalih adalah orang atau badan hukum;

Orang perseorangan adalah makhluk pribadi atau natural person. Badan hukum keperdataan yang sekarang ini eksis berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah perseroan terbatas (termasuk perusahaan perseroan), yayasan, koperasi, dan perusahaan umum (perum). Kesemua badan hukum ini dapat melakukan pengambilalihan saham suatu perseroan. Khusus untuk yayasan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan, yayasan hanya dimungkinkan melakukan pengambilalihan sepanjang jumlah keseluruhan saham yang diambilalih tersebut tidak melebihi 25 % (dua puluh lama persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan.

c. Metode pengambilalihan adalah melalui pengambilalihan saham; dan Pengambilalihan saham ini dapat dilakukan melalui jual beli antara pemegang saham sebelumnya dengan calon pemegang saham yang baru. Dengan pembelian tersebut, karena hukum, pembeli menjadi pemegang saham di perseroan dimaksud.

d. Pengambilalihan saham tersebut harus memungkinkan pihak yang mengambilalih perseroan dimaksud menjadi pemegang kendali perseroan yang diambilalih.

Pengambilalihan tersebut berupa pengambilalihan saham yang bersifat signifikan, yakni pengambilalihan saham yang memungkin orang atau badan hukum yang mengambilalih itu dapat mengendalikan perseroan yang diambilalih. Jika pengambilalihan saham tersebut tidak signifikan atau yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham mayoritas di perseroan yang bersangkutan, maka pengambilalihan saham tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pengambilalihan.294

Khusus untuk di pasar modal dengan keputusan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No.Kep.04/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 yang kemudian diubah dengan Keputusan Bapepam No.Kep.05/PM/2002 tanggal 3 April 2002 diatur tentang tata cara pengambilalihan perusahaan terbuka.295

Ketentuan Angka 1 huruf e dari Kep.04/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 mengatakan bahwa pengambilalihan perusahaan terbuka adalah tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan perubahan pengendalian perusahaan terbuka. Ketentuan yang sama dipertahankan pada perumusan Angka 1 huruf e Kep.05/PM/ 2002 tanggal 3 April 2002.296 Apa yang dimaksud dengan pengendali perusahaan terbuka adalah pihak yang memiliki saham yang bersifat ekuitas 20 % (duapuluh persen) atau lebih atau mempunyai kemampuan, baik langsung maupun tidak langsung untuk mengendalikan perusahaan dengan cara:297

1.    menentukan diangkat atau diberhentikannya direktur atau komisaris; atau

2.    melakukan perubahan anggaran dasar perusahaan terbuka. Persyaratan kepemilikan saham atau efek bersifat ekuitas minimal 20 % (duapuluh persen) tersebut dalam Keputusan Bapepam No.Kep.05/PM/2002 tanggal 3 April 2002 dinaikkan menjadi 25 % (duapuluh lima persen).298 Selanjutnya Keputusan Bapepam No. Kep.04/PM/2000 tanggal 13

Maret 2000 juga menentukan bahwa dalam rangka pengambilalihan perusahaan terbuka, pengendali perusahaan terbuka wajib melakukan penawaran tender (tender offer) untuk seluruh sisa saham atau efek bersifat ekuitas perusahaan tersebut, kecuali efek yang dimiliki pemegang saham utama atau pihak pengendali lain perusahaan terbuka tersebut.299

4. Pemisahan

Pemisahan menurut Pasal 1 angka 12 UUPT adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.

Pemisahan dapat terjadi, misalnya PT X sebuah perseroan memiliki usaha pertambangan batu bara. Lokasi penambangan batu bara tersebut di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Dengan berbagai pertimbangan, usaha pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan akan dipisahkan dari perseroan induknya, dan akan menjadi perseroan tersendiri. Untuk itu diciptakan sebuah perseroan baru, misalnya PT A. Sebagian aktiva dan pasiva PT X karena hukum beralih kepada PT A.

Pasal 135 ayat (1) UUPT menggolongkan pemisahan menjadi dua macam pemisahan, yakni pemisahan murni dan pemisahan tidak murni (spin off). Menurut Pasal 135 ayat (2) UUPT, pemisahan murni mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut berakhir karena hukum. Kemudian Pasal 135 ayat (3) UUPT, pemisahan tidak murni mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan

perseroan yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada.

 

G.  Pembubaran dan Likuidasi

1.  Pembubaran

Pembubaran adalah suatu tindakan yang mengakibatkan perseroan berhenti eksistensi dan tidak lagi menjalankan kegiatan bisnis untuk selama-lamanya. Kemudian diikuti dengan proses administrasinya berupa pemberitahuan, pengumuman, dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya.300

Pasal 142 ayat (1) UUPT menyebutkan beberapa cara terjadi pembubaran perseroan, yakni:

a.    berdasarkan keputusan RUPS;

b.    karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

c.     berdasarkan penetapan pengadilan;

d.    dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

e.    karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau

f.      karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 143 ayat (1) UUPT menentukan pembubaran perseroan tidak mengakibatkan perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.

Pasal tersebut menegaskan keberadaan status perseroan dibubarkan. Sebelum proses likuidasi selesai dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS atau pengadilan oleh likuidator, badan hukum perseroan masih eksis. Ketentuan semacam ini tidak ada dalam UUPT sebelumnya, yakni UU No. 1 Tahun 1995.

Sebelumnya di dalam ketentuan Pasal 119 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 masih menimbulkan perbedaan pendapat tentang status badan hukum perseroan setelah pembubaran. Pasal 119 ayat (1) UUPT itu menyebutkan bahwa dalam hal perseroan bubar, maka perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali diperlukan untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Ketentuan semacam ini juga terdapat Pasal 142 ayat (3) huruf b UUPT yang menyebutkan bahwa setelah pembubaran perseroan tidak dapat melakukan hubungan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan perseroan. Kemudian menurut Pasal 142 ayat (5) UUPT, apabila setelah pembubaran perseroan, perseroan tetap melakukan hubungan hukum yang tidak berkaitan dengan persoalan pemberesan, anggota direksi, anggota dewan komisaris,

dan perseroan bertanggungjawab secara tanggung rentreng.

2.  Likuidasi

Pasal 142 ayat (2) huruf a UUPT menentukan bahwa setelah pembubaran perseroan baik karena dibubarkan oleh RUPS, penetapan pengadilan negeri, maupun berdasar keputusan pengadilan niaga berdasar


 

UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran wajib diikuti oleh penunjukan likuidator atau kurator. Penunjukan likuidator atau kurator bergantung pada siapa yang melakukan pembubaran tersebut.

Pasal 142 ayat (3) menentukan, dalam hal pembubaran berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasar keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, direksi bertindak selaku likuidator.

Selanjutnya Pasal 142 ayat (4) UUPT menentukan dalam hal pembubaran perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian kurator dengan memperhatikan dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Khusus yang berkaitan dengan penunjukan likuidator terhadap pembubaran perseroan sebagai akibat dicabutnya izin usaha bank, berdasarkan Pasal 3 UU LPS jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan LPS tentang Likuidasi Bank penunjukan likuidator dilakukan oleh LPS.

Kemudian Pasal 142 ayat (6) UU menentukan bahwa mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap direksi terhadap anggota direksi, anggota dewan komisaris, berlaku bagi likuidator.

3.  Proses Likuidasi

Pasal 149 ayat (1) UUPT menentukan bahwa kewajiban likuidator untuk melakukan pemberesan harta kekayaan perseroan dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan:

a.    pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan;

b.    pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;

c. pembayaran kepada kreditor;

d. pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan

e.    tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.302

Likuidator wajib melakukan tindakan pemberesan berupa penyelesaian seluruh harta dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan hukum bank. Untuk maksud itu, tim likuidator wajib melakukan inventarisasi kekayaan dan kewajiban perseroan dalam likuidasi.

Setelah likuidator berhasil melakukan inventarisasi kekayaan dan kewajiban perseroan dalam likuidasi, tim likuidasi juga akan menyusun rencana pencairan harta kekayaan bank dalam rangka pembayaran kewajiban bank.

Likuidasi perseroan dilakukan dengan pencairan harta dan/atau penagihan piutang kepada para debitor, diikuti dengan pembayaran kewajiban kepada para kreditor dari hasil pencairan dan atau penagihan tersebut.

Selain cara tersebut di atas, likuidasi bank dapat pula dilakukan dengan cara penjualan seluruh harta dan penagihan kewajiban kepada pihak lain oleh Bank Indonesia.

Bagaimana cara mendistribusikan kekayaan perseroan kepada para kreditornya pada dasarnya didasarkan pada ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa seluruh harta benda seorang debitor baik yang telah ada sekarang maupun yang akan datang, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya.

Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Pasal 1132 KUHPerdata memerintahkan agar seluruh harta debitor dijual lelang di muka umum atas dasar putusan hakim, dan hasilnya dibagikan kepada para kreditor secara seimbang, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada kreditor yang didahulukan pemenuhan piutangnya.

Pasal 1131 KUHPerdata di atas dikaitkan dengan jaminan, ia merupakan jaminan yang timbul dari undang-undang. Jaminan yang demikian ini merupakan jaminan yang bentuk dan isinya ditentukan oleh undang-undang. Ini berarti seorang kreditor dapat diberikan jaminan berupa harta benda milik debitor tanpa secara khusus diperjanjikan. dalam konteks ini, kreditor hanyalah seorang kreditor konkuren terhadap seluruh kekayaan debitor. Jaminan yang demikian disebut juga sebagai jaminan yang bersifat umum.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan ada dua jenis kreditor, yakni kreditor konkuren dan kreditor preferen.

Pasal 1133 KUHPerdata menentukan bahwa hak untuk didahulukan diantara para kreditor timbul karena hak istimewa, gadai, dan hipotek. Dengan demikian, berdasar ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata tersebut, seorang dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan terhadap para kreditor lain apabila yang bersangkutan merupakan:

Setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia, maka selain kreditor yang memiliki tagihan sebagaimana dimaksud Pasal 1133 KUHPerdata di atas, kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia juga memiliki kedudukan yang harus didahulukan terhadap kreditor konkuren.

Kemudian oleh Pasal 1134 KUHPerdata ditentukan bahwa hak istimewa itu adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang kreditor sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditor lainnya, semata-mata berdasar sifat piutangnya.

Salah satu hak istimewa tersebut adalah sebagaimana diatur Pasal 1137 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan:

“Hak tagihan dari kas negara, kantor lelang, dan badan publik lainnya

yang dibentuk pemerintah, harus didahulukan dalam melaksanakan hak tersebut, dan jangka waktu tersebut diatur dalam berbagai undang- undang mengenai hal-hal itu.

hak-hak yang sama dari persatuan-persatuan (gemeenschappen) atau perkumpulan-perkumpulan (zedelijk lichamen) yang berhak atau baru kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea, diatur dalam peraturan-peraturan yang sudah ada akan diadakan tentang hal itu”

Dengan demikian tagihan pajak, bea, dan biaya kantor lelang merupakan hak istimewa yang harus didahulukan pelunasannya dari tagihan yang dijamin dengan hak jaminan dalam harta kekayaan debitor pailit dilikuidasi.

Pasal-pasal KUHPerdata di atas mengatur urutan prioritas para kreditor. apabila tidak ditentukan bahwa suatu piutang merupakan hak istimewa yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada piutang yang dijamin dengan suatu hak jaminan (gadai, fidusia, hak tanggungan atau hipotek), maka urutan kreditor sebagai berikut:

Apabila suatu hak istimewa ditentukan harus dilunasi terlebih dahulu daripada kreditor pemegang hak jaminan, maka urutan kreditor sebagai berikut:308

Kreditor pemegang hak jaminan di atas adalah kreditor separatis. Kreditor separatis merupakan kreditor yang dapat bertindak untuk mempertahankan hak yang diberikan undang-undang seolah-olah tidak ada kepailitan terhadap debitor. Kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan kebendaan berhak untuk didahulukan pelunasan utang-utang debitor dengan cara menjual benda-benda yang dijadikan jaminan. Artinya, mereka ini tetap dapat melaksanakan hak-haknya seolah-olah tidak ada kepailitan.

Adapun kreditor konkuren adalah golongan kreditor biasa yang tidak dijamin dengan jaminan khusus. Mereka akan memperoleh pembayaran menurut imbangan jumlah tagihan masing-masing, setelah kreditor lainnya yang disebut di atas memperoleh pembayaran.

Pasal 149 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa jika likuidator memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar daripada kekayaan perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan.

Sehubungan dengan rencana pembagian hasil likuidasi tersebut, Pasal 149 ayat (3) UUPT menentukan bahwa kreditor dapat keberatan atas rencana pembagian hasil kekayaan likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pengumuman rencana pembagian tersebut.

Apabila keberatan tersebut ditolak oleh likuidator, Pasal 149 ayat (3) UUPT menentukan, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan.

Jika kreditor yang mengajukan tagihan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia, ditolak oleh likuidator, juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan.

Bagi kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran perseroan diumumkan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia.

Pemenuhan tagihan tersebut hanya dapat dikabulkan pengadilan negeri jika terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan untuk pemegang saham. Dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham, pengadilan negeri memerintahkan likuidator untuk menarik kembali sisa kekayaan likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham. Pemegang saham sendiri memiliki kewajiban mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi tersebut secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan.

Dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 149 UUPT, atas permohonan pihak berkepentingan atau atas permohonan kejaksaan, ketua pengadilan negeri dapat mengangkat likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama.. Dalam melakukan likuidator ini, pengadilan negeri terlebih memanggil likuidator yang bersangkutan untuk didengar keterangannya. Setelah proses pembagian hasil kekayaan likuidasi selesai, perseroan harus mengadakan RUPS. RUPS ini dilaksanakan sebagai wadah bagi likuidator untuk mempertanggungjawabkan tugas yang dibebankan kepadanya atau hasil akhir proses likuidasi. Dalam hal likuidator ditunjuk oleh pengadilan negeri karena perseroan dibubarkan berdasarkan penetapan pengadilan negeri, likuidator bertanggungjawab kepada negeri yang mengangkatnya. Kemudian berkaitan dengan kurator , kurator bertanggungjawab kepada hakim pengawas atas likuidasi yang dilakukan.

Selanjutnya likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan mengumumkan hasil akhir likuidasi dalam surat kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertangungjawaban likuidator yang ditunjuknya. Ketentuan ini juga berlaku bagi kurator yang pertanggungjawabannya diterima oleh hakim pengawas.

Terhadap pemberitahuan tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat berakhirnya status badan hukum perseroan dan menghapus nama perseroan dari daftar perseroan. Pencatatan dan penghapusan tersebut dilakukan setelah hasil proses likuidasi diumumkan dalam surat kabar, RUPS telah memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator, atau pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. Ketentuan ini berlaku juga bagi berakhirnya status badan hukum perseroan karena penggabungan, peleburan, atau pemisahan.

E

E

E