HUKUM PERSAINGAN USAHA II

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

II Aspek Ekonomi Dalam Hukum Persaingan Usaha

Hukum persaingan adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif ekonomi. Oleh karena itu, untuk memahami apa dan bagaimana hukum persaingan berjalan dan dapat mencapai tujuan utamanya, maka diperlukan pemahaman mengenai konsep dasar ekonomi yang dapat menjelaskan rasionalitas munculnya perilaku-perilaku perusahaan di pasar.


KONSEP DASAR ILMU EKONOMI

Ilmu ekonomi adalah studi tentang bagaimana individu dan masyarakat mengalokasikan sumber daya langka (scarce resources). Secara etimologi, kata ‘ekonomi’ berasal dari kosakata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos dan nomos yang berarti aturan dalam rumah tangga (RT). Aturan yang dimaksud di sini berkaitan dengan menjaga keseimbangan antara pengeluaran (spending) dengan sumber daya (dalam hal ini pendapatan). Jika dikaitkan dengan pengertian ilmu ekonomi, maka konsep aturan RT tersebut berkembang menjadi ilmu yang mengajarkan cara-cara bagaimana manusia berusaha memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas (unlimited needs) dengan sumber daya yang terbatas (limited resources).

Jadi, ada dua kata kunci yang harus diingat dalam ilmu ekonomi, yaitu unlimited needs pada satu sisi dan limited resources pada sisi yang lain. Ketidakseimbangan kedua sisi tersebut memunculkan masalah ekonomi (economic problem). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang berusaha mengatasi masalah ekonomi. Bagaimana kita dapat mengatasi masalah ekonomi tersebut? Pada hakekatnya, kunci untuk mengatasi masalah ekonomi adalah melakukan alokasi sumber daya yang tepat. Karena kebutuhan sifatnya tidak terbatas, maka tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Oleh karena itu, pilihan (choices) menjadi konsekuensi logis dari upaya pemenuhan kebutuhan tersebut.

Bagaimana menentukan pilihan yang tepat? Pada prinsipnya setiap pilihan akan bergerak mengikuti insentif yang ada. Sehingga ilmu ekonomi dapat juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari insentif. Jika pilihan itu dilakukan oleh seorang individu, maka disebut dengan pilihan individu. Dan kumpulan individu yang melakukan pilihan disebut dengan pilihan masyarakat.



SCARCITY, CHOICES, DAN OPPORTUNITY COST


a. Kelangkaan (Scarcity)

Keterbatasan menyebabkan banyak hal terasa langka (scarce). Kelangkaan mencakup kuantitas, kualitas, tempat dan waktu. Sesuatu tidak akan langka kalau jumlah yang tersedia sesuai dengan kebutuhan, berkualitas baik, tersedia di mana saja dan kapan saja. Udara untuk pernafasan manusia, untuk daerah yang masih hijau belum langka, sebab tersedia dalam jumlah yang banyak, tersedia di mana saja dan kapan saja. Karena itulah, tidak dibutuhkan biaya sepeser pun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berbeda halnya dengan mereka yang tinggal di daerah industri, di mana udara yang bersih tidak tersedia dalam jumlah yang banyak dan berkualitas baik, kapan saja dan di mana saja. Untuk itu, untuk menikmati udara bersih diperlukan biaya.


b. Pilihan-Pilihan (Choices)

Dalam setiap masyarakat selalu didapati bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas banyaknya. Manusia tidak pernah merasa puas atas apa yang mereka capai dan mereka peroleh. Apabila keinginan sebelumnya telah tercapai, maka muncullah keinginan-keinginan yang lain. Terbatasnya sumber daya yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan/keinginan menyebabkan manusia harus menentukan pilihan yang bersifat individual maupun kolektif. Pilihan yang bersifat individu misalnya, baju apa yang hendak dipakai hari ini. Pilihan kolektif misalnya, ke mana kita akan pergi piknik hari Sabtu nanti. Selain itu ada juga keputusan yang bersifat kompleks, seperti misalnya mana yang akan kita dahulukan, sekolah yang tinggi, atau cepat bekerja.


c. Opportunity Cost

Dalam melakukan pilihan, pasti akan muncul alternatif yang tidak terpilih. Tidak terpenuhinya alternatif yang tidak dipilih merupakan biaya yang muncul akibat dari ‘memilih’. Alternatif yang kita pilih adalah pilihan yang terbaik (paling tidak menurut kita). Kita sebut sebagai 1st best alternative. Alternatif terbaik berikutnya (yang tidak kita pilih) kita sebut sebagai 2nd best alternative. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan 2nd best alternative disebut sebagai opportunity cost.

Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai makhluk rasional. Pilihan yang dibuatnya berdasarkan pertimbangan untung rugi, dengan membandingkan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang akan diperoleh. Biaya yang dikeluarkan dalam konsep ilmu ekonomi (economic cost) berbeda dengan konsep biaya akuntansi (accounting cost). Biaya dalam konsep ekonomi memasukkan opportunity cost sebagai bagian dari perhitungan biaya. Ilustrasi di bawah ini menggambarkan perbedaan tersebut.

Bagi seorang akuntan, biaya adalah total uang yang dikeluarkan untuk memperoleh atau menghasilkan sesuatu. Misalnya, seseorang melakukan usaha jual beli mobil bekas. Di awal tahun, ia membeli sebuah mobil bekas dengan harga Rp. 70 juta. Mobil itu diperbaiki dengan biaya Rp. 10 juta. Maka total harga perolehan mobil menurut konsep akuntansi adalah Rp. 80 juta. Di akhir tahun, ia menjual mobil tersebut dengan harga Rp. 92 juta. Maka orang tersebut untung Rp.12 juta. Benarkah demikian?

Ekonom melihat dari sudut pandang yang lebih luas, yaitu alternatif penggunaan uang sebesar Rp. 80 juta, jika tidak dipergunakan untuk membeli mobil bekas. Alternatif yang paling umum adalah menyimpannya dalam deposito berjangka. Jika bunga deposito 20% per tahun, di akhir tahun uang pengusaha tersebut menjadi Rp. 96 juta. Jadi, walaupun secara akuntansi ia untung Rp. 12 juta, namun secara ekonomi rugi Rp. 4 juta. Sebab, dengan mendepositokan uangnya, ia memperoleh Rp.4 juta lebih banyak dibanding menjual mobil bekas.


PENAWARAN (DEMAND) DAN PENERIMAAN (SUPPLY)

Dalam konsep ekonomi mikro terdapat 2 (dua) pelaku ekonomi, yaitu rumah tangga atau household (HH) dan perusahaan (firm). Masing-masing pelaku memiliki masalah ekonomi. Di sisi HH, sebagai representasi dari konsumen memiliki masalah bagaimana memaksimumkan kepuasan (utility) dengan pendapatan (income) yang tersedia.

Bagian dari ekonomi mikro yang menganalisis perilaku HH sebagai konsumen dalam upayanya memecahkan problem tersebut disebut dengan teori konsumen. Hasil dari analisis teori konsumen menjadi dasar dari pembentukan permintaan (demand) konsumen. Di sisi firm, masalah ekonomi yang dihadapi adalah bagaimana meminimumkan biaya produksi (cost of production) berdasarkan target produksi yang ditetapkan. Bagian dari ekonomi mikro yang menganalisis perilaku firm sebagai produsen dalam upayanya memecahkan masalah tersebut disebut sebagai teori produsen. Hasil dari teori produsen menjadi basis pembentukan penawaran (supply) produsen.

 

a. Permintaan (Demand)

Dalam memahami konsep dasar dari permintaan (demand), perlu diingat terdapat 2 (dua) konsep yang berbeda namun berkaitan, yaitu jumlah yang diminta (quantity demanded) dan permintaan (demand).


a.i Quantity Demanded (Qd) dan Demand (D)

Jumlah yang diminta (quantity demanded) adalah “jumlah barang dan jasa yang ingin diminta oleh konsumen pada tingkat harga tertentu”. Kata ‘ingin’ menunjukkan bahwa pembelian belum terjadi dan masih berupa keinginan (wish). Hubungan antara harga dan kuantitas bersifat hubungan satu- satu (one to one relation). Sedangkan permintaan (demand) adalah “jumlah barang dan jasa yang ingin diminta oleh konsumen pada setiap tingkat harga selama periode waktu tertentu pada suatu daerah (geografis) tertentu”. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa permintaan merupakan kumpulan dari quantity demanded. Dengan kata lain, demand curve akan berisi titik-titik quantity demanded.


a.ii Faktor-Faktor Penentu Permintaan

Berapa banyak barang dan jasa yang ingin diminta oleh konsumen tidak hanya dipengaruhi oleh faktor harga saja, melainkan juga oleh beberapa faktor lain. Faktor-faktor penentu permintaan adalah:


b. Penawaran (supply)

Analogi dengan konsep permintaan (demand) maka dalam memahami penawaran (supply) harus diingat dua konsep yang saling berkaitan, yaitu jumlah yang ditawarkan (quantity supplied) dan penawaran (supply).

 

b.i Quantity Supplied (Qs) dan Supply (S)

Jumlah yang ditawarkan (quantity supplied) adalah “jumlah barang dan jasa yang ingin ditawarkan oleh produsen pada tingkat harga tertentu”. Sedangkan penawaran (supplied) adalah “jumlah barang dan jasa yang ingin ditawarkan oleh produsen pada setiap tingkat harga selama periode waktu tertentu pada suatu daerah (geografis) tertentu”.


b.ii Faktor-Faktor Penentu Penawaran

Berapa banyak barang dan jasa yang ingin ditawarkan oleh produsen tidak hanya dipengaruhi oleh faktor harga saja, melainkan juga oleh beberapa faktor lain. Faktor-faktor penentu penawaran adalah:


b.iii Penentuan Harga Keseimbangan

Harga keseimbangan adalah harga di mana baik konsumen maupun produsen sama-sama tidak ingin menambah atau mengurangi jumlah yang dikonsumsi dan dijual. Atau dengan kata lain, Jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan (Qd = Qs). Jika harga di bawah harga keseimbangan, terjadi kelebihan permintaan (excess demand). Sebab jumlah yang diminta akan meningkat, dan sedangkan jumlah yang ditawarkan menjadi berkurang. Sebaliknya jika harga melebihi harga keseimbangan, terjadi kelebihan penawaran, di mana jumlah yang ditawarkan meningkat, jumlah yang diminta menurun.

 

KONSEP BIAYA

Pengertian biaya dalam ilmu ekonomi adalah biaya kesempatan. Konsep ini dipakai dalam analisis teori biaya produksi. Berkaitan dengan konsep tersebut, kita mengenal biaya eksplisit (explicit cost) dan biaya implisit (implicit cost). Biaya eksplisit adalah biaya-biaya yang secara eksplisit terlihat, terutama melalui laporan keuangan. Biaya listrik, telepon dan air, demikian juga pembayaran upah buruh dan gaji karyawan merupakan biaya eksplisit. Kita dapat melihatnya dalam laporan keuangan. Biaya implisit adalah biaya kesempatan (opportunity cost).


a. Biaya Tenaga Kerja

Biaya tenaga kerja adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan tenaga kerja per orang per satuan waktu. Harga tenaga kerja adalah upahnya (per jam atau per hari). Bagi ekonom upah pekerja adalah biaya eksplisit, dengan asumsi upah yang dibayarkan adalah sama besar dengan upah yang diterima tenaga kerja bila bekerja di tempat yang lain. Asumsi ini terpenuhi di pasar tenaga kerja persaingan sempurna.


b. Biaya Barang Modal

Ada perbedaan konsep antara ekonom dan akuntan dalam perhitungan biaya barang modal. Akuntan menggunakan konsep biaya historis (historical cost). Itu sebabnya dalam laporan akuntansi, nilai barang modal harus disusutkan (depreciation cost). Ekonom melihat biaya barang modal sebagai biaya implisit. Biaya ekonomi penggunaan barang modal bukanlah berapa besar uang yang harus dikeluarkan untuk menggunakannya, melainkan berapa besar pendapatan yang diperoleh bila mesin disewakan kepada pengusaha lain. Karena itu biaya barang modal diukur dengan harga sewa mesin.


c. Biaya Kewirausahawanan

Wirausahawan (pengusaha) adalah orang yang mengombinasikan berbagai faktor produksi untuk ditransformasi menjadi output berupa barang dan jasa. Dalam upaya tersebut, dia harus menanggung resiko kegagalan. Atas keberanian menanggung resiko, pengusaha mendapat balas jasa berupa laba. Makin besar (tinggi) risikonya, laba yang diharapkan harus makin besar. Begitu juga sebaliknya. Pengertian laba yang digunakan ekonom adalah laba ekonomi (economic profit), yaitu kelebihan pendapatan yang diperoleh dibanding jika memilih alternatif lain.


c.i Fixed Cost dan Variable Cost

Biaya total (total cost) sama dengan biaya tetap ditambah biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang besarnya tidak tergantung pada jumlah produksi, contohnya biaya barang modal, gaji pegawai, bunga pinjaman, sewa gedung kantor. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang besarnya tergantung pada tingkat produksi, contohnya upah buruh, biaya bahan baku.

TC = TFC + TVC

di mana:

TC = biaya total jangka pendek

TFC = biaya tetap jangka pendek 

TVC = biaya variabel jangka pendek

 

TFC bernilai konstan yang artinya bahwa besarnya biaya tetap tidak tegantung pada jumlah produksi. Sementara TVC menunjukan hubungan terbalik antara tingkat produktivitas dengan besarnya biaya.


c.ii Average Cost (AC)

Biaya rata-rata adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi satu unit output. Besarnya biaya rata-rata adalah biaya total dibagi jumlah output. Karena dalam jangka pendek TC=TFC+TVC, maka biaya rata-rata (average cost) sama dengan biaya tetap rata-rata (average fixed cost) ditambah biaya variabel rata-rata (average variable cost).

AC = AFC + AVC

atau

TC = FC + VC

 Q Q Q

 

di mana:

AC = biaya rata-rata jangka pendek

AFC = biaya tetap rata-rata jangka pendek 

AVC = biaya variabel rata-rata jangka pendek


Nilai AFC akan semakin menurun bila produksi ditambah. Nilai AVC pada tahap awal produksi akan mengalami penurunan, namun pada tahap penggunaan kapasitas secara penuh, nilai AVC akan mulai meningkat. Pola ini berkaitan dengan hukum Law of Diminishing Return (LDR).


c.iii Marginal Cost (MC) /Biaya Marjinal

Hal penting di antara semua komponen biaya adalah konsep biaya marjinal, yakni naiknya biaya total yang disebabkan oleh produksi satu unit output. Sebagai contoh diumpamakan sebuah perusahaan menghasilkan 1.000 unit output per periode dan memutuskan untuk menaikkan tingkat produksi menjadi 1.001. Menghasilkan satu unit ekstra akan meningkatkan biaya dan kenaikan tersebut (artinya, biaya memproduksi unit yang ke 1001 itu) merupakan biaya marjinal.



IKONSEP DASAR PERSAINGAN DALAM ILMU EKONOMI


STRUKTUR PASAR

Secara sederhana, struktur pasar dapat diberikan pengertian sebagai kondisi lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitasnya sebagai produsen. Terdapat 4 (empat) bentuk struktur pasar dalam teori ekonomi dasar, yaitu:

a. Pasar Persaingan Sempurna (Perfect Competition),

b. Pasar Persaingan Monopolistis (Monopolistic Competition),

c. Pasar Oligopoli (Oligopoly), dan

d. Pasar Monopoli (Monopoly).

Perbedaan keempat struktur pasar tersebut disebabkan adanya perbedaan degree of market power (kekuatan pasar) yaitu kemampuan satu perusahaan dalam mempengaruhi harga keseimbangan (harga pasar). Perbedaan tersebut diakibatkan perbedaan karakteristik yang terdapat di masing- masing struktur pasar. Karakteristik atau ciri yang menandai suatu pasar akan diuraikan dalam sub- bagian ini.

 

a. Pasar Persaingan Sempurna

Secara teoritis ada dua kondisi ekstrim posisi perusahaan dalam pasar. Ekstrim pertama, perusahaan berada dalam pasar persaingan sempurna (perfect competition), di mana jumlah perusahaan begitu banyak dan tidak ada perusahaan yang mampu untuk mempengaruhi harga pasar. Perusahaan dapat melakukan adalah menyesuaikan jumlah output agar mencapai laba maksimum. Ekstrim kedua adalah hanya ada satu perusahaan sebagai produsen di pasar (monopoli). Dalam posisi ini perusahaan mampu mempengaruhi harga dan jumlah output dalam pasar.

Namun kedua kondisi ekstrim tersebut jarang sekali terjadi. Umumnya terdapat dua kondisi peralihan antara ekstrim persaingan sempurna dan monopoli. Kondisi pertama adalah perusahaan bersaing, tetapi masing-masing mempunyai daya monopoli (terbatas terhadap karakteristik kecil dari produk). Kondisi ini disebut persaingan monopolistik (monopolistic competition). Kondisi kedua adalah dalam pasar hanya ada beberapa produsen yang jika bekerja sama mampu menghasilkan daya monopoli. Kondisi tersebut dikenal sebagai oligopoli (oligopoly).

Karakteristik pasar persaingan sempurna dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam pasar persaingan sempurna, jumlah perusahaan sangat banyak dan kemampuan setiap perusahaan dianggap sedemikian kecilnya, sehingga tidak mampu mempengaruhi pasar. Tetapi hal itu belum lengkap, masih diperlukan beberapa karakteristik (syarat) agar sebuah pasar dapat dikatakan pasar persaingan sempurna. Lengkapnya, karakteristik pasar persaingan sempurna adalah:

Jumlah perusahaan yang sangat banyak mengandung asumsi implisit bahwa output sebuah perusahaan relatif kecil dibanding output pasar (small relatively output). Semua perusahaan dalam industri (pasar) dianggap berproduksi efisien (biaya rata-rata terendah), baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kendatipun demikian jumlah output setiap perusahaan secara individu dianggap relatif kecil dibanding jumlah output seluruh perusahaan dalam industri.

Yang dimaksud dengan produk yang homogen adalah produk yang mampu memberikan kepuasan (utilitas) yang sama kepada konsumen tanpa perlu mengetahui siapa produsennya. Konsumen tidak membeli merek barang tetapi kegunaan barang. Karena itu semua perusahaan dianggap mampu memproduksi barang dan jasa dengan kualitas dan karakteristik yang sama.

Pemikiran yang mendasari asumsi ini adalah dalam pasar persaingan sempurna faktor produksi mobilitasnya tidak terbatas dan tidak ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memindahkan faktor produksi. Pengertian mobilitas mencakup pengertian geografis dan antara pekerjaan. Maksudnya faktor produksi seperti tenaga kerja mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya atau dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, tanpa biaya. Hal tersebut menyebabkan perusahaan untuk masuk keluar pasar. Jika perusahaan tertarik di satu industri (dalam industri masih memberikan laba), dengan segera dapat masuk. Bila tidak tertarik lagi atau gagal, dengan segera dapat keluar.

Para pelaku ekonomi (konsumen dan produsen) memiliki pengetahuan sempurna tentang harga produk dan input yang dijual. Dengan demikian konsumen tidak akan mengalami perlakuan harga jual yang berbeda dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Dari siapa pun produk dibeli, harga yang berlaku adalah sama. Demikian halnya dengan perusahaan, hanya akan menghadapi satu harga yang sama dari berbagai pemiliki faktor produksi.


Keempat karakteristik tersebut menimbulkan satu konsekuensi logis, yaitu perusahaan di pasar tidak dapat menentukan harga sendiri. Perusahaan menjual produknya dengan berpatokan pada harga yang ditetapkan pasar. Setiap perusahaan hanya akan menerima harga yang ditentukan pasar (price taker). Hal yang dapat dilakukan perusahaan adalah menyesuaikan jumlah output untuk mencapai laba maksimum

Dalam dunia nyata tidak ada bentuk pasar berstruktur pasar persaingan sempurna, di mana perusahaan-perusahaan kecil yang menghasilkan barang homogen dan memenuhi semua karakteristik sebagaimana diauraikan di atas. Namun demikian, menilik karakteristiknya, ada beberapa industri yang mendekati bentuk pasar persaingan sempurna, seperti industri tempe, tahu, kerupuk putih, dan jasa fotokopi dan beberapa pasar produk pertanian.


b. Pasar Monopoli

Suatu industri dikatakan berstruktur monopoli (monopoly) bila hanya ada satu produsen atau penjual (single firm) tanpa pesaing langsung atau tidak langsung, baik nyata maupun potensial. Output yang dihasilkan tidak mempunyai substitusi terdekat (no close substitute). Perusahaan tidak memiliki pesaing karena adanya hambatan (barriers to entry) bagi perusahaan lain untuk memasuki industri yang bersangkutan. Dilihat dari penyebabnya, hambatan masuk dikelompokan menjadi hambatan teknis (technical barriers to entry) dan hambatan legalitas (legal barrier to entry).


b.i Hambatan Teknis (Technical Barriers To Entry)

Ketidakmampuan bersaing secara teknis menyebabkan perusahaan lain sulit bersaing dengan perusahaan yang sudah ada (existing firm). Keunggulan secara teknis ini disebabkan oleh beberapa hal:

 

b.ii Hambatan Legalitas (Legal Barriers To Entry)

Tidak semua perusahaan mempunyai daya monopoli karena kemampuan teknis. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita menemukan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien tetapi memiliki daya monopoli. Hal itu dimungkinkan karena secara hukum mereka diberi hak monopoli (legal monopoly). Di Indonesia, badan-badan usaha milik negara (BUMN) banyak yang memiliki daya monopoli karena undang-undang. Berdasarkan undang-undang tersebut, mereka memiliki hak khusus (special franchise) untuk mengelola industri tertentu.


b.iii Karakteristik Pasar Monopoli

Pasar monopoli mempunyai mempunyai beberapa karakteristik khusus seperti yang diuraikan di bawah ini:

Sifat ini sesuai dengan definisi dari monopoli yaitu struktur pasar atau industri di mana terdapat hanya seorang penjual saja. Dengan demikian barang atau jasa yang dihasilkannya tidak dapat dibeli di tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka menginginkan barang tersebut, maka mereka harus membeli dari perusahaan tersebut. Syarat- syarat penjualan tersebut sepenuhnya ditentukan oleh pengusaha monopoli itu, dan para pembeli tidak dapat berbuat sesuatu apa pun di dalam menentukan syarat jual beli.

Barang yang dihasilkan perusahaan monopoli tidak dapat disubstitusikan oleh barang lain yang ada dalam perekonomian. Barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang yang seperti itu. Kemiripan atau persamaan dengannya dari segi kegunaan tidak ada sama sekali. Aliran listrik sampai saat ini adalah contoh dari barang pengganti yang “mirip”, yang ada hanyalah barang substitusi yang sangat berbeda sifatnya, yaitu lampu minyak. Lampu minyak tidak dapat mensubstitusikan listrik karena ia tidak dapat digunakan untuk menghidupkan televisi atau memanaskan setrika/gosokan.

Sifat ini merupakan sebab utama yang menimbulkan perusahaan yang mempunyai kekuasaan monopoli. Tanpa sifat ini pasar monopoli tidak akan terwujud, karena tanpa adanya hambatan tersebut pada akhirnya akan terdapat beberapa perusahaan dalam industri. Keuntungan perusahaan monopoli akan menarik pengusaha-pengusaha lain ke dalam industri tersebut. Adanya hambatan masuk yang sangat tinggi menghindarkan berlakunya keadaan yang seperti itu.

Oleh karena perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual di dalam pasar, maka penentuan harga dapat dikuasainya. Oleh sebab itu perusahaan monopoli dipandang sebagai penentu harga atau price setter. Dengan mengadakan pengendalian ke atas produksi dan jumlah barang yang ditawarkan, perusahaan monopoli dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya.

Oleh karena perusahaan monopoli adalah satu-satunya perusahaan di dalam industri, ia tidak perlu melakukan promosi penjualan secara iklan. Ketiadaan saingan menyebabkan semua pembeli yang memerlukan barang yang diproduksi oleh perusahaan monopoli tersebut. Kalaupun perusahaan monopoli membuat iklan, iklan tersebut bukanlah bertujuan untuk menarik pembeli, tetapi untuk memelihara hubungan baik dengan masyarakat.


c. Pasar Persaingan Monopolistik

Struktur pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition) adalah struktur pasar yang memiliki kedekatan karakteristik dengan pasar persaingan sempurna. Namun setiap perusahaan di pasar tidak hanya menerima harga yang berlaku di pasar, melainkan mampu menentukan sendiri harga untuk setiap produk yang dihasilkan. Kemampuan menentukan harga sendiri ini muncul dikarenakan perusahaan tidak memproduksi barang yang homogen, melainkan memproduksi barang yang memiliki karakteristik berbeda dengan produk perusahaan lain. Perbedaan jenis produk yang dihasilkan ini yang menjadi pembeda utama antara struktur pasar persaingan monopolistik dengan pasar persaingan sempurna.


Karakteristik pasar persaingan monopolistik adalah:

Seperti di struktur pasar persaingan sempurna, pasar persaingan monopolistik juga ditandai oleh jumlah perusahaan yang banyak. Tidak ada ukuran yang bisa digunakan untuk memberi batasan seberapa banyak itu ‘banyak’? (how much is ’many’?). namun satu hal yang bisa dikatakan bahwa jumlah perusahaan di pasar cukup banyak sehingga pangsa satu perusahaan relatif kecil dibanding total.

Yang dimaksud dengan produk yang terdifferensiasi adalah produk yang memiliki perbedaan karakteristik dengan produk sejenis lain. Perbedaan karakteristik ini mengakibatkan mulai munculnya preferensi konsumen terhadap produk tertentu relatif terhadap produk yang lain. Munculnya preferensi konsumen ini menandakan bahwa produk tersebut tidak lagi bisa digantikan secara sempurna oleh produk lain. Akibatnya konsumen rela untuk membayar lebih mahal produk yang sesuai dengan preferensinya tersebut. Namun, tingkat differensiasi di pasar persaingan monopolistik masih relatif rendah, sehingga tingkat substitusi di antara produk- produk di pasar masih cukup tinggi.

Masih sama dengan struktur pasar persaingan sempurna, jika perusahaan di pasar sedang mendapatkan keuntungan hal itu akan segera mengundang masuknya perusahaan-perusahaan baru ke dalam pasar. Perusahaan baru tersebut dengan mudah masuk ke dalam pasar tanpa harus mengeluarkan biaya (no entry cost). Begitu pula ketika perusahaan sedang mengalami kerugian, dengan mudah mereka akan keluar dari pasar.

Perbedaan utama antara strukur pasar persaingan monopolistik dengan pasar persaingan sempurna terletak pada jenis produk yang dihasilkan. Dengan memproduksi produk yang terdiferensiasi, perusahaan mampu menentukan harga untuk masing-masing produknya.

 

Dengan demikian perusahaan di struktur pasar persaingan monopolistik sudah memiliki market power atau kekuatan untuk mempengaruhi harga keseimbangan.


d. Pasar Oligopoli

Teori oligopoli memiliki sejarah yang cukup panjang. Istilah oligopoly pertama kali digunakan oleh Sir Thomas Moore dalam karyanya pada tahun 1916, yaitu “Utopia” 27. Dalam karya tersebut dikatakan bahwa harga tidak harus berada pada tingkat kompetisi ketika perusahaan di pasar lebih dari satu. Sedangkan teori oligopoli pertama kali diformalkan oleh Augustin Cournot pada tahun 1838 melalui karyanya “Researches sur les principles mathematiques de la theorie des richesses”. Lima puluh tahun kemudian, teori tersebut dibantah oleh Bertrand. Meskipun menuai banyak kritik, namun hingga kini teori Cournot tetap dianggap sebagai benchmark bagi teori-teori oligopoli lainnya.

Karakteristik pasar oligopoli adalah sebagai berikut:

Hanya terdapat beberapa penjual yang ada di pasar. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar masing-masing perusahaan di pasar cukup signifikan. Jumlah perusahaan yang lebih sedikit dibanding pasar persaingan sempurna ataupun persaingan monopolistik disebabkan oleh terdapatnya hambatan masuk ke dalam pasar.

Pada struktur pasar persaingan sempurna maupun persaingan monopolistis, keputusan perusahaan atas harga dan kuantitas hanya mempertimbangkan tingkat permintaan di pasar dan biaya produksi yang dikeluarkan. Sementara di pasar oligopoli, keputusan strategis perusahaan sangat ditentukan oleh perilaku strategis perusahaan lain yang ada di pasar.



KEBIJAKAN PERSAINGAN

a. Efisiensi Ekonomi

Dari keempat struktur pasar yang ada, struktur pasar yang paling ‘ideal’ adalah struktur pasar persaingan sempurna. Dalam struktur pasar persaingan sempurna kinerja pasar akan optimal. Optimal dalam hal ini adalah efisiensi yang dihasilkan oleh pasar tersebut, yaitu efisiensi alokatif dan efisiensi produktif. Struktur pasar persaingan sempurna merupakan satu-satunya pasar di mana kedua efisiensi tersebut tercapai sekaligus.

Efisiensi alokatif adalah suatu kondisi di mana pengalokasian sumber daya telah sesuai dengan peruntukannya yang diindikasikan oleh kondisi ketika tingkat harga (Price=P) sama dengan biaya marjinal secara ekonomi (Marginal Cost=MC). Sedangkan efisiensi produktif adalah suatu kondisi di mana perusahaan memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang paling rendah atau tingkat produksi yang paling efisien, yang diindikasikan oleh kondisi di mana tingkat produksi berada pada tingkat biaya rata-rata per unit (Average Cost=AC atau Average Total Cost=ATC)) yang paling rendah. Dengan demikian, dalam jangka panjang, di dalam pasar persaingan sempurna akan tercapai kondisi efisiensi ekonomi (economic efficiency) yaitu ketika efisiensi alokatif dan efisiensi produktif tercapai, yang dapat ditunjukkan oleh persamaan di bawah ini:

P = MC = AC min = SATC = LATC

Di mana SATC dan LATC menunjukkan biaya rata-rata per unit di dalam jangka pendek (short run) dan jangka panjang (long run). Secara grafis kondisi tersebut dapat ditunjukkan dalam gambar II.4. Secara sosial, kinerja yang dihasilkan oleh struktur pasar persaingan sempurna juga sangat baik (desirable). Dengan tercapainya efisiensi alokatif dan efisiensi produktif, maka kesejahteraan (welfare) pasar juga akan optimal. Kesejahteraan pasar diukur dari keuntungan yang diperoleh konsumen atau yang sering disebut dengan surplus konsumen (consumer surplus), dan keuntungan yang diperoleh produsen atau disebut dengan surplus produsen (producer surplus).

Surplus konsumen adalah selisih antara harga maksimum yang bersedia dibayar oleh konsumen (willingness to pay) dengan harga yang benar-benar dibayar oleh konsumen. Surplus produsen adalah selisih antara harga minimum yang bersedia diterima oleh produsen (sebesar biaya marjinalnya) dengan harga yang benar-benar diterima oleh produsen. Total surplus yang ada di pasar adalah penjumlahan surplus konsumen dan produsen. 


b. Kebijakan Persaingan dan Intervensi Pemerintah

Apabila struktur pasar bersifat tidak sempurna (imperfect market), atau ketika pasar berbentuk monopoli, maka akan terjadi inefisiensi ekonomi. Hal ini terjadi karena ketika perusahaan monopoli mengenakan harga yang tinggi –dengan cara mengurangi jumlah produksi— surplus konsumen akan berkurang karena sebagian diambil oleh produsen. Namun tidak semua surplus konsumen berpindah ke produsen, hal ini menjadi kerugian yang harus ditanggung perekonomian. Selain itu, karena perusahaan monopoli berproduksi lebih sedikit dari produksi pasar persaingan sempurna, maka terdapat surplus produsen yang hilang yang juga menjadi kerugian yang harus ditanggung perekonomian. Sehingga secara keseluruhan jumlah surplus konsumen ditambah surplus produsen di pasar monopoli menjadi lebih sedikit dibanding kondisi di pasar persaingan sempurna.

Kerugian yang ditanggung oleh perekonomian akibat perilaku perusahaan monopoli tersebut disebut dengan deadweight loss (DWL). DWL ini menunjukkan adanya penurunan kesejahteraan di pasar. Pada gambar II.6 dapat dilihat besarnya DWL yang muncul akibat perilaku monopoli. Karena kesejahteraan di pasar turun, maka pasar menjadi tidak efisien (dibanding pasar persaingan sempurna). Inefisiensi yang terjadi di pasar monopoli ini adalah biaya yang harus ditanggung perekonomian (biaya sosial).

Terjadinya inefisiensi ekonomi disebut sebagai kegagalan pasar (market failure). Selain dari bentuk pasar yang tidak sempurna, kegagalan pasar juga terjadi karena adanya eksternalitas, barang publik, dan informasi yang tidak simetris.

Ketika terjadi kegagalan pasar, maka muncul rasionalitas akan perlunya intervensi dari pihak pemerintah. Dengan demikian, ketika pasar menjadi tidak sempurna, maka pemerintah dapat turun tangan untuk mengintervensi kegagalan pasar yang terjadi. Diharapkan, intervensi pemerintah tersebut dapat mengarahkan pasar menjadi lebih ’baik’ atau dalam pengertian sebelumnya membuat pasar menjadi lebih efisien secara ekonomi.

Kebijakan persaingan (competition policy) merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah di pasar selain dari regulasi ekonomi. Perbedaannya terletak pada subjek yang dituju, di mana regulasi ekonomi mengintervensi secara langsung keputusan perusahaan, seperti berapa harga yang harus ditetapkan, dan berapa banyak kuantitas yang harus disediakan. Sedangkan kebijakan persaingan merupakan bentuk intervensi secara tidak langsung, karena yang dituju adalah perilaku perusahaan.

Selain untuk meningkatkan efisiensi ekonomi yang relatif bebas nilai –tidak memihak kepada konsumen atau produsen- kebijakan persaingan juga dapat bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen di pasar atau meningkatkan kesejahteraan konsumen. Hal ini mengingat dalam dunia nyata sering kali dalam bentuk pasar yang tidak sempurna, konsumen merupakan pihak yang dirugikan. Kerugian konsumen tersebut tergambar dalam bentuk surplus konsumen yang berkurang karena diambil (captured) oleh produsen.

Dibanding pengukuran inefisiensi ekonomi yang ditunjukkan oleh berkurangnya kesejahteraan pasar (deadweight loss), pengukuran berkurangnya kesejahteraan konsumen relatif lebih mudah dilakukan, sehingga dalam praktiknya kebijakan persaingan sering kali lebih ditujukan kepada peningkatan kesejahteraan konsumen.

 

Bagaimana kebijakan persaingan dapat mencapai tujuan tersebut? Secara teoritis mekanisme yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan meningkatkan proses persaingan (competitive process) yang ada di pasar. Namun, jika kita berdiri di landasan pasar persaingan sempurna, terjadinya inefisiensi ekonomi atau berkurangnya kesejahteraan konsumen disebabkan oleh intervensi pihak luar (baca: pemerintah) dan perilaku antipersaingan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi di pasar (baca: produsen).

Oleh karena itu, alih-alih mendorong proses persaingan di pasar, kebijakan persaingan lebih memilih mekanisme membatasi perilaku atau praktik yang bersifat antipersaingan di pasar. Memperbaiki atau merubah struktur pasar ke arah struktur pasar persaingan sempurna dapat membuat pasar menjadi lebih baik. Perbaikan dari sisi struktur (misalnya membatasi atau melarang kepemilikan dominan) akan dapat mengurangi praktik-praktik antipersaingan. Kebijakan persaingan juga diarahkan untuk membatasi perilaku penyalahgunaan (abusive) yang dilakukan oleh perusahaan, terutama perusahaan dominan. Persaingan juga diarahkan untuk membatasi dan mengurangi hambatan untuk masuk ke dalam pasar. Selain hambatan yang dilakukan oleh perusahaan dominan di pasar, hambatan masuk ke pasar juga sering kali bersumber dari regulasi pemerintah. Sehingga kebijakan persaingan diharapkan dapat menjadi konsideran utama bagi pemerintah ketika akan mengeluarkan regulasi yang berpotensi menimbulkan dampak di pasar.

Secara umum kebijakan persaingan terdiri dari dua elemen, yaitu:


Advokasi persaingan juga merupakan bagian penting dari kebijakan persaingan, terutama implementasi kebijakan persaingan di negara berkembang, yang membutuhkan pemahaman dari semua pihak, termasuk pihak pemerintah.

Penegakan hukum persaingan usaha dan kegiatan advokasi persaingan tidak dapat mencapai tujuan kebijakan persaingan secara instan, melainkan membutuhkan proses, yang terkadang memakan waktu bertahun-tahun. Oleh karena itu dampak positif yang ditimbulkan oleh kebijakan persaingan tidak dapat dilihat hanya dari hasil akhir (final outcome), melainkan juga dari perubahan kecenderungan perilaku dari pelaku di pasar, yang merupakan bagian dari proses.


c. Persaingan Usaha dalam Rencana pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

RPJMN Tahap III (periode 2015-2019) bertujuan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu isu strategis yang akan diraih dalam RPJMN III ini adalah tercapainya kondisi kemandirian ekonomi28. Peningkatan iklim persaingan usaha menjadi salah satu agenda penting dalam upaya mewujudkan kemandirian ekonomi tersebut.

Salah satu arah kebijakan dan strategi pembangunan dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi adalah penguatan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat di kalangan pelaku ekonomi, pemerintah dan masyarakat untuk mencegah praktik monopoli yang menyebabkan kegiatan usaha tidak sehat dan ekonomi tidak efisien melalui pendidikan formal dan nonformal untuk mendorong internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat, penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum dalam pengembangan kebijakan, serta pembentukan mekanisme harmonisasi kebijakan persaingan usaha yang sehat 

Pada RPJMN Tahun 2015-2019, daya saing Indonesia dipandang masih rendah. Rendahnya daya saing ini disebabkan masih terjadinya praktik ekonomi yang kurang efisien dan produktivitas yang rendah serta inovasi yang tertinggal. Salah satu agenda pembangunan nasional di dalam RPJMN Tahap III adalah Meningkatkan Produktivitas Rakyat dan Daya Saing Internasional, di mana salah satu subagenda prioritas adalah Penguatan Investasi.

Penguatan investasi ditempuh melalui dua pilar kebijakan yaitu:


Arah kebijakan yang ditempuh dalam pilar pertama penguatan investasi adalah menciptakan iklim investasi dan iklim usaha yang lebih berdaya saing, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang dapat meningkatkan efisiensi proses perijinan, meningkatkan kepastian berinvestasi dan berusaha di Indonesia, serta mendorong persaingan usaha yang lebih sehat dan berkeadilan30. Dalam RPJMN Tahap III ini, persaingan usaha menjadi konsep yang secara eksplisit tertuang di dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional sehingga upaya peningkatan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat di dalam perekonomian tidak lagi menjadi sebatas ruang lingkup tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saja.

Strategi yang ditempuh dalam rangka penguatan investasi di antaranya adalah peningkatan persaingan usaha yang sehat melalui pencegahan dan penegakan hukum persaingan usaha dalam rangka penciptaan kelembagaan ekonomi yang mendukung iklim persaingan usaha yang sehat, penyehatan struktur pasar serta penguatan sistem logistik nasional yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi yang berkeadilan.

Secara kelembagaan, pentingnya persaingan usaha yang sehat di dalam perencanaan pembangunan nasional juga diikuti dengan penguatan kelembagaan KPPU di mana dalam salah satu prioritas penguatan kelembagaan dalam rangka peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional adalah penguatan kelembagaan KPPU guna upaya penegakan hukum persaingan maupun internalisasi nilai persaingan usaha, pengawasan pelaku usaha, harmonisasi kebijakan maupun internalisasi nilai-nilai yang sehat di kalangan pelaku ekonomi, pemerintah dan masyarakat.



PARADIGMA DALAM ORGANISASI INDUSTRI

Organisasi Industri adalah ilmu yang berusaha menerangkan bagaimana melihat, menganalisa dan menjelaskan motivasi dan kendala yang dihadapi suatu perusahaan sebagai konsekuensinya berada di pasar. Dengan demikian subjek permasalahan di dalam organisasi industri adalah perusahaan, terutama perilakunya. Perilaku perusahaan dapat berupa kebijakan terhadap pesaing maupun terhadap konsumen.

Konsumen dan perusahaan (sebagai produsen) adalah dua sisi yang berdampingan. Keduanya saling membutuhkan. Namun karena ekonomi industri hakekatnya adalah mikroekonomi terapan dari sisi penawaran, maka ilmu ini lebih banyak bersentuhan dengan persoalan yang dihadapi oleh produsen yaitu bagaimana usaha produsen memenuhi keinginan konsumen. Apa yang diinginkan konsumen atau masyarakat dari produsen adalah penampilan atau kinerja yang baik (good performance). Kinerja yang baik itu sendiri adalah suatu unsur yang bersifat multidimensi, tergantung dari sudut mana seseorang melihatnya. Baik menurut produsen, belum tentu baik bagi konsumen. Kinerja pasar dapat dicerminkan lewat efisiensi, full employment, kesejahteraan sosial, distribusi pendapatan dan lain sebagainya. Dengan memfokuskan pada kinerja, yang merupakan tujuan akhir dari fungsi pasar, ekonom-ekonom organisasi industri berusaha untuk mencari dan mengidentifikasi kumpulan dari atribut atau variabel yang mempengaruhi kinerja ekonomi, sekaligus membangun sebuah teori atau model yang dapat menerangkan hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan kinerja akhir.

Ekonom yang pertama kali membangun sebuah kerangka formal yang berisi atribut-atribut pasar adalah Edward S. Mason dari Universitas Harvard pada tahun 1930-an, dan disempurnakan oleh ekonom-ekonom sesudahnya. Kerangka tersebut digunakannya untuk menganalisa dan menjelaskan kejadian-kejadian dan proses ekonomi yang terjadi di suatu pasar atau industri. Model tersebut, yang kemudian dikenal sebagai kerangka Structure-Conduct-Performance (SCP), menjadi semacam peralatan ‘wajib’ dalam analisa ekonomi industri.

Atribut-atribut pasar yang dimasukkannya ke dalam kerangka analisa adalah kondisi dasar, struktur pasar, perilaku dan kinerja. Setiap ekonom dalam ekonomi industri, tak dapat disangkal, pasti mengakui dan mempercayai adanya atribut-atribut tersebut. Namun perdebatan di antara ekonom muncul ketika diajukan pertanyaan seperti bagaimana hubungan antar atribut, apa menyebabkan apa, atribut mana yang paling berperan, atribut apa saja yang dapat (dan tidak dapat) dipengaruhi oleh perusahaan, dan pertanyaan lain yang menyangkut pola hubungan antar atribut tersebut. Perbedaan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas menempatkan ekonom- ekonom ke dalam suatu aliran tertentu.

Perdebatan yang terjadi telah berlangsung cukup lama, dan secara kronologis dapat kita bagi ke dalam tiga aliran, didahului oleh paradigma ‘Structure-Conduct-Performance’ (SCP) tradisional, dan diikuti oleh aliran Chicago. Kedua aliran ini dapat kita golongkan sebagai ekonomi industri ‘lama’ atau tradisional. Aliran terakhir, yang terus tumbuh berkembang hingga kini, adalah apa yang dikenal dengan istilah Ekonomi Industri Baru (New Industrial Economics).


II.3.1 PARADIGMA HARVARD

Analisis pasar, baik dari sudut pandang perusahaan yang beroperasi (atau ingin beroperasi) di dalamnya, maupun dari sudut pandang otoritas publik, memerlukan karakterisasi yang tepat. Tujuan utama dari ekonomi industri adalah menyediakan karakterisasi tersebut, bersandar pada skema yang menghubungkan antara struktur pasar dengan perilaku pelaku ekonomi yang ada di pasar dan dengan kinerja yang dihasilkan dari hubungan tersebut.33

Karakteristisasi ini mencakup penentuan unsur-unsur apa saja yang ada di dalam struktur pasar, perilaku, dan kinerja dan peranan dari masing-masing unsur tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan arah hubungan yang terjadi di antara atribut-atribut pasar tersebut.

Paradigma SCP tradisional berpendapat bahwa struktur pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi, misalkan tingkat konsentrasi yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk melakukan kolusi, yang pada gilirannya akan menentukan kinerja yang dicapai. Kinerja yang baik akan muncul dari struktur dan perilaku yang kompetitif. Pola hubungan linier yang sederhana ini menempatkan struktur sebagai pengaruh utama dari keberhasilan fungsi pasar. Karena hal tersebut, pengikut aliran SCP tradisional dikenal dengan istilah ekonom strukturalis.

Hubungan sebab akibat yang terjadi secara searah tersebut dapat diekspresikan dalam formula sederhana, di mana variabel terikat yaitu kinerja dipengaruhi oleh variabel-variabel (penyebab) bebas.

Kinerja = f (struktur, perilaku dan kondisi dasar)

Ukuran kinerja yang diambil biasanya tingkat keuntungan, variabel struktur mencakup tingkat konsentrasi dan hambatan masuk, kondisi dasar dapat berupa kondisi permintaan, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya 35.

Berbeda dengan pendekatan aliran lain di dalam ekonomi industri maupun mikroekonomi yang meletakkan teori sebagai landasan analisis, paradigma SCP tradisional muncul berbasiskan pendekatan metodologi empirik. Proposisi-proposisi yang dihasilkan muncul dari observasi empirik, dengan ataupun tanpa menggunakan peralatan ekonometri, seperti yang dilakukan oleh Joe S. Bain pada tahun 1950-an.


II.3.2 PARADIGMA CHICAGO36

Berbeda dengan aliran SCP tradisional yang berbasiskan studi empirik, tradisi aliran Chicago menekankan pada pentingnya analisis teoritis. Aliran Chicago semakin berkembang dengan masuknya ekonom-ekonom teori yang selama ini berkecimpung dalam mikroekonomi. Hingga pertengahan 1970-an, resep-resep kebijakan yang berasal dari aliran ini sangat mempengaruhi dan mendominasi kebijakan-kebijakan pemerintah Amerika Serikat.

Pandangan-pandangan yang berasal dari paradigma Chicago memiliki banyak perbedaan dengan aliran SCP tradisional, sehingga mereka sering disebut sebagai ‘rival’ dari paradigma SCP tradisional. Perbedaan yang mendasar adalah jika aliran SCP tradisional menggunakan model persaingan tidak sempurna sebagai ‘teropong’ yang paling tepat dalam memandang perilaku industri, maka aliran Chicago memilih model persaingan sempurna, karena dianggap memiliki kekuatan penjelasan (explanatory power) yang lebih baik.

Adanya perbedaan model dasar tersebut, menghasilkan konklusi-konklusi yang berbeda pula. Aliran SCP tradisional menekankan struktur pasar sebagai pengaruh utama dalam kinerja pasar, sehingga pemilikan kekuatan pasar yang tidak seimbang, yang berasal dari struktur pasar yang tidak seimbang pula akan menyebabkan kinerja pasar yang buruk (dari sudut sosial). Dengan kata lain munculnya monopoli atau perilaku antikompetisi berasal dari struktur pasar yang timpang (terkonsentrasi). Dengan perilaku strategisnya, perusahaan-perusahaan besar yang ada di pasar berusaha mencegah masuknya perusahaan-perusahaan baru untuk ikut berkompetisi, sehingga perusahaan-perusahaan besar tersebut dapat memperoleh dan memelihara kekuatan untuk mengatur harga dari produknya. Implikasi dari argumen ini adalah pemerintah perlu turun tangan untuk dapat mencegah dan menghentikan perilaku strategis yang merugikan pasar tersebut.37

Sedangkan aliran Chicago berpendapat sebaliknya, bahwa sumber utama munculnya kekuatan monopoli adalah campur tangan pemerintah di pasar. Pemerintah, dengan sengaja atau tidak, dapat mencegah beberapa perusahaan untuk ikut berkompetisi, yang merupakan keuntungan bagi beberapa perusahaan yang lain. Posisi yang paling baik bagi pemerintah agar pasar dapat berfungsi sebagaimana mestinya adalah mundur dan berada di luar (pasar), dan menyerahkan semuanya kepada kekuatan pasar (market forces).

Paradigma Chicago --meski menggunakan model persaingan sempurna-- tidak berasumsi bahwa kekuatan monopoli tidak ada sama sekali, melainkan menunjukkan bahwa kekuatan monopoli

--yang tidak didukung oleh pemerintah- bersifat temporal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Reder 38 :

“Chicago concedes that monopoly is possible but contends that its presence is much more often alleged than confirmed, and receives reports of its appearence with considerable skepticism. When alleged monopolies are genuine, they are usually transitory, with freedom of entry working to eliminate their influence on prices and quantities within a fairly short time period.”


Menurut pengikut aliran ini, perusahaan monopoli bukanlah sesuatu hal yang harus dikhawatirkan, karena selain bersifat temporal, monopoli tersebut timbul karena proses produksi yang memang lebih efisien. Selama belum ada perusahaan lain yang sanggup berproduksi secara lebih efisien, perusahaan tersebut akan terus menjadi perusahaan monopoli. Implikasi dari argumen ini adalah monopoli bukanlah sesuatu hal yang merugikan, bila keberhasilan fungsi pasar diukur lewat efisiensi.39

Efisiensi relatif dari setiap perusahaan menjadi penentu nyata dari posisi perusahaan di dalam struktur pasar dan perilaku. Perusahaan yang mampu berproduksi lebih efisien akan menghasilkan keuntungan yang besar sehingga akan dapat mengambil pangsa pasar yang lebih besar. Hal ini merefleksikan pandangan aliran Chicago terhadap arah hubungan dari atribut-atribut pasar (yang merupakan kebalikan dari hubungan aliran SCP tradisional):

Struktur = f (Kinerja, Perilaku, Kondisi dasar)

Hubungan antara variabel keuntungan dengan struktur pasar pun berubah: Pangsa pasar = f (Tingkat keuntungan, Perilaku, Kondisi dasar)


Namun harus diingat bahwa monopoli tersebut bersifat sementara, sebab perusahaan tidak dapat mempertahankan kekuatannya dengan menggunakan perilaku strategis yang bersifat antipersaingan. Pendekatan Chicago umumnya menyangsikan kemungkinan keberhasilan dari perilaku strategis perusahaan baik terhadap perusahaan yang sudah mapan di pasar maupun terhadap perusahaan yang mau masuk ke pasar. Struktur pasar akan ditentukan oleh teknologi (menentukan efisiensi proses produksi) dan kebebasan masuk pasar, dan kebebasan masuk pasar tersebut akan menjamin tercapainya perilaku dan kinerja yang optimal.

Karena aliran ini secara fundamental bersifat teoritis, dengan penekanan pada teori ekonomi dasar tertentu, studi yang bersifat empirik sangat jarang dilakukan. Kalaupun ada maka lebih bersifat kritikan (dengan menggunakan formulasi di atas) terhadap penelitian yang dilakukan menurut tradisi SCP.

Salah satu studi aliran Chicago yang paling berpengaruh adalah penelitian yang dilakukan oleh Demsetz pada tahun 1973, 1974 dan 1976.40 Menurut Demsetz, keuntungan di atas normal bukan karena adanya kolusi di antara perusahaan yang ada di pasar, melainkan karena kemampuan perusahaan untuk beroperasi lebih efisien. Dari studi yang dilakukannya ditemukan fakta bahwa keuntungan yang lebih tinggi di suatu pasar yang terkonsentrasi hanya diperoleh oleh perusahaan yang lebih besar. Jika pandangan aliran SCP tradisional mengenai kolusi benar, maka seluruh perusahaan yang ada di pasar, baik yang besar maupun yang kecil, akan memperoleh keuntungan yang sama besar.

Perbedaan lain adalah hubungan antara skala ekonomis dan margin yang diperoleh. Aliran SCP tradisional umumnya beranggapan bahwa perusahaan yang memiliki skala ekonomis akan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Demsetz berpendapat sebaliknya. Semakin penting skala ekonomis, semakin besar keuntungan yang dapat diperoleh jika memproduksi output yang lebih banyak. Namun untuk menjual output lebih banyak, perusahaan perlu menurunkan harga penjualan, sehingga margin keuntungan yang diperoleh pun akan lebih rendah.

Meskipun pada dasarnya, studi yang dilakukan oleh Demsetz merupakan studi ‘tandingan’ terhadap studi empirik aliran SCP tradisional, namun studi tersebut juga tidak lepas dari berbagai kelemahan, seperti pengukuran efisiensi yang hanya diwakili oleh profit perusahaan, dan beberapa kelemahan lain menyangkut metode pengukuran dan proses estimasi.



PERILAKU STRATEGIS PENENTUAN HARGA

Perilaku strategis adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan profit perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kuantitas secara sederhana. Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang gerak pesaing.

Perilaku strategis terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun nonkooperatif. Pertama, perilaku yang bersifat nonkooperatif mengacu pada tindakan perusahaan yang mencoba meningkatkan profit mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Mereka tidak melakukan kerja sama satu sama lain. Perilaku sejenis ini biasanya meningkatkan profit satu perusahaan dan menurunkan profit perusahaan pesaingnya.

Kedua, perilaku strategis yang bersifat kooperatif diciptakan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan untuk berkoordinasi dan membatasi respon pesaing mereka. Bentuk perilaku kooperatif ini mampu meningkatkan profit semua perusahaan yang bermain di pasar dengan meminimalisir persaingan. Pada bagian ini akan ditekankan pada pembahasan mengenai perilaku penentuan harga.


II.4.1 PREDATORY PRICING (JUAL RUGI)

Predatory Pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. Namun dalam praktiknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua pesaing telah keluar, maka perusahaan tersebut langsung menaikkan harga. Selama periode praktik predatori ini, perusahaan kehilangan untung, dan mengalami kerugian. Perusahaan harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga yang rendah.

Kerugian perusahaan selama periode praktik predatory pricing ini melebihi pesaingnya. Dalam periode ini, konsumen memperoleh manfaat dari praktik ini. Mereka dapat membeli produk pada tingkat harga yang jauh lebih murah dibandingkan jika kedua perusahaan menjadi duopolis. Namun demikian setelah itu, ketika harga meningkat pada level yang lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen akan mengalami kerugian.

Jika praktik predatori ini berhasil hingga memaksa pesaingnya bangkrut, dapat dipastikan bahwa aset mereka secara permanen dapat ditarik keluar dari industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika tidak, perusahaan lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan persaingan kembali tak dapat dihindari. Praktik ini kemungkinan besar akan berhasil ketika aset pesaing keluar secara permanen dari industri dan dikuasai oleh predator. Oleh karena itu strategi yang paling jitu agar praktik ini sukses adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan harga penawaran.

Literatur ekonomi dan hukum secara luas telah mengembangkan standar khusus untuk menentukan apakah sebuah perusahaan sedang melakukan praktik predatory pricing atau tidak. Salah satu literatur yang paling berpengaruh terhadap kasus ini adalah literatur Areeda dan Turner.41 Mereka menilai bahwa standar penentuan praktik ini dapat dilihat ketika sebuah perusahaan menetapkan harga di bawah biaya marjinal jangka pendeknya. Namun karena data mengenai biaya marjinal jangka pendek sulit diperoleh, mereka menyarankan untuk menggunakan data AVC (Average Variable Cost) sebagai proksi. Logika yang mendasari adanya penentuan ini adalah bahwa belum pernah ada perusahaan yang mendapatkan untung ketika beroperasi pada kondisi di mana harga lebih rendah dari biaya marjinal jangka pendek kecuali ada kepentingan ataupun taktik atau strategi. Penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek adalah tidak masuk akal jika tanpa prospek keuntungan dalam jangka panjang.

Beberapa pihak lainnya mengembangkan studi Areeda dan Turner dengan alternatif lain. Ada yang menyarankan penentuan dengan menggunakan LRMC (Long Run Marginal Cost), ada juga yang menyarankan menggunakan AC. Beberapa lainnya juga menyarankan masih perlunya untuk melakukan observasi sepanjang waktu baik untuk harga maupun untuk kuantitas output demi meyakinkan apakah praktik predatory pricing ini benar-benar terjadi atau tidak.

Semua jenis tes untuk mendeteksi keberadaan praktik ini masih menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada saat implementasi di lapangan. Pertama untuk alasan data yang diperlukan untuk mengukur SRMC (Short Run Marginal Cost) atau bahkan data AVC (Average Variable Cost). Kedua, permasalahan lainnya adalah, jika perusahaan tidak melakukan apa-apa tapi bisa saja dinilai telah melakukan praktik ini. Misalnya ada perusahaan yang baru masuk ke dalam pasar untuk menarik konsumen ia menerapkan harga promosi. Selama fase awal operasi perusahaan adalah hal yang biasa bagi mereka untuk memberikan gratis atau secara cuma-cuma produk mereka. Tentu saja hal ini bisa bertentangan dengan tes yang dilakukan Areeda dan Turner. Pemberian produk secara cuma-cuma sangatlah efektif sebagai bagian dari promosi demi membangun bisnis di masa depan dan tentunya dapat dijadikan langkah awal untuk dapat meningkatkan profit.

Selain faktor promosi, munculnya penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek (SRMC) sebenarnya bisa terjadi dengan wajar jika perusahaan mampu melakukan tindakan yang dikenal dengan istilah learning by doing. Tindakan ini mengacu pada penurunan biaya produksi karena perusahaan mampu berproduksi jauh lebih efisien. Dengan harga yang murah pada saat awal perusahaan tentu dapat meningkatkan penjualan dan kemudian mampu belajar untuk dapat menurunkan biayanya di masa depan. Meskipun harga saat ini lebih rendah dari biaya produksi, tetapi ada prospek untuk menurunkan biaya di masa datang. Dengan mengumpulkan segala informasi dan pengetahuan yang ada sekarang, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga yang rendah sekarang dapat dipandang sebagai sebuah investasi di masa datang.


II.4.2 PRICE DISCRIMINATION (DISKRIMINASI HARGA)

Diskriminasi harga (price discrimination) dapat didefinisikan sebagai tindakan perusahaan menjual produk atau jasa yang sama dengan harga berbeda ke pembeli berbeda pada waktu yang hampir bersamaan. Diskriminasi harga dilakukan dengan tujuan utama untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi. Profit yang lebih tinggi diperoleh dengan cara merebut (capturing) surplus konsumen. Dengan demikian, tindakan diskriminasi harga hanya akan dilakukan oleh perusahaan jika profit yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan menerapkan harga tunggal (uniform price).

Surplus konsumen adalah selisih antara reservation price (harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen) dengan harga yang benar-benar dibayar oleh konsumen. Jika perusahaan menerapkan kebijakan satu harga (linear uniform price), konsumen akan tetap dapat menikmati surplus konsumen yang signifikan. Dengan adanya kenyataan bahwa konsumen sebenarnya bersedia untuk membayar lebih tinggi, maka perusahaan akan berusaha merebut surplus konsumen tersebut dengan cara menerapkan kebijakan diskriminasi harga.


Terdapat tiga bentuk penerapan diskriminasi harga, seperti yang akan diuraikan berikut ini:

a. Diskriminasi Harga Tingkat Pertama (1st Degree)

Diskriminasi tingkat pertama dilakukan dengan cara menerapkan harga yang berbeda-beda untuk setiap konsumen berdasarkan reservation price (Willingness to Pay) masing-masing konsumen. Strategi tingkat pertama ini sering disebut diskriminasi sempurna (perfect price discrimination) karena berhasil mengambil surplus konsumen paling besar. Syarat utama agar penerapan strategi diskriminasi tingkat pertama ini dapat berhasil adalah perusahaan harus mengetahui reservation price masing- masing konsumen. Contoh: seorang dokter memberlakukan tarif konsultasi yang berbeda-beda pada setiap pasiennya.

b. Diskriminasi Harga Tingkat Kedua (2nd Degree)

Jika perusahaan tidak memiliki informasi mengenai reservation price konsumen, maka diskriminasi tetap dapat dilakukan, namun tidak mendiskriminasi konsumen secara langsung, melainkan melalui diskriminasi produk. Diskriminasi tingkat kedua ini dilakukan dengan cara menerapkan harga yang berbeda-beda pada jumlah batch produk yang dijual. Contoh: perbedaan harga per unit pada pembelian grosir dan pembelian eceran.

c. Diskriminasi Harga Tingkat Ketiga (3rd Degree)

Pada diskriminasi tingkat pertama, perusahaan mengetahui reservation price masing-masing konsumen. Namun, apabila perusahaan tidak mengetahui reservation price masing-masing konsumen, tapi mengetahui reservation price kelompok konsumen, maka perusahaan menerapkan diskriminasi tingkat ketiga. Strategi ini dilakukan dengan cara menerapkan harga yang berbeda-beda untuk setiap kelompok/grup konsumen berdasarkan reservation price masing-masing kelompok konsumen. Kelompok konsumen dapat dibedakan atas lokasi geografis, maupun karakteristik konsumen seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lain-lain.


Apa pun bentuk strategi diskriminasi harga yang dipilih oleh perusahaan namun terdapat syarat mutlak agar strategi tersebut dapat mencapai tujuannya, yaitu mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Syarat utama tersebut adalah:



PASAR BERSANGKUTAN (RELEVANT MARKET)

Dalam setiap kajian industri, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan pasar bersangkutan (relevant market). Penentuan pasar bersangkutan yang tepat diperlukan untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan pasar oleh pelaku usaha dan batasan dari perilaku antipersaingan yang dilakukan. Dengan mengetahui pasar bersangkutan maka dapat diidentifikasi pesaing nyata dari pelaku usaha dominan yang dapat membatasi perilakunya.

Definisi yang tepat dari pasar bersangkutan merupakan suatu fasilitas penting dari analisa persaingan yang akurat. Pendefinisian pasar bersangkutan yang terlalu sempit dapat membawa kepada hal-hal yang tidak berhubungan dengan persaingan, dan sebaliknya definisi pasar bersangkutan yang terlalu lebar dapat menyamarkan permasalahan persaingan yang sebenarnya. Ini tentu saja menjadi suatu kasus di mana penekanan terlalu banyak ditempatkan pada porsi pasar yang muncul dari definisi pasar yang tidak tepat.

Menurut UU No.5 Tahun 1999, pasar bersangkutan didefinisikan sebagai:

“Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.“


Dalam pengertian tersebut terdapat dua dimensi, yaitu dimensi produk (set of products) yang terlihat pada kalimat: “…atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut”, dan dimensi wilayah (relevant geographic market) yang terlihat pada kalimat: “…berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu…”. Berikut ini akan diuraikan penggambaran pasar bersangkutan baik menurut produk (product relevant market) maupun pasar menurut cakupan wilayah geografis (geographic relevant market).


II.5.1 PASAR MENURUT PRODUK

Batasan dari sebuah pasar dapat dilihat dari dua sisi, yaitu substitusi permintaan dari sisi konsumen (demand-side substitution) dan substitusi dari sisi produsen (supply-side substitution). Substitusi dari sisi konsumen melihat batasan dari sebuah pasar dengan menginvestigasi sebuah produk/jasa dan melihat substitusi terdekatnya (close substitute). Barang yang termasuk substitusi terdekatnya tersebut akan dimasukkan ke batasan sebuah pasar bersangkutan jika substitusi yang dilakukan oleh konsumen akan mencegah naiknya harga produk relevan (yang diinvestigasi) di atas harga tingkat persaingan (competitive level).

Proses pembuktian pasar bersangkutan yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan asumsi hypothetical monopolist test. Pengujian ini berusaha mengidentifikasi serangkaian kecil produk dan produsen (pemilik produk yang sedang diinvestigasi), di mana hypothetical monopolist, mengendalikan pasokan dari semua produk di dalam rangkaian tersebut yang dapat meningkatkan keuntungan dengan menaikkan harga di atas harga kompetitif. Pendekatan yang mendasari tes tersebut dapat diaplikasikan untuk mengidentifikasikan pasar produk dan juga pasar menurut geografis. Pendekatan ini menggunakan dasar pemikiran menaikkan harga di atas level kompetitif. Besarnya kenaikan harga ditentukan sedemikian sehingga nilainya cukup kecil namun signifikan (Small but Significant, Non-transitory Increase in Price). Sehingga pengujian menggunakan hipotesis kenaikan harga ini disebut dengan istilah SSNIP test.

Pendekatan ini diperkenalkan oleh lembaga yang berwenang di Amerika Serikat dalam hal penegakan hukum persaingan, yaitu Department of Justice (DOJ) dan the Federal Trade Commission (FTC), pada tahun 1984 yang tertuang dalam Horizontal Merger Guidelines. Penggunaan metode ini juga digunakan oleh lembaga otoritas persaingan di Inggris dan Uni Eropa dalam pedoman mengenai Definisi Pasar.


a. SSNIP Test

Pendekatan SSNIP test (Small but Significant, Non-transitory Increase in Price) pada intinya ingin melihat apakah sebuah perusahaan akan mendapatkan keuntungan jika menaikkan harga. Proses membuktikan tes ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah membuktikan apakah keputusan menaikkan harga akan menguntungkan perusahaan. Hal ini dilihat dari logika profit maksimum, yaitu perusahaan akan memutuskan untuk menaikkan harga jika marginal revenue lebih kecil dari marginal cost. Pembuktian dilakukan dengan melihat44:

1/ε > L (margin)

Di mana ε menunjukkan elastisitas harga (own-price elasticity). Namun tahap pertama ini tidak memberikan batas seberapa besar perusahaan akan menaikkan harga. Merger Guidelines DOJ/ FTC memberikan batas SSNIP sebesar 5%. Tahap kedua dilakukan dengan cara membandingkan critical elasticity of demand dengan own price elasticity-nya.

Critical Elasticity = (1+t) / (m+t)

di mana t adalah batasan SSNIP, m menunjukkan margin yang dimiliki oleh perusahaan (nilainya berupa persentase bukan profit langsung misalnya ROE). Jika critical elasticity lebih besar dari own price elasticity, berarti pasar tersebut memenuhi SSNIP test.


b. Substitusi dari Sisi Permintaaan (Demand-Side Substitution)

Analisa ini terfokus terhadap substitusi yang ada untuk pembeli dan apakah terdapat pelanggan yang akan berpindah pada saat terjadi peningkatan harga, tanpa menimbulkan biaya untuk membatasi perilaku pemasok produk yang bersangkutan. Substitusi tidak harus terhadap produk yang identik sama untuk dimasukkan ke dalam pasar yang sama. Sebagian besar barang dan jasa merupakan produk yang terdiferensiasi. Oleh sebab itu harga dari produk ini tidak perlu sama. Contohnya: jika dua produk digunakan untuk tujuan yang sama tetapi satu produk dengan spesifikasi yang berbeda, mungkin dengan kualitas yang lebih tinggi keduanya masih berada pada pasar yang sama selama konsumen lebih memilih produk tersebut karena rasio harga-kualitas yang lebih tinggi.


Sebagai tambahan, suatu produk tidak perlu menjadi substitusi langsung untuk dapat dimasukkan ke dalam pasar yang sama. Mungkin terdapat rantai substitusi di antara produk tersebut. Lebih lanjut, tidak perlu seluruh konsumen atau mayoritas dari konsumen untuk berpindah untuk mensubstitusi produk untuk dapat menyatakan suatu barang bersubstitusi dan berada pada pasar relevan yang sama.

Faktor penting adalah apakah jumlah konsumen yang pindah tersebut cukup besar untuk mencegah hipotetikal monopolis menetapkan harga di atas level kompetitif. Faktanya jika peningkatan harga sebesar 10% akan membawa setidaknya 10-20% konsumen berpindah ke barang substitusi maka keuntungan dari peningkatan harga akan hilang dan akan tidak menguntungkan bagi perusahaan untuk melakukan peningkatan harga.

Perilaku yang biasa disebut dengan ‘marginal consumers’ yang cenderung akan berpindah akan membuat harga kompetitif bukan hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk konsumen yang lain yang tidak dapat berpindah, dengan asumsi bahwa pemasok tidak bisa melakukan diskriminasi harga terhadap kelompok konsumen. Jelas bahwa semakin kuat kejadian bahwa konsumen akan berpindah, akan semakin kecil kemungkinan bahwa suatu produk atau sekumpulan produk berada pada pasarnya sendiri.

Biaya perpindahan bagaimanapun juga akan sangat penting bagi konsumen. Contohnya, perpindahan dari pemanas listrik ke pemanas gas, sejalan dengan penurunan harga gas, akan membuat sejumlah investasi yang signifikan pada peralatan baru. Dalam keberadaan biaya perpindahan mungkin terdapat jarak yang cukup jauh antara substitusi permintaan jangka pendek dan jangka panjang.


c. Substitusi Dari Sisi Penawaran (Supply-Side Substitution)

Substitusi dari sisi produsen juga mempengaruhi ruang lingkup pasar relevan, di mana jika pelaku usaha sebuah produk tertentu mengalihkan fasilitasnya untuk memproduksi barang substitusi jika harga naik cukup signifikan. Dalam ketiadaan substitusi permintaan, kekuatan pasar mungkin masih dapat dibatasi dengan substitusi penawaran. Substitusi semacam ini muncul ketika pemasok barang mampu bereaksi dengan cepat terhadap perubahan kecil yang permanen pada harga relatif dengan merubah produksi ke produk yang relevan tanpa menimbulkan biaya atau resiko tambahan. Dalam kondisi ini, potensi dari substitusi penawaran akan memiliki dampak disipliner yang sama terhadap perilaku persaingan dari perusahaan-perusahaan yang terlibat.

Sama seperti substitusi permintaan, substitusi penawaran harus secara relatif cepat, karena tanpa kecepatan efektifitasnya dalam menghambat kekuatan pasar yang ada akan menurun. Hal ini merupakan suatu permasalahan opini mengenai seberapa cepat substitusi penawaran harus bereaksi, untuk membedakannya dengan entry, biasanya ditentukan oleh otoritas persaingan selama jangka waktu satu tahun.

 

Menganalisa substitusi penawaran jangka pendek menimbulkan isu yang sama untuk dipertimbangkan hambatan masuk (barriers to entry). Keduanya dipertimbangkan dengan membangun asumsi apakah perusahaan-perusahaan akan dapat mulai memasok suatu produk dalam persaingan dengan perusahaaan lain yang sudah ada. Perbedaannya hanya pada masalah waktu, yaitu kecepatan melakukan persiapan.

Tipe bukti yang digunakan dalam melakukan penilaian dari substitusi penawaran meliputi:


II.5.2 PASAR MENURUT GEOGRAFIS

Metode yang sama dapat diaplikasikan untuk menentukan cakupan geografis dari sebuah pasar bersangkutan. Dari sisi konsumen, dilihat apakah konsumen dengan mudah dapat mendapatkan produk yang sama (atau mirip) dari produsen di daerah lain. Jika ya, maka daerah lain tersebut merupakan bagian dari pasar bersangkutan secara geografis.

Pasar geografis yang relevan merupakan wilayah di mana substitusi permintaan dan penawaran berada. Penetapan pasar geografis sangat ditentukan oleh ketersediaan produk yang menjadi obyek analisa. Beberapa faktor yang menentukan ketersediaan produk di dalam suatu wilayah geografis adalah kebijakan perusahaan, biaya transportasi, lamanya perjalanan, tarif dan peraturan-peraturan yang membatasi lalu lintas perdagangan antar kota/wilayah.45

Tipe bukti yang dapat digunakan untuk menentukan cakupan pasar geografis termasuk survei konsumen dan perilaku pesaing, estimasi elastisitas harga di berbagai tempat yang berbeda, dan analisa perubahan harga lintas wilayah yang berpengaruh. Bukti yang terakhir dapat memberikan pembuktian yang beralasan untuk menentukan bahwa dua wilayah merupakan suatu pasar yang sama jika harga dari suatu produk yang dipermasalahkan bergerak bersama di kedua wilayah tersebut dan pergerakannya tidak disebabkan oleh perubahan pada biaya produksi.