Pengantar Fiqih Muamalah


Sebelum membahas berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan fikih mu’amalah, dalam tulisan ini terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian fikih mu’amalah, ruang lingkup pembahasan dan berbagai hal yang terkait dengannya. Dengan demikian para pembaca akan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai dan lebih terstruktur (sistematis) seputar fikih mu’amalah.

Hal ini penting dilakukan agar seseorang dapat membedakan apakah suatu persoalan masuk dalam dimensi akidah, ibadah ataukah mu’amalah. Sebab masing-masing persoalan tersebut memiliki kekhasan, “aturan main” dan pendekatan yang tidak selalu sama. Namun hal ini tidak berarti bahwa ajaran Islam itu terkotak-kotak (dikotomis) antara satu dengan lainnya dan tidak memiliki interkoneksi (keterkaitan antara satu dengan lainnya). Tetapi justru sebaliknya bahwa Islam merupakan ajaran ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu Islam tidak boleh dilihat hanya dari satu aspek dan menafikan aspek lainnya. Seseorang tidak boleh hanya melihat Islam dari sudut akidah saja dan meninggalkan aspek ibadah dan mu’amalahnya, begitu pula sebaliknya.

Pengertian Fikih Mu’amalah

Fikih menurut bahasa berarti (اَلْفَهْمُ) pemahaman. Istilah fikih dengan pengertian seperti ini seringkali dapat ditemukan dalam ayat maupun hadis Nabi saw., antara lain:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ -التوبة: 122

“Dan tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Kata fikih dalam pengertian pemahaman juga dapat dijumpai dalam surat al-A’raf ayat; 179, dan surat an-Nisa’ ayat; 78, dan juga dalam hadis Nabi saw:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ …–رواه البخاري ومسلم

“Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah akan suatu kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman dalam (masalah) agama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Adapun pengertian fikih menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama ialah sebagai berikut;

اَلْعِلْمُ بِالاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ وَهُوَ عِلْمٌ مُسْتَنْبَطٌ بِالرَّأْيِ وَالإِجْتِهَادِ وَيُحْتَاجُ فِيْهِ إِلَى النَّظَرِ وَالتَّأَمُّلِ (الجرجانى الحنفي

“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (aplikatif) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan disimpulkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.”

Pengertian senada juga dikemukakan oleh ulama’ lainnya, yaitu:

اَلْفِقْهُ مَعْرِفَةُ اَحْكَامِ الله تَعَالَى فِى اَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ بِالْوُجُوْبِ وَالْحَظَرِ وَالنَّدْبِ وَالْكَرَاهَةِ وَالإِبَاحَةِ وَهِيَ مُتَلَقَّاةٌ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمَا نَصَبَهُ الشَّّارِعُ لِمَعْرِفَتِهَا مِنَ الأَدِلَّةِ فَإِذَا اسْتُخْرِجَتْ الاَحْكَامُ قِيْلَ لَهَا فِقْهٌ

“Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, berupa hal yang diwajibkan, dilarang, disunnahkan, dimakruhkan, dibolehkan, yang disimpulkan dari al-qur’an dan as-sunnah dan apa saja yang disandarkan oleh syari’ untuk diketahui dari dalil-dalil tertentu, maka apabila hukum itu dapat dikeluarkan (ditentukan/disimpulkan), itulah yang dinamakan fikih .”

Dari kedua istilah tersebut dapat difahami bahwa secara aplikatif, bahwa kata fikih memiliki pengertian yang sama (sinonim) dengan istilah hukum. Hal itu dapat dilihat penggunaannya oleh para ulama ketika membahas persoalan hukum tertentu, seperti; fikih shalat (hukum shalat), fikih zakat (hukum zakat), fikih shiam (hukum puasa) dan lain sebagainya.

Sedangkan pengertian muamalah adalah; segala bentuk kegiatan dan transaksi serta perilaku manusia dalam kehidupannya. Dengan demikian, fiqih muamalah dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat ( yang bersumber dari al-qur’an dan hadis), mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil syari’at secara terperinci.

Dalam pengertian yang lebih rinci, fikih mu’amalah adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, yang bertujuan untuk menjaga hak-hak manusia, merealisasikan keadilan, rasa aman, serta terwujudnya keadilan dan persamaan antara individu dalam masyarakat (kemaslahatan) serta menjauhkan segala kemudaratan yang akan menimpa mereka.

Prinsip-Prinsip (Fikih) Mu’amalah

اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ

“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”

يآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا. -النساء: 29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قََضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. -رواه أحمد وابن ماجة

“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;

اَلضَّرَرُ يُـزَالُ

“Kemudharatan harus dihilangkan”

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ. -البقرة: 279

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)


Ruang Lingkup dan Cabang-Cabang Fikih Mu’amalah

Fikih Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik secara vertikal maupun secara horizontal, baik yang berkaitan dengan individu, keluarga, masyarakat, bahkan yang berhubungan dengan negara baik saat damai maupun perang. Karena itu, secara garis besar, para fukaha’ (ulama’ fikih) membagi fikih menjadi dua macam, yaitu: fikih ibadah yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah dan fikih mu’amalah yang mengatur hubungan sosial antar sesama manusia.

Ruang lingkup fikih muamalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam baik berupa perintah maupun larangan-larangan hukum yang terkait dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya. sedangkan cabang-cabang fikih mu’amalah antara lain: Pertama: Hukum yang mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya, baik yang menyangkut aturan sipil, perdagangan, keluarga, gugatan hukum, dan lain sebagainya. Contoh yang terkait dengan persoalan ini, antara lain; pembahasan tentang harta, baik dari aspek cara mendapatkan dan mendistribusikannya, maupun dari aspek hakekat dan konsep kepemilikan dalam Islam. Pembahasan tentang akad atau transaksi, hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsiyah) seperti; nikah, talak, hak-hak anak, hukum waris, wasiat, wakaf, dan berbagai hal yang berhubungan dengan hukum murafa’at (gugatan).

Kedua; hukum yang mengatur hubungan pribadi dengan negara (Islam), serta hubungan bilateral antara negara Islam dengan negara lain. Contoh-contoh kitab fikih yang berbicara tentang persoalan ini antara lain; Al-Ahkam as-sulthaniyah oleh Imam al-Mawardi dan Abu Ya’la al-Farra’, As-Siyasah as-Syar’iyyah oleh Ibnu Taimiyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyyah oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Kharaj yang ditulis oleh Abu Yusuf dan Yahya bin Adam al-Quraisyi, dan lainnya.

Cabang-cabang fikih mu’amalah tersebut di atas itulah yang akan menjadi topik pembahasan dalam ulasan-ulasan berikut secara lebih rinci dan aplikatif dalam edisi-edisi berikutnya. Selamat mengikuti.

Ruslan Fariadi, https://muhammadiyah.or.id/prinsip-dasar-fiqih-muamalah/

Akad dalam Hukum Muamalah

Perilaku yang harus dimiliki oleh aqid (orang yang berakad), adalah berlaku benar (lurus), menepati amanat, dan jujur

Manusia dijadikan Allah sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha untuk mencari karunia Allah di muka bumi ini. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash (28) ayat 77 berikut:

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَٮٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأَخِرَةَ‌ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَا‌ۖ وَأَحۡسِن ڪَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَ‌ۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِى ٱلۡأَرۡضِ‌ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧

Dan carilah pada apa yang telah di-anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. al-Qashash/28: 77)

Dalam muamalah dimulai dengan adanya akad. Akad adalah salah satu sebab yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Akad adalah perbuatan yang disengaja dibuat oleh dua orang atau lebih, berdasarkan persetujuan masing-masing.

Akad itu mengikat pihak-pihak dengan beberapa hukum syara’, yaitu hak dan iltizam (memenuhi suatu ketentuan) yang diwujudkan dengan adanya akad itu.


Rukun-Rukun Akad

Shighatul ‘aqdi memerlukan tiga syarat:

Lafadz yang dipakai dalam ijab qabul itu harus jelas pengertiannya menurut ‘urf (kebiasaan). Haruslah qabul itu sesuai ijab dalam segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, maka tidak sah, karena harus adanya persesuaian antara dua pernyataan itu.

Haruslah shighat ijab qabul memperlihatkan kesungguhan, tidak diucapkan secara ragu-ragu. Apabila shighatul ‘aqdi tidak menunjukkan kesungguhan, akad itu tidak sah.

Mengucapkan dengan lidah bukanlah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam mengadakan akad. Ada beberapa cara untuk memperlihatkan kesungguhan dalam mengadakan akad tersebut.

Para fuqaha menerangkan berbagai cara yang bisa ditempuh dalam mengadakan akad, yaitu:

 وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضً۬ا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤۡتُمِنَ أَمَـٰنَتَهُ ۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ ۥ‌ۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَـٰدَةَ‌ۚ وَمَن يَڪۡتُمۡهَا فَإِنَّهُ ۥۤ ءَاثِمٌ۬ قَلۡبُهُ ۥ‌ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٌ۬

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh se-orang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan per-saksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Qs. al-Baqarah/2: 283).

Syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam segala macam akad:


Perilaku Orang Berakad

Perilaku yang harus dimiliki oleh aqid (orang yang berakad), adalah sebagai berikut:

1. Berlaku benar (lurus)

Berperilaku benar merupakan ruh keimanan dan ciri utama orang yang beriman. Sebaliknya, dusta merupakan perilaku orang munafik. Seorang muslim dituntut untuk berlaku benar, seperti dalam jual beli, baik dari segi promosi barang atau penetapan harganya. Oleh karena itu, salah satu karakter pedagang yang terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku benar.

Dusta dalam berdagang sangat dicela terlebih jika diiringi sumpah atas nama Allah. “Empat macam manusia yang dimurkai Allah, yaitu penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan pemimpin yang zalim.” (HR. Nasai, dan Ibnu Hibban).

2. Menepati Amanat

Menepati amanat merupakan sifat yang sangat terpuji. Yang dimaksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya. Orang yang tidak melaksanakan amanat dalam Islam sangat dicela.

Hal-hal yang harus disampaikan ketika berdagang adalah penjual atau pedagang menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangannya kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Hal itu dimaksudkan agar pembeli tidak merasa tertipu dan dirugikan.

3. Jujur

Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur. Kejujuran merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual beli karena kejujuran akan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak. Sikap jujur dalam hal timbangan, ukuran kualitas dan kuantitas barang yang diperjualbelikan adalah perintah Allah swt. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 85).

وَإِلَىٰ مَدۡيَنَ أَخَاهُمۡ شُعَيۡبً۬ا‌ۗ قَالَ يَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَڪُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَيۡرُهُ ۥ‌ۖ قَدۡ جَآءَتۡڪُم بَيِّنَةٌ۬ مِّن رَّبِّڪُمۡ‌ۖ فَأَوۡفُواْ ٱلۡڪَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ - وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تُفۡسِدُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَـٰحِهَا‌ۚ ذَٲلِڪُمۡ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡ إِن ڪُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٨٥

Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman. (Qs. al-A’raf /7: 85).

Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan cacat barang dagangan. Baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya: “Muslim itu adalah saudara muslim, tidak boleh seorang muslim apabila ia berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat, kecuali diterangkannya.”

Lawan sifat jujur adalah menipu atau curang, seperti: mengurangi takaran, timbangan, kualitas, kuantitas atau menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan cacatnya.

Hadits lain meriwayatkan, dari Umar bin Khattab r.a. berkata, seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah saw.: “Katakanlah kepada si penjual, jangan menipu! Maka sejak itu apabila dia melakukan jual beli, selalu diingatkannya jangan menipu”. (HR. Muslim).


Widjdan Al Arifin, https://muhammadiyah.or.id/akad-dalam-hukum-muamalah/

Hubungi Kami

Kantor Advokat dan Konsultan Hukum

Himawan Dwiatmodjo & Rekan

Jl. Rawa Kuning, Pulogebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia


Email: lawyerhdp@gmail.com

Telepon/Pesan Teks: +62895-4032-43447