Bahasa Hukum


​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat

Bahasa hukum sudah mendapat perhatian kalangan ahli bahasa dan ahli hukum sejak 1970-an. Lambat laun makin hilang?


Bagi yang sering berkunjung ke Medan, Sumatera Utara, cobalah sesekali datang ke rumah peninggalan Tjong A Fie di Jalan A. Yani, kawasan Kesawan. Di dalam dinding rumah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya itu ada sebuah bingkai tentang testamen dalam bahasa Belanda. Seperti terbaca dari testamen itu, pada 20 Oktober 1920 telah datang menghadap Dirk Johan Toeqin de Grave, notaris di Medan, seseorang bernama, Tjong A Fie, mayoor der Chineezen, meminta dicatatkan isi wasiatnya. Isi testamen Tjong A Fie dapat dibaca setiap pengunjung yang datang.


Testamen, salah satu istilah yang dikenal dalam hukum pewarisan, lebih dipahami banyak orang sebagai wasiat, yaitu suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dokehendaki setelah ia meninggal dunia. Testamen bersifat satu pihak, dalam arti dikeluarkan oleh orang dan sewaktu-waktu dapat ditarik ketika ia masih hidup. Pasal 874 Burgerlijk Wetboek (BW) mengatur apa yang dimaksud testamen, dan dari sana dapat dilihat syaratnya. Intinya, isi testamen tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Umumnya, suatu testamen berisi apa yang disebut dengan istilah erfstelling, yakni penunjukan seseorang atau beberapa orang sebagai ahli waris yang berhak atas harta waris. Orang yang ditunjuk sebagai ahli waris dalam wasiat itu disebut testamentaire erfgenaam (ahli waris yang ditunjuk berdasarkan wasiat). 


Kisah tentang testamen Tjong A Fie di Medan bukan hanya mendorong pertanyaan tentang arti kata ‘testamen’ dan sosok Tjong A Fie, tetapi juga mengingatkan betapa pentingnya peran kota Medan dalam perkembangan bahasa hukum di Indonesia. Di Medan pula pada awal 1943 berdiri Lembaga Bahasa Indonesia. Dari kota ini pula –dan kota Parapat di pinggir Danau Toba, pernah menjadi saksi hidup berkumpulnya para ahli hukum dan ahli bahasa dalam Simposium Bahasa dan Hukum.


 Akademisi yang pernah memimpin Konsorsium Ilmu Hukum, Mardjono Reksodiputro, masih mengingat seminar bahasa dan hukum itu, dan menganggapnya sebagai salah satu tonggak awal perhatian dan perkembangan bahasa hukum di Indonesia. Sejak saat itulah semangat mengembangkan bahasa hukum Indonesia tumbuh berkembang. “Yang saya ingat paling awal adalah seminar bahasa dan hukum di Medan dan Parapat,” ujarnya kepada hukumonline, 17 Juli lalu.

 

Berlangsung pada 25-27 Oktober 1974 Simposium Bahasa dan Hukum menjadi forum perhatian kalangan bahasa dan hukum pada bahasa hukum. Simposium menyepakati bahwa bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, dan karena fungsinya mempunyai karakters tersendiri. Karakter bahasa hukum terlepat pada kekhususan istilah, komposisi, dan gaya bahasanya. Simposium juga menyarankan untuk mengambil langkah-langkah. Pertama, melakukan inventarisasi istilah hukum dan pepatah yang telah ada maupun yang sedang dikumpulkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun yang dilakukan perorangan. Kedua, melakukan usaha pembakuan atau standarisasi istilah-istilah hukum yang telah ada. Ketiga, melakukan penciptaan istilah-istilah hukum baru.


Prof. Mahadi, Guru Besar Fakultas Hukum USU, termasuk yang jadi pembicara dalam simposium itu. Mahadi menyampaikan bahwa bahasa hukum sudah hidup dalam pepatah yang hidup dalam masyarakat, khususnya di Sumatera Utara, sebagaimana dipakai dalam bidang waris, perkawinan, perikatan, warisan, hukum tanah, hukum tata negara, dan hukum perdata internasional. Mahadi adalah salah seorang tokoh hukum yang ikut terlibat dalam pembuatan terjemahan resmi KUHP.


Setelah Simposium Bahasa dan Hukum di Medan, Badan Pembinaan Hukum Nasional memulai program berkelanjutan untuk mendukung pembinaan dan pengembangan bahasa hukum. Pada pertengaha 1977, misalnya, BPHN menugaskan Mahadi dan seorang ahli bahasa dari Medan, Sabaruddin Ahmad, untuk menuliskan karya ilmiah tentang bahasa hukum. Hasil karya kedua akademisi ini adalah terbitnya Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Selain itu, untuk menopang pengembangan bahasa hukum, disusunlah istilah-istilah hukum dan kamus hukum, hasil kerjasama BPHN dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Seolah mengenang seminar bahasa dan hukum itu, pada 13 Maret lalu, Komisi Yudisial menggelar sesi diskusi bahasa hukum dengan wartawan lokal, terutama mendiskusikan kesalahan-kesalahan dalam penulisan karya jurnalistik hukum. Meskipun diskusi sederhana dalam rangka sinergitas Komisi Yudisial dengan media massa, langkah Komisi Yudisial itu memompa kembali perhatian terhadap bahasa hukum yang pernah begitu massif pada dekade 1980-an.

 

Pada dekade 1980-an puluhan karya tulis dihasilkan, berfokus pada bahasa hukum baik secara teoritis maupun praktek di pengadilan, notaris, dan bahasa perundang-undangan. Profesor Mardjono mengenang Badan Pembinaan Hukum Nasional intensif melakukan kajian-kajian dengan melibatkan akademisi. Salah satu yang dihasilkan ada kamus hukum. Bahkan untuk mengisi kekosongan literatur bahasa hukum, penerbit Binacipta Bandung menerjemahkan kamus hukum Fockema Andreae yang terkenal. Ada juga penyusunan istilah-istilah hukum dalam bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia. “Seingat saya ada komisi khusus untuk menerjemahkan,” ujarnya seraya menyebut BPHN masih bernama LPHN dan berlokasi di gedung yang tak jauh dari gedung Bina Graha Jakarta.

 

Laras bahasa hukum

Kajian yang sangat komprehensif mengenai bahasa hukum adalah disertasi Ab Massier di Universitas Leiden. Beberapa akademisi Indonesia juga menulis buku tentang bahasa hukum, misalnya Hilman Hadikusuma (Bahasa Hukum Indonesia), Junaiyah H. Matanggui (Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan), dan Lilis Hartini (Bahasa dan Produk Hukum).

 

Gregory Churchill, Indonesianis yang banyak melakukan kajian tentang akses terhadap informasi dan dokumentasi hukum, pernah menyusun sebuah tulisan di jurnal Jentera (edisi 1/Agustus 2002). Ia memperlihatkan pengaruh beragam sistem hukum ke dalam bahasa hukum di Indonesia. Istilah ‘kemitraan’ dari bahasa Sanskerta, ‘zakat’ dari hukum Islam, ‘per diem’ dari bahasa Latin, istilah ‘class action’ dari sistem hukum Amerika Serikat, dan banyak istilah yang diserap dan diterjemahkan dari bahasa Belanda.

 

Menurut Lilis Hartini, salah satu problem yang dikeluhkan selama ini adalah sulitnya orang awam memahami bahasa hukum. Komunitas hukum menganggap mereka punya bahasa dan istilah-istilah khusus yang berbeda dari orang kebanyakan. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) ini melihat hingga kini masih ada jurang antara komunitas hukum dan masyarakat umum pengguna bahasa. Mestinya, kata dia, komunitas hukum pun harus tunduk pada standarisasi berbahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

 

Komunitas hukum menganggap punya bahasa khas antara lain karena satu kata bisa dimaknai berbeda. Seorang advokat dan jaksa bisa mempunyai penafsiran terhadap materi muatan suatu Undang-Undang. Namun, Lilis mempertanyakan kekhasan bahasa hukum dimaksud. “Di situ, ada peluang bahasa dipolitisasi,” ujarnya dalam wawancara dengan hukumonline di Bandung, 17 Juli lalu.

Mengubah bahasa hukum yang sudah lazim dipakai aparat penegak hukum Indonesia memang tidak mudah. Sebut misalnya penggunaan kata ‘bahwa’ dalam setiap putusan hakim. Dilihat dari tata cara penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar, mengawali kalimat dengan kata ‘bahwa’ dianggap kurang pas. Hal yang sama terjadi pada profesi notaris, yang mempunyai bahasa tersendiri, warisan dari notaris era Hindia Belanda. Model bahasa untuk bidang tertentu inilah yang lazim disebut laras bahasa.

 

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pernah melakukan evaluasi terhadap bahasa hukum setelah 25 tahun Simposium Bahasa dan Hukum di Medan-Parapat. Seminar Hukum Nasional II di Surabaya (1974) juga telah menegaskan bahwa keadaan dan pemakaian bahasa Indonesia di bidang hukum belum dapat menunjukkan ‘kemantapan’. Analisis dan evaluasi oleh BPHN tersebut dalam rangka meningkatkan ‘kemantapan’ bahasa Indonesia hukum. Ada tiga kesimpulan dari analisis dan evaluasi itu.

 

Pertama, upaya pembinaan bahasa hukum yang telah dimulai dari Simposium Medan-Parapat perlu terus dilakukan karena tidak terpisahkan dari pembangunan hukum. Kedua, penggunaan bahasa hukum yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia baku belum tampak pada sebagian produk hukum yang baik dalam bahasa perundang-undangan, dalam praktek hukum (bahasa notaris dan putusan pengadilan), serta penulisan ilmu hukum dan pendidikan hukum. Ketiga, kesalahan umum yang muncul pada tulisan-tulisan produk hukum adalah karena penulis tidak memperhatikan penulisan kata sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan penggunaan tanda baca.

 

Hampir 25 tahun setelah analisis dan evaluasi BPHN itu, Lilis melihat masih ada yang miss dalam penggunaan bahasa hukum. Memang, ada perkembangan menarik dalam hal penggunaan bahasa Indonesia untuk istilah-istilah hukum meskipun istilah berbahasa Belanda masih banyak dipakai. Kini, istilah berbahasa Inggris pun semakin banyak diadopsi ke dalam bahasa hukum di Indonesia. “Pembenaran bahasa hukum itu karena bahasa Indonesia tidak terlalu kaya (istilah hukum),” ujarnya.

 

Bahasa hukum perundang-undangan

Kongres Bahasa Indonesia X yang berlangsung pada Oktober 2018 menghasilkan puluhan rekomendasi. Salah satu yang relevan adalah permintaan peserta kongres agar ketentuan tentang bahasa dalam UU No. 24 Tahun 2009 ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Kongres ini tidak lagi secara spesifik menggaungkan bahasa hukum. “Perlu ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar Pasal 36 dan Pasal 38 UU No. 24 Tahun 2009 sehubungan dengan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk nama dan media informasi yang merupakan pelayanan umum,” demikian salah satu poin rekomendasi.

 

Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR sudah membuat panduan penggunaan bahasa Indonesia dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk pilihan kata. Bahasa dalam peraturan perundang-undangan tetap tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik aturan pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya.

Selain itu, ada banyak ciri bahasa peraturan perundang-undangan, misalnya, lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan. Contoh yang paling pas untuk menggambarkan ini adalah penerjemahkan istilah bezitter dan eigenar dalam hukum perdata. Jika tak memahami filosofinya, sangat mungkin orang mengartikan kedua kata itu sebagai pemilik. Ciri lain adalah bercorak hemat, dalam arti hanya kaya yang diperlukan yang dipakai; membakukan makna kata, ungkapan atau istilah  yang digunakan secara konsisten; dan memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat.

 

Dalam pilihan kata atau istilah, bahasa hukum Indonesia juga sudah memiliki beberapa pola baku. Misalnya, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum ancaman pidana atau batasan waktu, maka dipakai kata ‘paling’. Frasa ‘paling singkat’ atau ‘paling lama’ dipakai untuk menyatakan jangka waktu; sedangkan frasa ‘ paling lambat’ atau ‘paling cepat’ jika ingin menyatakan batas waktu.

 

Mengubah kebiasaan penggunaan bahasa hukum sejak era Hindia Belanda, termasuk format dokumen-dokumen hukum, memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi perubahan secara perlahan perlu dilakukan. Untuk melakukan itu, kerjasama komunitas hukum dan komunitas bahasa mutlak diperlukan. Lilis Hartini mengusulkan antara lain penggunaan semiotika untuk menafsir hukum. Pendekatan ini juga pernah diajukan Prof. Sutandyo Wignyosubroto.

 

Kurangnya perhatian pada bahasa hukum baik pada Seminar Hukum Nasional maupun Kongres Bahasa Indonesia beberapa waktu belakangan, memperlihatkan semangat yang tak sejalan dengan Simposium Bahasa dan Hukum di Medan-Parapat, 45 tahun silam.



Sumber: ​​​​​​​Muhammad Yasin, Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat, https://www.hukumonline.com/berita/a/bahasa-hukum-indonesia--setelah-45-tahun-simposium-medan-parapat-lt5d5f6ff4d69ae/

Bahasa Hukum Indonesia di dalam Surat Perjanjian

Pengantar


Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.  Alasan yang mendukung pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi  bahasa negara, bagi hampir  sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku sekolah.


Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut dinamakan ragam bahasa (Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam bahasa dikelompokkan menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak resmi. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap berprestise tinggi dan  digunakan oleh kalangan terdidik disebut ragam bahasa baku/formal.


Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya


Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).


Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti terdapat dalam  konstatasi keempat di atas, yang  tercermin dalam penulisan dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini 1999:1—2). Di samping itu,  ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman) karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).


Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b) dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). Banyak istilah asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit (lihat Mahadi 1979).


Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah khusus hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau samar-samar; (d) menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam akta notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat perjanjian, akta notaris, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, sulit dipahami masyarakat awam. 


Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan karakteristik bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi, dan gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301). Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum sendiri masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat Murniah 2007). Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan pula oleh Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum yang berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen HKI, surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.  


Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah 2007). Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974 waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum yang memahami ketentuan perundang-undangan yang menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki keterampilan dan pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.


Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah


Tidak berbeda dengan  bidang ilmu lainnya, bahasa hukum Indonesia memiliki ciri-ciri bahasa keilmuan  (Moeliono 1974 dalam Natabaya 2000), yakni

Bahasa hukum Indonesia dalam surat-menyurat khususnya, menurut Suryomurcito (2009), perlu memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah yang tepat, kosakata yang beragam, kalimat yang singkat dan jelas, kalimat yang mengandung satu pokok pikiran, dan tanda baca yang benar. Dengan kata lain, supaya masyarakat lebih mudah memahaminya, disarankan untuk menghindari kalimat yang bertele-tele, jangan mengulang-ulang, jangan menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan yang digunakan di dalam undang-undang, jangan salah menggunakan tanda baca, dan jangan salah ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam bidang ilmu lainnya, dalam dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan aturan hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan yang tersusun dalam kalimat yang efektif.


Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang memperlihatkan bahwa proses penyampaian oleh penulis dan pembaca berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud yang disampaikan oleh penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang efektif dapat dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan makna antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur klausa dan kesejajaran makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur dengan mengulang bagian-bagian yang ditekankan; menunjukkan penghematan dalam kata. Tulisan ini akan menyajikan pemakaian bahasa hukum di dalam surat perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja (2006), dan surat perjanjian pemberian pinjaman (2008). Dengan menganalisisnya secara kualitatif, yaitu dengan memerikan gejala pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan mengungkap penggunaan bahasa hukum yang sebenarnya.


Surat Perjanjian


Surat perjanjian adalah surat yang dibuat oleh dua pihak yang telah sepakat untuk suatu urusan. Jenis surat perjanjian ada bermacam-macam, misalnya perjanjian jual beli,  perjanjian sewa beli,  perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan perjanjian pinjaman uang. Surat perjanjian dibuat sebagai bukti autentik adanya ikatan kedua belah pihak dan untuk menghindari persengketaan di kemudian hari. Anatomi surat perjanjian terdiri dari (a) judul, (b) pembukaan, (c) komparisi, (d) premis/dasar pertimbangan, (e) isi perjanjian, (f) penutup, dan (g) tanda tangan dan lampiran (Widjaja 2004).

 

Temuan dan Pembahasan


Untuk mengungkap pemakaian bahasa hukum dalam ketiga surat perjanjian, ditemukan beberapa pemakaian bahasa yang tidak benar, yang meliputi pemakaian ejaan dan tanda baca, pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata, pemakaian kata yang bersinonim, pengaruh unsur bahasa Inggris, pemakaian kata yang bersinonim, pemakaian bahwa di depan Subjek, pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar, pemakaian kalimat yang panjang, dan pemakaian Dalam Hal dan Maka.


Pemakaian Ejaan dan Tanda baca


Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda baca yang benar. Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan penulis memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan dan mampu menggunakannya secara tepat untuk menyatakan maksudnya. Kadang kala pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna yang disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di dalam bahasa hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik koma.Terlepas dari struktur kalimatnya, perhatikan contoh (1) berikut.


(1)    Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang asuransi jiwa;

Dalam kaidah bahasa Indonesia, tanda titik dua diganti titik satu pada kalimat lengkap yang diikuti perincian berupa kalimat lengkap pula, dan perincian diakhiri tanda titik (Utorodewo, Felicia N. dkk. 2004). Oleh karena itu, pada kalimat pertama bukan titik dua yang mengakhiri kalimat, melainkan titik satu karena perincian berikutnya, yaitu kalimat kedua, merupakan kalimat yang sudah lengkap pula (mengandung unsur Subjek-Predikat-Pelengkap).  

Di samping titik dua, penulisan di agaknya juga masih belum diperhatikan oleh penulisnya. Di- ditulis menyambung jika kata yang mengikutinya merupakan verba (kata kerja). Kata berimbuhan di- sebagai awalan dapat diubah ke dalam bentuk kalimat aktif. Contoh: divonis-memvonis. Jika tidak berdampingan dengan verba, di ditulis terpisah, misalnya di pengadilan, di atas. Dengan demikian, kalimat kedua pada contoh (1) dibidang diperbaiki menjadi  di bidang.

Contoh pemakaian tanda titik dua yang kurang tepat masih dapat dilihat pada (2) berikut ini.


(2)  Tanpa persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum lunas DEBITUR tidak diperkenankan untuk:

a. Menerima Kredit dari Bank lain,

b. Mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.

Tanda baca titik dua seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang masih merupakan bagian dari kalimat yang bukan memberi penjelasan. Karena masih merupakan bagian dari kalimat, setelah titik dua tidak perlu diawali dengan huruf kapital layaknya awal kalimat. Juga kata lain di dalam kalimat yang bukan awal kalimat atau nama orang/tempat, tidak perlu ditulis huruf kapital; begitu pula kata-kata dari bahasa asing sebaiknya ditulis dengan huruf miring. Berikut perbaikan contoh (2).

(2a) Tanpa persetujuan tertulis dari bank, selama kredit belum lunas, debitor tidak diperkenankan untuk

a. menerima kredit dari bank lain,

b. mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.


Pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata


Tidak seperti dalam bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak di dalam bahasa Indonesia digunakan kata bermakna jamak, seperti beberapa, para, semua, atau kata bilangan. Ketika bentuk jamak itu digunakan, nomina yang yang menyertainya tidak lagi diulang katanya.

(3) a. Selalu mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk tetapi tidak terbatas kepada, seluruh ketentuan-ketentuanyang berlaku serta sesuai standar profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim sebagai Tenaga Pemasaran di Indonesia.


(4) DEBITUR dengan ini berjanji dan mengikat diri untuk mensahkan semua tindakan-tindakan hukum…

Dalam contoh (3), selain kesalahan ejaan mentaati, yang seharusnya menaati, ditemukan seluruh ketentuan-ketentuan dan contoh (4) semua tindakan-tindakan. Supaya lebih hemat penggunaan katanya, diperbaiki masing-masing menjadi seluruh ketentuan dan semua tindakan.


Pemakaian kata yang bersinonim


Dalam surat perjanjian kredit ditemukan pemakaian kata yang makna dan fungsinya sama, seperti adalah merupakan, seperti terlihat pada contoh berikut.

(5)Daftar pembayaran berikut perubahan-perubahannya adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit ini.

Sebaiknya, kalimat (5) diperbaiki dengan menggunakan salah satu di antara kedua kata tersebut, yaitu  adalah atau merupakan.


Pengaruh unsur bahasa Inggris


Pengaruh bahasa Inggris dalam bahasa hukum marak ditemukan. Hal tersebut dapat disebabkan penulisnya seorang dwi/multibahasawan. Pengaruh bahasa Inggris tampak dalam penggunaan kata which dan where, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana, yang mana. Kedua kata terjemahan tersebut bukan berperilaku konjungsi seperti halnya which dan where. Untuk itu, kata-kata tersebut sebaiknya tidak digunakan atau diganti dengan kata lain (lihat 6a) untuk (6) atau meniadakan kata mana dalam (7) dan menambahkan tersebut(7a).


(6) Para Pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini, Pihak Pertama akan membuka rekening khusus pada Bank yang disepakati bersama oleh Para Pihak, yang mana rekening tersebut akan digunakan oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan dana  keluar sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening Khusus”).


(7) Apabila DEBITUR terlambat membayar angsuran (pokok dan/atau bunga) sesuai jadwal yang ditetapkan diatas, maka DEBITUR dikenakan denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh belas persil) per hari atas jumlah angsuran yang harus dibayar. Denda mana harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.


(6a) Para pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini, Pihak Pertama akan membuka rekening khusus pada bank yang disepakati bersama oleh para pihak. Rekening tersebut akan digunakan oleh para pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”).


(7a) […] Denda tersebut harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.

 

Pemakaian bahwa di depan Subjek


Konjungsi bahwa (dari bahasa Inggris whereas) merupakan konjungsi yang banyak digunakan sebagai awal dari pernyataan hukum. Akan tetapi, perlu diperhatikan tidak semua awal pernyataan dapat diawali dengan bahwa.Perhatikan contoh (8) berikut.

(8)  Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi subjek, seperti Bahwa dia tidak bersalah//telah dibuktikan  (Sugono 2009:46-47). Kalimat itu dapat dipermutasi menjadi Telah dibuktikan bahwa dia tidak bersalah. Bahwa juga merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat pada kalimat yang menggunakanadalah, merupakan, atau ialah, seperti Bahwa percobaan itu gagal//merupakan risiko dia. Oleh karena itu, penggunaan bahwa pada (8) sebaiknya ditiadakan sehingga dengan tegas kalimat itu menampakkan Subjek, yaitu Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas (lihat 8a).

(8a)  Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas// terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut.


Pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar 


Kesejajaran bentuk mengacu pada kesejajaran unsur-unsur di dalam kalimat sehingga memudahkan pemahaman pengungkapan pikiran (Alwi 2001). Bentuk kata yang sejajar lazim muncul pada kalimat yang membutuhkan rincian/penjelasan; setiap rincian menggunakan  bentuk atau pola kata yang sama. Perhatikan contoh (9).


(9) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana:

a.   Berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini.

b.   Para Pihak setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri Perjanjian ini.

c.   Pihak Pertama sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.


Pada awal setiap rincian terlihat bentuk atau pola yang tidak sama. Rincian a tidak diawali dengan Subjek seperti halnya b dan c yang mempunyai unsur Subjek: Para Pihak dan Pihak Pertama. Oleh karena itu, rincian dalam a perlu ditambahkan Subjek. Selain itu, jika masing-masing rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal itu berarti kalimat pengantar ke rincian, yaitu Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana: juga harus merupakan kalimat yang lengkap. Agar sempurna sebagai kalimat, perbaikan yang sesuai, misalnya sebagai berikut.

(9a) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana terjadi kondisi-kondisi berikut.


a.   Jangka waktu perjanjian ini// berakhir.

b.   Para Pihak// setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri perjanjian ini.

c.   Pihak Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.

 

Pemakaian kalimat yang panjang


Kalimat yang panjang sehingga sulit dipahami maknanya terjadi karena ada beberapa gagasan di dalam satu kalimat yang ditumpuk-tumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.

(10)

1. Selama Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan tersebut harus dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang disetujui oleh BANK, untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh BANK, dengan ketentuan bahwa premi asuransi dan biaya lain yang berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis asuransi BANK ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu (Banker’s Clause).


2.       […]


3. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas diurus oleh DEBITUR, maka DEBITUR wajib telah mengajukan permohonan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi, dan polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan oleh DIBITUR kepada BANK selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang, demikian dengan ketentuan bahwa apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut, DEBITUR tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi,  maka DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK, tanpa BANK berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas biaya DEBITUR.

Kalimat 1. di atas berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan yang dikemukakan di dalam kalimat itu, yaitu

Seperti kalimat 1 yang cukup panjang, kalimat 3 di atas terdiri dari 91 kata. Dalam satu kalimat itu ada beberapa pokok pikiran yang ingin disampaikan penulisnya, yaitu

(1) debitor wajib mengajukan permohonan perpanjangan asuransi paling lambat satu bulan sebelum jatuh tempo polis asuransi;

(2) polis perpanjangan asuransi harus diserahkan debitor kepada bank paling lambat pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang;

(3) apabila pada tanggal jatuh tempo, debitor belum/tidak menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank untuk melakukan perpanjangan;

(4) bank diberi kuasa, tetapi tidak berkewajiban melaksanakannya;

(5) biaya perpanjang asuransi ditanggung oleh debitor.

Sebuah kalimat, kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas, tidak akan menyulitkan untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada contoh (10) menunjukkan ada kecenderungan untuk menghubungkan antargagasan dengan konjungsi dan, padahal tidak semestinya setiap gagasan digabungkan dengan dan.Berikut perbaikan yang disarankan untuk (10).

(10a)

1.  Selama kredit tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut harus dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh bank pada maskapai yang disetujui oleh bank. Biaya premi asuransi dan lainnya yang berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dibebankan pada debitor. Bank berhak menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu (banker’s clause).

2. […]

3.  Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas diurus oleh debitor,  debitor wajib telah mengajukan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya  1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi. Polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan kepada bank selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang. Apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut debitor tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank, tetapi bank tidak berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas dengan  biaya debitor.


Pemakaian Dalam Hal dan Maka


Sugono (2009:215) mengatakan bahwa di dalam kenyataan penggunaan bahasa, terdapat sejumlah kalimat yang cukup berhasil dalam penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi kaidah, kalimat-kalimat itu tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat yang dimaksud adalah kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsur-unsurnya mana yang merupakan inti kalimat (induk kalimat) dan mana yang anak kalimat (penjelas induk kalimat). Anak kalimat lazim didahului oleh konjungsi dan induk kalimat tidak didahului oleh konjungsi.

Dalam contoh (11) di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai konjungsi, yang sebenarnya menyatakan suatu kondisi atau keadaan yang belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip dengan jika, apabila. Adanya konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak kalimat tersebut diikuti dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai anak kalimat karena diawali konjungsi maka. Oleh karena itu, kalimat (11) tidak dapat disebut kalimat majemuk bertingkat karena tidak ada informasi yang diutamakan sebagai induk kalimat.

(11) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah bahasa Indonesia.

Perbaikan untuk (11) adalah dengan meniadakan salah satu konjungsi, misalnyamaka (11a).

(11a) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang berlaku adalah bahasa Indonesia.


Simpulan

Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa penulis dokumen hukum belum menguasai kaidah bahasa Indonesia. Bahasa hukum Indonesia di dalam surat perjanjian yang diamati masih menunjukkan kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan dalam penggunaan ejaan, tanda baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum merupakan produk yang diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan mana pun, bukan hanya orang dari kalangan hukum, seharusnya penyusun dokumen hukum lebih menyederhanakan penyampaian pesan atau maksud dari aturan atau pernyataan di dalam pasal-pasalnya sehingga pembaca lebih mudah dan cepat mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif perlu didukung oleh kaidah ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis menyarankan agar ahli hukum adalah juga pemerhati bahasa Indonesia.

__________________

1 Dosen tetap  matakuliah bahasa Indonesia di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.

 

Daftar Pustaka


Sumber: Sri Hapsari Wijayanti, Bahasa Hukum Indonesia di dalam Surat Perjanjian, https://m.atmajaya.ac.id/web/KontenUnit.aspx?gid=artikel-hki&ou=hki&cid=artikel-hki-bahasa-hukum-indonesia

Peranan Bahasa Hukum dalam Perumusan Norma Perundang-undangan

Nurul Qamar, Hardianto Djanggih


 Abstract


Peranan bahasa hukum mempunyai makna yang penting dalam perumusan norma perundang-undangan. lmu hukum adalah disiplin ilmu yang bertengger di atas kepribadian ilmunya sendiri (sui generis), oleh karenanya ilmu hukum memiliki logikanya sendiri, yaitu logika hukum dan untuk kebutuhan, kepentingan keberfungsian keilmuannya baik bidang akademik maupun bidang praktis. Rumusan masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana pembedaan bahasa dalam perspektif ilmu hukum dan bagaimana bahasa hukum dalam perspektif ilmu hukum. Artikel ini  menitiktekankan pada studi kepustakaan. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum mempunyai bahasanya sendiri, yaitu bahasa hukum. Ilmu hukum dengan segala stratifikasi keilmuannya dan struktur atau klasifikasi hukumnya beserta segala elemen-elemen pendukung sistemnnya sarat dengan bahasa-bahasa hukum yang mengandung artikulasi karakteristik sebagai bahasa keilmuan hukum dan praksis, sehingga untuk memahami disiplin keilmuannya dengan baik, maka harus menggunakan bahasanya sendiri yaitu bahasa hukum.


Artikel: https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/288/pdf