HUKUM PERSAINGAN USAHA IV

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

Perjanjian Yang Dilarang Dalam Undang-Undang Mo. 5 Tahun 1999

PERJANJIAN YANG DILARANG

Sebelum diperkenalkannya istilah perjanjian yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999, istilah perjanjian secara umum telah lama dikenal oleh masyarakat. Wirjono menafsirkan perjanjian sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam hal mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian itu.136 Sedangkan Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.137

Selanjutnya Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain dari perjanjian, dikenal pula istilah perikatan. Namun, KUH Perdata tidak merumuskan apa itu suatu perikatan. Oleh karenanya doktrin berusaha merumuskan apa yang dimaksud dengan perikatan yaitu suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal (prestasi) dari pihak lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.138 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata dapat dinyatakan bahwa suatu perikatan ada yang lahir karena perjanjian dan ada yang lahir karena undang-undang.

Suatu prestasi dalam suatu perikatan menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa 3 macam. Pertama kewajiban untuk memberikan sesuatu. Kedua, kewajiban untuk berbuat sesuatu, dan ketiga kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam sistem hukum perjanjian, dianut sistem terbuka, artinya para pihak mempunyai kebebasan yang sebesar-besarnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat. Pertama, sepakat mereka untuk mengikatkan diri. Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Ketiga, suatu hal tertentu, dan keempat, suatu sebab (causa) yang halal.

Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata ini merupakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua perjanjian secara umum. Di samping itu, suatu undang-undang khusus dapat saja mengatur secara khusus yang hanya berlaku untuk ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang khusus tersebut. Hal ini dapat ditemui dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur secara khusus apa yang dimaksud dengan perjanjian. Menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999, perjanjian didefinisikan sebagai:

“Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”


Dapat diketahui bahwa UU No. 5 Tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha. Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata yang berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis dan otentik sebagai alat bukti yang kuat. 

Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai bukti adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam hukum persaingan adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim hukum persaingan yang berlaku di berbagai negara. Pada umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk memformalkan kesepakatan antara mereka dalam suatu bentuk tertulis, yang akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya perjanjian tertulis di antara para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang bertentangan dengan hukum persaingan akan jarang ditemukan.


PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM UU NO. 5 TAHUN 1999

UU No. 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

a. Penetapan harga (Pasal 5)

b. Diskriminasi harga (Pasal 6)

c. Jual Rugi (Pasal 7)

d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8)

a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1))

b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2))

c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3))


Selanjutnya akan dibahas secara lebih detail satu per satu perjanjian-perjanjian yang dilarang menurut UU No. 5 Tahun 1999 tersebut, agar dapat lebih mudah dimengerti.


OLIGOPOLI

Perlu ditekankan di sini bahwa bentuk pasar oligopoli bukanlah merupakan hal yang luar biasa, oligopoli terjadi hampir di semua negara. Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar, di mana di dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan (few sellers). Setiap perusahaan yang ada di dalam pasar tersebut memiliki kekuatan yang (cukup) besar untuk mempengaruhi harga pasar dan perilaku setiap perusahaan akan mempengaruhi perilaku perusahaan lainnya dalam pasar.

Sedikitnya jumlah perusahaan yang beroperasi di pasar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti karena adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke dalam pasar. Sedikitnya jumlah pemain ini juga menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdependence) antar pelaku usaha, dan faktor inilah yang membedakan struktur pasar oligopoli dengan struktur pasar yang lain.

 

Pasal 4 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama- sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”


Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 merupakan pasal yang ditafsirkan menggunakan pendekatan rule of reason, oleh karena itu sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa atau membuat perjanjian oligopoli selama tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima sebagai dasar pembenar dari perbuatan mereka tersebut.

Namun demikian, pada umumnya, perjanjian oligopoli dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini disebabkan dalam oligopoli sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan harga pasar, menentukan angka produksi barang dan jasa, yang kemudian dapat mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah ada (existing firms) maupun yang masih di luar pasar (potential firms).

Terjadinya kerja sama atau kolusi pada pasar oligopoli dapat terjadi secara sengaja atau secara diam-diam tanpa adanya kesepakatan antara para pelaku usaha (tacit collusion). Kolusi secara diam-diam dapat terjadi karena adanya ”meeting of minds” di antara para pelaku usaha untuk kebaikan mereka bersama untuk menetapkan harga atau produksi suatu barang. Kolusi yang seperti ini disejajarkan dengan kolusi karenanya dilarang dalam hukum persaingan. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling pengertian di antara para pelaku usaha. Sebaliknya, apabila hal ini dilakukan tanpa menyalahgunakan kekuatan pasar dan secara independen, maka tindakan sepihak ini dianggap tidak menyalahi aturan hukum persaingan.

Areeda menyatakan bahwa penetapan harga pada pasar oligopoli mempunyai beberapa elemen. Pertama, harga pada oligopoli tidak dapat dihentikan secara efektif tanpa merestrukturisasi industri di mana harga tersebut terjadi. Oligopoli terjadi karena sedikit perusahaan, maka perlu adanya usaha agar jumlah pelaku usaha bertambah. Kedua, oligopoli sebenarnya merupakan shared monopoli, karenanya perlu diperlakukan sebagai monopolisasi atau praktik monopoli. Ketiga, karena pasar yang oligopolistik mempunyai potensi untuk mencegah masuknya pemain baru, maka proposal merger antar pelaku usaha perlu mendapat perhatian yang serius. Keempat, pelaku usaha dalam pasar yang oligopoli mungkin akan menerapkan langkah-langkah tambahan atau yang dikenal dengan ”facilitating devices” seperti standarisasi untuk mencegah variasi harga karena variasi produk, dan biaya-biaya angkutan atau pemberitahuan rencana kenaikan harga.

 

Selanjutnya pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri yang membutuhkan capital intensive dan keahlian tertentu seperti mobil, semen, kertas, dan peralatan mesin, di mana di dalam proses produksinya baru akan tercapai tingkat efisiensi (biaya rata-rata minimum) jika diproduksi dalam skala besar. Dengan demikian, perjanjian oligopoli dapat saja mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima dan tidak menimbulkan akibat yang begitu merugikan. Oleh karena itu Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur mengenai oligopoli dirumuskan secara rule of reason, agar penegak hukum dalam menegakkan UU No. 5 Tahun 1999 dapat mempertimbangkan secara baik, apakah oligopoli yang terjadi merupakan suatu hal yang alamiah (industri yang memiliki capital intensive yang tinggi), atau mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima, ataukah perjanjian oligopoli tersebut dibuat hanya bertujuan sekedar untuk membatasi persaingan belaka.

Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana penerapan Pasal 4 ini dalam kasus yang pernah terjadi. Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU mengenai oligopoli ini adalah Putusan No. 10/KPPU-L/2005 mengenai perdagangan garam ke Sumatera Utara.


Kasus IV.1

Kasus bermula dari laporan tentang adanya kesulitan melakukan pengiriman garam bahan baku ke Sumatera Utara selain juga ada kesulitan melakukan pembelian garam bahan baku di Sumatera Utara. Dalam kasus ini yang menjadi Terlapor adalah PT Garam, PT Budiono, dan PT Garindo dengan PT Graha Reksa, PT Sumatra Palm, UD Jangkar Waja, dan UD Sumber Samudera.

Dari pemeriksaan ditemukan bahwa kebutuhan garam bahan baku di Sumatera Utara hanya dipasok oleh PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo. Sebagian besar pasokan garam bahan baku dibeli oleh G4 dari G3. Penguasaan pembelian garam bahan baku yang dipasok oleh G3 ke Sumatera Utara oleh G4 mencerminkan struktur pasar yang bersifat oligopsoni. G3 dan G4 secara bersama menguasai lebih dari 75% pangsa pasar garam di Sumatra Utara.

Bahwa jumlah garam bahan baku yang dikirim oleh G3 ke Sumatera Utara hanya disesuaikan dan atau ditentukan berdasarkan pada jumlah permintaan G4 dan sesama G3 lainnya saja. Tindakan penyesuaian jumlah pasokan garam bahan baku tersebut mengakibatkan kebutuhan garam bahan baku selalu terpenuhi oleh G4 dan sesama G3 lainnya. Juga ditemukan apabila jumlah garam bahan baku yang dikirim ke Sumatera Utara melebihi jumlah permintaan G4 dan sesama G3 lainnya maka kelebihan tersebut selalu dititipkan ke gudang G4 yang juga dikenal dengan istilah sistem titip simpan dan titip jual karena G3 tidak dikenakan sewa gudang dan G4 baru akan membayar kelebihan tersebut setelah garam bahan baku yang dititipkan tersebut terjual. Bahwa tindakan penyesuaian jumlah pasokan serta tindakan pengontrolan atas kelebihan jumlah pengiriman tersebut dilakukan oleh semua anggota G3 dan G4 secara sistematis, teratur dan telah berlangsung lama.

Bahwa dengan struktur pasar garam bahan baku di Sumatera Utara yang bersifat oligopolistik, maka rangkaian tindakan G3 dan G4 mengakibatkan tidak mungkin ada pesaing baru di pasar bersangkutan sehingga rangkaian tindakan tersebut merupakan

 

PENETAPAN HARGA

Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999, yang terdiri dari perjanjian penetapan harga (price fixing agreement), diskriminasi harga (price discrimination), harga pemangsa atau jual rugi (predatory pricing), dan pengaturan harga jual kembali (resale price maintenance). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.


a. Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)

Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau penjual), maka akan meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang seharusnya dinikmati oleh pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatan untuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan menguasai pasar dan menentukan harga yang tidak masuk akal.

Persaingan antar pelaku usaha dapat didasarkan pada kualitas barang, pelayanan atau servis dan/atau harga. Namun demikian, persaingan harga adalah salah satu bentuk persaingan yang paling gampang untuk diketahui. Persaingan dalam harga akan menyebabkan terjadinya harga pada tingkat yang serendah mungkin, sehingga memaksa perusahaan memanfaatkan sumber daya yang ada seefisien mungkin. Sebaliknya, dengan adanya perjanjian penetapan harga, para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian penetapan harga kemungkinan dapat mendiktekan atau memaksakan harga yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen, di mana biasanya harga yang didiktekan kepada konsumen merupakan harga yang berada di atas kewajaran. Bila hal tersebut dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar yang bersangkutan, hal ini dapat membuat konsumen tidak memiliki alternatif yang luas kecuali harus menerima barang dan harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian penetapan harga tersebut.145 Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 merumuskan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” 

Apabila dilihat dari rumusannya, maka pasal yang mengatur mengenai penetapan harga ini dirumuskan secara per se illegal, sehingga penegak hukum dapat langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian penetapan harga tanpa harus mencari alasan-alasan mereka melakukan perbuatan tersebut atau tidak perlu membuktikan apakah perbuatan tersebut menimbulkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat atau tidak.

Lebih lanjut menurut Pasal 5 ayat (2), UU No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian- pengecualian, sehingga tidak semua perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) dilarang. Suatu perjanjian penetapan harga (price fixing) yang dibuat dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku, tidak dilarang. Salah satu penerapan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 terdapat pada Putusan KPPU No.02/KPPU-I/2003 mengenai Kargo (Jakarta- Pontianak).


Kasus IV.2

Putusan KPPU No. 02/KPPU-I/2003 mengenai Kargo (Jakarta-Pontianak) adalah sbb:

Adapun yang menjadi pihak dalam kasus ini adalah pelaku usaha angkutan laut khusus barang trayek Jakarta-Pontianak, yaitu PT Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan (Terlapor I), PT Pelayaran Tempuran Emas, Tbk. (Terlapor II), PT Tanto Intim Line (Terlapor III) dan PT Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa (Terlapor IV), karena telah melakukan perjanjian kesepakatan bersama besaran tarif uang tambang untuk trayek Jakarta- Pontianak-Jakarta.

Dalam kasus ini dapat diketahui bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV telah menandatangani kesepakatan bersama tarif uang tambang peti kemas Jakarta- Pontianak-Jakarta No: 01/ SKB/ PNP-TE-WBK-TIL/ 06/ 2002 yang diketahui dan ditandatangani juga oleh Ketua Bidang Kontainer DPP INSA dan Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan.

Para Terlapor mendalilkan bahwa kesepakatan bersama tarif untuk menghindari perang tarif ataupun terjadinya persaingan yang sangat tajam (cut-throat competition) antar pelaku usaha semenjak meningkatnya permintaan dan masuknya pelaku usaha baru dalam industri ini.

KPPU memutuskan bahwa penetapan tarif ini melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 karena selain akan mengurangi persaingan dan meniadakan alternatif pilihan tarif baik yang akan ditawarkan oleh penyedia jasa sesuai dengan variasi kualitas pelayanannya, maupun yang akan dipilih oleh konsumen sesuai dengan kebutuhannya, kesepakatan ini juga akan sangat merugikan industri bersangkutan karena terciptanya hambatan masuk (entry bariers) yang cukup besar yang akan menghambat pelaku usaha baru untuk memasuki pasar bersangkutan.

Apabila kita lihat perumusan Pasal 5 ini, maka ketentuan dalam pasal ini dapat ditafsirkan secara per se illegal. Artinya apabila telah terbukti adanya perjanjian mengenai harga atas suatu barang atau jasa, maka perbuatan tersebut secara otomatis telah bertentangan dengan ketentuan dalam pasal dimaksud, tanpa perlu melihat alasan-alasan dari pelaku usaha melakukan perbuatan tersebut.

 

KPPU telah mengeluarkan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU No. 5 Tahun 1999. Menurut Peraturan KPPU tersebut, bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 adalah berikut ini (namun tidak terbatas pada):


Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai bukti langsung (hard evidence) dan bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Bukti tidak langsung merupakan “suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga.” Dinyatakan secara tegas bahwa bukti semacam ini bisa digunakan untuk membuktikan dugaan adanya suatu perjanjian yang tidak tertulis. Contoh bukti tidak langsung adalah bukti komunikasi yang tidak secara langsung menyatakan kesepakatan dan bukti ekonomi. Penggunaan bukti ekonomi bertujuan sebagai “upaya untuk mengesampingkan kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga yang bersifat independen.”

Peraturan tersebut menyatakan bahwa pembuktian terjadinya perilaku/strategi yang paralel (parallel business conduct) bukan merupakan bukti yang cukup untuk menyatakan adanya perjanjian penetapan harga. Masih dibutuhkan analisis tambahan (plus factors) untuk membedakan parallel business conduct dengan illegal agreement, seperti rasionalitas penetapan harga, analisis struktur pasar, analisis data kinerja, analisis penggunaan fasilitas kolusi (facilitating devices). Namun, dalam upaya pembuktian, tidak seluruh alat analisis tambahan tersebut harus digunakan. Peraturan tersebut menyatakan bahwa pembuktian terbaik adalah pembuktian dengan menggunakan baik bukti langsung maupun bukti tidak langsung. Namun, apabila sulit mendapatkan bukti langsung seharusnya digunakan bukti tidak langsung yang terbaik, yakni dengan mengkombinasikan bukti komunikasi dengan bukti ekonomi.

Rasio Pasal 5 ayat (2) mengecualikan penetapan harga oleh usaha patungan (joint venture) sedikit dijelaskan oleh peraturan KPPU tersebut. Peraturan ini menyatakan bahwa penetapan harga oleh joint venture dikecualikan karena apa pun jenis usaha patungannya, keputusan harga yang dikeluarkan oleh perusahaan joint venture merupakan keputusan satu entitas bisnis tersendiri, dan tidak dapat dianggap sebagai perjanjian penetapan harga antara pelaku usaha-pelaku usaha yang memiliki joint venture tersebut. Namun demikian, pengecualiannya tidak berlaku secara mutlak, yakni hanya dari pendekatan per se illegal. Artinya meskipun penetapan harga oleh perusahaan joint venture tidak dianggap sebagai perjanjian penetapan harga antara pelaku-pelaku usaha pemiliknya, namun usaha patungan dapat dijadikan sarana (facilitating device) bagi pelaku-pelaku usaha pemiliknya untuk melakukan koordinasi. Dengan demikian, penetapan harga yang dilakukan oleh suatu joint venture bisa dilarang dengan pendekatan rule of reason.


b. Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)

Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya di mana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Secara sederhana, suatu diskriminasi harga telah terjadi apabila terjadi perbedaan harga antara satu pembeli dengan pembeli lainnya.

Namun demikian, dapat terjadi bahwa diskriminasi harga tersebut disebabkan karena adanya perbedaan biaya atau karena kebutuhan persaingan lainnya seperti biaya iklan dan lain-lain. Terdapat beberapa syarat untuk terjadinya diskriminasi harga yaitu:


Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, di mana bunyi dari pasal tersebut adalah:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”


Apabila kita lihat rumusan pasal di atas, maka nampaknya pembuat undang-undang tidak membedakan siapa pembelinya, apakah perseorangan ataukah pelaku usaha. Menurut hemat penulis, karena yang dilihat di sini adalah pengaruhnya terhadap persaingan usaha, maka yang dimaksudkan pembeli di sini akan lebih tepat kalau hanya meliputi pelaku usaha.

Praktik diskriminasi harga seperti dirumuskan dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 dapat menyebabkan pembeli tertentu (di mana pembeli tersebut merupakan pelaku usaha juga) terkena kewajiban harus membayar dengan harga yang lebih mahal dibandingkan pembeli lain (yang juga merupakan pelaku usaha) yang sama-sama berada dalam pasar yang sama, sehingga dapat menyebabkan pembeli yang mengalami diskriminasi tersebut tersingkir dari pasar karena dia akan kalah bersaing dengan pelaku usaha lainnya yang memperoleh harga yang lebih rendah.

Bila melihat rumusan Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999, diskriminasi harga ini dilarang secara per se, sehingga pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 6 tersebut dapat dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa yang dilakukan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tanpa harus memeriksa alasan-alasan dari dilakukannya diskriminasi harga tersebut.

Selanjutnya akan dijelaskan dengan melihat bagaimana diskriminasi harga ini diselesaikan dalam kasus kartel perdagangan garam ke Sumatra Utara yang telah diputus Oleh KPPU dengan Putusan No. 10/KPPU-L/2005.


Kasus IV.3

Dalam kasus ini Terlapor adalah PT Garam, PT Budiono, dan PT Garindo dengan PT

Graha Reksa, PT Sumatra Palm, UD Jangkar Waja, dan UD Sumber Samudera. Berdasarkan hasil pemeriksaan, KPPU menyatakan bahwa para terlapor telah melakukan pelanggaran terhadap Ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 di antaranya Pasal 6 mengenai diskriminasi harga.

Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan yang menemukan adanya kesepakatan secara lisan yang dilakukan PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo (G3) dengan PT GrahaReksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera (G4) untuk menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo. Melalui kesepakatan tersebut dinyatakan bahwa G3 menetapkan harga jual garam bahan baku kepada pelaku usaha selain G3 dan G4 lebih tinggi (Rp 490 atau Rp 510) dibandingkan dengan harga jual garam bahan bakunya kepada G4 (Rp 385 atau Rp 405) padahal komponen biayanya sama sehingga tindakan G3 tersebut tidak wajar karena untuk menjual garam bahan baku kepada pelaku usaha selain G3 dan G4 tidak diperlukan komponen biaya tambahan. Dengan demikian maka Majelis Komisi memutuskan menyatakan para Terlapor bersalah.

Putusan KPPU dalam perkara ini adalah tepat, karena diskriminasi harga tersebut

menyebabkan pembeli yang bukan merupakan anggota grup harus membayar lebih mahal dari pada anggota. 


c. Harga Pemangsa atau Jual Rugi (Predatory Pricing)

Predator berkonotasi secara sengaja merusak persaingan atau pesaing melalui penetapan harga di bawah harga keuntungan jangka pedek (short-run profit maximizing price) atau penetapan harga di bawah biaya dengan harapan akan tertutupi di kemudian hari melalui keuntungan monopoli yang akan diterimanya.147

Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga di bawah biaya produksi (average cost atau marginal cost). Areeda dan Turner mengatakan bahwa adalah bukan merupakan predatory pricing apabila harga adalah sama atau di atas biaya marginal dari produksi suatu barang.148 Adapun tujuan utama dari predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan. Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator.

Alasan dan keampuhan strategi predatory pricing masih menjadi kontroversi. Banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan strategi predatory pricing atas dasar bahwa strategi ini bisa sama mahalnya bagi si pelaku usaha yang melakukan predatory pricing dan bagi korbannya. Begitu pula sasaran predatory pricing tidak akan mudah untuk dicapai, karena akan sangat sulit mengeluarkan pesaingnya dari pasar.

Di samping itu sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Areeda, bahwa predatory pricing ini tidaklah selalu bertentangan dengan hukum. Beliau menyatakan bahwa kita harus membedakannya dengan persaingan sempurna atau persaingan yang sangat ketat, karena bisa saja dianggap predatori tapi sebenarnya adalah persaingan yang sangat kompetitif.

Lebih lanjut Areeda menyatakan bahwa terdapat dua syarat pendahuluan sebelum melakukan predatori yaitu; pertama, pelaku usaha yakin bahwa pesaingnya akan mati lebih dulu dari pada dia. Kedua, keuntungan setelah predatori akan melebihi kerugian selama masa predatori. Praktik predatory pricing sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh pelaku usaha

untuk mengusir pesaing-pesaingnya dari pasar yang sama sebenarnya sangat sulit untuk dilakukan pada ekonomi pasar yang sehat (healthy market economy). Karena pada pasar yang sehat, maka tidak ada hambatan untuk masuk (entry barrier) ke pasar bagi pelaku usaha, sehingga pada awalnya (jika berhasil) predatory pricing memang akan mengusir pelaku usaha pesaingnya dari pasar, namun ketika si pelaku usaha yang menjalankan strategi predatory pricing-nya berhenti dan kemudian menaikan harga lagi untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat itulah pelaku-pelaku usaha pesaingnya akan berusaha masuk kembali ke pasar.

Oleh karena itu, dalam predatory pricing haruslah terdapat hambatan untuk masuk ke pasar, tanpa itu, maka tidak akan membawa hasil. Jadi besar kemungkinan si pelaku usaha yang melakukan predatory pricing tidak akan mempunyai cukup waktu untuk mengembalikan pengorbanannya selama dia melakukan praktik predatory pricing tersebut, karena pelaku usaha pesaingnya mungkin sudah kembali ke pasar dan bila si pelaku usaha tersebut tetap bersikeras terus menaikan harga, konsekuensi yang mungkin didapatkan adalah produk dia tidak akan laku di pasar dan akan menderita kerugian yang lebih besar.

Dilihat dari sisi konsumen, untuk sementara waktu atau dalam jangka pendek praktik predatory pricing memang menguntungkan bagi konsumen karena harga produk yang dijual oleh pelaku usaha menjadi jauh lebih murah. Akan tetapi belum tentu di masa depan, ketika pelaku usaha sukses dalam menjalankan strategi predatory pricing dan menyebabkan dia tidak memiliki pesaing yang berarti lagi, maka pelaku usaha tersebut akan menaikan harga kembali bahkan mungkin setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya agar pengorbanan yang pernah dikeluarkan selama pelaku usaha tersebut melakukan praktik predatory pricing terbayarkan (recoupment test).

Menurut R. Shyam Khemani, predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan harga. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hal ini bisa terjadi apabila pelaku usaha yang lain lemah, dan terdapat halangan untuk masuk ke pasar baik bagi perusahaan baru maupun bagi perusahaan yang dikalahkan. Oleh karena itu apabila pelaku usaha melakukan praktik predatory pricing, namun tidak mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga, maka mungkin tidak akan terjadi predatory pricing yang bertentangan dengan hukum.

Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena ketentuan yang mengatur mengenai predatory pricing dirumuskan secara rule of reason, maka sesungguhnya dapat dikatakan sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau pelaku usaha tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima.


Kasus IV.4

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat bagaimana penerapan predatory pricing ini dalam praktik. Sejauh ini belum terdapat putusan KPPU mengenai predatory pricing ini. Oleh karenanya akan diuraikan contoh kasus dari luar negeri, yaitu yang terjadi di Amerika. Salah satu kasus predatory pricing adalah yang terjadi antara William Inglis & Son Co. v ITT Continetal Baking Co.154

Secara singkat kasus ini diajukan oleh Inglis yang mendalilkan bahwa Continental berusaha menghilangkan persaingan dengan jalan menjual rugi roti dengan private label miliknya di bawah biaya tidak tetap rata-rata, sehingga menyebabkan Inglis bankrut. inglis mendalilkan bahwa roti dengan merek pribadi berkembang di California bagian utara kira-kira tahun 1967-1968. Hal ini menyebabkan pangsa pasar Continental untuk Wonder Rotinya menurun. Untuk itu Continental mulai juga menjual roti dengan merek pribadi (private label). Inglis mendalilkan bahwa Continental menurunkan harga roti dengan merek private dengan tujuan mematikan Wholeseller seperti Inglis. Sebaliknya Continental mendalilkan bahwa dia hanya melakukan kompetisi secara ketat. Harganya adalah dapat dibenarkan mengingat kelebihan kapasitas dalam industri.

Putusan pengadilan menyatakan bahwa Continental tidak melanggar hukum persaingan. Ninth Circuit (Pengadilan Banding) menyatakan bahwa apabila harga dari terlapor adalah di bawah harga total rata-rata, tetapi di atas biaya tidak tetap rata-rata, maka pelapor/ penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harga dari terlapor adalah predator. Namun apabila penggugat membuktikan bahwa harga Terlapor adalah di bawah harga tidak tetap rata-rata, maka Terlapor mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harganya tersebut adalah masuk akal terlepas dari akibatnya terhadap pesaing.


d. Resale Price Maintenance (Penetapan Harga Jual Kembali - Vertical Price Fixing)

Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”


Ahli hukum dan ahli ekonomi aliran Chicago menyatakan bahwa resale price maintenance bukanlah merupakan perbuatan yang melawan hukum persaingan. Setiap pelaku usaha mempunyai hak untuk mengontrol beberapa aspek distribusi dari produknya. Pelaku usaha dapat saja mendirikan perusahaan retail sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain. Mendirikan retail sendiri memerlukan modal dan tenaga, sedangkan kerja sama dengan pihak lain tidak, namun tidak mempunyai kontrol secara langsung.

Terdapat dua macam resale price maintenance yaitu penetapan harga secara maksimum (maximum price fixing). Dengan penetapan harga maksimum ini, maka sebenarnya masih terdapat persaingan antara pelaku usaha, yang mungkin akan menguntungkan konsumen, karena yang diperjanjikan adalah larangan untuk menjual lebih mahal atau di atas harga maksimum yang disepakati, sehingga pelaku usaha masih bisa berkompetisi di harga jual sepanjang hal tersebut masih di atas harga predatori.

Jenis kedua adalah minimum resale price maintenance (floor price) yaitu kesepakatan antar pelaku usaha di mana pembeli akan menjual kembali barang yang dia beli pada harga di mana tidak boleh di bawah harga yang ditentukan. Dengan demikian adanya perjanjian minimum resale price maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh perusahaan manufaktur dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan penyaluran tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan penyalur lainnya.

Ketentuan yang mengatur mengenai resale price maintenance oleh UU No. 5 Tahun 1999 ditafsirkan dirumuskan secara rule of reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Terdapat beberapa kasus mengenai resale price maintenance ini. Salah satunya adalah mengenai distribusi Semen Gresik yang telah diputus oleh KPPU dengan Putusan No. 11/KKPU-I/2005.


Kasus IV.5

Secara singkat kasus ini adalah mengenai distribusi Semen Gresik di Area 4 Jawa Timur yang meliputi wilayah Blitar, Jombang, Kediri, Kertosono, Nganjuk, Pare, Trenggalek, dan Tulungagung. Pelanggaran tersebut diduga dilakukan oleh PT Bina Bangun Putra, PT Varia Usaha, PT Waru Abadi, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), UD. Mujiarto, TB. Lima Mas, CV Obor Baru, CV Tiga Bhakti, CV Sura Raya Trading, CV Bumi Gresik yang merupakan Distributor Semen Gresik dan PT Semen Gresik.

Dalam rangka memasarkan produknya, PT Semen Gresik, Tbk. dalam kasus ini sebagai Terlapor XI menunjuk distributor. Kemudian PT Semen Gresik, Tbk. dan para distributor mengikatkan diri melalui suatu perjanjian jual beli yang menempatkan para distributor sebagai distributor mandiri/pembeli lepas.

Dalam perjanjian tersebut maka para distributor yaitu Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X harus menjual Semen Gresik sesuai dengan harga yang telah ditentukan oleh Terlapor XI. Disamping itu juga terdapat ketentuan yang melarang Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X untuk memberikan potongan harga (discount) di muka. Terlapor XI juga menentukan harga tebus distributor, harga jual Semen Gresik dari distributor kepada LT, harga jual Semen Gresik dari distributor dan atau LT kepada toko dan harga jual eceran minimum.

Unsur utama dalam resale price maintenance adalah adanya perjanjian antar pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Dengan adanya perjanjian penetapan harga ditingkat distributor tersebut, maka Terlapor telah melanggar ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999, karena dalam kasus ini tidak ditemukan adanya alasan-alasan dilakukannya perjanjian-perjanjian tersebut yang dapat diterima, sehingga perbuatan tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat dan tidak membawa dampak yang positif bagi masyarakat.


Penjelasan dan pemahaman tentang Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 dirasa sangat penting sehingga KPPU telah mengeluarkan Peraturan KPPU No. 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali). Menurut Peraturan ini, ada 3 (tiga) macam resale price maintenance, yakni: maximum resale price, specified resale price dan minimum resale price. Maximum resale price adalah pengaturan harga jual kembali di mana pemasok atau produsen mensyaratkan kepada pembelinya untuk tidak menjual kembali produk yang ditentukan dalam kontrak dengan harga lebih tinggi dari harga yang dipersyaratkan di dalam kontrak. Specified resale price adalah pengaturan harga jual kembali di mana pemasok atau produsen mensyaratkan kepada pembelinya untuk menjual kembali produk yang ditentukan dalam kontrak dengan harga tertentu sesuai dengan yang dipersyaratkan di dalam kontrak. Minimum resale price adalah pengaturan harga jual kembali di mana pemasok atau produsen mensyaratkan kepada pembelinya untuk tidak menjual kembali produk yang ditentukan dalam kontrak dengan harga lebih rendah dari harga yang dipersyaratkan di dalam kontrak. Namun, dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 hanya melarang minimum resale price maintenance.

Sesuai dengan bunyi Pasal 8 yang melarang resale price maintenance secara rule of reason, karena mengandung kalimat “sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat,” maka peraturan tersebut menyatakan bahwa dalam konteks penetapan minimum harga jual kembali, persaingan usaha tidak sehat lebih tepat didefinisikan sebagai adanya hambatan terhadap persaingan.

Dengan demikian dalam penilaian terhadap dugaan pelanggaran Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999, bukti adanya penetapan harga yang lebih rendah dari yang telah diperjanjikan tidak cukup untuk menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 8. Pelanggaran terhadap Pasal 8 harus disertai bukti bahwa telah terjadi dampak negatif terhadap persaingan. Proses persaingan di pasar dapat terganggu apabila terdapat perilaku antipersaingan yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki posisi dominan di pasar.

Untuk membuktikan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, peraturan tersebut memberikan 2 (dua) elemen pasar yang harus dinilai, yakni: perubahan struktur pasar dan analisis biaya manfaat. Perubahan struktur pasar bisa dapat terjadi apabila pelaku usaha penerima barang/ penerima persyaratan yang melanggar perjanjian penetapan minimum harga jual kembali menerima sanksi dari pemasok/pemberi persyaratan sehingga terpaksa keluar dari pasar. Analisis biaya manfaat adalah untuk mengetahui sejauh mana keuntungan yang diterima konsumen akibat adanya resale price maintenance ini (karena terjadinya persaingan layanan yang muncul akibat tidak adanya persaingan harga) dibandingkan dengan kerugian akibat hilangnya persaingan harga.


PEMBAGIAN WILAYAH (MARKET DIVISION)

Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka. Melalui pembagian wilayah ini, maka para pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus menghadapi persaingan. Dengan demikian dia akan mudah menaikkan harga ataupun menurunkan produksinya atau barang yang dijual untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pada prinsipnya perjanjian di antara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran di antara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap konsumen, di mana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik dari segi barang maupun harga. Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 yang melarang perbuatan tersebut berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”


Stephen F. Ross menyatakan bahwa hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan pembagian wilayah bisa membuat pelaku usaha melakukan tindakan pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudian mereka juga dapat melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikan harga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya tersebut. 

Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif apabila konsumen mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk membeli kebutuhannya. Permasalahan baru timbul apabila biaya yang diperlukan untuk pindah pasar tersebut cukup mahal, juga bisa terjadi masalah apabila barang yang dibutuhkan terbatas dan tidak ada substitusinya.

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi dalam bentuk suatu pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Adanya perjanjian pembagian pasar ini jelas dapat membuat pelaku usaha yang terlibat di dalam praktik ini akan berkembang dengan pesat pada wilayah tersebut, namun dia akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktivitas usahanya secara lebih besar, karena wilayahnya terbatas. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap konsumen. Namun dalam kenyataannya, sesungguhnya kerja sama antara pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri di mana mereka akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.

Adapun yang menjadi tujuan dari perjanjian pembagian wilayah adalah untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar atas barang atau jasa atau yang dikenal dengan istilah “location clause” yaitu suatu klausula yang mengatur lokasi di mana suatu pelaku usaha diberikan kewenangan untuk menjual barang atau jasa. Tujuan lebih lanjutnya adalah untuk mengontrol kepadatan distribusi dan mencegah terjadinya kelebihan barang pada lokasi tertentu. Perjanjian pembagian wilayah ini dilarang karena menyebabkan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian menjadi memonopoli pada wilayah di mana dia dialokasikan.

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah oleh UU No. 5 Tahun 1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara rule of reason, sehingga perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, atau apakah pelaku mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima secara akal sehat.

Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan bagaimana penerapan Pasal 9 ini dalam praktik persaingan usaha di Indonesia.


Kasus IV.6

Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPD AKLI) Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Tana Toraja.

Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota-anggotanya untuk dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunan Indonesia di bidang ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) Dewan Pengurus Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang (DPC), dan 4806 (empat ribu delapan ratus enam) badan usaha instalatir.

Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di Provinsi Sulawesi Selatan, Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III adalah pengurus cabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir.

KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain di wilayah Sulawesi Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT PLN (Persero) di Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT (Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat) wilayah berdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu: Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor

VI. Pembagian wilayah PJT dalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan sebagai perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.

Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerja PJT melalui SP-PJT adalah untuk keselamatan dan keamanan instalasi, serta memberdayakan potensi sumber daya PJT setempat.

Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerah Sulawesi Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usaha instalatir tidak dapat menggunakan PJT-nya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT setempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatir.

Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaan dapat digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjian-perjanjian yang antipersaingan. Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada sisi lain tidak ditemukan adanya alasan- alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut.

 

Sampai dengan diperbaharuinya buku ini, belum ada perkara lain selain tersebut pada kasus IV.6 di atas. Juga tidak ada peraturan KPPU yang menjelaskan Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999.



PEMBOIKOTAN (GROUP BOYCOTT ATAU HORIZONTAL REFUSAL TO DEAL)

Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan para pelaku usaha untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut.

Pemboikotan atau concerted refusal to deal pada umumnya merupakan tindakan kolektif sekelompok pesaing. Namun demikian boycott dapat pula merupakan tindakan sepihak atau kolektif untuk menghentikan supply atau pembelian kepada atau dari konsumen tertentu atau penerapan syarat-syarat tertentu kepada konsumen atau supplier tertentu yang tidak melakukan tindakan yang dikehendaki oleh pemboikot. Jadi tindakan pemboikotan bisa merupakan tindakan untuk memaksa agar mengikuti perbuatan si pemboikot atau bisa pula merupakan suatu hukuman bagi pelanggar.160 Agar praktik pemboikotan yang dilakukan para pelaku usaha yang berada di pasar dapat berjalan sukses, diperlukan partisipasi yang seluas mungkin dari pelaku usaha yang ada di dalam pasar yang bersangkutan, karena apabila tidak ada dukungan atau keterlibatan para pelaku usaha

secara luas yang ada di dalam pasar, pemboikotan biasanya akan sulit untuk berhasil.

Pemboikotan pada umumnya dianggap antipersaingan dan biasanya mempunyai karakteristik dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk merugikan para pesaing baik dengan secara langsung menolak atau memaksa supplier atau konsumen untuk menghentikan hubungan dengan kompetitornya. Boikot juga bisa dilakukan dengan menghentikan supply akan bahan pokok yang sangat diperlukan.

Namun dikatakan pula bahwa boikot dapat pula mempunyai dampak yang prokompetisi yaitu menimbulkan efisiensi. Misalnya, perjanjian pembelian bersama yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha kecil, mungkin akan menjadi effisien karena akan memenuhi skala ekonomi dan juga menghemat dari sisi penyimpanan.

Dengan adanya perjanjian pemboikotan yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang ada di dalam pasar membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat bertambah, apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha yang menjalankan usahanya dapat berdampak terhadap berkurangnya pilihan konsumen untuk memilih pelaku usaha yang kemungkinan dapat memberikan kepuasan terbesar kepada konsumen.

Pemboikotan biasanya dilakukan untuk memaksa pelaku usaha untuk mengikuti perbuatan yang biasanya merupakan perbuatan yang antipersaingan (predatory boycott) atau untuk menghukum pelaku bisnis lainnya yang melanggar perjanjian yang menghambat persaingan (defensive boycott). Namun demikian pemboikotan dapat juga dilakukan secara tidak langsung, misalkan dengan cara para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan meminta kepada pelaku usaha yang menjadi pemasok dari produk mereka untuk tidak memasok produk yang sama kepada pelaku usaha yang menjadi target dari perjanjian pemboikotan, sehingga apabila si perusahaan pemasok tidak mengindahkan larangan tersebut, maka para pelaku usaha yang melakukan pemboikotan akan memutuskan hubungan dengan perusahaan pemasok tersebut dan akan mencari perusahaan pemasok lain. 

Memperhatikan dampaknya yang sangat besar terhadap persaingan, maka dalam berbagai hukum persaingan di banyak negara, perjanjian pemboikotan dianggap sebagai hambatan terhadap persaingan usaha yang mendapatkan perhatian yang serius. Dengan terjadinya praktik perjanjian pemboikotan telah menghilangkan salah satu prasyarat persaingan yang sangat penting yaitu menghalangi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar. Bahkan pasal 3 huruf e dan f UNTACD Model Law menegaskan bahwa “menolak secara kolektif untuk membeli atau memasok, atau mengancam untuk melakukannya, adalah termasuk cara yang paling sering dipakai untuk memaksa pihak yang tidak menjadi anggota kelompok tertentu untuk mengikuti kegiatan yang ditentukan kelompok tersebut.”

UU No. 5 Tahun 1999 mengkategorikan perjanjian pemboikotan sebagai salah satu perjanjian yang dilarang, yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Thun 1999, Pasal 10 ayat (1) berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk malakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.”


Sedangkan Pasal 10 ayat (2) berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:

a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau;

b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.”


Karena besarnya kerugian yang dapat ditimbulkan oleh suatu perjanjian pemboikotan, maka Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur mengenai perjanjian pemboikotan ini dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan perjanjian pemboikotan, maka tanpa memperhatikan akibat yang muncul dari perbuatan tersebut, ataupun alasan-alasan dilakukannya pemboikotan tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhi sanksi hukuman.

Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara lebih detail lagi dengan membahas kasus pemboikotan yang ada. Hingga saat ini belum ada perkara di KPPU terkait dengan pelanggaran Pasal 10, sehingga akan diuraikan kasus dari negara lain.


Kasus IV.7

----------------

Salah satu kasus pemboikotan di negara lain adalah Norhwest Wholesale Stationers, Inc. v Pacific Stationery & Printing Co.

Secara singkat duduk persoalan dalam kasus ini adalah sebagai berikut. Pelapor dalam

kasus ini adalah Northwest Wholsale Stationers adalah sebuah koperasi agen pembelian yang terdiri dari kurang lebih retailer alat-alat kantor di Pacific Northwest US. Koperasi bertindak sebagai retailer utama bagi retail lainnya. Retailer yang bukan anggota dapat membeli alat-alat kantor dengan harga yang sama dengan anggota. Namun pada setiap akhir tahun koperasi membagikan keuntungan kepada anggotanya dalam bentuk percentage rebate dalam pembelian. Sehingga sebenarnya anggota membeli lebih rendah dari non anggota.

Sementara Terlapor Pacific Stationery Co. adalah menjual alat kantor baik retail maupun wholesale. Pacific menjadi anggota Northwest sejak tahun 1958. Pada tahun 1978 Northwest merubah anggaran dasarnya dengan melarang anggotanya menjual retail dan wholesale. Suatu klausula menjamin hak Pacific untuk menjadi anggota. Pada tahun 1977 kepemilikan Pacific berpindah tangan, namun pemilik baru ini tidak melakukan perubahan kegiatannya, hal mana bertentangan dengan anggaran dasar Northwest. Pada tahun 1978 sebagian besar anggota Northwest memutuskan untuk mengeluarkan Pacific. Pacific kemudian membawa perkara ini ke pengadilan berdasarkan group boycott yang membatasi kemampuan Pacific untuk berkompetisi, karenanya Northwest harus dinyatakan melanggar hukum persaingan secara per se illegal. Pengadilan Negeri menyatakan tidak terdapat pelanggaran hukum persaingan secara per se illegal, karenanya harus diperiksa secara rule of reason. Namun Pengadilan Banding menyatakan bahwa Northwest melanggar Sherman Act secara per se illegal.

----------------

Sampai dengan diperbaharuinya buku ini, belum ada perkara pemboikotan terjadi di Indonesia. Juga tidak ada peraturan KPPU yang menjelaskan Pasal 10 UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur pemboikotan.



KARTEL

Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, di mana pelaku usaha yang berusaha di dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar, setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar tersebut tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan keinginannya, mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efisien dalam berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yang berstruktur oligopoli, di mana di dalam pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha bekerja sama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu biasanya praktik kartel dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli, di mana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai sebagian besar pangsa pasar.164

Praktik kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan di antara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Oleh karena itu, pelaku usaha mencoba membentuk suatu kerja sama horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barang atau jasa. Namun pembentukan kerja sama ini tidak selalu berhasil, karena para anggota sering kali berusaha berbuat curang untuk keuntungannya masing-masing.

Membanjirnya pasokan dari suatu produk tertentu di dalam suatu pasar, dapat membuat harga dari produk tersebut di pasar menjadi lebih murah, di mana kondisi ini akan menguntungkan bagi konsumen, tetapi sebaliknya tidak bagi pelaku usaha (produsen atau penjual), semakin murahnya harga produk mereka di pasar, membuat keuntungan yang akan diperoleh oleh pelaku usaha tersebut menjadi berkurang, atau bahkan rugi jika produk mereka tidak terserap oleh pasar.

Agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di antara mereka untuk mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di pasar tidak berlebih, dan tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka di pasar menjadi lebih murah. Namun terkadang praktik kartel tidak hanya bertujuan untuk menjaga stabilitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan, yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama dari praktik kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus konsumen ke produsen. Oleh karena kartel menukar kompetisi dengan tindakan-tindakan yang kolusif di antara pesaing, maka dilarang dalam hukum persaingan usaha.

Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama, terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya perbedaan kepentingan di antara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya. Oleh karena itu perlu adanya kompromi antar anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih kecil.

Praktik kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar tersebut. Karena apabila hanya sebagian kecil saja pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian kartel tidak akan efektif dalam mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat di dalam perjanjian kartel.

UU No. 5 Tahun 1999 mengkategorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal 11 undang-undang ini berbunyi

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”


Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk UU No. 5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Dalam hal ini dapat diartikan pembentuk UU No. 5 Tahun 1999 melihat bahwa sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, seperti misalnyaperjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannnya tidak menghambat persaingan, pembuat UU No. 5 Tahun 1999 mentolerir perjanjian kartel seperti itu.


Kasus IV.8

---------------------------------


Salah satu contoh kasus mengenai kartel yang pernah diputus oleh KPPU yaitu Putusan No. 03/KPPU-I/2003 mengenai Kargo Surabaya-Makasar. Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut: Tujuh perusahaan pelayaran yaitu PT Meratus, PT Tempuran Emas, PT Djakarta Lloyd, PT Jayakusuma Perdana Lines, PT Samudera Indonesia, PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar Perkasa pada Rapat Pertemuan Bisnis di Ruang Rapat MPH I Hotel Elmi Surabaya pada hari Senin tanggal 23 Desember 2002 yang dihadiri para Terlapor, Saksi I dan Saksi III telah disepakati penetapan tarif dan kuota yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Pertemuan Bisnis di Hotel Elmi Surabaya dan masing-masing pihak mengakui dan membubuhkan tanda tangan atas dokumen kesepakatan tarif dan kuota. Pelaksanaan kesepakatan tahap I mulai berlaku sejak 1 Januari 2003 sampai dengan 31 Maret 2003.

Unsur Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 pada intinya adalah adanya kesepakatan antar perusahaan yang bersaing untuk mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa yang ditujukan untuk mempengaruhi harga dan dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.

Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat tersebut, para Terlapor telah mengatur produksi jasa pengangkutan laut khusus barang (kargo) dari para Terlapor yang melayani jalur Surabaya – Makassar – Surabaya dan Makassar – Jakarta – Makassar, yang bertujuan mencegah terjadinya perang harga. Disamping itu dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas tersebut para Terlapor telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antara anggota kartel. Dengan demikian para Terlapor telah melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat sehingga melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

---------------------------------

Perkara kartel lain adalah kartel daging sapi impor, yang telah diputus oleh KPPU dengan menggunakan pendekatan rule of reason. Perkara tersebut adalah sebagai berikut:

 

Kasus IV.9

---------------------------------

Perkara No. 10/KPPU-I/2015 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 terkait dengan kartel daging sapi impor yang telah dilakukan oleh 32 Terlapor, antara lain, PT Andini Karya Makmur, PT Andini Persada Sejahtera, PT Agro

Giri Perkasa, PT Agrisatwa Jaya Kencana, PT Andini Agro Loka, PT Austasia Stockfeed,

PT Bina Mentari Tunggal, dan lain-lain.

Para terlapor telah terbukti membuat kesepakatan yang difasilitasi APFINDO melalui

rangkaian pertemuan yang pada akhirnya penunjukkan kesamaan tindakan yang dilakukan oleh para Terlapor yang diperkuat dengan alat bukti pengakuan. Mereka terbukti telah melakukan rescheduling sales yang dikategorikan sebagai pengaturan dan/atau penahanan pasokan sapi impor di wilayah JABODETABEK. Dengan menggunakan pendekatan rule of reason, KPPU menyatakan tindakan para Terlapor merupakan kartel yang dilarang oleh Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

KPPU telah menganalisis pasar produk dan pasar geografis dan menganalisis dampak negatif dari kartel tersebut. Tindakan penahanan pasokan dengan cara tidak merealisasikan jumlah kuota impor sapi (SPI) yang telah disetujui oleh pemerintah dan melakukan rescheduling sales telah berdampak negatif karena telah mengakibatkan kenaikan harga yang tidak wajar yang merugikan kepentingan konsumen dan/atau kepentingan umum. Karena dampak negatifnya terbukti maka KPPU memutuskan bahwa para Terlapor telah melanggar Pasal 11 yang melarang kartel.

-----------------------------------------


Di dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Kartel (Pedoman Pasal 11), dijelaskan bagaimana penerapan rule of reason. Menurut peraturan ini, harus dilakukan pemeriksaan secara mendalam tentang alasan-alasan mengapa para pelaku usaha terlapor membuat kartel. KPPU harus memeriksa apakah alasan-alasan para pelaku usaha membuat kartel ini dapat diterima (reasonable restraint). KPPU harus mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

Dalam perkara kartel daging sapi impor tersebut, KPPU dalam menggunakan pendekatan rule of reason tentunya telah mengikuti pedoman dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tersebut. Ternyata terbukti bahwa kartel tersebut berdampak negatif sehingga para Terlapor dinyatakan telah melanggar Pasal 11 yang melarang kartel.


a. Program Leniency

Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang sangat sulit dibuktikan, karena kebanyakan kartel dibuat secara sangat tertutup atau rahasia, padahal perjanjian Kartel sangat jelas dan besar dampak negatifnya terhadap ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, guna memberantas kartel dan/ atau mencegah dibuatnya kartel, negara-negara lain, seperti AS dan negara-negara di Uni Eropa memperkenalkan apa yang disebut program leniency (leniency program). Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa program leniency telah secara efektif membantu memberantas, mencegah atau menghalangi pembuatan kartel dan keberlangsungan kartel.168

Leniency berarti kemurahan hati, kelonggaran, atau pengampunan. Inti dari program leniency ini adalah pemerintah memberikan kemurahan, kelonggaran, atau pengampunan (immunity) kepada pelaku usaha yang mengungkapkan atau memberikan informasi tentang adanya kartel yang telah dibuat bersama dengan para pelaku usaha yang lain. Pelaku usaha yang menjadi whistle-blower ini akan dibebaskan dari denda atau dikurangi dendanya tergantung sejauh mana pelaku usaha tersebut membantu lembaga pengawas persaingan dalam mengungkap kartel yang bersangkutan.

Program leniency pertama kali diperkenalkan di AS oleh Departemen Kehakiman AS pada tahun 1978 yang kemudian diperbaiki pada tahun 1993. Dalam program yang disebut Corporate Leniency Programs ini pelaku usaha bisa memperoleh manfaat pengurangan atau pembebasan denda walaupun investigasi sudah dimulai apabila Divisi Antitrust di FTC tidak mempunyai cukup bukti adanya pelanggaran hukum antitrust. 169Program leniency di AS ini sukses. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan laporan kartel sebanyak 20% pada setiap tahunnya.170

Kemudian, pada tahun 1996, program leniency juga diperkenalkan di Uni Eropa (EU), dan telah 2 (dua) kali diperbaiki, yakni pada tahun 2002 dan 2006.171 Telah dinyatakan bahwa European Commission Leniency Program ini merupakan kiat yang paling efektif dalam penegakan hukum persaingan di EU.172 Di EU, pelaku usaha yang pertama kali membeberkan kartelnya kepada Komisi Eropa (European Commission), sebelum Komisi Eropa mengetahui/memulai investigasi, akan mendapat pembebasan (immunity) atau minimal 75% pengurangan dari hukuman. Kebijakan leniency di EU berbunyi demikian:

“The Commission will grant immunity from any fine which would otherwise have been imposed to an undertaking disclosing its participation in an alleged cartel affecting the Community if that undertaking is the first to submit information and evidence which in the Commission’s view will enable it to: (a) carry out a targeted inspection in connection with the alleged cartel; or (b) find an infringement of Article 81 EC in connection with the alleged cartel.”


Pelaku usaha yang ingin mendapatkan pengurangan denda antara 10% sampai 75%, harus memberikan kepada Komisi EU bukti adanya pelanggaran, dan agar presentase pengurangan hukumannya besar, bukti yang diberikan kepada Komisi harus memberikan nilai tambah yang signifikan berkaitan dengan bukti yang telah dimiliki oleh Komisi EU sebelumnya. Program leniency di EU sangat sukses. Dalam waktu antara tahun 2002 sampai 2008 saja ada 167 pelaku usaha yang mengajukan permohonan leniency yang berupa baik permohonan imunitas maupun pengurangan denda.

Sekarang ini, semua negara di EU, kecuali Malta, telah menerapkan program leniency, walaupun mulainya berbeda-beda.173 Di Jerman, misalnya, lembaga pengawas persaingan di Jerman, Bundeskartellamt, mulai tahun 2000 menawarkan kepada pelaku usaha: siapa saja (pelaku usaha anggota suatu kartel) yang mengungkapkan suatu kartel yang tidak diketahui sebelumnya, akan diberikan pembebasan (immunity) dari pembayaran denda. Pelaku usaha yang bekerja sama dengan (membantu) Bundeskartellamt setelah lembaga pengawas ini mengetahui adanya Kartel akan diberikan pengurangan dendanya, yang jumlah persentasenya tergantung nilai kontribusinya dalam pengungkapan adanya kartel.

Di sini berlaku prinsip “first come first served,” yang berarti siapa yang lebih dulu mendekati Bundeskartellamt, dialah yang berhak mendapatkan kemurahan atau pengampunan, semakin lebih awal dan semakin besar peranannya akan semakin besar pengurangan denda, atau bahkan dibebaskan/ diampuni. Pelaku usaha yang pertama kali mengungkapkan adanya kartel, asalkan dia membantu terus Bundeskartellamt akan mendapat pengampunan. Pelaku usaha lainnya akan dikurangi persentasi dendanya maksimum 50% tergantung nilai kontribusi bantuannya kepada Bundeskartellamt.

Program leniency di Jerman telah berjalan sukses. Dari tahun 2000 sampai 2005, sejumlah 122 permohonan leniency diajukan ke Bundeskartellamt. Dari tahun 2006 sampai 2009, ada 112 permohonan. Permohanan yang lebih dari 230 itu telah membantu mengungkap, membubarkan kartel dan menghukum para anggotanya.

Jerman hanyalah salah satu contoh negara anggota EU yang menerapkan program leniency. Sebagaimana tersebut di atas, negara-negara anggota EU yang lain juga menerapkan program ini. Ini membuktikan bahwa program leniency sudah diakui merupakan kiat yang efektif untuk membasmi kartel atau mencegah dibuatnya kartel.

Di EU, agar ada keseragaman dalam penerapan program leniency di antara negara-negara di EU, maka dibuatlah European Competition Network Model Leniency Programme. Tujuan program model ini adalah untuk mencegah keengganan calon pelamar leniency akibat adanya ketidakseragaman penerapan program leniency di negara-negara EU tersebut.

Saran atau pendapat agar program leniency diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 sudah lama ada. Beberapa akademisi di Indonesia menyatakan bahwa UU ini sebaiknya segera direvisi dan memasukkan program leniency ini sebagai upaya untuk memberantas kartel di Indonesia. Namun, program ini tidak akan menarik pelaku usaha apabila denda administratif dan/atau pidana denda tidak dinaikkan. Denda administratif yang hanya sebesar maksimal 25 milyar dan pidana denda paling tinggi 100 milyar tidak akan mendukung penerapan program leniency ini di Indonesia karena keuntungan kartel jauh lebih tinggi dari denda-denda tersebut, pelaku usaha tidak akan tertarik untuk membocorkan kartelnya kepada KPPU.178 Oleh karena itu, perlu ada pembahasan yang serius juga tentang perbaikan sanksi ini berkaitan dengan penerapan program leniency di Indonesia.179 Selain itu, perlu ada tambahan wewenang KPPU untuk melakukan penggeledahan, karena laporan dari seorang whistle-blower tidak bisa ditindaklanjuti secara efektif apabila KPPU tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penggeledahan.

Dewasa ini, tidak adanya program leniency di suatu negara merupakan permasalahan yang krusial dalam penegakan hukum persaingan. Indonesia mengalami hal ini karena tidak mempunyai program ini. Oleh karena itu, UU No. 5 Tahun 1999 perlu segera direvisi dan memasukkan program leniency.


b. Kartel dan Asosiasi

Sudah menjadi kebiasaan bagi para pelaku usaha untuk membuat asosiasi dan hukum tidak bisa melarang hak mereka untuk melakukan itu. Namun, ternyata ditemukan bahwa dalam beberapa kasus mereka menyalahgunakan asosiasi tersebut sebagai wadah kartel. Hal ini tentu bertentangan dengan larangan kartel yang tercantum dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

Banyak kasus kartel di negara-negara lain yang melibatkan asosiasi dagang yang pura-pura (sham).180 Biasanya asosiasi dagang mempunyai tujuan untuk memajukan industri dan konsumen melalui aktivitas yang kolektif. Beberapa aktivitas mereka, misalnya, melakukan studi pengembangan industri, mengumpulkan dan menyebarkan data pasar, advokasi atau interaksi dengan pemerintah, membuat pedoman dan standar industri, dan memajukan persaingan.

Namun, banyak terjadi bahwa mereka akhirnya saling bertukar informasi tentang kebijakan harga, pasar atau hal-hal yang berkaitan dengan produksi. Hal-hal sensitif inilah yang bisa membawa mereka ke arah kolusi. Walaupun mereka mempunyai tujuan juga untuk mematuhi hukum persaingan, namun terkadang mereka salah persepsi bahwa setiap tindakan yang bermanfaat bagi masyarakat, misalnya kegiatan perbaikan lingkungan hidup, manjadikan semua kesepakatan dan perjanjian yang mereka buat terbebas dari hukum persaingan. Padahal kesepakatan atau perjanjian mereka itu justru antipersaingan.

Pada tanggal 13 April 2011, Komisi Eropa (European Commission) mengumumkan penyelesaian kartel yang melibatkan 2 (dua) perusahaan multinasional produk konsumen dan sebuah perusahaan produk konsumen. Mereka bergerak di bidang produksi dan pemasokan detergen bubuk cuci rumah tangga di 8 (delapan) negara EU. Kartel ini dibuat dalam asosiasi yang bertujuan untuk memperbaiki produk detergen agar lebih ramah lingkungan. Namun, karena mereka membuat kesepakatan untuk mengatur atau menstabilisasi posisi pasar dan berkordinasi berkenaan dengan harga, maka mereka diputuskan telah melanggar Pasal 101 TFEU dan Pasal 53 the Agreement creating the European Economic Area.

Di Indonesia, contoh asosiasi yang diduga menjadi wadah kartel adalah Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Tindakan asosiasi yang beranggotakan 6 (enam) perusahaan yang diduga menghambat persaingan adalah mereka tidak mau membeli tandan buah segar kelapa sawit dari petani karena dianggap tidak sesuai dengan standar yang diterapkan IPOP. Petani tidak bisa menjual ke pihak lain karena hampir semua tata niaga kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan yang ikut menandatangani IPOP. Hal ini merugikan petani Indonesia yang menggunakan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Standar yang ditetapkan oleh IPOP adalah lebih tinggi dari pada standar yang ditetapkan pemerintah tersebut sehingga bertentangan dengan peraturan pemerintah yang mengatur standar tersebut. Tindakan asosiasi itu diduga telah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sehingga diduga melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

Contoh yang lain, KPPU telah memutuskan bahwa asosiasi perusahaan unggas, yakni Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Indonesia, telah melanggar larangan kartel yang tertuang dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Menurut KPPU, pelanggaran yang dilakukan oleh 12 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi tersebut adalah penandatanganan perjanjian pengapkiran 2 juta parent stock (PS) ayam tersebut beberapa waktu lalu. Putusan KPPU No.2/KPPU-I/2016 menyatakan bahwa 12 (dua belas) perusahaan yang tergabung dalam asosiasi itu telah melakukan pengaturan produksi bibit ayam pedaging (broiler) di Indonesia yang melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

Selain melakukan pengapkiran 2 juta PS, mereka juga telah membuat kesepakatan pengurangan pasokan DOC (Day Old Chicken). Karena mereka merupakan pelaku usaha yang bergerak dalam pasar bersangkutan yang sama (yakni, pasar produk bibit ayam pedaging (broiler), dan tindakan mereka telah berdampak negatif, yakni kenaikan harga DOC PS ditingkat breeder, maka perjanjian atau kesepakatan mereka telah dinyatakan melanggar larangan kartel dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

Dalam membuat kesepakatan-kesepatakan, seharusnya asosiasi-asosiasi pelaku usaha dewasa ini berpedoman kepada Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Kartel. Sudah diatur secara jelas dalam Peraturan KPPU tersebut tentang indikator-indikator adanya kartel. Seharusnya mereka mematuhi peraturan tersebut dan tidak menyalahgunakan asosiasi-asosiasi mereka sebagai wadah kartel.

Dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010, disinggung bahwa asosiasi biasanya digunakan sebagai sarana untuk melakukan kolusi diam-diam. Pertemuan-pertemuan asosiasi diadakan agar seolah-olah legal padahal ternyata merupakan kolusi ke arah kartel. Akibatnya, sangat sulit untuk mendeteksi hal tersebut. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa setidaknya 30% kartel telah melibatkan asosiasi. Oleh karena itu, tepat bahwa peraturan KPPU itu menjadikan penggunaan asosiasi untuk menutupi kegiatan kartel sebagai salah satu karakteristik kartel.

Untuk membentuk kartel, pertukaran informasi dan transparansi di antara para pelaku usaha sangat penting. Di sinilah peran asosiasi sangat penting sebagai media pertukaran informasi tersebut. Oleh karena itu, keberadaan asosiasi sangat rentan terhadap penyalahgunaannya sebagai wadah kartel. Diharapkan dengan adanya Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 pelaku usaha memperoleh pedoman yang tepat tentang kartel sehingga tidak menjadikan asosiasi mereka sebagai kamuflase kartel.


TRUST

Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar ternyata para pelaku usaha tidak hanya cukup dengan membuat perjanjian kartel antar mereka, tetapi mereka juga terkadang membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (trust), dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya.

Trust sebenarnya merupakan wadah bagi pelaku usaha yang didisain untuk membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara beberapa perusahaan yang bersaing dengan membentuk organisasi yang lebih besar yang akan mengendalikan seluruh proses produksi dan atau pemasaran suatu barang. Suatu trust terjadi di mana sejumlah perusahaan menyerahkan saham mereka kepada suatu “badan trustee” yang kemudian memberikan sertifikat dengan nilai yang sama kepada anggota trust.185 Trust pertama di Amerika Serikat yang sangat terkenal adalah Standard Oil yang terbentuk pada tahun 1882, yang kemudian diikuti oleh banyak industri lainnya. Hal ini menyebabkan banyaknya kemajuan-kemajuan di Amerika Serikat. Namun, karena trust juga mengakibatkan adanya pemusatan kekuasaan, maka trust dianggap melanggar hukum.

UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa trust merupakan salah satu perjanjian yang dilarang. Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”


Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 ini dirumuskan secara rule of reason sehingga dapat kita ketahui bahwa trust itu sendiri tidak dilarang, asalkan trust tersebut tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau semata-mata untuk pemusatan kekuatan tanpa mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat.


Kasus IV.10

-----------------------

Salah satu putusan landmark mengenai trust ini adalah kasus Standard Oil Company of New Jersey v United States. Secara singkat kasusnya adalah sebagai berikut. Para Tergugat didakwa melakukan konspirasi untuk menghambat perdagangan minyak, penyulingan minyak dan produk-produk minyak lainnya. Konspirasi telah dimulai sejak tahun 1870 oleh ketiga dari Terdakwa yaitu John D. Rockeffeller, William Rockefeller dan Hendri M. Flagler. Adapun masa konspirasi ini dibagi dalam tiga periode yaitu tahun 1870 – 1882, dari tahun 1882 – 1899 dan 1899 – sampai adanya perkara. 

Pada tahun 1870 – 1882, John D. Rockefeller dan William Rockefeller dan beberapa orang lainnya membuat tiga partnership yang bergerak dibidang perminyakan dan mengapalkannya ke beberapa negara bagian. Pada tahun 1870 dibentuklah Standard Oil Company of Ohio dan ketiga partnership ini digabungkan dalam perusahaan ini dan menjadi milik bersama sesuai dengan sahamnya masing-masing. Bahwa sejak itu telah dilakukan penggabungan- penggabungan. Sejak tahun 1872 perusahaan tersebut telah mendapatkan pangsa pasar yang substansial kecuali 3 atau 4 dari 35 atau 40 penyulingan minyak yang berlokasi di Cleveland, Ohio. Berdasarkan pada kekuatan ini, dan sesuai dengan tujuannya untuk membatasi dan memonopoli perdagangan baik antar negara bagian maupun pada negara bagian tersebut, maka anggota mendapatkan banyak kemudahaan baik dari harga, transport (railroad) dibandingkan kompetitornya. Hal ini memaksa kompetitornya untuk menjadi bagian dari perjanjian atau menjadi bankruPT Para pihak yang tergabung pada saat itu telah menguasai 90% dari bisnis produksi, pengapalan, penyulingan dan penjualan minyak dan produknya.

Pada periode kedua yaitu tahun 1882 – 1899 di mana saham dari 40 perusahaan termasuk Standard Oil Company of Ohio diletakkan pada suatu trustee dan ahli warisnya untuk kepentingan semua pihak secara bersama. Perjanjian ini dibuat dengan mengeluarkan sertifikat Standard Oil Trust. Setelah itu Trustee juga membuat atau mengorganisir Standard Oil Company of New jersey dan Standard Oil Company of New York. Akhirnya MA Amerika Serikat pada tanggal 2 Maret 1892 menyatakan bahwa trustee ini batal demi hukum karena perjanjian tersebut menghambat perdagangan dan berpuncak pada pembentukkan monopoli yang melanggar hukum.

-----------------------

Sampai dengan dilakukannya update buku ini, belum pernah ada perkara trust di Indonesia. Juga belum ada peraturan KPPU yang memberikan pedoman tentang Pasal 12 ini.


OLIGOPSONI

Oligopsoni merupakan bentuk suatu pasar yang didominasi oleh sejumlah konsumen yang memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur pasar oligopoli hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan demikian distorsi yang ditimbulkan oleh kolusi antar pelaku usaha akan mendistorsi pasar input.

Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik antipersaingan yang cukup unik, karena dalam praktik oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual, di mana biasanya untuk bentuk-bentuk praktik antipersaingan lain (seperti price fixing, price discrimination, kartel, dan lain-lainnya) yang menjadi korban umumnya konsumen atau pesaing. Dalam oligopsoni, konsumen membuat kesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan.

Terdapat beberapa syarat agar oligopsoni dapat berhasil. Pertama, pelaku usaha harus setuju baik secara tegas maupun secara diam-diam untuk bertindak bersama. Kedua, mereka haruslah merupakan pembeli dalam jumlah yang besar atau dominan. Ketiga, adanya mekanisme agar perjanjian ditaati dan tidak ada kecurangan. Terakhir, mereka harus mampu mencegah masuknya pemain baru, karena apabila pemain baru bisa masuk, maka perjanjian oligopsoni tidak akan efektif. Oligopsoni sebenarnya merupakan bagian dari kartel yaitu kartel pembelian. Seperti pada kartel, oligopsoni juga ada yang propersaingan dan ada yang merugikan persaingan.

Dengan adanya praktik oligopsoni produsen atau penjual tidak memiliki alternatif lain untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian oligopsoni. Tidak adanya pilihan lain bagi pelaku usaha untuk menjual produk mereka selain kepada pelaku usaha yang melakukan praktik oligopsoni, mengakibatkan mereka hanya dapat menerima saja harga yang sudah ditentukan oleh pelaku usaha yang melakukan praktik oligopsoni.

UU No. 5 Tahun 1999 memasukkan perjanjian oligopsoni ke dalam salah satu perjanjian yang dilarang. Pasal 13 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”


Sedangkan Pasal 13 ayat (2) menambahkan bahwa:

“Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”


Oligopsoni oleh Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara rule of reason, itu berarti sebenarnya oligopsoni tidak secara otomatis dilarang. Tetapi dalam oligopsoni ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain kemungkinan perjanjian tersebut memfasilitasi kolusi penetapan harga sehingga menimbulkan efek antipersaingan. Perjanjian tersebut tidak akan memfasilitasi kolusi harga apabila pembelian produk yang dilakukan dengan perjanjian ini hanya berjumlah relatif kecil terhadap total pembelian di pasar tersebut. Selain itu, apabila perjanjian tidak menghalangi anggotanya untuk melakukan pembelian pada pihak lain secara independen, maka joint purchasing tersebut tidak merugikan persaingan.


Kasus IV.11

-----------------------------------

Berikut ini juga akan dijelaskan lebih lanjut dengan membahas kasus oligopsoni. Dalam

kasus Beef Industry Antitrust Litigation Mdl Docket No. 248. Meat Price Investigators Association.

Adapun secara ringkas kasusnya adalah sebagai berikut. Assosasi Investigator Harga Daging dan beberapa peternak sapi, mengajukan Iowa Beef Processors, Inc., Excel Corporation dan The National Provisioners, Inc. (The Yellow Sheet) ke Pengadilan pada tahun 1977. Adapun yang menjadi alasan adalah bahwa retailer dan packers (pengepak) melakukan konspirasi baik secara horizontal maupun vertikal untuk menurunkan harga dari sapi. Mereka mendalilkan bahwa konspirasi ini mengikuti skema penetapan harga. The National Provisioner mempublikasikan setiap hari harga produk sapi pada the Yellow Sheet. The Yellow Sheet mendasarkan publikasinya laporan dari harga komoditas tersebut pada saat itu. Para pengepak menggunakan the Yellow Sheet price untuk menentukan harga yang mereka tawarkan kepada peternak sapi.

Pengepak mendalilkan bahwa seperti ditemukan oleh Pengadilan Negeri, bahwa the Yellow Sheet adalah informasi publik yang dapat dibeli dan digunakan oleh semua pihak. Mereka juga mendalilkan bahwa peternak sapi tidak mempunyai bukti bahwa telah terjadi parallel pricing oleh IBP dan Excel yang merupakan independen bisnis.

Tergugat juga mempunyai bukti yang cukup, bahwa the Yellow Sheet adalah merupakan salah satu faktor, masih terdapat faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan pengepak dalam menentukan harganya yaitu: Pertama, kebutuhan pengepak itu sendiri untuk menentukan kebutuhannya akan daging setiap minggunya, termasuk dalam hal ini kontrak dengan buruh yang tetap harus dibayar terlepas ada kerjaan atau tidak. Kedua, kondisi pasar pada saat itu apakah over supply atau tidak. Ketiga, persaingan harga antara pengepak. Keempat adalah harga berdasarkan pasar produk yang dapat memaksa pengepak membayar lebih mahal atau lebih murah dari daftar harga dalam The Yellow Sheet.

Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka Pengadilan Banding menolak klaim dari

peternak sapi. Apabila Penggugat mendalilkan adanya concious paralellism, maka syaratnya haruslah terdapat paralellism antar tergugat. Pengadilan menyatakan bahwa tidak terdapat paralellism antara para tergugat.

-----------------------------------

Sampai dengan dilakukannya update buku ini, belum pernah ada perkara oligopsoni di Indonesia. Juga belum ada peraturan KPPU yang memberikan pedoman tentang Pasal 13 ini.


INTEGRASI VERTIKAL

Dalam melakukan kegiatan usahanya pelaku usaha tentu akan melakukan hubungan-hubungan dengan pihak lainnya, baik dengan para kompetitornya maupun dengan para pemasok. Hubungan- hubungan ini adalah hal yang wajar dan memang harus dilakukan oleh pelaku usaha untuk menjalankan usahanya. Namun, ketika suatu pelaku usaha ingin pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanya perusahaan akan melakukan penggabungan ataupun kerja sama dengan pelaku-pelaku usaha lain yang secara vertikal berada pada level yang berbeda pada proses produksi, maka kerja sama ini disebut integrasi vertikal. Jadi integrasi vertikal terjadi ketika satu perusahaan melakukan kerja sama dengan perusahaan lain yang berada pada level yang berbeda dalam suatu proses produksi, sehingga membuat seolah-olah mereka merupakan satu perusahaan yang melakukan dua aktivitas yang berbeda tingkatannya pada satu proses produksi.

Kalau pelaku usaha ingin meningkatkan penghasilan (revenue), biasanya yang umum dilakukan adalah dengan cara meningkatkan produksi. Namun bagi perusahaan yang sudah berproduksi dalam kapasitas penuh, rasanya sangat sulit untuk dapat meningkatkan penghasilan yang lebih tinggi lagi. Dalam hal ini, maka peningkatan produksi hanya dapat dilakukan pelaku usaha tersebut dengan meningkatkan skala perusahaannya. Terjadi peningkatan dalam skala perusahaan akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi yang pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan yang lebih tinggi lagi dibandingkan sebelum pelaku usaha tersebut meningkatkan skala perusahaannya. Salah satu jalan yang dilakukan pelaku usaha untuk meningkatkan skala perusahaan adalah melalui penggabungan/integrasi dengan perusahaan lain yang berada pada level yang berbeda.

Namun perkembangannya ternyata penggabungan perusahaan tidak selalu menunjukan adanya hubungan yang kuat antara terjadinya penggabungan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh seperti yang tergambar di atas, tetapi setidaknya dengan adanya penggabungan akan ada bagian-bagian perhitungan biaya yang akan hilang atau menurun, misalnya: dalam hal biaya-biaya transaksi, iklan, pemanfaatan informasi bersama, dan administrasi.

Integrasi antar pelaku usaha juga dengan sendirinya dapat juga dikaitkan dengan pengurangan risiko dalam bisnis. Dengan terjadinya integrasi vertikal (ke bagian hulu), maka risiko akan kekurangan bahan baku tentunya menurun. Dan dari segi pengelolaan, jika sebelumnya dikelola secara terpisah, maka setelah integrasi dapat menjadi manajemen tunggal. Dengan pengelolaan di bawah manajemen tunggal, maka pengembangan pemasaran mungkin dapat dilakukan lebih baik, sehingga dengan terjadinya integrasi antar pelaku usaha, perusahaan pelaku usaha tersebut dapat meningkatkan efisiensinya, yang kemudian pada akhirnya dapat menghasilkan produk yang memiliki daya saing yang tinggi.

Integrasi antar pelaku usaha dapat juga dilakukan untuk saling menutupi kelemahan dari masing masing pelaku usaha yang melakukan integrasi, karena sudah pasti setiap pelaku usaha memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri, misalkan satu perusahaan memiliki kelemahan dalam pengelolaan sumber daya manusia, tetapi unggul dalam berproduksi dapat bergabung dengan pelaku usaha lain yang mungkin memiliki kelebihan dalam pengelolaan sumber daya manusia tetapi kurang dalam proses produksi, kemudian diharapkan dengan terjadinya integrasi kelemahan-kelemahan yang ada dapat ditutupi atau bahkan dihilangkan.

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang integrasi vertikal juga dapat menimbulkan efek-efek negatif bagi persaingan di antara pelaku usaha, seperti:

Dalam keadaan seperti ini perusahaan perakitan kendaraan akan lebih menguntungkan jika melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi baja, sehingga perusahaan perakitan kendaraan memiliki perusahaan pembuat besi baja sendiri, yang kemudian perusahaan perakitan mobil tidak lagi menjadi korban dari perilaku oligopoli (yang biasanya menerapkan harga di atas kewajaran) dari perusahaan pembuat besi baja, tetapi kemungkinan nantinya perusahaan pembuat besi baja yang melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan perakitan kendaraan tidak bisa lagi menjual produknya ke perusahaan perakitan kendaraan lain.

Akibatnya harga besi baja untuk perusahaan perakitan dapat menjadi lebih mahal lagi, karena semakin berkurangnya pemasok besi baja bagi perusahaan-perusahaan perakitan kendaraan. Dan ini juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan perakitan kendaraan untuk melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi  baja, yang pada  akhirnya semakin

 

berkuranglah persaingan di antara perusahaan pembuat besi baja yang memasok untuk industri perakitan kendaraan.


Contohnya sebuah perusahaan manufaktur yang menjual produknya di boutique dan di toko diskon, harga yang diterapkan oleh boutique terhadap produknya biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga yang diterapkan oleh toko diskon, hal tersebut terjadi karena pemilik boutique melakukan mark-up yang setinggi-tingginya terhadap pruduk yang dijual di gerainya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Memperhatikan perilaku dari boutique ini terkadang membuat tidak jarang perusahaan manufaktur juga membuat sendiri boutique yang akan menjual produk mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat menikmati juga keuntungan sebagai pemilik boutique.


Oleh karena terdapat dampak negatif yang mungkin muncul dari suatu integrasi vertikal, maka UU No. 5 Tahun 1999 memasukan integrasi vertikal ke dalam pengaturan kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.”


Dirumuskannya Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 secara rule of reason adalah sangat tepat, karena seperti telah dijelaskan bahwa integrasi vertikal dapat mempunyai dampak-dampak yang pro kepada persaingan, dan dapat pula berdampak hal yang merugikan pada persaingan. Dengan kata lain pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung sepanjang tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan kepentingan masyarakat dan perjanjian tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima.


Kasus IV.12

---------------------------------------

Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU adalah apa yang dikenal dengan kasus Abacus yaitu Putusan No. 01/KPPU-L/2003. Terlapor dalam kasus ini adalah PT (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (disingkat “Garuda Indonesia”).

Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut. Bahwa Terlapor adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dengan kegiatan usaha antara lain melaksanakan penerbangan domestik dan internasional komersial berjadwal untuk penumpang serta jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan dengan penerbangan. Untuk mendukung kegiatan usaha penerbangannya tersebut, Terlapor mengembangkan sistem ARGA sebagai sistem informasi pengangkutan udara domestik.

Sedangkan untuk sistem informasi penerbangan internasional, Terlapor bekerja sama dengan penyedia CRS dalam bentuk perjanjian distribusi. Sistem informasi ini digunakan oleh biro perjalanan wisata untuk melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan Terlapor secara online. Bahwa akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, semakin menambah beban keuangan Terlapor yang memaksanya untuk melakukan pemotongan biaya-biaya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb terminal Terlapor di setiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan sistem ARGA di dalam terminal Abacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000, Terlapor dan Saksi I menyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di wilayah Indonesia hanya dilakukan dengan dual access melalui terminal Abacus.

Kebijakan dual access tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis. Hal ini telah diakui oleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang diserahkan oleh Saksi I kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas ditempuh karena biaya transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacus lebih murah. Dual access hanya diberikan kepada Saksi I sebagai penyedia sistem Abacus bertujuan agar Terlapor dapat mengontrol biro perjalanan wisata di Indonesia dalam melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan. Semakin banyak biro perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacus untuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional Terlapor yang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan internasional Terlapor.

Terlapor hanya akan menunjuk biro perjalanan wisata yang menggunakan sistem Abacus sebagai agen pasasi domestik. Posisi Terlapor yang menguasai penerbangan domestik dan kemudahan untuk menjadi agen maskapai lain, menjadi daya tarik bagi biro perjalanan wisata untuk menjadi agen pasasi domestik Terlapor. Bahwa sistem ARGA yang hanya disertakan pada terminal Abacus mengakibatkan sistem lain mengalami kesulitan untuk memasarkan ke biro perjalanan wisata karena biro perjalanan wisata lebih memilih sistem Abacus yang memberi kemudahan untuk memperoleh sambungan sistem ARGA. Untuk mendukung kebijakan dual access, Terlapor menambahkan persyaratan bagi biro perjalanan wisata agar dapat ditunjuk sebagai agen pasasi domestik, yaitu menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu untuk selanjutnya mendapatkan terminal ID biro perjalanan wisata yang bersangkutan/dibuka sambungan ke sistem ARGA (persyaratan Abacus connection).

KPPU Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 karena telah melakukan penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktik integrasi vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktik seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

Dengan kegiatan usaha Terlapor adalah melaksanakan penerbangan komersial berjadwal untuk penumpang domestik dan internasional dengan mengoperasikan pesawat sebagai sarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara ini, penguasaan proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh Terlapor adalah penguasaan proses yang berlanjut atas layanan informasi dan jasa distribusi tiket penerbangan domestik dan internasional Terlapor.

----------------------------- 

Pada tanggal 9 April 2010, KPPU mengeluarkan Peraturan No. 5 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 14 tentang Integrasi Vertikal. Dalam peraturan tersebut antara lain dijelaskan kemungkinan pelaku usaha melakukan integrasi vertikal jangka menengah atau integrasi vertikal jangka panjang. Jangka menengah bisa dengan cara pelaku usaha mengikatkan diri pada suatu penyewaan jangka panjang, joint venture atau kemitraan. Jangka panjang bisa dilakukan dengan cara pemindahan kepemilikan atau penguasaan aset perusahaan melalui proses merger atau akuisisi. Kepemilikan atau penguasan aset tersebut bisa seluruhnya atau sebagiannya.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa integrasi vertikal bisa propersaingan (dampak positif) dan bisa antipersaingan (dampak negatif). Bahkan integrasi vertikal umumnya ditujukan untuk meningkatkan efisiensi yang berakibat adanya peningkatan kesejahteraan konsumen akhir (consumer welfare). Integrasi vertikal yang dilarang adalah yang antipersaingan, yakni yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk, dengan kata lain, untuk menguasai pasar. Contoh kegiatan dalam rangka mengusai pasar adalah menolak atau menghalangi pelaku usaha lain masuk ke pasar yang bersangkutan, dan/atau melakukan diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Integrasi vertikal hanya bisa dilarang apabila dampak negatifnya melebihi dampak positifnya. Oleh karena itu, harus dilakukan analisis dampak negatifnya, yakni dengan melakukan 3 (tiga) tahapan pengujian, yakni analisis kemampuan, analisis insentif, dan analisis dampak konsumen. Analisis kemampuan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk menggunakan market powernya untuk menguasai pasar; analisis insentif untuk mengetahui apakah pelaku usaha tersebut mempunyai insentif untuk menghalangi pelaku usaha lain masuk ke pasar; analisis dampak konsumen dilakukan untuk mengetahui bagaimana dampak negatifnya kepada konsumen. Di samping itu, dalam memutuskan untuk melarang integrasi vertikal, KPPU juga akan melakukan analisis struktur (pasar) dan analisis biaya-manfaat. Untuk penjelasannya, bisa dibaca Peraturan KPPU tersebut.


 

PERJANJIAN TERTUTUP

Perjanjian tertutup atau exclusive dealing adalah suatu perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.190 Exclusive dealing atau perjanjian tertutup ini terdiri dari berikut ini.


a. Exclusive Distribution Agreement

Exclusive distribution agreements yang dimaksud di sini adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.

Permasalahan dalam exclusive dealing adalah kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai distributor yang akan menjual produknya. Selain dari pada itu exclusive dealing juga dapat menyebabkan meningkatnya halangan untuk masuk ke pasar.

Di samping itu terdapat pula beberapa akibat positif dari exclusive dealing. Baik bagi distributor maupun bagi produsen exclusive dealing cukup menarik, karena akan membuat kepastian akan distribusi dan adanya jaminan atas bahan baku. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pengurangan ongkos, sehingga terjadi efisiensi. Kemudian, exclusive dealing juga dapat mencegah “free riding”, misalnya perusahaan induk melakukan iklan secara besar-besaran, apabila tidak ada perjanjian ekslusif, maka ketika konsumen datang ke distributor karena tertarik dengan iklan, akan tetapi sesampai di distributor konsumen melihat dan membeli barang lain, maka iklan yang dilakukan tidak ada pengaruhnya.

Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha manufaktur yang memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur membuat perjanjian dengan distributor-distributornya untuk membagi konsumen dan wilayah pasokan agar tidak terjadi bentrokan di sesama distributor atau tidak terjadi persaingan intrabrand (persaingan sesama merek).

Dengah berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat distributor membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih dari biasanya untuk mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut.

Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan eksklusif yang dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang didistribusikannya kepada konsumen, pihak dan wilayah tertentu yang menjadi bagiannya tersebut.

Oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat exclusive distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Adapun bunyi dari Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu.”


Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut sudah langsung dapat dikenakan pasal ini. Karena perjanjian tertutup ini selain mempunyai dampak negatif juga mempunyai dampak yang positif bagi persaingan maka sebaiknya dalam menangani kasus perjanjian tertutup dipakai prinsip rule of reason.


Kasus IV.13

---------------------------------

Salah satu Putusan KPPU mengenai masalah ini adalah Putusan No. 11/KPPU-I/2005 mengenai Distribusi Semen Gresik. Para Terlapor dalam Kasus ini terbukti melanggar Pasal 8, Pasal 11 dan Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999.

Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pasal 15 ayat (1). Pada kasus ini Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium Distributor Semen Gresik Area 4. Konsorsium ini diduga melakukan pelanggaran atas UU No. 5 tahun 1999 dalam bentuk mewajibkan para langganan tetap (LT) di Area 4 untuk menjual Semen Gresik. Pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauan kepada LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja.

Bahwa adanya aturan yang diterapkan oleh Konsorsium tentang larangan bagi LT menjual merek semen selain Semen Gresik, menyebabkan salah satu LT di Area 4 mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai LT kepada Terlapor XI karena menjual semen merek lain selain Semen Gresik dan dianggap oleh oknum-oknum Terlapor XI kurang menguntungkan bagi Terlapor XI. Bahwa sebelum ada Konsorsium, LT dapat membeli Semen Gresik kepada distributor yang mana saja dan dapat melakukan negosiasi harga, namun setelah ada Konsorsium, LT hanya bisa membeli kepada distributor tertentu dengan harga yang telah ditetapkan.

Terlapor mendalilkan bahwa maksud pembentukan Konsorsium adalah untuk menghadapi para LT dan toko yang sering “mengadu domba” Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X yang mengakibatkan terjadinya perang harga antar distributor. Bahwa tujuan pembentukan Konsorsium adalah untuk menghilangkan perang harga di antara para anggota Konsorsium.

Namun KPPU menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, dan Terlapor XI terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999.

----------------------------------

 

Walaupun Pasal 15 mengatur larangan perjanjian tertutup secara per se illegal, namun ternyata Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 menyatakan bahwa untuk melarang perjanjian tertutup harus dibuktikan terlebih dahulu dampak negatifnya.

Peraturan ini menyatakan bahwa tidak secara otomatis perjanjian tertutup itu menimbulkan dampak negatif, akan tetapi juga dapat memberikan dampak positif sehingga oleh karenanya pelaku usaha tidak dapat dihukum hanya karena membuat perjanjian tertutup, bilamana perjanjian tertutup tersebut memberikan dampak positif. Pembedaan antara dampak positif dari dampak negatif dapat ditetapkan dengan:


Dampak negatif yang bisa disebabkan oleh perjanjian tertutup secara umum antara lain: peningkatan hambatan masuk pasar bagi pelaku usaha potensial dan penutupan akses bagi pelaku usaha pesaing; potensial terjadinya pembagian wilayah; memungkinkan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kekuatan pasar, yang kemudian akan melakukan diskriminasi harga untuk memaksimalkan profit; dan bagi konsumen, pasar menjadi tidak kompetitif, pelaku usaha pada umumnya akan menetapkan harga yang lebih tinggi sehingga konsumen harus membayar harga yang lebih mahal.

Menurut Peraturan KPPU tersebut, suatu perjanjian tertutup dianggap melanggar Pasal 15 apabila telah terbukti secara cukup dan patut memenuhi kriteria sebagai berikut:


b. Tying Agreement

Tying agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya.

Melalui praktik tying agreement, pelaku usaha dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying product (barang atau jasa yang pertama kali dijual) ke tied product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh konsumen). Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying product dan tied product), pelaku usaha dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar. Perusahaan kompetitor agar dapat bersaing, mau tidak mau harus melakukan hal yang sama yaitu melakukan praktik tying agreement juga. Bagi konsumen yang tidak paham mengenai praktik tying agreement, mungkin ketika dia membeli suatu produk dan kemudian mendapatkan tambahan produk lain, dianggap sebagai suatu hadiah. Padahal sesungguhnya harga yang dia bayarkan merupakan harga dari kedua produk

 

yang dia terima tersebut. Praktik tying agreement juga dapat membuat konsumen kesulitan dalam menentukan harga sebenarnya dari produk yang dia beli, di mana sebelumnya dia hanya ingin membeli satu produk, tetapi karena dipaksa harus membeli produk yang lain sehingga membuat konsumen menjadi bingung berapa harga dari masing-masing produk.

Terdapat beberapa tujuan dari tying agreement. Pertama, untuk mempersulit masuk ke pasar. Kedua, untuk meningkatkan penghasilan dengan menggunakan kekuatan monopoli pada salah satu barang atau jasa. Terakhir adalah untuk menjaga kualitas barang.

Oleh karena itu dapat disimpulkan ada dua alasan yang menyebabkan praktik tying agreement tersebut dilarang, yaitu: pertama, pelaku usaha yang melakukan praktik tying agreement tidak menghendaki pelaku usaha lain memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing secara fair dengan dia terutama pada tied product, dan kedua, pelaku usaha yang melakukan praktik tying agreement juga telah menghilangkan hak konsumen untuk memilih secara merdeka barang yang ingin mereka beli.

Dalam menghadapi tying agreement ini, kita perlu membedakannya dengan “bundling” yaitu keputusan dari suatu penjual untuk mengikutkan satu atau lebih independent product sebagai suatu paket yang akan dipasarkan. Terjadi suatu bundling apabila permintaan konsumen akan barang atau jasa tersebut dianggap sebagai permintaan terhadap barang atau jasa yang berbeda.194 Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.”


Dari pasal 15 ayat (2) tersebut juga dapat dilihat definisi tying agreement yaitu perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Melihat rumusan pasal di atas, maka kita ketahui bahwa UU No. 5 Tahun 1999 bersikap cukup keras terhadap praktik tying agreement, hal itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai tying agreement dirumuskan secara per se illegal, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktik tying agreement tanpa harus melihat akibat dari praktik tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya. Namun, sebagaimana tersebut di atas, Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 menyatakan bahwa untuk melarang perjanjian tertutup --- termasuk tying agreement --- harus dibuktikan terlebih dahulu dampak negatifnya.


Kasus IV.14

----------------------------------------

Kasus yang pernah diputuskan oleh KPPU dan dinyatakan bersalah melanggar Pasal 15 ayat 2 adalah Kasus Garuda Indonesia, Putusan No. 01/KPPU-L/2003. Terlapor dalam kasus ini adalah PT (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (disingkat “Garuda Indonesia).

Bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi, Terlapor mengembangkan sistem dual access dengan menggunakan sistem Abacus. Bahwa dalam rangka penjualan tiket, maka telahdilakukan pengangkatan keagenan pasasi domestik Terlapor dituangkan dalam bentuk perjanjian yang disebut perjanjian keagenan pasasi antara Terlapor dengan biro perjalanan wisata. Bahwa karena Terlapor telah mengembangkan sistem ARGA untuk sistem reservasi dan sistem booking tiket penerbangan domestik, maka biro perjalanan wisata harus menggunakan sistem ARGA untuk dapat melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan domestik Terlapor.

Untuk kepentingan dimaksud, biro perjalanan wisata yang diangkat menjadi agen pasasi domestik Terlapor, akan menerima sistem ARGA untuk melaksanakan pekerjaannya tersebut. Bahwa untuk reservasi dan booking tiket penerbangan domestik Terlapor, digunakan sistem ARGA. Dengan demikian biro perjalanan wisata yang menjadi agen pasasi domestik Terlapor seharusnya hanya memperoleh sistem ARGA saja. Namun untuk dapat ditunjuk menjadi agen pasasi domestik, Terlapor mempersyaratkan adanya Abacus connection.

Dengan adanya persyaratan Abacus connection mengharuskan biro perjalanan wisata

menyediakan terminal Abacus yang di dalamnya terdapat sistem Abacus terlebih dahulu untuk dapat memperoleh sistem ARGA, untuk memperoleh terminal Abacus, biro perjalanan wisata membayar sejumlah uang kepada Saksi I, padahal sistem Abacus tidak digunakan untuk melakukan booking tiket penerbangan domestik Terlapor. Berdasarkan pada hal-hal tersebut, maka Terlapor oleh KPPU dinyatakan melanggar Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999.

-----------------------------------


Sebelum KPPU memutuskan adanya pelanggaran Pasal 15, KPPU harus meneliti atau menganalisis dampak negatifnya yang harus lebih besar dari pada dampak positifnya. Khusus untuk tying agreement, menurut peraturan tersebut, dampak negatifnya antara lain adalah:


c. Vertical Agreement on Discount

Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok:

 

Dengan kata lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.

Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut

Sedangkan adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon untuk tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok dapat mengakibatkan pelaku usaha pesaing akan mengalami kesulitan dalam menjual produknya yang sejenis dengan pelaku usaha yang sebelumnya telah membuat vertical agreement on discount terhadap penerima produknya di pasar.

Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3) tersebut, tanpa harus menunggu sampai munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum. Namun, sebagaimana tersebut di atas, Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 menyatakan bahwa untuk melarang perjanjian tertutup - vertical agreement on discount - harus dibuktikan terlebih dahulu dampak negatifnya.


Kasus IV.15

------------------------------------------------

Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU sehubungan dengan ini adalah Kasus ABC, Putusan Perkara No.: 06/KPPU-L/2004 Menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No. 5 tahun 1999.

Adapun duduk perkara secara singkat adalah sebagai berikut. Pada pertengahan bulan

Februari 2004, PT Panasonic Gobel Indonesia (PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai single pack (baterai manganese AA) dengan menggunakan standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan memajang produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT PGI.

Kemudian pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor (PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut:

a. Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1

meter;

b. Toko bersedia memajang baterai ABC;

c. Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC.

a. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan Maret sudah tidak jual lagi;

b. Toko hanya menjual baterai ABC.


Bahwa patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh Terlapor.

Bahwa Terlapor diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian dengan toko untuk tidak menjual baterai Panasonic.

Berdasarkan analisis fakta-fakta di atas, Majelis Komisi berpendapat bahwa Terlapor telah membuat Perjanjian PGK yang ditandatangani oleh toko grosir atau semi grosir peserta PGK. Berdasarkan hal tersebut di atas, unsur “membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa” dalam pasal 15 ayat 3 telah terpenuhi.

Majelis Komisi selanjutnya berpendapat bahwa kegiatan promosi berupa PGK yang memuat ketentuan atau persyaratan yang melarang toko grosir atau semi grosir untuk menjual baterai Panasonic merupakan upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit pelaku usaha pesaingnya, dalam perkara ini PT PGI, untuk melakukan kegiatan usaha yang sama dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga unsur “menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah terpenuhi.

--------------------------


PERJANJIAN DENGAN PIHAK LUAR NEGERI

Terdapat beberapa persoalan sehubungan dengan pemberlakuan undang-undang suatu negara terhadap orang atau badan hukum yang berada di luar negeri, yaitu:

 

Berdasarkan pada hal-hal tersebut, maka wajarlah apabila terdapat perbedaan pandangan mengenai keberlakuan hukum persaingan suatu negara pada warga negara atau pelaku usaha negara lainnya.

Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.

Permasalahan yang muncul dari rumusan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999, keharusan adanya suatu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam negeri dengan pelaku usaha yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian di antara pelaku usaha tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal ini.

Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1999, persoalan keberlakuan hukum persaingan Indonesia terhadap pelaku usaha yang ada di luar negeri dan didirikan berdasarkan hukum negara yang bersangkutan baru terdapat dua kasus yaitu dalam kasus Very Large Crude Carrier (VLCC) dan kasus Temasek. Namun, berikut ini hanya akan dijelaskan mengenai kasus Temasek.


Kasus IV.16

-----------------------------------------------

Kasus Temasek ini merupakan kasus kedua yang memberlakukan hukum persaingan Indonesia terhadap perusahaan yang didirikan, berkedudukan dan melakukan kegiatan bisnisnya melalui wilayah di luar negara Republik Indonesia adalah perkara No. 07/ KPPU-L/2007 atau yang lebih dikenal dengan Kasus Temasek.

Dalam kasus ini yang menjadi terlapor dan berada di luar negeri adalah delapan perusahaan yang berada di Singapore dan satu perusahaan yang berada di Mauritius yaitu; Temasek Holding Pte.Ltd., Singapore, Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., Singapore, STT Communications Ltd, Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Indonesian Communication Limited, Mauritius, Indonesian Communication Pte.Ltd., Singapore Telecommunication Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd. Kesemua perusahaan ini dikenal dengan Temasek Group atau Kelompok Temasek.

Kelompok Temasek melalui anak perusahaannya yaitu STT memiliki saham sebesar 41,94% saham pada PT Indosat, dan melalui Singtel memiliki saham sebesar 35% pada PT Telkomsel. Kelompok Temasek oleh KPPU kemudian dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 huruf a. karena telah melakukan kepemilikan silang terhadap Telkomsel dan Indosat sehingga mengakibatkan dampak antipersaingan dalam pelayanan telekomunikasi seluler di Indonesia. Temasek juga dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat 1 karena melaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga tinggi sehingga menyebabkan dampak antipersaingan.

Kelompok Temasek mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksa Kelompok Temasek karena didirikan bukan berdasarkan hukum Indonesia dan tidak melakukan aktifitasnya di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hikmahanto Juwana yang

menyatakan bahwa KPPU tidak dapat menggunakan yurisdiksi teritorial karena hukum

Indonesia tidak mengakui konsep ekonomi tunggal. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi personal karena STT tidak didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan bukanlah suatu entitas Indonesia. KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi universal oleh karena yurisdiksi tersebut hanya berlaku terbatas pada kejahatan internasional.

Namun KPPU berpendapat bahwa KPPU berwenang melakukan pemeriksaan terhadap

Kelompok Temasek yang pada intinya dengan alasan, di antaranya bahwa Kelompok

Temasek adalah badan usaha sehingga memenuhi unsur setiap orang atau badan usaha sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 poin 5 UU No. 5 Tahun 1999, yang berdasarkan pada prinsip “single economic entity doctrine” dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan dengan anak perusahaan di mana anak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat extraterritorial jurisdiction.

-----------------------------------------------