MENGENANG BUYA


Buya Syafii dan Uang


Sejumlah orang memprakarsai pendirian Maarif Institute pada 2002, dengan kegiatan utama menjelajahi pemikiran keislaman yang toleran, kultural, ilmiah dan berwawasan ke depan, sejalan dengan corak pemikiran Buya Syafii Maarif. Di tahun itu ia masih menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005), dan dari perbarengan inilah bermula “kekacauan” keuangan keduanya.


Beberapa orang menyumbang Institute, tetapi kebanyakan sumbangan itu ia alirkan ke organ-organ afiliasi Muhammadiyah. Alasannya sederhana: orang-orang itu menyumbang karena ia Ketua Muhammadiyah, bukan karena ia ketua Yayasan Maarif. “Kalau saya cuma Ketua Maarif Institute, apa urusan orang-orang itu memberi sumbangan?” katanya.


Setelah ia tak lagi Ketua Muhammadiyah, urusan menjadi lebih simpel. Tidak lagi terjadi “conflict of interest” antara kedua lembaga. Tapi “konflik kepentingan” tetap terjadi, kali ini antara dirinya dan Institute.


Tak jarang orang menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa mereka memberi sumbangan untuk Buya Syafii pribadi, bukan untuk Institute. Kontribusi itu tidak perlu dipertanggungjawabkan karena sifatnya personal. Namun ia tetap saja melaporkan penggunaan dana-dana itu kepada pemberi sumbangan, disertai laporan lengkap bukti pengiriman uang atau tanda terima dari orang-orang yang dibantunya untuk segala keperluan — penulisan disertasi, bantuan kepada orangtua buat biaya sekolah anak-anak mereka, perbaikan bangunan milik Muhammadiyah di sana sini, dsb.


Jumlah penyaluran itu tepat sesuai sumbangan yang diterimanya. Rupanya ia tak berminat memetik serupiah pun dari sana. Mungkin alasannya kali ini bergeser: orang-orang itu bersedekah karena ia ketua Maarif Institute, bukan karena ia bernama Ahmad Syafii Maarif.


Berulangkali ia diingatkan oleh si pemberi bahwa dana itu untuk keperluan pribadinya, dan ia tidak perlu melaporkan penggunaannya karena uang itu telah menjadi miliknya. Buya Syafii tak pernah mau mendengarkan saran ini. Kuitansi, tanda terima, bukti-bukti transfer dana, tetap saja ia kirimkan kepada pemberi dana — lengkap dengan penjelasan ringkas tentang alasan ia memilih menyalurkan dana-dana itu kepada orang-orang tersebut (“anak ini pintar, jangan sampai dia gagal meraih gelar doktor”, dan semacam itu).


Saya kira itu pula yang terjadi dengan sumbangan Pak Taufiq Kiemas. Pada suatu makan siang, kami duduk bertiga, dan Buya Syafii berkata kepada saya sambil menunjuk Pak Taufiq: “Orang ini luar biasa. Sampai saat ini untuk Muallimin Jogja saja dia sudah memberi Rp 13 miliar!” Mengapa ia tahu jumlah persis sumbangan itu, yang pemberinya pun tak ingat?


Mungkin karena Pak Taufiq mengirimkannya kepada Buya Syafii pribadi, disertai “pesan terselubung” bahwa ia boleh mengatur penggunaannya sesuka hatinya, termasuk mengambil setidaknya sebagian dari jumlah itu. Pesan rahasia itu rupanya tak tertangkap, atau pura-pura tak dipahaminya, dan ia meneruskannya bulat-bulat kepada pengurus Muallimin, sekolah menengah guru yang tak pernah dilupakannya hingga akhir hayat.


Baru di masa pandemi kemarinlah ia seperti terpaksa mencomot sebagian pemberian seseorang yang dalam duapuluh tahun terakhir sering mengiriminya uang. Orang itu, di awal pandemi, memberinya dana cukup besar untuk keperluan pribadi Buya Syafii. Seperti biasa, ia melaporkan penggunaannya secara terinci. Tetapi jumlah penggunaan tidak sama dengan jumlah kiriman. Sebagian dana itu rupanya ia gunakan untuk kebutuhan pribadi — padahal seluruhnya memang dimaksudkan untuk itu.


“Mungkin karena sumber-sumber nafkahnya hampir tidak ada lagi,” kata si penyumbang kepada saya. “Pandemi membuatnya tidak bisa berceramah dan berseminar di mana-mana, padahal dari sanalah Buya mendapatkan penghasilan.” Uang pensiunnya sebagai gurubesar UNY tampaknya hanya cukup untuk hidup normal kurang dari dua minggu.


***


Buya Syafii seolah penubuhan nyata bahwa kisah-kisah kuno sebagai sarana pengajaran moral adalah faktual, bukan sekadar cerita fiksi. Ia menerjemahkan harfiah apa yang disebut “amanah” — ditambah dengan penghayatan total terhadap doktrin Kiai Ahmad Dahlan: “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”


Sedikit pun ia tak menunjukkan gejala balas dendam terhadap kemiskinan berat yang membelitnya sampai usia awal 30an, yang antara lain membuat kelulusan sarjananya terlambat cukup jauh. Setelah ia menjadi tokoh bangsa, dan begitu banyak pejabat negara atau orang kaya yang sudah dan ingin memberinya sumbangan dengan berbagai alasan dan “judul”, ia tak memanfaatkannya bahkan dengan cara wajar dan legal yang akan dimaklumi oleh siapapun. Beragam peluang kemakmuran hidup tak membuatnya berubah gaya menjadi OKB dan kehilangan keseimbangan mental.


Ia mengingatkan orang pada sosok Ketua PP Muhammadiyah sebelumnya, Abdul Razak Fachruddin (1968-1990), alias “Pak A.R”.


Mendapatkan nafkah dari berjualan bensin eceran di depan rumahnya di Jalan Cik Di Tiro Jogja, Pak A.R mengupayakan income sampingan dengan menyewakan empat kamar kos di bagian belakang rumahnya — salah satunya pernah ditempati adik kelas saya, yang keterlambatan pembayaran rutinnya tak pernah ditegur oleh pemilik kamar.


Pak A.R, yang gemar bepergian keliling kota dengan sepeda tuanya, konon sering sekali ditawari bantuan dana oleh Presiden Soeharto, sampai pada titik ia tak mungkin lagi menolak. Ia akhirnya bersedia menerima pemberian sebuah sepeda motor — yang hampir tak pernah dikendarainya. Seseorang bercerita bahwa sepeda motor itu lebih sering dituntun daripada dinaikinya.


Jika tak menyaksikannya sendiri, orang sulit percaya bahwa cerita-cerita di seputar puritanisme Buya Syafii dan Pak A.R bukanlah dongeng, atau sekadar cerita untuk mengajarkan ahlak luhur dan kejujuran kepada anak kecil. Atau hanya terjadi pada orang-orang jujur di jaman yang sangat lampau, seperti dikisahkan oleh buku-buku pelajaran dasar agama.


Sementara semua orang tahu bahwa mereka adalah pemimpin tertinggi salah satu organisasi terbesar di dunia, yang memiliki aset ribuan triliun di seluruh pelosok tanah air dan luar negeri, yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, dan selalu ikut mengambil alih kewajiban negara untuk mendidik warganegara — dan karenanya pantas pula negara membalas budi dengan memberi aneka bentuk bantuan.


Tanpa Muhammadiyah, tak terbayangkan bagaimana negara sanggup mendirikan sekolah di lereng-lereng gunung dan tempat-tempat yang begitu terpencil, sekaligus menyediakan guru-gurunya. Anak-anak yang tinggal di daerah-daerah itu tentu akan hanya menyesali atau disesali bahwa mereka tidak pernah punya kesempatan menikmati pendidikan modern.


***


Buya Syafii adalah seorang anak yang diselamatkan oleh Muhammadiyah dari kemungkinan itu. Dalam ungkapannya sendiri: “untunglah Muhammadiyah tersesat sampai ke kampung saya”, sehingga ia bisa belajar baca-tulis-hitung di sekolahnya. Dusunnya di Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, begitu terpencil. Keterpencilan bahkan masih terasa pada tahun 2004, ketika kami — Rizal Sukma, Jeffrie Geovanie, Buya Syafii dan saya — mengunjunginya.


Di sepanjang jalan dari Bukittinggi ke kampung itu, berserakan tiang-tiang listrik yang siap ditegakkan. Rupanya kampung Buya Syafii akan segera mendapat berkah besar di awal abad 21: memperoleh aliran listrik. PLN baru tergerak untuk membuat Sumpur Kudus tak lagi gelap gulita di malam hari, setelah diminta oleh Ketua PP Muhammadiyah.


Dengan berbinar-binar ia menyatakan kampung kelahirannya sebentar lagi akan terang — tak seperti pengalamannya hidup di sana sampai 60 tahun sebelumnya, saat ia tiap hari berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk belajar di SD Muhammadiyah, melewati jalan-jalan setapak yang meliuk-liuk di puncak jurang yang sangat dalam. (Mobil kami berkelok-kelok di jalur yang sama pada malam hari; kengerian baru kami rasakan ketika dua hari kemudian kami melewati jalan itu di siang hari — rupanya dua malam sebelumnya mobil kami merayap di tubir jurang yang dasarnya hampir tak terlihat).


Menginap dua malam di rumah kelahiran yang didiami kerabatnya, ia sempat mengajak kami berjalan kaki dua menit, ke rumah tetangganya. Ia menunjukkan sesuatu yang bersejarah, yang terhubung langsung dengan eksistensi Republik Indonesia. Di sudut depan rumah itu, dikelilingi pagar bambu seadanya, terpancang monumen yang terlalu sederhana: tugu kecil peringatan bahwa di situlah para pemimpin bangsa seperti Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Teuku Mohammad Hasan pernah menjalankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI, 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949), atau “Kabinet Darurat”, ketika Republik yang belum berusia empat tahun mau dirampas kembali oleh Belanda.


***


Kami tercenung di depan tugu pendek yang melawan prinsip-prinsip dasar estetika itu, yang sangat jelas tak pernah dipedulikan oleh instansi negara yang mana pun; suatu cara negara menyatakan bahwa ia tak merasa perlu untuk menggubris salah satu penggalan penting sejarah bangsa.


Tetapi dari monumen itulah, dengan cat biru kusam dan di sana sini diselingi merah dan kuning, yang diakrabi Buya Syafii sejak ia remaja, kami rasanya bisa meraba dari mana ia mendapatkan sumber kecintaannya yang tak bertepi pada Indonesia dan keindonesiaan. ***


Sumber: Buya Syafii dan Uang, Hamid Basyaib, Senin, 30 Mei 2022, https://geotimes.id/kolom/buya-syafii-dan-uang/

Buya Syafi'i: Cerminan Kita Yang Terbalik



Jika anda pernah merasakan hidup dalam tubir kemiskinan, maka tenanglah. Ini karena, penderitaan hidup tidak membuat kita kehilangan apapun, apalagi orang yang dicintai. Karena ada yang lebih miskin dari anda. Ia adalah Syafi'i Maarif yang harus kehilangan dua anaknya ketika lahir karena kurang gizi dan meninggal dalam pangkuan istri dan dirinya. 

Jika anda merasa kredit cicilan terasa memberatkan, maka kuatkanlah. Ini karena, ada seseorang yang berhutang meskipun itu sebenarnya bisa menjadi haknya. Di penghujung periode kepemimpinannya di Muhammadiyah ternyata buya Syafii mendapatkan uang dari seorang donatur. Ia pikir uangnya itu untuknya, tetapi untuk Muhammadiyah. Ia pun menggantinya. Tidak dengan membayar lunas, karena ia tidak memiliki uang sebanyak 70 juta. Uang itu pun dibayarnya dengan cara mencicil. Padahal, kalau ia mau, ia bisa langsung menghubungi orang berkuasa di negeri ini untuk membayar uang cicilannya yang tak seberapa itu. Jika ia mau, ia bisa mendiamkan saja dan pura-pura lupa.


Jika anda merasa bodoh karena meminjamkan uang kepada orang karena khawatir tidak dikembalikan, maka tidak perlu khawatir. Ada yang lebih bodoh dari itu. Ia adalah tetangga barunya Syafi'i Maarif. Ia merasa kebingungan karena harus menutup hutang dari usahanya yang rugi. Ia kebingungan mau pinjam dengan siapa. Ia lalu datang ke rumah Syafi'i Maarif. Ia mengetuk pintu dan berkehendak meminjam uang. Alih-alih  menanyakan lebih jauh siapa orang yang meminjamkan uang tersebut. Syafi'i Maarif lalu memintanya untuk membuat surat kuasa di atas kertas agar ia dapat ke Bank untuk mendapatkan uang sebesar 15 juta sebagai pinjaman di tengah ke tergesa-gesa Syafi'i Maarif ingin ke bandara, "tidak usah kamu pikirkan kapan uang itu diganti". Sebagaimana kisah ini diceritakan Sanjaya Kuss Indarto .  Yang meminta pinjaman uang itu bergetar, mana ada orang yang engga dikenal lalu meminjamkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. 


Jika anda merasa jatuh cinta kepada seseorang dan memberikan semua yang anda punya, itu merupakan tindakan yang biasa. Ini karena, ada orang yang lebih gila dari anda. Ia adalah Syafi'i Maarif. Setelah gedung Madrasah Muallimin Yogyakarta runtuh karena gempa di Jogja, ia orang yang paling sibuk menjadi ketua panitia, mencarikan uang untuk pembangunan gedung sekolah warisan Ahmad Dahlan, tempat di mana ia belajar dahulu. Tidak sedikit yang mengkritik bangunan itu sekuat banteng karena ada yang memberikan sumbangan cukup besar. Tapi ia tidak peduli. Baginya, Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta  adalah cinta mati untuknya. Di sini ia merasa pengetahuan dasarnya dibentuk. 


Jika anda merasa jauh dari masjid karena terlalu sibuk, maka tidak usah gundah. Ini karena kita sudah ada wakil kepala batu yang selalu mendekatkan hatinya untuk bersujud di masjid dan salat tepat waktu. Ia adalah Syafi'i Maarif tokoh yang dianggap Islam liberal bagi yang tidak menyukai pemikirannya. Padahal, ia adalah orang yang paling kepala batu agar selalu tunduk untuk salat tepat lima waktu. Ia juga yang selalu memaksakan diri untuk wajib ke masjid saat berada di rumahnya. 


Jika anda pernah merasakan bahwasanya Pancasila bukan bagian dan tidak sesuai dengan Islam. Maka, anda gift perlu gelisah. Jauh sebelum anda, ada figur Syafi'i Maarif yang sangat menantang Pancasila menjadi fondasi bangsa Indonesia. Ia bahkan pernah mengutuknya sebagai kafir. Namun, melalui interaksi gurunya Fazlur Rahman, ia justru yang menjadi pembela keras Pancasila sebagai bagian dari Islam. Ia bahkan percaya bahwasanya Pancasila inilah yang bisa menaungi kemajemukan masyarakat Indonesia. 


Jika anda merasa harga diri lebih penting ketimbang dengan mengatakan kebenaran, maka anda sudah benar. Jangan tiru Syafi'i Maarif. Ia membela Ahok dengan mengatakan tidak bersalah di tengah gelombang pasang umat Islam sedang marah kepadanya. Syafi'i Maarif tidak gentar. Ia merasa tidak ada yang perlu dipertaruhkan, meskipun harus kehilangan nama besar yang dibangunnya dengan air mata dan dedikasi yang keras. Parahnya, dalam melakukan itu, ia pun tidak mendapatkan apa-apa atas apa yang dibelanya, kecuali caci maki yang justru datang dari anggota organisasi yang ia turut membesarkannya. 


Jika anda merasa bahwasanya kurang berolahraga dan kemudian membeli sepeda agar bisa lebih bergerak. Anda sudah dalam jalan yang benar. Jauh sebelum itu, ada lelaki tua yang mengayuh sepeda ontelnya sendiri di jalan-jalan keras Jogja yang tergantikan dengan revolusi motor leasing. Ia sendiri untuk menghadiri pengajian Muhammadiyah dan acara-acara Muhammadiyah. Ia bukan tidak mampu untuk membeli sepeda terbaru yang paling mahal dan keren seperti model terbaru saat ini. Ini karena itulah jalan hidupnya, yang sulit diterima oleh dunia yang membutuhkan solek editan di dunia maya. 


Jika anda merasa marah dengan antrian panjang untuk menyelesaikan sebuah kebutuhan adminstrasi ataupun berada di rumah sakit. Anda berhak untuk melakukan kemarahan itu. Ini karena, ada orang yat memiliki hak istimewa tapi ia tidak mau melakukannya. Dia lelaki bodoh yang mau mengantri dengan sabar saat berada di rumah sakit milik Muhammadiyah untuk berobat. Padahal, ia bisa langsung menelepon ayahanda Haedar Nashir untuk memanggil dokter terbaik Muhammadiyah langsung ke rumahnya.


Muhammadiyah memang memiliki banyak usaha dengan bangunan yang sangat megah. Muhammadiyah memiliki aset triliunan rupiah. Namun, para pemimpinnya tidak pernah terlihat semegah bangunan yang dibikinnya. Kesederhanaan dan kesajahaan adalah ciri khas organisasi modern Islam, begitu juga orang yang memimpinnya. Buya Syafii Maarif adalah figur pemimpin yang mewarisi tradisi kesederhanaan dalam Muhammadiyah itu. Pengalaman hidup yang pahit karena kemiskinan ekonomi sekaligus kehilangan anak-anaknya yang meninggal karena kurang gizi membuatnya belajar tentang kerendahan hati, "saya bisa seperti sekarang, bukan karena kehebatan saya, tapi semata-mata karena belas kasihan laut yang mendorong ombak membawa saya akhirnya sampai ketepian".


Selamat jalan Buya Syafii Maarif. Sungguh, bukan Indonesia yang merasakan kehilangan guru bangsa dan kader terbaik Muhammadiyah, melainkan kebanyakan dari kami, orang biasa, yang merasa betapa hidup sia-sia melakukan kebaikan-kebaikan kecil pada orang yang tak dikenal, padahal itu memberikan dampak yang besar.



Sumber: Share-an Whatsapp

Spiritualitas Buya Syafii Maarif 

Chudori Sukra Selasa, 31 Mei 2022



"Banyak cendekiawan kita yang pikirannya mengawang-awang di angkasa, sampai kemudian lupa bahwa kakinya harus kembali berpijak di permukaan bumi." -Buya Syafii Maarif, 1935-2022


Dasar negara yang tertuang dalam butir-butir Pancasila mengandung esensi yang tak jauh berbeda dengan butir-butir dalam kredo Amerika (The American Creed). Ia merupakan ideologi negara yang melindungi seluruh perkembangan sekte dan kepercayaan yang berakar dari agama Nasrani. Dinyatakan di dalam kredo tersebut, bahwa Amerika adalah tanah air kekasih Tuhan, dan melalui peradaban yang berkembang di Amerika-lah Tuhan memberkati seluruh dunia dengan kemakmuran dan kemerdekaan. Tetapi, karya-karya sastra Amerika tak bisa mengambil sikap diam dan berpangku tangan. Akan tetapi, terang-terangan membuka kedok yang selama ini ditutupi demi kejayaan bendera Amerika, kemudian menyusup masuk meneropong kenyataan faktual yang dialami sehari-hari warga dan rakyat Amerika.


Pernyataan-pernyataan mendiang Buya Syafii Maarif dalam membuka kedok para politisi dan penguasa negeri ini, tak ubahnya dengan menyingkap lika-liku kehidupan warga California yang terungkap dalam novel John Steinbeck, (Tortilla Flat), perihal kehidupan rakyat marjinal Amerika yang saling sikut kiri dan kanan, hanya untuk mengejar target kesuksesan duniawi semata. Kritikan dan sindiran Buya Syafii untuk kaum birokrat dan politisi negeri ini menyiratkan karya Steinbeck lainnya, (The Pearl), yang menampilkan sisi-sisi gelap orang-orang yang mengejar harta dan popularitas, seakan-akan kemenangan hanya mungkin diraih berkat keculasan dan kemunafikan. Problem inilah yang sering dikemukakan Buya Syafii dalam menyoal dan menggugat maraknya budaya dan peradaban yang keranjingan dunia mistik dan takhayul, laiknya hidup di tengah hukum rimba belantara meskipun dikemas dengan label yang mentereng dan "modern". 


Terkait dengan karakteristik Buya Syafii, Steinbeck pernah menampilkan salah satu tokoh sentral yang berjiwa zuhud, Samuel Hamilton. Samuel adalah seorang petukang dan petani sederhana yang banyak belajar dari lika-liku dan pahit-getir kehidupan. Bagi Samuel, memiliki sedikit kekayaan yang berkah jauh lebih mulia ketimbang kemegahan duniawi yang melimpah ruah, namun tidak menentramkan batin dan jiwa.   Di sinilah makna keberkahan yang paralel dengan kehidupan sehari-hari Buya Syafii, yakni orang yang dianggap aneh bahkan "sinting" dalam kacamata para pengusaha dan milyarder, namun di situlah keakraban dengan Tuhan dapat terjaga. Buya Syafii adalah salah satu tokoh langka di negeri ini yang sanggup menangkap sinyal perubahan. Sehingga, persoalan kedewasaan iman (nilai esoteris) bukanlah perkara milik si kaya-miskin, tua-muda, ksatria atau sudra, tetapi bagi yang tinggi nilai dan kualitas ketakwaannya.   


Dianggap senewen 


Biarlah Samuel Hamilton dianggap gagal di dunia enterpruneur dalam achievement society yang banyak digandrungi orang Amerika yang mengalami demam imperialis, tetapi ia mampu menangkap esensi kebahagiaan hidup, hingga dapat berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Bagi Steinbeck, tokoh Samuel adalah tipikal orang yang sudah selesai dengan dirinya, mengalahkan ego dan keakuannya. Ia seumpama kaum sufi yang telah memiliki segalanya (qana'ah), telah menggenggam dunia, dan sudah melampaui hasrat material yang kerap menjebak segala kehendak dan keinginan manusia.  


"Sebenarnya anugerah hidup ini adalah rahmat, karenanya kebahagiaan hidup tak perlu dicari-cari, karena ia ada dalam diri kita, bila kita mau melihatnya," ujar Samuel. Suatu ungkapan yang sangat paralel dengan jiwa dan karakteristik dari Buya Syafii Maarif. Meskipun, boleh jadi John Steinbeck tidak pernah mendalami apa itu yang dinamakan "sufisme". 


Novel-novel Steinbeck bukan seperti teks atau naskah khotbah yang serba muluk melafalkan dalil-dalil tekstual keagamaan. Tetapi, secara tidak langsung menampar muka kapitalisme, sebagaimana tokoh-tokoh dalam novel Perasaan Orang Banten, yang tak pernah secara eksplisit menyebut "orang kapitalis". Ia menggambarkan perikehidupan apa adanya, menyampaikan gugatan atau persoalan krusial yang harus dijawab oleh masyarakat kapitalis, terlebih para penguasa yang berdiri di bawah benderanya. Baca Juga: Gus Yahya: Jiwa Buya Syafii Memang Indah   Lagi-lagi mengingatkan kita pada penegasan Buya Syafii yang kerap menggugat: mengapa dalam suatu sistem yang tidak adil selalu dapat dibuktikan bahwa kolaborasi tritunggal jahat (pengusaha, penguasa dan tokoh agama) selalu saja muncul pada varian-varian yang sama?   Secara implisit Hafis Azhari menyoal "mereka" yang terlena dan terperosok dalam lubang galiannya sendiri. Orang-orang yang sibuk menjaga harta kekayaan, yang dikira dapat melestarikan kesenangan hari tua, bahkan kesenangan dalam rumah tangga bangsa, ternyata dapat lenyap seketika bila Tuhan menghendaki. Tetapi, nilai-nilai kebaikan yang kita berikan tanpa pamrih (keikhlasan), justru itulah yang membuahkan kebahagiaan dan keramahan terhadap sesama, yang tidak terdapat pada kekayaan harta sebanyak apapun.


Religiositas Buya Syafii 


Pengungkapan nilai-nilai religiositas seperti itu merupakan sumber inspirasi atau tambang sastra yang sangat berharga bagi kemajuan peradaban bangsa. Bahwa "to be" jauh lebih mulia daripada sekadar "to have", khususnya bagi masyarakat yang sedang mencari identitas diri karena dilanda kehidupan yang hiper modern saat ini. Setiap cendekiawan, sastrawan, dan budayawan harus jujur mengungkap hal-hal fundamental tentang persoalan lingkungan dunianya, bahkan lingkungan yang melingkupi psikologi dan sejarah hidupnya sendiri. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya-karya John Steinbeck sebagai orang Amerika tulen, jelas berbeda dengan garapan penokohan yang dimunculkan Heinrich Boell sebagai orang Jerman yang hidup pasca-fasisme Hitler. Juga berbeda dengan pemaparan historical memories dalam gaya "Missing Person" maupun "The Art of Memory" hasil gubahan Patrick Modiano. Tetapi, esensi dari moral massage yang mereka kumandangkan – meski dari tempat-tempat yang berbeda – tampak memiliki raut-raut yang sama.   Iklim kekuasaan Amerika yang digambarkan Steinbeck dengan latar belakang Salinas Valley di California, hampir serupa dengan karya-karya Gabriela Mistral (Chili), bahwa siklus permusuhan dalam perebutan kekuasaan seakan warisan abadi yang terus berkembang dan bermutasi dalam suasana kapitalisme dan imperialisme.   Buya Syaffi tak pernah merasa lelah dan bosan untuk selalu menggugat manusia-manusia hedonis dan serakah. Mereka seakan tak mau meninggalkan habitatnya sebagai homo ergaster yang tega berbuat culas dan jahat. Para penyelundup dan spekulan, yang mengaku-ngaku pengusaha dan konglomerat, mereka itulah yang seringkali menang dan jaya di lapangan politik-praktis dan panggung kekuasaan. Sedangkan, orang-orang baik yang serba mengalah harus menerima posisinya yang serba terjepit, terpinggirkan, bahkan disingkirkan sebagai togog (orang terbuang). Boleh-boleh saja para ambisius itu menganggap kehidupan orang sederhana (zuhud) sebagai cermin "kegagalan", tetapi gagal dari sudut mana mereka memandangnya? Terkait dengan ini, Buya Syafii pernah mengungkap kata-kata bersayap, "Kalau saja kualitas tidur yang nikmat itu bisa dibeli dengan harga kasur yang paling mahal, mestinya orang-orang kaya dan serakah itulah yang dapat tidur nyenyak di negeri ini."  


Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Jawilan, Serang, Banten. 

Sumber: https://www.nu.or.id/opini/spiritualitas-buya-syafii-maarif-cPg3X

Buya Syafii dalam Kenangan: Membumikan Pancasila

KOMPASTV - Pada Jumat 27 Mei 2022, cendekiawan muslim, tokoh panutan sekaligus guru bangsa Prof. Buya Syafii Maarif pergi untuk selamanya. Meski ia sudah tiada, tapi pemikiran Buya Syafii jadi warisan selamanya. Buya Syafii Maarif meninggalkan ‘legacy’ untuk diteruskan kita semua, “Bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan.”


Untuk mengenang Buya Syafii, Rosianna Silalahi berdialog bersama Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU), Prof. Mahfud MD (Menko Polhukam), Abdul Rohim Ghazali (Direktur Eksekutif Maarif Institute), Yenny Wahid (Direktur Wahid Foundation), Jaya Suprana (Budayawan), Erik Taufani Somae (Penulis Buku “Mozaik Keteladanan Buya Syafii Maarif”). 


Simak dalam ROSI Uncut "Buya Syafii dalam Kenangan: Membumikan Pancasila" tayang Kamis, 2 Juni 2022 pukul 20.30 WIB hanya di KompasTV, Independen Terpercaya.


Timestamps: 

00:00:00 Bumper In

00:00:30 Esha Tegar Putra membacakan puisi “Ingatan pada Buya Syafii” diiringi piano oleh budayawan Jaya Suprana

00:06:45 Apa yang harus dilakukan untuk membumikan Pancasila?

00:09:41 Haedar Nashir: "Sila kelima paling terlantar di Pancasila"

00:03:03 Bagaimana cara 'Membumikan Pancasila'?

00:18:00 Buya Syafii mencemaskan keutuhan bangsa dan keutuhan umat Islam

00:22:41 Bagaimana nasib Indonesia ke depan pasca kepergian Gus Dur dan Buya Syafii?

00:27:21 Apakah tokoh bangsa saat ini mampu mempertahankan Indonesia?

00:21:01 Menjaga keutuhan bangsa tugas siapa?

00:25:46 Jaya Suprana: “Indonesia tidak butuh ketinggian hati untuk menjadi bangsa yang besar.”

00:30:25 Jaya Suprana: “Keadilan sosial harus selalu menjadi tujuan hidup berbangsa.”

00:35:06 Yenny Wahid: “Keadilan sosial menjadi harga mati mempertahankan persatuan.”

00:39:50 Apa pesan Buya Syafii soal politik identitas?

00:44:31 Bagaimana kecemasan soal konvoi khilafah?

00:49:11 Pesan Buya Syafii kepada Haedar Nashir menjelang wafatnya 

00:53:51 Mahfud MD: “Mari mencari titik temu untuk memajukan Bangsa Indonesia.”

00:58:21 Yahya Staquf: “Harus ada strategi konkret untuk mencegah pembelahan Bangsa Indonesia”

01:00:02 Mengapa orang bisa salah paham dengan pemikiran Buya Syafii?

01:06:14 Erik: "Buya selalu mendorong anak muda untuk menulis.”

01:11:12 Dekat dengan kekuasaan, apakah membuat Buya tidak kritis? 

01:13:18 Haedar: “Buya tidak pernah marah meski dikritik orang yang lebih muda”

01:15:20 Benarkah Buya pernah menolak jabatan sebagai Komisaris BUMN? 

01:20:50 Bagaimana menghidupi energi positif Buya Syafii? 

01:24:12 Yenny: “Mau dekat dengan pengusaha maupun penguasa, gaya hidup Buya tidak berubah.” 

Buya Syafii Maarif Berpulang, Muhammadiyah dan Bangsa Indonesia Berduka. May 27, 2022  Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir didampingi Direktur PKU Muhammadiyah Gamping dr. Ahmad Faesol menyampaikan beruta duka atas wafatnya Buya Syafii Maarif

Streamed live on May 27, 2022  Takziah Virtual  Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

 Streamed live on May 28, 2022, Takziah Virtual #2 | Pimpinan Pusat Muhammadiyah Untuk Buya Syafii Maarif

Streamed live on May 29, 2022, Takziah Virtual #3 | Pimpinan Pusat Muhammadiyah Untuk Buya Syafii Maarif

BREAKING NEWS Kompas TV - Buya Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Meninggal Dunia

BREAKING NEWSTribun Network: Buya Syafii Maarif Meninggal Dunia Setelah Dirawat di RS PKU Muhammadiyah Gamping

Detik-detik Proses Pemakaman Buya Syafii Maarif di Kulonprogo | Kabar Petang Pilihan tvOne

Selamat Jalan Buya Syafii Maarif, Sang Guru Bangsa

Pesan Terakhir Buya Syafii Maarif, Ingatkan Jaga Keutuhan Bangsa, Umat Islam dan Muhammadiyah

Memoar Buya Syafi'i Ma'arif, Penjaga Pluralisme Lintas Generasi - Laporan Khusus KompasTV

Selamat Jalan Buya Syafii Maarif, Sang Guru Bangsa

Persahabatan Buya Syafii Maarif dengan Amien Rais | Kabar Petang tvOne

Mengenang Buya Syafii, Ulil: Dianggap Dekat Jokowi, Tapi Tak Segan Kritik Pemerintah

Jejak Rekam Sang Guru Bangsa - Ahmad Syafii Maarif

Hubungi Kami

Kantor Advokat dan Konsultan Hukum

Himawan Dwiatmodjo & Rekan

Jl. Rawa Kuning, Pulogebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia


Email: lawyerhdp@gmail.com

Telepon/Pesan Teks: +62895-4032-43447