HUKUM PERSAINGAN USAHA X

HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS



By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

X. Pengawasan Dan Penegakan Kemitraan UMKM & Pelaku Usaha Besar

Pada tahun 2008 diundangkan Undang-Undang No. 20 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU No. 20 Tahun 2008). Tujuan dikeluarkannya UU ini adalah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).508 Walaupun UMKM telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun ternyata masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala baik internal maupun eksternal dalam berbagai hal, misalnya, berkaitan dengan produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, permodalan, serta iklim usaha, dan lain sebagainya. Usaha pemerintah seperti ditetapkannya kebijakan tentang pencadangan usaha, pendanaan, dan pengembangannya ternyata belum optimal dan belum dapat memberikan perlindungan, kepastian berusaha, dan fasilitas yang memadai untuk pemberdayaan UMKM. Oleh karena itu, UMKM perlu diperdayakan dengan cara penumbuhan iklim usaha yang mendukung pengembangan UMKM dan pengembangan dan pembinaan UMKM. Pemberdayaan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat secara menyeluruh, sinergis, dan berkesinambungan.509

Menurut Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2008, tujuan pemberdayaan UMKM adalah untuk:

“a. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;

b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri (menumbuhkan iklim usaha); dan

c. meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan“.


Untuk menumbuhkan iklim usaha UMKM, pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan.

Menurut Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2008, dalam kemitraan diharapkan terjadi kemitraan antar UMKM, antara UMKM dan usaha besar, hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antar UMKM, hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antara UMKM dan usaha besar, dan terbentuk struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen. Selain itu, dalam kemitraan, harus ada usaha untuk mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan UMKM.

Kemitraan antar UMKM dan kemitraan antara UMKM dengan usaha besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.511 Adapun pola-pola kemitraan adalah: inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, dan bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).

Dalam UU No. 20 Tahun 2008, dalam kemitraan, usaha besar diwajibkan untuk membina dan mengembangkan UMKM, memberikan dukungan kepada UMKM, memberikan kesempatan dan mendahulukan UMKM yang memiliki kemampuan, dan lain sebagainya. Di samping itu, dalam pelaksanaan kemitraan, para pelaku usaha yang terlibat dilarang melanggar hukum persaingan. Pasal 35 menyatakan usaha besar dilarang memiliki dan/atau menguasai UMKM sebagai mitra usahanya. Begitu juga usaha menengah dilarang melakukan hal yang sama.

Agar kemitraan sebagaimana tersebut di atas tidak melanggar hukum persaingan, maka kemitraan harus diawasi. Pasal 36 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2008 secara tidak langsung menunjuk KPPU untuk melakukan pengawasan.

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP No. 17 Tahun 2013) dalam Pasal 31 ayat  (1) secara tegas menunjuk KPPU sebagai pengawas agar pelaksanaan kemitraan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemitraan, yakni saling membutuhkan, saling mempercayai, saling memperkuat dan saling menguntungkan, dan juga menjunjung tinggi etika bisnis yang sehat. Pasal 31 ayat (3) PP No. 17 Tahun 2013 memberikan wewenang kepada KPPU untuk mengeluarkan peraturan guna mengatur tentang tata cara pengawasan kemitraan. Pasal 32 – 35 PP ini juga mempertegas wewenang kepada KPPU untuk menangani perkara pelanggaran hukum persaingan dalam pelaksanaan kemitraan.

Sejauh ini, KPPU telah melakukan sosialisasi di beberapa daerah tentang tugas pengawasan pelaksanaan kemitraan ini. Bahkan KPPU mengajak masyarakat agar ikut membantu mengawasi gerak-gerik pelaku usaha besar agar tidak melakukan eksploitasi terhadap pelaku usaha kecil dan mikro dalam kemitraan dan melaporkannya ke KPPU.

Berikut ini akan dibahas implementasi wewenang KPPU tersebut dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan kemitraan. Namun, perlu dicatat, bahwa sampai dengan dibuatnya tulisan ini, belum pernah ada perkara pelanggaran hukum persaingan usaha dalam pelaksanaan kemitraan.


CAKUPAN DAN PELAKSANAAN PENGAWASAN KEMITRAAN

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2008 dan PP No. 17 Tahun 2013 tersebut di atas, KPPU telah mengeluarkan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2015 (Perkom 1 Tahun 2015) tentang Tata Cara Pengawasan Kemitraan dan Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Pelaksanaan Kemitraan (Perkom No. 3 Tahun 2015).

KPPU telah melakukan sosialisasi di beberapa daerah tentang arti penting dan tujuan pengawasan KPPU terhadap pelaksanaan kemitraan.517 Tujuan pengawasan kemitraan adalah untuk melindungi struktur pasar dari adanya pemusatan ekonomi oleh kelompok usaha tertentu melalui pemilikan dan penguasaan mitra usaha. Di samping itu juga mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen. Pengawasan juga bertujuan untuk mengembangkan kerja sama untuk meningkatkan posisi tawar UMKM. Selain itu juga sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perilaku eksploitasi atau penyalahgunaan posisi tawar (abuse of bargaining position) sehingga kemampuan UMKM dalam bersaing menjadi menurun (disadvantage compare to its competitor), dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pihak lain (UMKM) yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi tingkat persaingan di pasar produk (pesaing).

Dalam Pasal 3 Perkom No. 1 Tahun 2015 ditegaskan kembali larangan “penguasaan” usaha besar dan usaha menengah terhadap UMKM. Pasal 3 menjelaskan pengertian “penguasaan” tersebut, yakni, memiliki sebagian besar atau seluruh saham, modal, atau aset UMKM, atau menguasai pengambilan keputusan terhadap UMKM yang jadi mitranya. Ditegaskan pula bahwa penguasaan pengambilan keputusan merupakan bentuk pengendalian terhadap UMKM. Pengendalian bisa dilakukan secara tidak langsung melalui pemilikan dan/atau penguasaan saham, modal atau aset, hak suara, perjanjian kemitraan dan syarat-syarat perdagangan.

Pasal 6 Perkom No. 1 Tahun 2015 menentukan cakupan pengawasan KPPU dalam pelaksanaan kemitraan, yakni kemitraan yang dilakukan melalui pola-pola: inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan, penyumberluaran (outsourcing), dan lain sebagainya. Pasal 8 – 28 Perkom No. 1 Tahun 2015 mendefinisikan berbagai pola kemitraan. Intinya, KPPU mengawasi agar pola-pola kemitraan tersebut dilaksanaan sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Inisiatif pengawasan pelaksanaan kemitraan tidak hanya berasal dari KPPU, tetapi juga dapat berasal dari kementerian dan instansi teknis, media massa, masyarakat, dan/atau sumber lain. Sayang, sampai dengan dituliskan artikel ini, belum pernah ada inisiatif dari mana pun untuk dilakukannya pengawasan pelaksanaan kemitraan oleh KPPU.

Dalam rangka pembuatan setiap bentuk kemitraan, para pihak harus membuat perjanjian kemitraan. Perjanjian ini harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 29 dan 30 Perkom No. 1 Tahun 2015. Intinya, perjanjian tersebut harus dibuat dalam bahasa Indonesia, namun, apabila salah satu pihak adalah orang asing, maka dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing. Perjanjian kemitraan harus memenuhi prinsip kemandirian UMKM dan tidak menciptakan ketergantungan UMKM terhadap usaha besar. Perjanjian kemitraan harus memuat: kegiatan usaha, hak dan kewajiban para pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu dan penyelesaian sengketa. Di samping itu, perjanjian kemitraan harus dilaporkan kepada instansi teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada intinya, ada 2 (dua) hal yang harus ditemukan dalam pengawasan KPPU. Pertama, apakah terjadi penguasaan oleh usaha besar atau usaha menengah terhadap UMKM atau tidak. Kedua, apakah perjanjian dan/atau perjanjian kemitraan serta syarat-syarat perdagangan yang dibuat sudah memenuhi syarat-syarat tertentu.

 

Objek Pengawasan

Untuk menentukan ada tidaknya penguasaan usaha besar dan usaha menengah terhadap UMKM, KPPU dapat melihat pemilikan dan/atau penguasaan seluruh atau sebagian besar saham, modal atau aset, hak suara, perjanjian dan/atau perjanjian kemitraan, dan syarat-syarat perdagangan. KPPU dapat melihat apakah terjadi akuisisi terhadap UMKM atau apakah terjadi pendirian perusahaan baru.

Dalam pengawasan terhadap perjanjian dan/atau perjanjian kemitraan serta syarat-syarat perdagangan, KPPU akan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: prinsip kemitraan, etika bisnis sehat, apakah perjanjian-perjanjian dan syarat-syarat perdagangan tersebut bertentangan dengan prinsip dasar kemandirian UMKM, apakah perjanjian-perjanjian dan syarat-syarat perdagangan tersebut menciptakan ketergantungan UMKM terhadap usaha besar, apakah perjanjian- perjanjian dan syarat-syarat perdagangan tersebut merugikan salah satu pihak, apakah kedudukan hukum para pihak yang setara, dan apakah perjanjian-perjanjian dan syarat-syarat perdagangan tersebut menciptakan penguasaan atau kepemilikan modal, saham, atau aset mitra usahanya. Apabila setelah dianilis memang terdapat pelanggaran, maka hasil pengawasan KPPU akhirnya ditindaklanjuti menjadi perkara inisiatif.


TATA CARA PENGAWASAN KEMITRAAN

Untuk memulai pengawasan kemitraan, KPPU membentuk Unit Kerja yang diberi tugas untuk menjalankan pengawasan pelaksanaan kemitraan. Kemudian Unit Kerja ini membentuk Tim Pengawasan Pelaksanan Kemitraan (TPPK). TPPK dapat melibatkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dan/atau kementerian teknis/lembaga pemerintah nonkementerian terkait. 

Kemudian, TPPK bertugas mencari data dan/atau informasi berkaitan dengan kemungkinan pelanggaran prinsip kemitraan dan etika bisnis yang sehat dalam pelaksanaan kemitraan. Dalam melaksanakan tugas ini, TPPK mempunyai beberapa wewenang, misalnya melakukan monitoring terhadap hubungan kemitraan yang dilakukan UMKM dan usaha besar, melakukan wawancara, melakukan pertemuan, meminta data dan informasi serta laporan dari UMKM dan usaha besar, meminta keterangan dari pemerintah, melakukan analisis hasil pengawasan, membuat laporan hasil pengawasan, dan melaporkan hasil pengawasan dalam Rapat Komisi KPPU, dan wewenang- wewenang lain yang diatur dalam Pasal 34 Perkom No.1 Tahun 2015.


Pengawasan -> Penegakan hukum


Setelah TPPK selesai melakukan pengawasan, TPPK melaporkan dalam Rapat Komisi KPPU. Kemudian KPPU bisa memberikan rekomendasi yang berupa: pembinaan, pendaftaran perjanjian kemitraan dan pencabutan izin usaha oleh instansi yang berwenang, saran atau pertimbangan, dan/ atau tindak lanjut perkara inisiatif sesuai dengan Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Pelaksanaan Kemitraan (Perkom No. 3 Tahun 2015).


TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN

Menurut Pasal 2 Perkom No. 2 Tahun 2015, ada 2 (dua) macam penanganan perkara pelaksanaan kemitraan, yakni penanganan perkara berdasarkan laporan tertulis dari setiap orang atau pelaku usaha, dan penanganan perkara berdasarkan inisiatif dari KPPU sendiri. Apabila berdasarkan laporan, maka penanganan perkara dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:

Penanangan perkara berdasarkan inisiatif KPPU dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:

a. Kegiatan inisiatif,

b. Penyelidikan,

c. Pemberkasan, dan

d. Sidang Majelis Komisi.


Diawali dengan Rapat Komisi untuk menentukan tahapan penanganan perkara. Dalam hal ini Rapat Komisi berwenang untuk menghentikan atau memperpanjang jangka waktu penyelidikan, menetapkan pemeriksaan pendahuluan, menetapkan status terlapor, perjanjian dan/atau kegiatan serta ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 yang diduga dilanggar terlapor, menetapkan monitoring pelaksanaan peringatan tertulis, menetapkan pemeriksaan lanjutan, menetapkan musyawarah majelis komisi, dan menetapkan pemeriksaan tambahan.

Setelah itu, ketua KPPU akan melaksanakan keputusan Rapat Komisi tersebut. Untuk itu ketua mempunyai beberapa wewenang, antara lain: menerbitkan keputusan KPPU terkait dengan wewenang-wewenang Rapat Komisi tersebut di atas, menerbitkan surat peringatan tertulis pertama, kedua dan ketiga, membentuk tim monitoring pelaksanaan peringatan tertulis, meminta bantuan Kepolisian Negara untuk melakukan pengawalan dan pengamanan dalam proses penyelidikan dan/ atau pemeriksaaan apabila terlapor dan saksi yang dipanggil dan diperiksa menolak dipanggil atau menolak diperiksa, menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan, dan lain sebagainya. Ketua KPPU juga berwenang untuk berkoordinasi dengan Kepolisian apabila ditemukan tindak pidana dalam proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan, terlapor tidak melaksanakan putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap, dan lain sebagainya.

Ketua KPPU kemudian menugaskan majelis komisi untuk menangani perkara. Majelis komisi mempunyai tugas melakukan pemeriksaan pendahuluan, membuat dan melaporkan hasil pemeriksaan pendahuluan kepada Rapat Komisi, melaksanakan pemeriksaan lanjutan, melakukan musyawarah majelis komisi untuk menilai, menyimpulkan dan memutuskan ada tidaknya pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999, dan menyusun, menandatangi dan membacakan putusan KPPU. Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka majelis komisi mempunyai beberapa wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Perkom No. 3 Tahun 2015.

Perkom No. 3 Tahun 2015 mengatur juga hak dan kewajiban para pihak yang terlibat. Misalnya, Terlapor mempunyai hak untuk mendapatkan due process of law. Terlapor selain mempunyai kewajiban-kewajiban, juga berhak untuk memperoleh pemberitahuan yang layak dalam semua tahapan penanganan perkara, mendapatkan peringatan tertulis, memberikan tanggapan dan/ atau pembelaan, mendapatkan salinan Putusan KPPU dan mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU ke Pengadilan Negeri. Perkom No. 3 Tahun 2015 juga mengatur hak dan kewajiban saksi dan ahli dan penerjemah tersumpah.

Perkom No. 3 Tahun 2015 juga mengatur tugas dan wewenang investigator penyidik, investigator penuntut dan panitera, alat bukti yang bisa dipakai dalam penanganan perkara, syarat-syarat saksi dan ahli.

Berdasarkan Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 PP No. 17 Tahun 2013, tata cara penanganan perkara pelaksanaan kemitraan adalah sebagai berikut:


Kemudian Pasal 35 PP No. 17 Tahun 2013 menugaskan KPPU untuk mengatur lebih lanjut tata cara tersebut, maka diterbitkanlah Perkom No. 3 Tahun 2015. Adapun proses penanganan perkara pelaksanaan kemitraan menurut Perkom No. 3 Tahun 2015 adalah sebagai berikut:


Putusan KPPU diambil dalam musyawarah majelis komisi dengan cara musyawarah atau voting. Dalam pengambilan putusan KPPU, diperbolehkan dissenting opinion, yang dibuat secara tertulis dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan KPPU. Majelis komisi wajib membacakan putusan KPPU dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Petikan putusan KPPU harus disampaikan kepada terlapor paling lambat 14 hari setelah putusan tersebut diambil. Terlapor selanjutnya diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan ke PN dalam waktu maksimal 14 hari setelah diterimanya petikan putusan KPPU atau setelah Putusan KPPU diunggah di situsnya. Kemudian, pihak yang keberatan terhadap putusan PN boleh mengajukan kasasi ke MA dalam waktu 14 hari setelah putusan PN tersebut dikeluarkan. Tata cara pengajuan upaya keberatan dan kasasi mengacu kepada Peraturan MA yang berlaku.

Apabila terlapor tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang ditentukan tersebut di atas, maka putusan KPPU menjadi berkekuatan hukum tetap dan terlapor wajib melaksanakannya.536 Dalam hal ini, ketua KPPU harus mengajukan Permohonan Penetapan Eksekusi Putusan KPPU kepada PN tempat kedudukan hukum Terlapor.537 Apabila terlapor tidak melaksanakan putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap, maka ketua KPPU akan berkoordinasi dengan Kepolisian RI untuk dapat dilakukan tindakan tertentu. Akibat dari tidak dilaksanakannya putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap adalah terlapor dapat dituntut secara pidana.

Menurut Pasal 32 ayat (1) dan 34 ayat (1) PP No. 17 Tahun 2013, dan sesuai dengan Pasal 36 dan 47 UU No. 5 Tahun 1999, KPPU dapat menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang terbukti telah melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Sanksi administrasi tersebut bisa berupa pencabutan izin usaha, pembatalan perjanjian kemitraan, dan/atau denda administratif minimal 1 (satu) milyar dan maksimal 25 (dua puluh lima) milyar rupiah.