PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE
KULIAH HUKUM SIBER
KULIAH HUKUM SIBER
HIMAWAN DWIATMODJO, S.H., LL.M.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah mengatur mengenai pengertian perlindungan konsumen yakni terdapat di pasal 1 angka 1 yang berbunyi Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.
Pengertian perlindungan Konsumen terdapat dalam pasal tersebut, dirasa cukup memadai. Kalimat yang menyatakan ―segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum‖, menjadi harapan untuk dapat meniadakan tindakan sewenang-wenang yang justru dapat merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen (Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 1).
Kepastian hukum dilakukan guna melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus tersendiri, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak dapat bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan dibentuknya Undang- undang perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang sama serta berimbang, mereka pun bisa menggugat maupun menuntut jika suatu saat ternyata hak-hak konsumen telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Berbicara mengenai konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah mencantumkan pengertian konsumen yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus diberikan perlindungan oleh hukum.
Prinsip kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha antara lain prinsip let the buyer beware, kedudukan pelaku usaha berada di posisi seimbang dengan konsumen. Prinsip the due care theory, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan suatu produk, baik berupa barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Prinsip the privity of contract pelaku usaha mempunyai kewajiban melindungi konsumen, namun hal tersebut dilakukan bila diantara mereka terjadi suatu hubungan kontraktual.
Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen adalah suatu bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa Konsumen dalam pergaulan hidup.
Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk terus dikembangkan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam kaitan dengan semakin berkembangnya transaksi perdagangan di era serba modern saat ini. Perhatian mengenai perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia namun telah menjadi perhatian dunia.
Hukum Perlindungan Konsumen secara umum bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi konsumen baik dalam bidang hukum privat maupun bidang hukum publik. Kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, perlindungan konsumen adalah ―Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan hukum kepada konsumen‖ Kalimat yang menyatakan ―segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum‖, diharapkan menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Berdasarkan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang atau jasa dari adanya kemungkinan kerugian, maka. Hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan terhadap konsumen sebagai pemenuhan kebutuhannya terhadap konsumen Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara untuk mempertahankan hak dan kewajiban itu (Janus Sidabolok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 45). Dalam berbagai litelatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Az. Nasution berpendapat bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari konsumen. Hukum Konsumen menurutnya adalah ―Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.
Makna dari kata ―keseluruhanbermaksud untuk menggambarkan bahwa didalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk didalamnya, baik aturan hukum pidana, perdata, administrasi negara hingga aturan hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah ‖hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya‖, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : hak atas informasi yang diterima, memilih harga, hingga akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tidak lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.
Pada dasarnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
Asas hukum menurut Paul Scholten adalah kecenderungan yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis terhadap hukum. Begitu pula menurut H.J. Hommes, asas hukum bukanlah norma hukum yang konkrit, melainkan sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Sepakat dengan pendapat tersebut, menurut Satjipto Rahardjo asas hukum mengandung tuntutan etis, merupakan jembatan antara peraturan dan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat (Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, 2007, hlm. 36). Terdapat lima asas penting yang diatur dalam Undang-undang perlindungan konsumen Pasal 2 UUPK dan dijabarkan lebih lanjut dalam penjelasan atas pasal 2 UUPK , yaitu:
Asas manfaat;
Asas keadilan;
Asas keseimbangan;
Asas keamanan dan keselamatan;
Asas kepastian hukum.
Asas manfaat dimaksudkan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat bagi kepentingan konsumen serta pelaku usaha secara keseluruhan. Artinya asas ini mengharapkan bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen tidak bermaksud untuk menempatkan salah satu pihak konsumen maupun pelaku usaha diatas pihak lainnya atau sebaliknya, tetapi untuk memberikan kepada para pihak yakni, pelaku usaha dan konsumen, tentang hak apa saja yang diperoleh kedua pihak. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi atau keterlibatan seluruh rakyat dapat diwujudkan semaksimal mungkin dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen indonesia, konsumen dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban yang berimbang. Karena itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha (produsen).
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah mampu memperoleh manfaat yang sama imbangnya sesuai hak dan kewajibannya.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini mengharapkan bahwa adanya jaminan hukum terhadap konsumen yang akan mendapatkan berbagai macam manfaat dari produk yang dipakai atau dikonsumsi oleh konsumen, begitu pula sebaliknya produk yang dipakai atau dikonsumsi tidak akan mengancam keselamatan harta bendanya.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya asas ini mengharapkan aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terdapat di undang-undang perlindungan konsumen harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak mendapatkan keadilan.
Guna menjamin terlaksananya undang-undang ini setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen harus mengikuti dan mengacu mengacu dan mengikuti kelima asas tersebut, karena dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Berdasarkan isi Pasal 2 UUPK, terlihat bahwa rumusannya merujuk pada filosofi pembangunan nasional yakni pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan falsafah NKRI. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu :
Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
Asas keadilan yang didalamnya Meliputi asas keseimbangan;
Asas kepastian hukum.
Menurut Radbruch Friedman menerangkan ketiga macam asas tersebut yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai ―tiga ide dasar hukum‖ atau ―tiga nilai dasar hukum‖, artinya dapat disamakan dengan asas hukum. Dari ketiga macam asas yang disebutkan sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judget as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.48
Sebagai asas hukum, secara langsung menempatkan asas ini menjadi awal rujukan, baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum oleh banyak ahli hukum disebut juga sebagai tujuan hukum. Permasalahannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch Friedman maupun Achmad Ali mengemukakan adanya kesulitan untuk mewujudkannya secara bersamaan. Achmad Ali berpendapat, bila dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Pada kenyataannya tujuan yang satu dan tujuan lainnya sering berbenturan satu sama lain. Sebagai contoh, dalam suatu kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya - adil menurut pandangannya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.
Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK telah dijelaskan mengenai tujuan konsumen, yakni :
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Tujuan dari perlindungan konsumen tersebut seakan-akan disusun secara bertahap, mulai dari kesadaran hingga pemberdayaaan kualitas barang atau jasa. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan perlindungan konsumen tidak harus melalui tahapan-tahapan berdasarkan susunan dalam pasal 3 UUPK tersebut. Namun melihat pada urgensinya. Sebagai contoh, tujuan yang tercantum dalam nomor enam yakni, tujuan untuk meningkatkan kualitas barang atau jasa, untuk mencapainya tidak harus menunggu tujuan yang tercantum dalam nomor pertama tercapai terlebih dahulu. Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan konsumen dilakukan secara simultan atau serempak.
E-Commerce atau Electronic Commerce juga biasa diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai -perdagangan elektronik‖ adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembelian, penjualan, pemasaran barang atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik seperti internet atau jaringan komputer. E-commerce juga melibatkan aktivitas yang berkaitan dengan proses transaksi elektronik seperti transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, data persediaan sistem pengolahan dilakukan oleh sistem komputer atau jaringan komputer, dan lain sebagainya.
Kegiatan perdagangan di masyarakat telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor salah satunya dengan berkembangnya teknologi yang berbasis internet yang dikenal dengan nama E-commerce. Perkembangan E-commerce tidak terlepas dari laju pertumbuhan dunia maya/internet karena E-commerce berjalan melalui jaringan internet. Pertumbuhan pengguna internet yang sedemikian pesatnya merupakan suatu kenyataan yang membuat internet menjadi media yang efektif baik untuk perseorangan maupun perusahaan untuk mempromosikan atau menjual barang dan atau jasa kepada konsumen yang berada diseluruh dunia. E-Commerce merupakan jenis bisnis modern yang tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik (non-fice) dan tidak memakai tanda tangan asli (non-sign).
Sebagai suatu perdagangan dengan basis teknologi caggih, E- commerce telah mereformasi perdagangan konvensional di mana interaksi antara konsumen dengan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung (face to face) menjadi interaksi tidak langsung. E-commerce telah merubah pandangan bisnis klasik dengan cara menumbuhkan macam-macam cara interaksi antara produsen dan konsumen di dunia maya. Sistem perdagangan yang digunakan dalam E–commerce dirancang guna penandatanganan secara elektronik. Penandatanganan elektronik ini dirancang dimulai dari saat proses jual-beli, pemeriksaan hingga pengiriman. Oleh karena itu ketersediaan informasi yang benar dan akurat mengenai konsumen dengan perusahaan dalam E-commerce merupakan suatu persyaratan mutlak. Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan melalui internet diwujudkan dalam bentuk pengaduan/ komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang dikonsumsinya.
E-commerce dapat diartikan sebagai segala bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang atau jasa (trade of goods and services) dengan menggunakan media elektronik. Adapun ruang lingkup E-commerce meliputi tiga sisi yakni segmentasi bisnis ke bisnis, bisnis ke konsumen dan konsumen ke konsumen.
UUPK belum dapat melindungi konsumen dalam transaksi E- commerce karena ketentuan–ketentuan yang tercantum dalam UUPK belum mengakomodir hak–hak konsumen dalam transaksi E-commerce. Hal ini dikarenakan E-commerce memiliki ciri khas/karakteristik tersendiri dibandingkan dengan transaksi konvensional. Karakteristik tersebut adalah : tidak bertemunya penjual dan pembeli, media yang digunakan adalah internet, transaksi dapat terjadi melintasi batas–batas yuridis suatu negara, barang yang diperjualbelikan dapat berupa barang/jasa atau produk digital seperti software. Dalam hukum positif Indonesia, hak-hak konsumen diakomodir dalam Pasal 4 UUPK yang terdiri dari. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang maupun jasa. Hak untuk memilih barang maupun jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang maupun jasa. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Mengenai transaksi E-commerce terutama dalam pemenuhan hak– hak konsumen sangat riskan sekali untuk dilanggar, dalam hal ini konsumen tidak mendapatkan hak–haknya secara penuh dalam transaksi E-commerce. Hak–hak tersebut antara lain hak atas kenyamanan, hak atas informasi, hak untuk didengar pendapat, serta hak untuk mendapatkan advokasi.
Beraneka ragam kasus yang muncul berkenaan dengan tumbuh kembangnya metode-metode transaksi secara elektronik terutama faktor keamanan dalam E-commerce tentunya sangat merugikan konsumen. Padahal dengan adanya jaminan dalam transaksi E- commerce ini sangat diperlukan untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan konsumen. Dengan tidak diperhatikannya jaminan keamanan dikhawatirkan akan mengakibatkan pergeseran substansi yang terkandung dalam transaksi E-commerce menuju ke arah ketidakpastian yang akan menghambat perkembangan E-commerce.
Apabila diperhatikan, hak–hak konsumen yang secara normatif diatur oleh UUPK seakan-akan terbatas pada kegiatan perdagangan yang bersifat konvensional. Di sisi lain perlindungan difokuskan hanya pada posisi konsumen serta posisi produk yang diperdagangkan sedangkan perlindungan dari posisi pelaku usaha seperti informasi- informasi umum mengenai identitas perusahaan pelaku usaha dan jaminan kerahasiaan data-data milik konsumen belum diakomodir oleh UUPK, padahal hak–hak tersebut sangat penting untuk diatur untuk keamanan konsumen dalam bertransaksi
Kuliah online
Aspek Hukum Perlindungan Konsumen E-Commerce #HukumTelematika, Yasser Arafat UBT
Layanan E-Commerce: Problematika Transaksi dan Perlindungan Konsumen
Keabsahan perjanjian dan masalah perlindungan konsumen di era digital bersama prof. Johannes gunawan
"Tinjauan Kritis atas Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce Perspektif Hukum Indonesia"
Kewajiban E-Commerce Menyajikan Informasi Halal Untuk Perlindungan Dan Kenyamanan Konsumen
Webinar - HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM BELANJA ONLINE - Bagian 1
Masih perlu didiskusikan?
Apa itu Perlindungan Konsumen?
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.[1] Perlindungan konsumen dilakukan agar masyarakat tidak mengkonsumsi atau menggunakan produk barang dan atau jasa yang dapat membahayakan keselamatan, kesehatan, dan sebagainya.[2]
Adapun cakupan perlindungan konsumen dapat dibagi menjadi dua aspek, antara lain:[3]
perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati dengan konsumen; dan
perlindungan terhadap konsumen yang mendapatkan perlakuan syarat-syarat yang tidak adil.
Asas Perlindungan Konsumen dan Hak Dasar Konsumen
Kemudian, menjawab pertanyaan kedua Anda, asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, sebagai berikut:
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Selanjutnya, perlindungan hukum bagi konsumen pada dasarnya merupakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Dengan demikian, terdapat tiga hak dasar dalam melindungi konsumen, yaitu:[4]
hak untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik dari kerugian personal dan kerugian harta kekayaan;
hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar; dan
hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Dari hak dasar tersebut, jika konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak konsumen harus dipenuhi oleh negara maupun pelaku usaha, karena pemenuhan hak tersebut akan melindungi konsumen dari kerugian berbagai aspek.[5]
Dengan demikian, pengertian hukum perlindungan konsumen sendiri adalah keseluruhan asas dan kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.[6] Hukum perlindungan konsumen juga merupakan keseluruhan peraturan perundang-undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya, serta putusan hakim yang substansinya mengatur kepentingan konsumen.[7]
Tujuan Perlindungan Konsumen
Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai tujuan perlindungan konsumen, menurut Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen disebutkan perlindungan konsumen bertujuan:
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
menciptakan sistem perlindungan konsumen dengan unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi dan akses untuk mendapatkan informasi tersebut.
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Lebih lanjut, dalam rangka mewujudkan tujuan perlindungan hukum bagi konsumen, negara memiliki tanggung jawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum. Pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum dapat dilakukan dengan upaya menciptakan iklim usaha yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, mengembangkan lembaga perlindungan hukum bagi konsumen, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk dalam kegiatan penelitian.[8]
Guidelines for Consumer Protection
Sebagai informasi, pada dasarnya, United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) mengeluarkan Guidelines for Consumer Protection, yakni sebuah pedoman yang mengatur prinsip utama konsumen yang efektif, undang-undang perlindungan konsumen, lembaga penegakan dan sistem ganti rugi. Pedoman ini juga membantu negara anggota untuk merumuskan dan menegakkan hukum, peraturan dan regulasi domestik dan regional sesuai dengan keadaan ekonomi, sosial dan lingkungan negara tersebut. Negara anggota juga akan membantu mempromosikan kerjasama internasional di sesama negara anggota, juga berbagi pengalaman dalam hal perlindungan konsumen.[9]
Di Indonesia, sejak adanya UU Perlindungan Konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen yang selama ini dianggap kurang diperhatikan dapat menjadi salah satu prioritas negara. Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah guna meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, selain itu secara tidak langsung dapat mendorong rasa tanggung jawab pelaku usaha ketika menyelenggarakan kegiatan usahanya.[11]
Kesimpulannya, konsumen seringkali berada dalam posisi yang lemah, sehingga sejak adanya UU Perlindungan Konsumen, diharapkan upaya perlindungan konsumen yang selama ini dianggap kurang diperhatikan menjadi lebih diperhatikan. Karena, pada dasarnya setiap warga negara berhak atas perlindungan hukum, salah satunya perlindungan terhadap konsumen. Selain itu, PBB juga telah mengeluarkan pedoman yang mengatur prinsip utama konsumen, undang-undang perlindungan konsumen, dan membantu negara anggota untuk merumuskan dan menegakkan hukum, peraturan dan regulasi domestik mengenai perlindungan konsumen.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Referensi:
Abdul Halim Barkatullah. Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2016;
Wiwik Sri Widiarty. Hukum Perlindungan Konsumen. Depok: PT Komodo Books, 2016;
Yapiter Marpi. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce. Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020;
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013;
Guidelines for Consumer Protection, yang diakses pada 2 Agustus 2024, pukul 14.00 WIB.
[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[2] Wiwik Sri Widiarty. Hukum Perlindungan Konsumen. Depok: PT Komodo Books, 2016, hal. 9-10
[3] Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 22
[4] Abdul Halim Barkatullah. Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 15
[5] Abdul Halim Barkatullah. Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 15
[6] Yapiter Marpi. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce. Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020, hal. 103-104
[7] Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 24
[8] Abdul Halim Barkatullah. Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 17
[9] Pendahuluan Guidelines for Consumer Protection
[10] Pasal 11 huruf a, b, c Guidelines for Consumer Protection
[11] Abdul Halim Barkatullah. Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 23
Asas Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama yang didasari oleh 5 (lima) asas,[1] dan asas hukum perlindungan konsumen tersebut dicantumkan dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen yakni:
Manfaat;
Keadilan;
Keseimbangan;
Keamanan dan keselamatan konsumen; dan
Kepastian hukum.
Lebih lanjut, berikut penjelasan asas-asas hukum perlindungan konsumen tersebut di atas:
Asas manfaat, yakni untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.[2]
Asas keadilan, memiliki maksud agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan dengan maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen serta pelaku usaha untuk memperoleh haknya, juga melaksanakan kewajibannya secara adil.[3] Asas keadilan juga menghendaki bahwa melalui peraturan hukum perlindungan konsumen, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban. Maka dari itu, UU Perlindungan Konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen dan juga pelaku usaha.[4]
Asas keseimbangan merupakan asas guna memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.[5] Artinya, kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[6]
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang serta jasa yang digunakan.[7] Artinya terdapat jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dipakai, dan produk tidak akan mengancam keselamatan konsumen.[8]
Asas kepastian hukum, yakni bertujuan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum konsumen. Kemudian, negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.[9]
Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen
Selain asas yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen, terdapat beberapa prinsip perlindungan konsumen, antara lain:
Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence);
Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty);
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability).
Berikut adalah penjelasan masing-masing prinsip tanggung jawab di atas:
Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence)
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian merupakan prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, artinya tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen.[10] Berdasarkan prinsip ini, kelalaian produsen yang membawa akibat pada kerugian yang dirasakan konsumen adalah faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan gugatan ganti rugi pada produsen.[11]
Prinsip ini dibagi menjadi:
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan dengan persyaratan hubungan kontrak, yaitu teori tanggung jawab yang paling merugikan konsumen. Gugatan konsumen hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi unsur kelalaian dan kesalahan dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.[12]
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan dengan beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Dalam prinsip ini terdapat 3 (tiga) pengecualian terhadap hubungan kontrak, pertama, pengecualian berdasarkan alasan karakter produk membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen. Kedua, pengecualian berdasarkan konsep implied invitation di mana tawaran produk pada pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan hukum. Ketiga, jika produk membahayakan konsumen, kelalaian produsen untuk memberitahu kondisi produk saat penyerahan barang dapat melahirkan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, walaupun tidak ada hubungan hukum antara produsen dan konsumen.[13]
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan tanpa persyaratan hubungan kontrak. Prinsip ini memiliki filosofi di mana pelaku usaha yang menjual produk berbahaya, bertanggung jawab bukan karena atau berdasarkan kontrak, melainkan karena ancaman yang dapat diperhitungkan jika tidak melakukan upaya untuk mencegah kerugian konsumen.[14]
Prinsip praduga lalai dan prinsip praduga bertanggung jawab dengan pembuktian terbalik. Prinsip ini mengandung arti bahwa dengan adanya beban pembuktian terbalik, kelalaian tidak perlu dibuktikan lagi. Berdasarkan doktrin ini, pembuktian dibebankan kepada pihak tergugat, apakah tergugat lalai atau tidak. Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah.[15]
Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty)
Gugatan berdasarkan breach of warranty dapat diterima walaupun tidak ada hubungan kontrak, namun dengan pertimbangan bahwa dalam praktik bisnis modern, proses distribusi dan iklan langsung ditujukan kepada konsumen melalui media massa. Maka, tidak perlu ada hubungan kontrak yang mengikat antara produsen dan konsumen.[16]
Prinsip ini dibagi menjadi:
Tanggung jawab berdasarkan jaminan produk yang tertulis (express warranty). Express warranty adalah jaminan dalam bentuk kata-kata atau tindakan penjual, artinya pernyataan yang dikemukakan produsen merupakan janji yang mengikat produsen untuk memenuhinya.[17]
Tanggung jawab berdasarkan jaminan produk yang tidak tertulis (implied warranty). Artinya, tanggung jawab dibebankan kepada produsen dan produk yang didistribusikan kepada konsumen sudah memenuhi standar kelayakan.[18]
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability)
Prinsip ini memiliki dasar bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari risiko kerugian yang disebabkan oleh produk cacat, maka dari itu penerapan prinsip ini terhadap produsen memberikan perlindungan bagi konsumen. Karena, tidak dibebani untuk membuktikan kesalahan produsen akibat penggunaan suatu produk.[19]
Kesimpulannya, Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen telah mengatur asas-asas hukum perlindungan konsumen yang terdiri dari asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Namun selain asas yang dikenal dalam undang-undang, terdapat juga beberapa prinsip perlindungan konsumen, yakni prinsip negligence, breach of warranty, dan strict product liability.
Demikian jawaban dari kami tentang prinsip dan asas hukum perlindungan konsumen, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Referensi:
Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016;
Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020;
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
[1] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16
[2] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16
[3] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16
[4] Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020, hal. 118
[5] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16
[6] Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020, hal. 119
[7] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16
[8] Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020, hal. 119
[9] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16
[10] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 83
[11] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 84
[12] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 85
[13] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 87-88
[14] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 105
[15] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106
[16] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 93
[17] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106
[18] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106
[19] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106-107
Apa itu BPSK?
Sebelum membahas mengenai apa yang dimaksud dari BPSK, pada dasarnya, peraturan BPSK dapat merujuk pada ketentuan UU Perlindungan Konsumen atau secara khusus pada atau Permendag 72/2020 tentang BPSK.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000Lihat Semua Kelas
Lantas, apa itu BPSK? Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.[1] Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis yang berjumlah ganjil minimal 3 orang, yang mewakili semua unsur[2] dan dibantu oleh seorang panitera.[3]
Lalu, siapa yang membentuk BPSK? BPSK dibentuk berdasarkan keputusan gubernur sesuai dengan wilayah kerja provinsi, yang terdiri atas wilayah kabupaten/kota.[4] Adapun keanggotaan BPSK terdiri dari unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha.[5]
Tugas dan Kewenangan BPSK
Selanjutnya, BPSK hanya dapat melaksanakan tugas dan wewenang setelah memperoleh Surat Tanda Daftar BPSK, [6] yaitu dokumen yang menyatakan bahwa BPSK telah terdaftar dalam daftar BPSK yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan.[7]
Adapun tugas dan kewenangan BPSK meliputi:[8]
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, arbitrase, atau konsiliasi;
memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen;
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen;
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Perlindungan Konsumen.
Lantas, bagaimana alur penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK?
Alur Penyelesaian Sengketa Konsumen
Terkait dengan alur penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK, kami akan merujuk pada Permendag 17/2007.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa penggugat yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan melalui BPSK terdekat baik secara tertulis maupun lisan.[9] Gugatan juga harus diajukan sendiri oleh penggugat yang mengalami kerugian.[10] Akan tetapi, dalam hal tertentu, gugatan dapat diajukan oleh:[11]
ahli waris, apabila konsumen meninggal dunia, dengan melampirkan keterangan ahli waris;
pemegang kuasa apabila konsumen sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
pemegang kuasa apabila konsumen warga negara asing;
orang tua atau wali apabila konsumen belum dewasa;
pengampu apabila konsumen dinyatakan di bawah pengampuan
Kemudian, terdapat persyaratan pengajuan gugatan yang harus dipenuhi, antara lain:[12]
telah terjadi kerugian material yang dialami penggugat;
diajukan oleh konsumen akhir;
gugatan tidak sedang dalam proses penyelesaian oleh BPSK lain dan/atau pengadilan yang dituangkan dalam pernyataan oleh penggugat;
gugatan belum pernah diputus oleh BPSK lain dan/atau pengadilan, yang dituangkan dalam surat pernyataan oleh penggugat.
Secara garis besar tahapannya adalah sebagai berikut.
Pertama, gugatan didaftarkan melalui sekretariat BPSK untuk registrasi.[13] Sebagaimana kami jelaskan, yang dapat mengajukan gugatan adalah penggugat yang mengalami kerugian, kecuali dalam hal tertentu gugatan dapat diajukan oleh ahli waris/pemegang kuasa/orang tua atau wali/pengampu.
Kedua, registrasi gugatan yang diajukan secara tertulis dilakukan dengan memberi bukti penerimaan oleh sekretariat.[14] Gugatan yang diajukan secara tertulis harus memuat data dan informasi mengenai:[15]
identitas penggugat yang disertai bukti diri;
identitas tergugat;
objek gugatan;
bukti perolehan barang dan/atau jasa (seperti bon, faktur, kwitansi, atau bukti lain);
tempat dan tanggal diperoleh barang atau jasa atau kejadian tersebut;
kerugian materiel yang dialami penggugat.
Sedangkan, registrasi gugatan yang diajukan secara lisan dilakukan dengan pencatatan oleh sekretariat dalam formulir yang disediakan, dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh penggugat serta diberikan bukti penerimaan dari sekretariat.[16] Gugatan yang diajukan secara lisan harus berisi keterangan tentang data dan informasi yang sama dengan gugatan yang diajukan secara tertulis.[17]
Ketiga, setelah gugatan dinyatakan lengkap oleh sekretariat, selambat-lambatnya dalam waktu 3 hari kerja, ketua BPSK melalui kepala sekretariat memanggil tergugat untuk diberitahu adanya gugatan yang diajukan penggugat melalui BPSK.[18] Surat panggilan ini memuat hari, tanggal, jam, dan tempat sidang.[19]
Apabila penggugat tidak hadir dalam sidang, maka gugatan dinyatakan gugur.[20] Sedangkan, apabila tergugat tidak hadir, maka kepala sekretariat menyampaikan ketidakhadiran tergugat kepada ketua BPSK.[21]
Atas laporan tersebut, ketua BPSK membentuk majelis dan dibantu oleh panitera untuk meneliti gugatan penggugat serta memilih dan menetapkan tindakan yang akan diambil, yaitu:[22]
BPSK melaporkan tergugat kepada penyidik untuk diproses menurut peraturan perundang-undangan, apabila gugatan penggugat mengandung unsur pidana;
BPSK meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan tergugat;
BPSK mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan;
BPSK melakukan koordinasi dengan instansi terkait atau asosiasi pelaku usaha untuk membantu menghadirkan tergugat agar memenuhi panggilan BPSK.
Keempat, apabila tergugat hadir setelah dilakukan tindakan di atas , maka majelis akan mendampingi para pihak untuk menyelesaikan sengketa secara konsiliasi.[23] Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi adalah:[24]
majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
majelis bertindak pasif sebagai konsiliator;
majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dengan mengeluarkan keputusan.
Kelima, apabila para pihak tidak berhasil menyelesaikan sengketa secara konsiliasi majelis akan membantu menyelesaikan sengketa secara mediasi.[25] Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi adalah:[26]
majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun ganti rugi;
majelis bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa;
majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan putusan.
Apabila para pihak berhasil menyelesaikan sengketa mereka secara konsiliasi atau mediasi, maka kesepakatan mereka dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak dan dikuatkan dengan putusan majelis.[27]
Keenam, apabila para pihak tidak berhasil menyelesaikan sengketa secara mediasi, majelis akan menyelesaikan sengketa secara arbitrase.[28] Penyelesaian sengketa secara arbitrase dilakukan oleh majelis, melalui tahap sebagai berikut:[29]
penggugat memilih arbiter dari unsur konsumen sebagai anggota majelis;
tergugat memilih arbiter dari unsur pelaku usaha sebagai anggota majelis; dan
arbiter yang dipilih para pihak tersebut akan memilih arbiter ketiga dari unsur pemerintah, sebagai ketua majelis.
Majelis wajib memberikan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari terhitung sejak gugatan diterima oleh majelis baik untuk masing-masing penyelesaian secara konsiliasi, mediasi, maupun arbitrase.[30] Putusan ini ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis.[31]
Sebagai informasi, jenis putusan BPSK dapat berupa:[32]
perdamaian;
gugatan ditolak; atau
gugatan dikabulkan.
Lantas, apakah putusan BPSK bersifat final? Putusan majelis bersifat final dan mengikat untuk pemeriksaan secara konsiliasi dan mediasi, sedangkan untuk putusan arbitrase dapat diajukan keberatan.[33]
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2020 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
[1] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”).
[2] Lihat Pasal 49 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa anggota BPSK terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
[3] Pasal 54 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Konsumen.
[4] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2020 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“Permendag 72/2020”).
[5] Pasal Pasal 10 ayat (1) Permendag 72/2020.
[6] Pasal 9 ayat (1) Permendag 72/2020.
[7] Pasal 1 angka 6 Permendag 72/2020.
[8] Pasal 9 ayat (2) Permendag 72/2020.
[9] Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 17/M-DAG/PER/4/2007 Tahun 2007 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen serta Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (“Permendag 17/2007”).
[10] Pasal 12 ayat (2) Permendag 17/2007.
[11] Pasal 12 ayat (3) Permendag 17/2007.
[12] Pasal 11 Permendag 17/2007.
[13] Pasal 13 ayat (1) Permendag 17/2007.
[14] Pasal 13 ayat (2) Permendag 17/2007.
[15] Pasal 14 ayat (1) Permendag 17/2007.
[16] Pasal 13 ayat (3) Permendag 17/2007.
[17] Pasal 14 ayat (2) Permendag 17/2007.
[18] Pasal 15 ayat (1) Permendag 17/2007.
[19] Pasal 15 ayat (2) Permendag 17/2007.
[20] Pasal 15 ayat (3) Permendag 17/2007.
[21] Pasal 15 ayat (4) Permendag 17/2007.
[22] Pasal 15 ayat (5) Permendag 17/2007.
[23] Pasal 16 ayat (1) Permendag 17/2007.
[24] Pasal 16 ayat (3) Permendag 17/2007.
[25] Pasal 17 ayat (1) Permendag 17/2007.
[26] Pasal 17 ayat (3) Permendag 17/2007.
[27] Pasal 18 Permendag 17/2007.
[28] Pasal 19 ayat (1) Permendag 17/2007.
[29] Pasal 24 ayat (1) Permendag 17/2007.
[30] Pasal 31 ayat (1) Permendag 17/2007.
[31] Pasal 31 ayat (2) Permendag 17/2007.
[32] Pasal 31 ayat (4) Permendag 17/2007.
[33] Pasal 31 ayat (3) Permendag 17/2017.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Penjualan Bakso Celeng
Ada satu ruko yang dijadikan sebagai tempat untuk memproduksi bakso oplosan daging sapi dengan babi hutan di daerah Pasar Citeureup, Kabupaten Bogor. Pada Minggu, 28 Mei 2017 tempat tersebut polisi grebek. Dari hasil penggerebekan tersebut polisi menyita barang bukti berupa 60 kg daging ayam, 46 kg daging babi hutan, 4 kg daging ayam yang sudah tercampur dengan daging celeng, 1 unit penggilingan daging halus, 1 unit penggilingan daging kasar, dan 1 freezer.
Polisi menciduk 6 orang yakni Pranoto atau Noto pemilik dari usaha bakso oplosan, kemudian keempat karyawannya yakni Ujang, Imat, Marjianto, Agus Isworo, dan Heri Setiawan sebagai pembeli. Penangkapan ini berasal dari informasi masyarakat sekitar tentang ada tempat usaha bakso yang menggunakan bahan campuran babi hutan.
Dari hasil pemeriksaan sementara, mereka menjual bakso yang telah produksi kepada konsumen seharga Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu per kg. Harganya tentu menjadi lebih murah karena sudah tercampur dengan daging celeng. Akan tetapi walaupun terindikasi melanggar hukum pelaku belum menetapkan pemilik usaha tersebut sebagai tersangka.
Penggunaan Formalin di Ikan Asin
Ikan asin yang terjual pada pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta terbukti terdapat kandungan bahan pengawet berbahaya yakni formalin. Hal ini terbukti dari hasil pengecekan di Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu Kelas I Yogyakarta di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Mereka melakukan pengecekan dengan 20 sampel yang terdiri dari beberapa jenis ikan asin yakni teri nasi dan ikan jambal.
Semua produk olahan dari ketiga jenis ini terbukti mengandung formalin. Hal ini bisa terlihat dari hasil uji laboratorium yang menunjukkan hasil kandungan formalin mencapai 100 ppm. Hal ini berarti satu kg dari olahan ikan tersebut memiliki satu miligram kandungan formalin.
Penggunaan bahan ini sudah dilalau pemerintah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012. Efek samping dari bahan ini dapat menimbulkan berbagai penyakit yang berbahaya untuk tubuh. Contoh kasus perlindungan konsumen ini menyadarkan kita bahwa membutuhkan peraturan yang sesuai.
Kasus Indomie di Taiwan
Ada kasus Indomie yang mendapatkan larangan untuk di pasarkan di Taiwan. Hal ini karena Indomie disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya untuk manusia, maka dari itu ditarik dari peredaran. Di dalam Indomie terdapat zat methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid atau asam benzoat. Zat tersebut umumnya untuk membuat kosmetik. Kemudian pada Jumat 08 Oktober 2010 pihak Taiwan memutuskan menarik semua jenis Indomie dari peredaran.
Di negara Hongkong ada dua supermarket yang sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie. Taiwan menggunakan standar yang berbeda untuk bahan methyl parahydroxybenzoate. Maka dari itu pihak Indomie mencantumkan segala bahan dan campuran untuk bumbu di produk Indomie agar masyarakat atau konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang beredar.