PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

KULIAH HUKUM SIBER



HIMAWAN DWIATMODJO, S.H., LL.M.


A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah mengatur mengenai pengertian perlindungan konsumen yakni terdapat di pasal 1 angka 1 yang berbunyi Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.


Pengertian perlindungan Konsumen terdapat dalam pasal tersebut, dirasa cukup memadai. Kalimat yang menyatakan ―segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum‖, menjadi harapan untuk dapat meniadakan tindakan sewenang-wenang yang justru dapat merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen (Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 1).


Kepastian hukum dilakukan guna melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus tersendiri, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak dapat bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan dibentuknya Undang- undang perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang sama serta berimbang, mereka pun bisa menggugat maupun menuntut jika suatu saat ternyata hak-hak konsumen telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.


Berbicara mengenai konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah mencantumkan pengertian konsumen yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus diberikan perlindungan oleh hukum.

Prinsip kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha antara lain prinsip let the buyer beware, kedudukan pelaku usaha berada di posisi seimbang dengan konsumen. Prinsip the due care theory, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan suatu produk, baik berupa barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Prinsip the privity of contract pelaku usaha mempunyai kewajiban melindungi konsumen, namun hal tersebut dilakukan bila diantara mereka terjadi suatu hubungan kontraktual.


Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen adalah suatu bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa Konsumen dalam pergaulan hidup.


Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk terus dikembangkan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam kaitan dengan semakin berkembangnya transaksi perdagangan di era serba modern saat ini. Perhatian mengenai perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia namun telah menjadi perhatian dunia.

Hukum Perlindungan Konsumen secara umum bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi konsumen baik dalam bidang hukum privat maupun bidang hukum publik. Kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, perlindungan konsumen  adalah  ―Segala  upaya  yang  menjamin  adanya  kepastian hukum untuk memberi perlindungan hukum kepada konsumen‖ Kalimat  yang  menyatakan  ―segala  upaya   yang  menjamin  adanya kepastian hukum‖, diharapkan menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.


Berdasarkan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang atau jasa dari adanya kemungkinan kerugian, maka. Hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan terhadap konsumen sebagai pemenuhan kebutuhannya terhadap konsumen Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara untuk mempertahankan hak dan kewajiban itu (Janus Sidabolok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 45). Dalam berbagai litelatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Az. Nasution berpendapat bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari konsumen. Hukum Konsumen menurutnya adalah ―Keseluruhan  asas-asas  dan  kaidah-kaidah  hukum  yang  mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.


Makna dari kata ―keseluruhanbermaksud untuk menggambarkan bahwa didalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk didalamnya, baik aturan hukum pidana, perdata, administrasi negara hingga aturan hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah ‖hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya‖, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : hak atas informasi yang diterima, memilih harga, hingga akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tidak lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Pada dasarnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:

C. Asas-asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Asas hukum menurut Paul Scholten adalah kecenderungan yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis terhadap hukum. Begitu pula menurut H.J. Hommes, asas hukum bukanlah norma hukum yang konkrit, melainkan sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Sepakat dengan pendapat tersebut, menurut Satjipto Rahardjo asas hukum mengandung tuntutan etis, merupakan jembatan antara peraturan dan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat (Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, 2007, hlm. 36). Terdapat lima asas penting yang diatur dalam Undang-undang perlindungan konsumen Pasal 2 UUPK dan dijabarkan lebih lanjut dalam penjelasan atas pasal 2 UUPK , yaitu:


Asas manfaat dimaksudkan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat bagi kepentingan konsumen serta pelaku usaha secara keseluruhan. Artinya asas ini mengharapkan bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen tidak bermaksud untuk menempatkan salah satu pihak konsumen maupun pelaku usaha diatas pihak lainnya atau sebaliknya, tetapi untuk memberikan kepada para pihak yakni, pelaku usaha dan konsumen, tentang hak apa saja yang diperoleh kedua pihak. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi atau keterlibatan seluruh rakyat dapat diwujudkan semaksimal mungkin dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen indonesia, konsumen dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban yang berimbang. Karena itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha (produsen).


Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah mampu memperoleh manfaat yang sama imbangnya sesuai hak dan kewajibannya.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini mengharapkan bahwa adanya jaminan hukum terhadap konsumen yang akan mendapatkan berbagai macam manfaat dari produk yang dipakai atau dikonsumsi oleh konsumen, begitu pula sebaliknya produk yang  dipakai atau dikonsumsi tidak akan mengancam keselamatan harta bendanya.


Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya asas ini mengharapkan aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terdapat di undang-undang perlindungan konsumen harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak mendapatkan keadilan.


Guna menjamin terlaksananya undang-undang ini setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen harus mengikuti dan mengacu mengacu dan mengikuti kelima asas tersebut, karena dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.


Berdasarkan isi Pasal 2 UUPK, terlihat bahwa rumusannya merujuk pada filosofi pembangunan nasional yakni pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan falsafah NKRI. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu :


Menurut Radbruch Friedman menerangkan ketiga macam asas tersebut yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai ―tiga ide dasar hukum‖ atau ―tiga nilai dasar hukum‖, artinya dapat disamakan dengan asas hukum. Dari ketiga macam asas yang disebutkan sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judget as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.48

Sebagai asas hukum, secara langsung menempatkan asas ini menjadi awal rujukan, baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum oleh banyak ahli hukum disebut juga sebagai tujuan hukum. Permasalahannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch Friedman maupun Achmad Ali mengemukakan adanya kesulitan untuk mewujudkannya secara bersamaan. Achmad Ali berpendapat, bila dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Pada kenyataannya tujuan yang satu dan tujuan lainnya sering berbenturan satu sama lain. Sebagai contoh, dalam suatu kasus hukum tertentu bila hakim  menginginkan putusannya  - adil  menurut pandangannya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.


Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK telah dijelaskan mengenai tujuan konsumen, yakni :


Tujuan dari perlindungan konsumen tersebut seakan-akan disusun secara bertahap, mulai dari kesadaran hingga pemberdayaaan kualitas barang atau jasa. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan perlindungan konsumen tidak harus melalui tahapan-tahapan berdasarkan susunan dalam pasal 3 UUPK tersebut. Namun melihat pada urgensinya. Sebagai contoh, tujuan yang tercantum dalam nomor enam yakni, tujuan untuk meningkatkan kualitas barang atau jasa, untuk mencapainya tidak harus menunggu tujuan yang tercantum dalam nomor pertama tercapai terlebih dahulu. Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan konsumen dilakukan secara simultan atau serempak.

D. Pengertian Transaksi E-Commerce

E-Commerce atau Electronic Commerce juga biasa diterjemahkan dalam  bahasa  indonesia  sebagai  -perdagangan   elektronik‖  adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembelian, penjualan, pemasaran barang atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik seperti internet atau jaringan komputer. E-commerce juga melibatkan aktivitas yang berkaitan dengan proses transaksi elektronik seperti transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, data persediaan sistem pengolahan dilakukan oleh sistem komputer atau jaringan komputer, dan lain sebagainya.


Kegiatan perdagangan di masyarakat telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor salah satunya dengan berkembangnya teknologi yang berbasis internet yang dikenal dengan nama E-commerce. Perkembangan E-commerce tidak terlepas dari laju pertumbuhan dunia maya/internet karena E-commerce berjalan melalui jaringan internet. Pertumbuhan pengguna internet yang sedemikian pesatnya merupakan suatu kenyataan yang membuat internet menjadi media yang efektif baik untuk perseorangan maupun perusahaan untuk mempromosikan atau menjual barang dan atau jasa kepada konsumen yang berada diseluruh dunia. E-Commerce merupakan jenis bisnis modern yang tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik (non-fice) dan tidak memakai tanda tangan asli (non-sign).


Sebagai suatu perdagangan dengan basis teknologi caggih, E- commerce telah mereformasi perdagangan konvensional di mana interaksi antara konsumen dengan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung (face to face) menjadi interaksi tidak langsung. E-commerce telah merubah pandangan bisnis klasik dengan cara menumbuhkan macam-macam cara interaksi antara produsen dan konsumen di dunia maya. Sistem perdagangan yang digunakan dalam E–commerce dirancang guna penandatanganan secara elektronik. Penandatanganan elektronik ini dirancang dimulai dari saat proses jual-beli, pemeriksaan hingga pengiriman. Oleh karena itu ketersediaan informasi yang benar dan akurat mengenai konsumen dengan perusahaan dalam E-commerce merupakan suatu persyaratan mutlak. Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan melalui internet diwujudkan dalam bentuk pengaduan/ komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang dikonsumsinya.


E-commerce dapat diartikan sebagai segala bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang atau jasa (trade of goods and services) dengan menggunakan media elektronik. Adapun ruang lingkup E-commerce meliputi tiga sisi yakni segmentasi bisnis ke bisnis, bisnis ke konsumen dan konsumen ke konsumen.

E. Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Mengakomodasi Transaksi E-commerce

UUPK belum dapat melindungi konsumen dalam transaksi E- commerce karena ketentuan–ketentuan yang tercantum dalam UUPK belum mengakomodir hak–hak konsumen dalam transaksi E-commerce. Hal ini dikarenakan E-commerce memiliki ciri khas/karakteristik tersendiri dibandingkan dengan transaksi konvensional. Karakteristik tersebut adalah : tidak bertemunya penjual dan pembeli, media yang digunakan adalah internet, transaksi dapat terjadi melintasi batas–batas yuridis suatu negara, barang yang diperjualbelikan dapat berupa barang/jasa atau produk digital seperti software. Dalam hukum positif Indonesia, hak-hak konsumen diakomodir dalam Pasal 4 UUPK yang terdiri dari. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang maupun jasa. Hak untuk memilih barang maupun jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang maupun jasa. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Mengenai transaksi E-commerce terutama dalam pemenuhan hak– hak konsumen sangat riskan sekali untuk dilanggar, dalam hal ini konsumen tidak mendapatkan hak–haknya secara penuh dalam transaksi E-commerce. Hak–hak tersebut antara lain hak atas kenyamanan, hak atas informasi, hak untuk didengar pendapat, serta hak untuk mendapatkan advokasi.

Beraneka ragam kasus yang muncul berkenaan dengan tumbuh kembangnya metode-metode transaksi secara elektronik terutama faktor keamanan dalam E-commerce tentunya sangat merugikan konsumen. Padahal dengan adanya jaminan dalam transaksi E- commerce ini sangat diperlukan untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan konsumen. Dengan tidak diperhatikannya jaminan keamanan dikhawatirkan akan mengakibatkan pergeseran substansi yang terkandung dalam transaksi E-commerce menuju ke arah ketidakpastian yang akan menghambat perkembangan E-commerce.

Apabila diperhatikan, hak–hak konsumen yang secara normatif diatur oleh UUPK seakan-akan terbatas pada kegiatan perdagangan yang bersifat konvensional. Di sisi lain perlindungan difokuskan hanya pada posisi konsumen serta posisi produk yang diperdagangkan sedangkan perlindungan dari posisi pelaku usaha seperti informasi- informasi umum mengenai identitas perusahaan pelaku usaha dan jaminan kerahasiaan data-data milik konsumen belum diakomodir oleh UUPK, padahal hak–hak tersebut sangat penting untuk diatur untuk keamanan konsumen dalam bertransaksi

Masih perlu didiskusikan?