Akhlaq Dalam Islam




By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.


"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

Pengertian Akhlaq

Secara etimologis (lughatan) akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaga yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkung- annya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan). Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlaq bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.


Secara terminologis ada beberapa definisi tentang akhlaq. Penulis pilihkan tiga di antaranya:



‎‫فَالْخُلُقُ عِبَارَةُ عَنْ هَيْئَةٍ فِي النَّفْسِ رَاسِحَةُ عَنْهَا تَصْدُرُ الأَفْعَالُ بِسُهُولَةٍ وَيُسَرِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ.‬‎


"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran kiran dan pertimbangan."



‎‫الخُلُقُ حَالَ لِلنَّفْسِ رَا سِحَهُ تَصْدُرُ عَنْهَا الْأَعْمَالُ مِنْ خَيْرٍ أَوْ شَيْرٌ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ‬‎


"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa mem- butuhkan pemikiran dan pertimbangan."


3. Abdul Karim Zaidan


‎‫مَجْمُوعَةُ مِنَ الْمَعَانِي وَالصَّفَاتِ الْمُسْتَقِيَّةِ فِي النَّفْسِ وَ فِي ضَوْءِ هَا وَمِيزَانِهَا يَحَسْنُ الْفِعْلُ فِي نَظَرِ الْإِنْسَانِ أَوْ يَقْبُحُ ، وَمِنْ ثُمَّ يَقَدُمُ عَلَيْهِ أَوْ يَحْجُمُ عَنْهُ.‬‎


"(Akhlaq) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya."


Ketiga definisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manu- sia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Dalam Mu'jam al-Wasith di- sebutkan min ghairi hâjah ilâ fikr wa ru'yah (tanpa membutuhkan pe- mikiran dan pertimbangan). Dalam Ihya' 'Ulûm ad-Din dinyatakan tashduru al-af al bi suhûlah wa yusr, min ghairi hâjah ilå fikr wa ru'yah (yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mu- dah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan). Sifat spontanitas dari akhlaq tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar untuk pemba- ngunan mesjid setelah mendapat dorongan dari seorang da'i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang keutamaan mem bangun mesjid di dunia), maka orang tadi belum bisa dikatakan mem- punyai sifat pemurah, karena kepemurahannya waktu itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi pada kesempatan yang lain. Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyumbang, atau kalaupun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi manakala tidak ada doronganpun dia tetap me- nyumbang, kapan dan di mana saja, barulah bisa dikatakan dia mempunyai sifat pemurah. Contoh lain, dalam menerima tamu. Bila seseorang membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lain, atau kadangkala ramah dan kadangkala tidak, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya.


Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa akhlaq itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.


Sekalipun dari beberapa definisi di atas kata akhlaq bersifat netral, belum menunjuk kepada baik dan buruk, tapi pada umumnya apabila disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah akhlaq yang mulia, Misalnya bila seseorang berlaku tidak sopan kita mengatakan padanya, "kamu tidak berakhlaq". Pada- hal tidak sopan itu adalah akhlaqnya. Tentu yang kita maksud adalah kamu tidak memiliki akhlaq yang mulia, dalam hal ini sopan.


Di samping istilah akhlaq, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing- masing. Bagi akhlaq standarnya adalah Al-Qur'an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.


Sekalipun dalam pengertiannya antara ketiga istilah di atas (akhlaq, etika dan moral) dapat dibedakan, namun dalam pembicaraan sehari- hari, bahkan dalam beberapa literatur keislaman, penggunaannya sering tumpang tindih. Misalnya judul buku Ahmad Amin, al. Akhlaq, diterjemahkan oleh Prof. Farid Ma'ruf dengan Etika (Ilmu Akhlaq). Dalam Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, moral juga diartikan akhlaq.

Sumber Akhlaq

Yang dimaksud dengan sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana ke seluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Al-Qur'an dan Surinah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan Mu'tazilah."


Dalam konsep akhlaq, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena Syara' (Al-Qur'an dan Sunnah) menilainya demikian. Kenapa sifat sabar, syukur, pemaaf, pemurah dan jujur misalnya dinilai baik? Tidak lain karena Syara' menilai semua sifat-sifat itu baik. Begitu juga sebaliknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? Tidak lain karena Syara' menilainya demikian.


Apakah Islam menafikan peran hati nurani, akal dan pandangan masyarakat dalam menentukan baik dan buruk? Atau dengan ungkapan lain dapatkah ketiga hal tersebut dijadikan ukuran baik dan buruk?


Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur'an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rûm 30: 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu men- dambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, karena kebenaran itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah hanyalah merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Betapa banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat lagi melihat kebenaran. Oleh sebab itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata. Harus dikembalikan kepada penilaian Syara'. Semua keputusan Syara' tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena kedua duanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT.


Demikian juga halnya dengan akal pikiran. la hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Dan keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya. Oleh karena itu keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan subyektif.


Demikianlah tentang hati nurani dan akal pikiran. Bagaimana dengan pandangan masyarakat? Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk, tetapi sangat relatif, tergantung sejauh mana kesucian hati nurani masyarakat dan kebersihan pikiran mereka dapat terjaga. Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertutup dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh sikap dan prilaku yang tidak terpuji tentu tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran.


Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa ukuran yang pasti (tidak spekulatif), obyektif, komprehensif dan universal untuk me nentukan baik dan buruk hanyalah Al-Qur'an dan Sunnah, bukan yang lain-lainnya.

Ruang Lingkup Akhlaq

Muhammad 'Abdullah Drâz dalam bukunya Dustúr al-Akhlaq fi al-Islâm" membagi ruang lingkup akhlaq kepada lima bagian:



Dari sistematika yang dibuat oleh 'Abdullah Drâz di atas tampaklah bagi kita bahwa ruang lingkup akhlaq itu sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah SWT maupun secara horizontal sesama makhluk-Nya.


Berangkat dari sistematika di atas dengan sedikit modifikasi penulis membagi pembahasan akhlaq dalam buku ini menjadi:

Kedudukan & Keistimewaan Akhlaq Dalam Islam

Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlaq menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa nomor berikut ini:



‎‫إِنَّمَا بُعِثْتُ لا تمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ ( رواه البيهقي )‬‎


"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia." (HR. Baihaqi)



‎‫يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا الدِّينُ ؟ فَقَالَ الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : حُسْنُ الْخُلْقِ .‬‎


"Ya Rasulullah, apakah agama itu? Beliau menjawab: (Agama adalah) Akhlaq yang baik."


Pendefinisian agama (Islam) dengan akhlaq yang baik itu sebanding dengan pendefinisian ibadah haji dengan wuquf di 'Arafah. Rasulullah saw menyebutkan, "Haji adalah Wuquf di Arafah." Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wuquf di Arafah.



‎‫مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخَلق ... ( رواه الترمذى )‬‎


"Tidak ada satupun yang akan lebih memberatkan timbangan (kebaikan) seorang hamba mukmin nanti pada hari kiamat selain dari akhlaq yang baik..." (HR. Tirmidzi)


Dan orang yang paling dicintai serta paling dekat dengan Ra- sulullah saw nanti pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaq- nya. 'Abdullah Ibn 'Umar berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Maukah kalian aku beritahukan siapa di antara kalian yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya denganku nanti pada hari kiamat?" Beliau mengulangi pertanyaan itu dua atau tiga kali. Lalu sahabat-sahabat men jawab: "Tentu ya Rasulullah". Nabi bersabda: "Yaitu yang paling baik akhlaqnya di antara kalian." (HR. Ahmad)



Demikianlah nampak bagi kita dalam beberapa teks hadits di atas bahwa Rasulullah saw mengaitkan antara rasa malu, adab berbicara dan sikap terhadap tamu dan tetangga misalnya dengan eksistensi dan kualitas iman seseorang.



Dari beberapa ayat dan hadits di atas kita dapat melihat adanya kaitan langsung antara shalat, puasa, zakat dan haji dengan akhlaq.


Seorang yang mendirikan shalat tentu tidak akan mengerjakan segala perbuatan yang tergolong keji dan mungkar. Sebab apalah arti shalat- nya kalau dia tetap saja mengerjakan kekejian dan kemungkaran. Seorang yang benar-benar berpuasa demi mencari ridha Allah SWT, di samping menahan keinginannya untuk makan dan minum, tentu juga akan menahan dirinya dari segala kata-kata yang kotor dan perbuatan yang tercela. Sebab tanpa meninggalkan perbuatan yang tercela itu dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya rasa lapar dan haus semata. Begitu juga dengan ibadah zakat dan haji, dikaitkan oleh Allah SWT hikmahnya dengan aspek akhlaq. Ringkasnya, akhlaq yang baik adalah buah dari ibadah yang baik, atau ibadah yang baik dan diterima oleh Allah SWT tentu akan melahirkan akhlaq yang baik dan terpuji."


ㅤㅤㅤㅤㅤ

اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ


"(Ya Allah) tunjukilah aku (jalan menuju) akhlaq yang baik, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat memberi petunjuk (menuju jalan) yang lebih baik selain Engkau. Hindarkanlah aku dari akhlaq yang buruk, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat menghin- darkan aku dari akhlaq yang buruk kecuali Engkau." (HR. Muslim)



Demikianlah antara lain beberapa hal yang menjelaskan kepada kita kedudukan dan keistimewaan akhlaq di dalam Islam.

Ciri-ciri Akhlaq Dalam Islam

Di samping kedudukan dan keistimewaan akhlaq yang sudah diuraikan dalam fasal sebelumnya maka akhlaq dalam Islam paling kurang juga memiliki lima ciri-ciri khas yaitu (1) Rabbani, (2) manu siawi, (3) universal, (4) seimbang, dan (5) realistik. Berikut ini uraian ringkas kelima ciri-ciri tersebut:


Ajaran akhlaq dalam Islam bersumber dari wahyu Ilahi yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Di dalam Al-Qur'an terdapat kira-kira 1.500 ayat yang mengandung ajaran akhlaq, baik yang teoritis maupun yang praktis. Demikian pula hadits-hadits Nabi, amat banyak jumlahnya yang memberikan pedoman akhlaq. Sifat rabbani dari akhlaq juga menyangkut tujuannya, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan di dunia kini, dan di akhirat nanti.


Ciri rabbani juga menegaskan bahwa akhlaq dalam Islam bukanlah moral yang kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak. Akhlaq rabbani lah yang mampu menghindari kekacauan nilai moralitas dalam hidup manusia. Al-Qur'an mengajarkan:


وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ 


"Inilah jalan Ku yang lurus; hendaklah kamu mengikutinya; jangan kamu ikuti jalan-jalan lain, sehingga kamu bercerai berai dari jalan Nya. Demikian diperintahkan kepadamu, agar kamu bertaqwa." (QS. Al-An'am 6: 153)


Ajaran akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi tuntunan fitrah manusia. Kerinduan jiwa manusia kepada kebaikan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Ajaran akhlaq dalam Islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan dalam arti hakiki, bukan kebahagiaan semu. Akhlaq Islam adalah akhlaq yang benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat, sesuai dengan fitrahnya.


Ajaran akhlaq dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup segala aspek hidup manusia, baik yang dimensinya vertikal maupun horisontal. Sebagai contoh Al-Qur'an menyebutkan sepuluh macam keburukan yang wajib dijauhi oleh setiap orang, yaitu menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh anak karena takut miskin, berbuat keji baik secara terbuka maupun secara tersembunyi, membunuh orang tanpa alasan yang sah, makan harta anak yatim, mengurangi takaran dan timbangan, membebani orang lain kewajiban melampaui kekuatan- nya, persaksian tidak adil, dan mengkhianati janji dengan Allah (QS. Al-An'am 6:151-152)


Ajaran akhlaq dalam Islam berada di tengah antara yang meng- khayalkan manusia sebagai Malaikat yang menitik beratkan segi kebaikannya dan yang mengkhayalkan manusia seperti hewan yang menitikberatkan sifat keburukannya saja. Manusia menurut pandangan Islam memiliki dua kekuatan dalam dirinya, kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya dan kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Manusia memiliki naluriah hewani dan juga ruhaniah Malaikat. Manusia memiliki unsur ruhani dan jasmani yang memerlukan pelayanan masing-masing secara seimbang. Manusia hidup tidak hanya di dunia kini, tetapi dilanjutkan dengan kehidupan di akhirat nanti. Hidup di dunia merupakan ladang bagi akhirat. Akhlaq Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia, jasmani dan ruhani, secara seimbang, memenuhi tuntutan hidup bahagia di dunia dan akhirat secara seimbang pula. Bahkan memenuhi kebutuhan pribadi harus seimbang dengan memenuhi kewajiban terhadap masyarakat. Rasulullah saw membenarkan ucapan Salman kepada Abú Darda':


إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ


"Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak yang wajib kau penuhi, dirimu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; isterimu mempu nyai hak yang wajib kau penuhi; berikanlah orang orang yang mempunyai hak akan haknya." (HR. Bukhari)


Ajaran akhlaq dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun manusia telah dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk yang lain, tetapi manusia mempunyai kelemahan-kelemahan, memiliki kecende rungan manusiawi dan berbagai macam kebutuhan material dan spiritual. Dengan kelemahan-kelemahannya itu manusia sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan dan pelanggaran. Oleh sebab itu Islam memberikan kesempatan kepada manusia yang me lakukan kesalahan untuk memperbaiki diri dengan bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa, Islam membolehkan manusia melakukan sesuatu yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. Allah berfirman:


فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ‬‎


"Barangsiapa terpaksa, bukan karena membangkang dan sengaja melanggar aturan, tiadalah ia berdosa. Sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah 2: 173).

Sumber : Kuliah Akhlaq, LPPI UMY, Yunahar Ilyas, Yogyakarta, 2001