SESI-1
MATA KULIAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
MATA KULIAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LL.M.
"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)
Konsep Kesalahan dalam Hukum Pidana
Dalam pembuktian kesalahan (schuld) dalam hukum pidana, terdapat adagium populer yang diadopsi dari Pasal 44 KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, yaitu asas tiada pidana (pemidanaan) tanpa kesalahan atau yang dikenal dengan istilah geen straf zonder schuld dalam konsep Eropa Kontinental dan actus non facit reum nisi mens sit rea dalam konsep Anglo Saxon (an act does not constitute itself guilt unless the mind is guilty).
Selanjutnya, menurut pendapat Roeslan Saleh yang bersesuaian pendapatnya dengan Moeljatno, sebagaimana dikutip oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (hal. 165), kesalahan dalam konsep hukum pidana, terdiri dari 3 unsur yaitu:
kemampuan bertanggung jawab;
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) sebagai bentuk kesalahan, dan pula sebagai penilaian dari hubungan batin dengan perbuatannya si pelaku;
tidak adanya alasan pemaaf.
Tindak Pidana Korporasi Menurut Hukum Indonesia
Di Indonesia, pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi termaktub dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU Tipikor, UU Lingkungan Hidup, dan UU 1/2023.
Definisi korporasi menurut UU Tipikor adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.[1] Sementara menurut UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026, korporasi mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Kemudian, KUHP baru yaitu UU 1/2023 mengatur bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana.[3] Adapun, tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.[4]
Selain itu, tindak pidana oleh korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan korporasi.[5]
Untuk itu, menjawab pertanyaan Anda, dapat kami sampaikan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU 1/2023.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Menurut UU 1/2023, pertanggungjawaban atas tindak pidana oleh korporasi dikenakan terhadap:[6]
korporasi;
pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional;
pemberi perintah;
pemegang kendali; dan/atau
pemilik manfaat korporasi.
Oleh sebab itu, pertanggungjawaban pidana korporasi menurut KUHP baru tidak hanya dapat dikenakan terhadap pengurus, namun juga terhadap korporasi. Hal tersebut juga diatur di dalam Pasal 23 Perma 13/2016 yang pada pokoknya mengatur bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap korporasi atau pengurus, atau korporasi dan pengurus, baik secara alternatif maupun kumulatif.
Adapun, KUHP baru mengatur bahwa tindak pidana oleh korporasi dapat dipertanggungjawabkan, jika:[7]
termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi;
menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
diterima sebagai kebijakan korporasi;
korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/atau
korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
Apabila pertanggungjawaban pidana korporasi dikenakan terhadap pengurus korporasi yaitu manusia perorangan atau naturlijk persoon, maka kami akan mengutip pendapat Subekti mengenai ciri-ciri dari badan hukum, yang dalam konteks pertanyaan Anda dapat dikategorikan juga sebagai suatu korporasi, sebagaimana yang dikutip oleh Chidir Ali, dalam bukunya Badan Hukum (hal. 19) yaitu:
Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan menggugat di depan hakim.
Dari pengertian tersebut, korporasi adalah subjek hukum (recht persoon) yang merupakan bentuk artificial person dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang membedakan korporasi dengan dengan manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya tidak dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan (penjara).
Dalam hal pengurus korporasi meninggal dunia atau berhenti, Pasal 5 Perma 13/2016 Perma 13/2016 telah mengatur bahwa dalam hal seorang atau lebih pengurus korporasi berhenti atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya suatu pertanggungjawaban korporasi.
Kemudian, perlu kami sampaikan bahwa pidana dikenakan terhadap korporasi menurut UU 1/2023 adalah pidana pokok dan pidana tambahan.[8]
Pidana pokok bagi korporasi adalah pidana denda. Pidana denda untuk korporasi minimal kategori IV yaitu Rp200 juta,[9] kecuali ditentukan lain oleh undang-undang dengan ketentuan sebagai berikut:[10]
pidana penjara di bawah 7 tahun, pidana denda paling banyak kategori VI yaitu Rp2 miliar;[11]
pidana penjara paling lama 7 tahun sampai dengan paling lama 15 tahun, pidana denda paling banyak kategori VII yaitu Rp5 miliar;[12] atau
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun, pidana denda paling banyak untuk korporsi adalah kategori VIII yaitu Rp50 miliar.[13]
Sedangkan pidana tambahan bagi korporasi terdiri atas:[14]
pembayaran ganti rugi;
perbaikan akibat tindak pidana;
pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
pemenuhan kewajiban adat;
pembiayaan pelatihan kerja;
perampasan barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
pengumuman putusan pengadilan;
pencabutan izin tertentu;
pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi;
pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha korporasi; dan
pembubaran korporasi.
Jika korporasi tidak melaksanakan pidana tambahan, maka kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk memenuhi pidana tambahan yang tidak dipenuhi.
Selain itu, korporasi juga dapat dikenai tindakan yaitu pengambilalihan korporasi, penempatan di bawah pengawasan, dan/atau penempatan korporasi di bawah pengampuan.[15]
Contoh pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara lingkungan hidup misalnya dalam bentuk penjatuhan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) UU Lingkungan Hidup tentang perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Adapun yang dimaksud dengan setiap orang di sini adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.[16]
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Referensi:
Chidir Ali. Badan Hukum. Alumni. Bandung: 1987;
Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Grafika. Jakarta: 2002.
[1] Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”)
[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)
[3] Pasal 45 ayat (1) UU 1/2023
[4] Pasal 46 UU 1/2023
[5] Pasal 47 UU 1/2023
[6] Pasal 49 UU 1/2023
[7] Pasal 48 UU 1/2023
[8] Pasal 118 UU 1/2023
[9] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023
[10] Pasal 119 jo. Pasal 121 UU 1/2023
[11] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023
[12] Pasal 79 ayat (1) huruf g UU 1/2023
[13] Pasal 79 ayat (1) huruf h UU 1/2023
[14] Pasal 120 UU 1/2023
[15] Pasal 123 UU 1/2023
[16] Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang diatur secara khusus dalam sistem hukum Indonesia. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi tersebar dalam berbagai pasal di UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001.
Ada 30 jenis tindak pidana korupsi yang dikelompokkan ke dalam 7 bentuk utama yaitu:[1]
perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;
perbuatan suap-menyuap;
penggelapan dalam jabatan;
pemerasan;
perbuatan curang sah;
benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa, yang menyebabkan keputusan tidak diambil secara objektif; dan
Kriteria Korporasi Dijatuhi Pidana Korupsi
Dalam undang-undang tindak pidana korupsi, subjek hukum adalah “setiap orang” yang menurut Pasal 1 ayat (3) B didefinisikan sebagai orang perseorangan atau termasuk korporasi.
Lantas, apa itu korporasi? Menurut Pasal 1 ayat (1) UU 31/1999, korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Implikasi dari pasal di atas adalah terjadi perluasan subjek hukum dalam tindak pidana korupsi, yaitu tidak hanya mencakup individu sebagai orang perseorangan, tetapi juga korporasi sebagai entitas hukum. Artinya, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Menjawab pertanyaan mengenai kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, maka dapat membaca Pasal 20 ayat (2) UU 31/1999 yang berbunyi sebagai berikut:
Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Dari pasal di atas dapat diketahui bahwa korporasi dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh individu yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dengan korporasi tersebut, dan bertindak atas nama, untuk kepentingan, atau dalam lingkup kewenangan yang diberikan oleh korporasi, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Selain itu, berdasarkan konstruksi pasal atas, menurut hemat kami, setidaknya terdapat tiga unsur penting untuk mengetahui bahwa suatu korporasi telah melakukan tindak pidana korupsi, yakni:
Pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan korporasi, baik hubungan kerja seperti direksi, komisaris, hingga manajer maupun hubungan lain dengan korporasi;
Tindak pidana korupsi dilakukan di lingkungan korporasi dalam rangka menjalankan kegiatan usaha atau aktivitas korporasi maupun dalam lingkup kewenangan, tugas, atau peran yang diberikan oleh korporasi;
Tindak pidana korupsi dilakukan secara individual oleh satu orang yang mewakili atau berafiliasi dengan korporasi maupun secara kolektif oleh beberapa orang dalam korporasi, baik secara terstruktur maupun tidak terstruktur.
Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/2016 mengatur bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terdapat keadaan-keadaan tertentu yang menunjukkan adanya peran aktif maupun pasif korporasi dalam tindak pidana korupsi sebagai berikut:
Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tipikor
Pasal 20 ayat (1) UU 31/1999 mengatur bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus tipikor dikenakan kepada korporasi sendiri ataupun kepada pengurusnya. Selengkapnya bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Penjatuhan pidana kepada korporasi sejatinya menjadi kewenangan hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Namun, dalam penjatuhan pidana terhadap korporasi perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh korporasi;
Tindakan korupsi tersebut termasuk dalam kategori tindak pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi dan tidak terdapat alasan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidananya;
Terbuktinya kesalahan korporasi karena individu yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dengan korporasi tersebut melakukan tindak pidana dan ada unsur kesalahan (mens rea).
Kemudian, pidana pokok yang dijatuhkan kepada korporasi menurut Pasal 20 ayat (7) UU 31/1999 jo. Pasal 25 ayat (2) PERMA 13/2016 adalah pidana denda yaitu maksimum pidana denda ditambah 1/3.
Selain pidana pokok, Pasal 25 ayat (3) PERMA 13/2016 menyebutkan bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pidana tambahan tersebut merujuk pada Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 18 UU 31/1999 berupa:
pencabutan beberapa hak tertentu;
perampasan barang yang tertentu;
pengumuman putusan hakim;
perampasan benda bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 tahun;
pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Referensi:
Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK, 2006.
[1] Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK, 2006