SESI-5
MATA KULIAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
MATA KULIAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LL.M.
"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)
Korupsi Dan Integritas
Konsep Korupsi Menurut Kamus
Dalam KBBI, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara itu, koruptif, berdasarkan KBBI, bermakna bersifat korupsi.
Konsep Korupsi Menurut Hukum
Definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 pasal yang terkandung dalam Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk tindak pidana korupsi. Namun, pada dasarnya ke-30 bentuk tindak pidana korupsi tersebut dapat dibedakan menjadi 7 kelompok, yaitu:
Korupsi yang terkait dengan Kerugian Keuangan Negara;
Korupsi yang terkait dengan Suap Menyuap;
Korupsi yang terkait dengan Penggelapan dalam Jabatan;
Korupsi yang terkait dengan Pemerasan;
Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Curang;
Korupsi yang terkait dengan Benturan Kepentingan dalam Pengadaan; dan
Korupsi yang terkait dengan Gratifikasi.
BEBERAPA DEFINISI KORUPSI
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Tindak pidana korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara menitikberatkan pada unsur memperkaya/ menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, baik yang dilakukan dengan perbuatan melawan hukum maupun dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang dimiliki karena jabatan/kedudukan pelaku.
Korupsi berasal dari kata latin “corruptio” atau “corruptus” yang berarti kerusakan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, dan tidak bermoral kesucian. Dan kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis “Corruption” yang berarti menyalahgunakan wewenangnya, untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Dari bahasa latin turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie), dari bahasa Belanda itulah turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harfiah kata tersebut ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral. Menurut kamus umum bahasa Indonesia Purwadarminta, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dsb. Di Malaysia dipakai istilah rasuah, yang diambil dari bahasa Arab riswah yang sama artinya dengan korupsi.
Korup = busuk, palsu, suap (kamus besar bahasa indonesia, 1991)
Korup = suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi (kamus hukum, 2002)
Korup = kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (the lexicon webster dictionary, 1978)
Korupsi adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas. Menurut kamus lengkap “Web Ster’s Third New International Dictionary”
Pengertian Korupsi Menurut Kamus Bahasa Indonesia
Dalam kamus umum bahasa Indonesia oleh Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Bahrry, korupsi dirumuskan sebagai perbuatan yang buruk seperti kecurangan, penyelewengan, penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri, dan mudah disuap.
Pengertian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna pada korupsi dalam hukum positif, karena itu, maka rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada setiap negara, dalam hal ini penulis akan mengemukakan pendapat beberapa sarjana tentang pengertian korupsi.
Menurut Syed Hussein Alatas dalam bukunya “Corruption and the Disting of Asia” menyatakan “bahwa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi adalah penyuapan, pemerasan, nepotisme, dan penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi.
“Manifestasi dari sebuah perilaku bisa dikategorikan sebagai praktik korupsi, menurut Hussein Alatas, apabila memiliki karakteristik sebagai berikut :
Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.
Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan.
Korupsi melibatkan elemen saling menguntungkan dan saling berkewajiban.
Pihak-pihak yang melakukan korupsi biasanya bersembunyi dibalik justifikasi hukum.
Pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi adalah pihak yang berkepentingan terhadap sebuah keputusan dan dapat mempengaruhi.
Tindakan korupsi adalah penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum.
Setiap tindak korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Setiap tindak korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan korupsi.
Suatu perubahan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
Menurut Robert Klitgaard,
“Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”.
Robert Klitgaard, dalam hal ini melihat korupsi yang lebih khas bagi pejabat publik atau pejabat negara sebagai tindakan “menggunakan jabatan untuk (memperoleh) keuntungan pribadi”. Menurut Robert Klitgard secara historis konsep tersebut merujuk pada tingkah laku politik. Kata korupsi menurutnya menimbulkan serangkaian gambaran jahat. Kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan.
Menurut Jeremy Pope, “Korupsi melibatkan perilaku dipihak para pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil. Mereka secara tidak wajar dan tidak sah memperkaya diri sendiri atau orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan kepada mereka”.
Menurut M. Mc. Mullan,
Seorang pejabat pemerintahan dikatakan koruptor apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya pada hal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan (Martiman Prodjohamidjojo: 9).
Menurut Sam Santoso,
Korupsi adalah bentuk lain dari pencurian. Korupsi merupakan wujud penyimpangan tingkah laku tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Konon untuk memperoleh jabatan itu ada biayanya, yang dianggap sebagai kewajiban oleh pelakunya. Karena itu, setelah pejabat ia merasa punya hak untuk korupsi. Para koruptor mengenal ribuan jurus, namun tujuannya satu muara, yakni ingin hidup mewah dalam tempo singkat dan melalui jalan pintas. Karyawan akan terlibat dalam usaha korupsi, ketika keuntungan korupsi yang diperoleh lebih besar dari sanksi jika ditangkap, dan kemungkinan tertangkap. Sanksi termasuk upah dan insentif lainnya yang mesti dikorbankan jika kehilangan pekerjaan. (Sam Santoso, 2003 : 14).
Menurut Nurdjana (1990)
Pengertian korupsi Menurut Nurdjana, korupsi berasal dari bahasa Yunani yaitu “corruptio” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum.
Dari berbagai pengertian korupsi di atas bahwa korupsi terkait segi moral, sifat, dan kondisi yang busuk, jabatan dalam lembaga atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga serta golongannya ke dalam dinas di bawah kekuasan jabatannya.
Menurut Undang-undang
Pengertian korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara
Pengertian korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
SUAP MENYUAP
Korupsi selalu diidentikkan dengan kerugian keuangan negara, namun tidak semua tindak pidana korupsi selalu berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Misalnya korupsi yang terkait dengan suap menyuap, yang secara statistik tindak pidana korupsi ini justru paling sering dilakukan. Suap menyuap terjadi ketika terdapat pemberian hadiah atau janji yang diketahui atau patut diduga dimaksudkan agar pegawai negeri/penyelenggara negara melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya atau tidak melakukan sesuatu yang menjadi kewajibannya. Setiap orang yang memberi atau pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan maksud sebagaimana di atas, dapat dikenakan tindak pidana korupsi yang terkait dengan suap menyuap. Dalam perbuatan suap menyuap terjadi kesepakatan antara pemberi dan penerima tentang hal yang harus diberikan oleh masing-masing pihak sehingga bersifat transaksional. Pada skala yang lebih kecil, suap menyuap juga sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, misal suap menyuap dalam perkara pelanggaran lalu lintas di mana terjadi kesepakatan antara pelaku dan aparat mengenai pemberian sejumlah uang agar tidak ditilang, suap menyuap untuk memuluskan pengurusan izin/dokumen yang tidak memenuhi syarat dalam pelayanan publik, dan suap menyuap terkait penerimaan mahasiswa baru atau penilaian akademik. Sementara pemerasan terjadi apabila pihak pegawai negeri/penyelenggara negara memaksa seseorang memberikan sesuatu sebagai imbalan atas pengerjaan tugas yang seharusnya
sudah menjadi kewajiban mereka. Sebagai contoh, seorang Kepala Daerah memaksa Kepala Sekolah di daerahnya untuk menyetorkan sejumlah uang apabila dana alokasi khusus bidang pendidikan ingin dicairkan. Padahal dana alokasi khusus bidang pendidikan tersebut sudah menjadi hak dari masing-masing sekolah untuk mendanai kebutuhan sarana dan/atau prasarana di bidang pendidikan.
GRATIFIKASI
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan UU Tipikor adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri, dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronik. Perbedaan gratifikasi dengan suap menyuap adalah tidak adanya kesepakatan antara pemberi dan penerima. Selanjutnya UU Tipikor menjelaskan bahwa setiap pemberian gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku apabila penerima gratifikasi (pegawai negeri atau penyelenggara negara) melaporkan penerimaan tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gratifikasi. Selanjutnya, KPK akan melakukan analisis terhadap laporan penerimaan gratifikasi tersebut dan menentukan status kepemilikannya, apakah dikembalikan kepada penerima atau menjadi milik negara.
BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN
Benturan Kepentingan atau Conflict of Interest adalah situasi di mana seorang penyelenggara negara memiliki kepentingan pribadi dalam penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga memengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. Kepentingan pribadi berarti memiliki tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri, keluarga, atau pihak lain yang terafiliasi dengannya. Dalam konteks UU Tipikor, Benturan Kepentingan dapat terjadi ketika pegawai negeri/ penyelenggara negara yang menjadi panitia/pengurus proyek tender pengadaan turut serta dalam proyek tersebut dengan melibatkan perusahaan yang dimilikinya, baik atas namanya sendiri maupun pihak lain.
Perilaku Koruptif
Korupsi adalah bentuk perilaku yang menyimpang secara hukum, norma, maupun moral (Takacs, dkk.2011; William dalam Jiang 2017). Perilaku menyimpang dalam konteks korupsi adalah perilaku yang didorong oleh kepentingan diri sendiri (self- interest) dan obsesi. Ketika seseorang bertindak atas dasar kepentingan diri sendiri dan obsesi, ia akan cenderung melanggar hak orang lain, merugikan diri sendiri, merugikan orang lain, dan melanggar aturan.
Maka dari itu, korupsi seharusnya dipahami bukan hanya tentang pejabat publik, penyalahgunaan wewenang, kerugian uang negara, dan pelanggaran hukum, tetapi juga bagaimana perilaku individu dapat berdampak pada munculnya korupsi.
Segala hal yang berkaitan dengan sikap, tindakan, dan pengetahuan seseorang atau sekelompok orang yang menjadikan dirinya terjebak pada potensi korupsi disebut sebagai perilaku koruptif (Karsona dan Utari, 2018). Perilaku koruptif yang menjadi perilaku keseharian akan berpotensi menguatkan munculnya korupsi di masa yang akan datang.
Contoh perilaku koruptif yang ada di sekitar kita
A. Perilaku Koruptif dalam Lingkup Pribadi
Kasus 1
Tidak mengakui kesalahan dan menyalahkan orang lain
Perbuatan tersebut adalah perilaku koruptif karena mendorong menuju tindakan korupsi serta berpotensi memunculkan perilaku menyimpang lain seperti manipulasi dan kebohongan yang ditujukan untuk membebaskan diri sendiri dari kesalahan dan
melimpahkannya ke orang lain.
Kasus 2
Pulang lebih dari jam malam yang disepakati bersama
Perbuatan tersebut adalah perilaku koruptif karena membiasakan diri untuk tidak taat terhadap aturan atau komitmen.
B. Perilaku Koruptif dalam Lingkup Sosial Masyarakat
Kasus 1
Menyerobot antrean
Perilaku tersebut adalah perilaku koruptif karena melanggar hak orang lain. Kebiasaan melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain menjadikan afeksi tumpul sehingga tidak memahami mana hak milik pribadi dan mana hak milik orang lain.
Kasus 2
Tidak mematuhi peraturan
Peraturan dibuat untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam sebuah masyarakat. Tidak taat terhadap peraturan merupakan salah satu perilaku koruptif karena dapat merugikan orang lain dan negara, baik secara langsung maupun tidak.
“Perhatikan pikiranmu, karena pemikiran akan berkembang menjadi kata-kata. Perhatikan kata-katamu, karena kata-kata akan berkembang menjadi perilaku. Perhatikan perilakumu, karena perilaku akan berkembang menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaanmu, karena kebiasaan akan berubah menjadi karakter. Perhatikan karaktermu, karena karakter dapat menentukan nasibmu.”
- Lao Tze
Integritas sebagai Nilai dan Prinsip Dasar Antikorupsi
Korupsi terjadi ketika nilai-nilai antikorupsi tidak kuat ditanamkan dalam diri. Melalui pembiasaan dan pengembangan nilai-nilai antikorupsi diharapkan tiap individu memiliki kendali diri terhadap praktik-praktik korupsi.
Keberadaan nilai-nilai antikorupsi berfungsi sebagai kendali diri atas perilaku koruptif. Dengan penguatan nilai-nilai antikorupsi, individu dapat secara sadar mengenali serta menghindari potensi perilaku koruptif.
Untuk mencegah perilaku koruptif, lingkungan terdekat juga harus mendukung. Dalam hal ini, perlu ada sistem yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip antikorupsi agar kesempatan melakukan perilaku koruptif di lingkungan terdekat semakin kecil.
Prinsip Anti Korupsi
Prinsip-prinsip antikorupsi dapat dimaknai sebagai aturan atau standar dalam membangun sebuah sistem yang memiliki kontrol kuat dalam menghindari situasi berpotensi korupsi. Ketika prinsip-prinsip antikorupsi menjadi dasar utama dalam membangun sistem yang bersinggungan langsung dengan peran individu dalam lingkup sosial masyarakat maka potensi melakukan korupsi akan tertutup
Lalu apa peran integritas?
Nilai dasar integritas dapat memengaruhi secara signifikan penguatan nilai-nilai antikorupsi dengan membangun sistem berdasarkan pencapaian prinsip antikorupsi. Integritas terdiri atas dua bentuk, yaitu integritas substantif dan formal (Bauman, 2008).
Integritas formal mengarahkan pada situasi individu yang konsisten dan komitmen atas sesuatu yang belum tentu mengarah pada nilai dan moral. Sementara itu, integritas substantif mengarahkan pada situasi individu yang konsisten dan komitmen atas sesuatu dengan dasar nilai dan moral. Konsep integritas inilah yang penting untuk dicapai.
Prinsip-prinsip antikorupsi dapat dimaknai sebagai aturan atau standar dalam membangun sebuah sistem yang memiliki kontrol kuat dalam menghindari situasi berpotensi korupsi. Ketika prinsip-prinsip antikorupsi menjadi dasar utama dalam membangun sistem yang bersinggungan langsung dengan peran individu dalam lingkup sosial masyarakat maka potensi melakukan korupsi akan tertutup.
Individu yang memiliki integritas (khususnya integritas substantif) akan memunculkan perilaku-perilaku yang sejalan dengan nilai dasar dalam integritas tersebut.
Keberadaan nilai-nilai dasar integritas yang berorientasi pada nilai dan moral serta diperkuat dengan optimisme akan menguatkan nilai antikorupsi yang berorientasi pada kesadaran untuk menghindari perilaku koruptif. Lalu, nilai internal tersebut akan mendorong individu untuk membangun sistem berdasarkan prinsip-prinsip antikorupsi sehingga tercipta ekosistem yang jauh dari potensi korupsi.