PERSEROAN TERBATAS
MATA KULIAH HUKUM DAN ETIKA DIGITAL/ BISNIS
By: Himawan Dwiatmodjo, S.H., LLM.
"Jika kau tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kau akan merasakan perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)
Perbedaan PT Perorangan dengan PT Biasa
Informasi (information) menurut asal katanya berasal dari istilah dalam bahasa Prancis kuno “informatio”, atau dalam bahasa Latin “informare”, yang berarti pembentukan pikiran atau pengajaran. Informasi menurut kamus dapat diberi pengertian sebagai “fakta tentang sesuatu atau tentang seseorang yang diberikan atau dipelajari (https://en.oxforddictionaries.com). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, informasi diberi pengertian sebagai: 1) penerangan; 2) pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu;
3) keseluruhan makna yang menunjang amanat yang terlihat dalam bagian-bagian amanat itu.
Istilah informasi dapat disejajarkan dengan istilah dalam bahasa Arab “khabar” (bentuk jamaknya akhbaar) yang artinya berita. Adapun dalam Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 1, informasi diberi pengertian sebagai: “Pernyataan, keterangan, gagasan, serta tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai perkembangan teknologi informasi serta komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik.”
Ada beberapa istilah informasi yang dikenal dalam Islam, yaitu Naba’, Khabar, dan I’lam. Menurut Ibnu Manzhur, naba’ sinonim dengan kata khabar. Bentuk pluralnya adalah anba’ (Ibnu Manzhur, t.t.: 4315). Kata naba’ berserta derivasinya disebut sebanyak 68 kali dalam al-Quran. Meskipun sinonim dengan khabar, kata naba’ ini seringkali digunakan untuk menunjukan suatu informasi yang penting. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa naba’ bermakna informasi yang luar biasa besar (al-ha’il), mengerikan (al-mufzhi’), dan membuat orang terpukau (al-bahir) (Ibnu Katsir, t.t.: Vol. 15: 227). Al-
Raghib al-Ashfahani mengatakan naba’ adalah informasi yang mengandung faedah besar, yang dapat
menghasilkan sebuah pengetahuan pasti (al-‘ilm) atau hipotesa kuat (ghalabah al-zhann). Karenaya, suatu
informasi tidak dapat dikatakan naba’ ketika informasi tersebut tidak mengandung tiga hal tersebut (faedah besar, pengetahuan pasti, atau hipotesa kuat). Kata Nabi juga berasal dari isim fa’il naba’ (nabi’ dan nabiy).
Pada kehidupan anak cucu Nabi Adam AS, tentu lebih banyak lagi informasi yang berkembang, dan jauh lebih kompleks dibanding di masa awal kehidupan umat manusia era Nabi Adam AS ketika itu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain informasi yang benar, tak sedikit pula yang beredar di tengah masyarakat mengandung unsur kepalsuan (hoax).
Nabi Adam AS sendiri pernah terpapar informasi hoax berisi godaan dari Iblis agar Adam AS dan isterinya, Hawa, berkenan memakan buah khuldi. Akibat paparan informasi yang hoax tersebut menjadi penyebab bagi Adam AS dan Hawa untuk pindah dari kehidupan di surga, yang memiliki berbagai fasilitas penuh kenikmatan, menuju kehidupan dunia yang serba kekurangan.
Pada era yang lebih belakangan, yakni masa Nabi Muhammad SAW, beliau juga pernah terpapar informasi hoax, yakni berkembangnya isu tentang dugaan perbuatan keji antara Aisyah (isteri Nabi) dengan seorang sahabat, Safwan bin Mu’attal. Keduanya tertinggal dari rombongan, sebab Aisyah harus mencari kalungnya yang hilang di tengah padang pasir. Kondisi tersebut membuat Aisyah dan Safwan terlambat tiba di Madinah. Namun isu hoax tersebut dikoreksi langsung oleh al-Quran (QS. Al-Nur: 11- 22).
dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [1032], (Qs An Nuur:22)
[1032] Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa Dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
Mengingat semakin derasnya arus informasi dalam kehidupan umat manusia saat ini, maka ada beberapa tips yang dapat dijadikan pegangan dalam menyeleksi benar tidaknya sebuah informasi. Ada beberapa aspek etika yang perlu diperhatikan dalam penyampaian dan penerimaan informasi:
Idealnya, seorang produsen informasi harus sifat adil. Menurut Ibnu Hajar al-’Asqalani, dan diperjelas lagi oleh al-Qari, ada 5 hal yang dapat mengurangi sifat adil: a) Suka berdusta (al- kadzib); b) Tertuduh telah berdusta (at-tuhmah bil-kadzib); c) Fasik; d) Al-Jahalah, yang bersangkutan kurang dikenal sebagai perawi hadis; e) Pelaku bid’ah. Adil itu berpihak pada kebenaran dan tidak partisan, serta menjaga muru’ah. Adil di sini menyangkut kualitas pribadi.
Selain adil, juga dikenal istilah dhabith. Jika adil berhubungan dengan kualitas moral dari penyampai informasi, maka sifat dhabith ini lebih terkait dengan kualitas intelektual. Ada yang berpendapat bahwa seorang yang dhabith adalah yang memiliki daya hafal yang sempurna dan memiliki kemampuan menyampaikan hafalannya kepada orang lain. Ada istilah tamm al-dhabth dan ada khafif al-dhabth (kualitas setingkat hadis hasan). Ada juga istilah dhabth al-shadr dan dhabth al-kitab.
Ada lima hal yang mengurangi ke-dhabith-an seseorang: a) Lebih banyak salahnya dalam periwayatan; b) Lebih menonjol lupanya ; c) Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan atau al-wahm; d) Riwayatnya bertentangan dengan periwayatan orang lain yang tsiqah (mukhalafah ‘an al-tsiqah) ; e) Buruk hafalanya (su’u al-hifz). Secara umum, kualitas perawi atau penyampai informasi harus terpercaya (tsiqah). Tsiqah ini merupakan gabungan antara sifat ‘adil dan dhabith.
Melakukan tabayyun langsung (direct clarification) kepada seseorang yang dikaitkan dengan isu negatif yang berkembang terkait diri orang tersebut. Al-Quran telah memperingatkan pentingnya tabayyun ini:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. al-Hujurat: 6).
Pada umumnya, informasi yang benar tidak menggunakan kata-kata yang bombastis, sarkastis, dan sejenisnya.
Sejauh analisis subjektif tentang seorang figur atau institusi tertentu yang bersifat negative campaign, tentu masuk dalam aspek criticism yang dapat diterima. Hanya informasi yang berbau fitnah (black campaign) yang tidak dibenarkan dan bisa dijerat UU ITE maupun pidana lainnya.
Idealnya, penerima informasi tidak langsung percaya pada sebuah materi atau sumber informasi yang diperoleh, tetapi harus membandingkannya terlebih dahulu dengan sumber informasi yang mainstream lainnya. Misalnya, membaca atau mendengar suatu berita, tidak cukup dari satu portal berita atau satu TV saja. Namun, jauh lebih baik membandingkan dengan portal atau TV lainnya.
Seringkali, seseorang menerima kiriman sebuah gambar, yang boleh jadi itu merupakan hasil editan, atau gambar yang berbeda waktu (jam, tanggal, hari, minggu, bulan, tahun) dan tempat kejadiannya. Untuk kasus seperti ini, link Google Image dapat membantu untuk klarifikasi. Demikian pula tentang video yang diperoleh, boleh jadi sudah mengalami editan.
Jika seseorang menolak sebuah infromasi atau gagasan dari seseorang, fokuslah pada argumen yang disampaikan, hindari sifat apologetik dan personal judgement.
Secara spesifik, terkait isu keagamaan, harus dicermati, apakah sang informan sedang memposisikan dirinya sebagai insider (lebih kental keterlibatan emosionalitas keberagamaan yang subjektif), atau sebagai outsider (lebih memposisikan dirinya sebagai pengkaji, atau seseorang yang sedang melakukan analisis sebagai “pengamat” secara objektif).
Setiap orang, wajar saja memposisikan diri sebagai lover-follower atau pun sebagai hater terhadap suatu isu atau figur tertentu. Jika terjadi pro-kontra tentang suatu isu atau informasi yang tidak bisa dikompromikan, maka jalur yuridis-konstitusional merupakan jalan terbaik untuk dijadikan solusi. Apa pun keputusan hakim di pengadilan harus diterima dengan lapang dada oleh para pihak yang bertikai. Karena yang demikian merupakan cerminan dari cara berdemokrasi yang baik.
Imam Syafi’i, bapak usul fiqh, menyebutkan, bahwa kegiatan penyebaran informasi yang belum diyakini kebenarannya, sebagai: “kebohongan tak terlihat atau tersamar” (al-kadzib al-khafi). Dalam kitabnya al-Risalah, Imam Syafi’i mengemukakan:
Sesungguhnya kebohongan yang juga dilarang adalah kebohongan tak terlihat, yakni menceritakan kabar dari orang yang tak jelas kejujurannya (Imam al-Syafi’i, 2006: 267).
Setiap Muslim dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar’i seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai.
Menggunakan kalimat, grafis, gambar, suara dan/atau yang simpel, mudah difahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain.
Memilih diksi yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan.
Kontennya tidak menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi.
15. Penyebaran informasi memuat konten yang benar, bermanfaat, bersifat umum, tepat waktu dan tempat, tepat konteks, dan memiliki hak untuk penyebaran informasi (tidak melanggar hak kekayaan intelektual).
16. Dalam membagikan informasi dilarang menyebarkan ghibah (penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukai), fitnah, dan namimah (adu domba). Setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk: (1) melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan menyebarkan permusuhan, (2) melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras, atau antara golongan, (3) menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup, (4) menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syar’i, dan (5) menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai dengan tempat atau waktunya. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/inform benar kepada masyarakat hukumnya haram.
Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/inform benar kepada masyarakat hukumnya haram.
Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak, hukumnya haram.
Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
Aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya (poin 11-20, lihat Fatwa MUI tentang Media Sosial, No. 24/2017).
Wallahu a’lam bisshawab.
BUMN
Badan usaha milik negara (disingkat BUMN) dahulu dikenal sebagai perusahaan negara (disingkat PN) adalah perusahaan yang dimiliki baik sepenuhnya, sebagian besar, maupun sebagian kecil oleh pemerintah dan pemerintah memberi kontrol terhadapnya. Yang membedakan BUMN dengan badan lain milik pemerintah adalah status badan hukum, sifat operasional, aktivitas, dan tujuan operasinya. Meski BUMN berperan dalam melaksanakan kebijakan publik (misalnya perusahaan perkeretaapian milik negara bertujuan untuk mempermudah akses dan mobilitas masyarakat), BUMN harus dibedakan dari kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, nonstruktural, juga badan layanan umum karena memiliki status Sifat layaknya Swasta korporat atau yang berdiri independen sendiri untuk mencari profit.
Terminologi
Pendapat mengenai terminologi BUMN menurut para ahli berbeda-beda, terutama dalam mendefinisikan istilah bahasa Inggris untuk BUMN, state-owned enterprise.
Pertama, istilah state sering tidak jelas dan bahkan diperdebatkan, (semisal, kurang jelas apakah badan usaha milik daerah, BUMD, dianggap "milik negara"). Selain itu, tidak ada kejelasan apakah syarat pembentukan BUMN adalah "benar-benar milik negara" (state-owned) seutuhnya (perlu diketahui bahwa BUMN dapat sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh negara; bahkan sangat susah mengetahui seberapakah kepemilikan negara dalam perusahaan memenuhi syarat sebagai "milik negara" karena pemerintah dapat memiliki modal sendiri, tanpa mencampuri urusan perusahaan).
Terakhir, istilah enterprise (badan usaha) sering dipertanyakan, karena secara umum enterprise adalah badan hukum perdata walaupun ada juga BUMN yang berbadan hukum publik, yang akibatnya istilah corporation (perusahaan) lebih sering digunakan.[3][4]
Dalam BUMN sendiri, anak perusahaannya dapat bersifat tertutup ataupun terbuka (dicatat dalam bursa efek), tetapi pemerintah memiliki perusahaan tersebut melalui perusahaan induk (membentuk holding BUMN). Terdapat dua definisi mengenai "anak perusahaan BUMN" bergantung kepemilikan pemerintah, yakni definisi pertama adalah pemerintah memiliki setidaknya lebih dari 50% saham pada anak perusahaannya, atau definisi kedua, berapa pun jumlah saham aktif yang ada di tangan pemerintah.
Suatu tindakan yang mengubah badan layanan umum milik pemerintah menjadi BUMN disebut korporatisasi.
Kegunaan (Alasan ekonomi)
Monopoli
BUMN sangat identik dengan monopoli, karena BUMN didirikan untuk memenuhi kepentingan umum. Akibatnya, BUMN dapat mengejar seluas-luasnya nilai ekonomi dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, BUMN banyak memonopoli infrastuktur dan penyelenggaraan distribusi dan transportasi (misalnya perusahaan kereta api), barang dan jasa strategis (misalnya jasa pos dan telekomunikasi, produsen senjata, dan pengadaan barang milik negara), sumber daya alam dan energi (misalnya minyak bumi, tambang, atau energi alternatif), bisnis yang secara politis bersifat sensitif, lembaga penyiaran, perbankan, barang yang membawa mudarat (misalnya minuman keras), dan barang bermanfaat (misalnya pelayanan kesehatan).
Industri berkembang
BUMN dapat membantu industri berkembang yang dianggap "bermanfaat bagi ekonomi negara dan dianggap tidak sesuai bila dikelola oleh swasta".[8] Saat industri yang mulai berkembang mengalami kesulitan suntikan modal dari swasta (mungkin karena barang yang diproduksi membutuhkan investasi berisiko tinggi, sukar dipatenkan, atau terjadi spillover effect), pemerintah dapat membantu industri tersebut hadir di pasar dengan pengaruh ekonomis yang positif. Namun, pemerintah tidak dapat memperkirakan mana suatu sektor industri tersebut sebagai industri berkembang, sehingga peranan BUMN dalam menumbuhkan industri berkembang sering diperdebatkan.
Alasan politik
BUMN dapat didirikan untuk membantu program pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dari sini, BUMN bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan umum.[10] BUMN juga dapat dijadikan sebagai sarana meringankan tekanan fiskal suatu negara, mengingat BUMN tidak ikut dihitung dalam APBN.[5][6][7][10][11]
Pengaruh
Terhadap birokrasi
Dibandingkan dengan badan layanan umum, penyelenggaraan kegiatan usaha ekonomi oleh BUMN sangat bermanfaat karena peran politisi tidak digantungkan dalam menyelenggarakan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi.
Sebaliknya BUMN dapat merugikan karena pengawasannya relatif lemah seperti naiknya biaya transaksi (termasuk biaya pengawasan, yakni dibutuhkan biaya tinggi dan sukar untuk memimpin BUMN yang sudah otonom daripada di badan layanan umum). Ada bukti kecenderungan bahwa kegiatan BUMN dirasa lebih efisien daripada badan layanan umum, tetapi nilai manfaatnya berkurang saat pelayanannya menjadi cenderung bersifat teknis dan memiliki tujuan publik yang kurang terbuka.
Terhadap badan usaha milik swasta
Dibandingkan dengan badan usaha milik swasta, BUMN kurang efisien dalam menjalankan kegiatan usahanya karena ada campur tangan politik. Namun tidak seperti perusahaan yang digerakkan keuntungan, BUMN lebih berfokus pada tujuan publik.
Perkembangan di seluruh dunia
Di Eropa Barat dan Eropa Timur pernah ada nasionalisasi besar-besaran pada abad ke-20, khususnya setelah Perang Dunia II. Di Eropa Timur, pemerintahan berideologi komunis banyak memanfaatkan model-model ala Soviet. Pemerintah di Eropa Barat, baik golongan kanan maupun kiri, melihat campur tangan negara sangat diperlukan dalam membangun kembali perekonomian pascaperang.[14] Kontrol pemerintah atas monopoli industri sudah termaktub dalam aturan. Sektor-sektor tersebut adalah telekomunikasi, pembangkit listrik, bahan bakar fosil, kereta api, bandara, maskapai penerbangan, transportasi umum, bijih besi, pelayanan kesehatan, pos, dan kadang-kadang bank. Banyak perusahaan industri besar juga dinasionalisasi atau dibentuk sebagai perusahaan negara, sebagai contoh British Steel Corporation, Statoil, dan Irish Sugar. Mulai dekade 1970-an dan terus melesat pada 1980 dan 1990-an banyak perusahaan yang diswastanisasi, walau ada yang tetap menjadi milik pemerintah.
BUMN dapat bekerja berbeda dengan perseroan terbatas. Sebagai contoh, di Finlandia, BUMN (liikelaitos) dikendalikan oleh pelaku terpisah. Meski harus bertanggung jawab dengan keuangannya sendiri, mereka tidak dapat menyatakan bangkrut; negara dapat melunasi kewajibannya. Aktiva perusahaan tidak dapat dijual dan jika hendak dipinjam harus dengan persetujuan, mengingat aktiva tersebut merupakan kewajiban pemerintah.
Di banyak negara-negara anggota OPEC, pemerintah memiliki perusahaan minyak yang beroperasi di tanah-tanah miliknya. Misalnya perusahaan Saudi Aramco milik Arab Saudi, yang dibeli sahamnya oleh Pemerintah Arab Saudi pada tahun 1988, yang kemudian diganti namanya dari Arabian American Oil Company menjadi Saudi Arabian Oil Company. Pemerintah Arab Saudi juga memiliki maskapai penerbangan nasional, Saudi Arabian Airlines, dan memegang 70% saham SABIC serta sejumlah perusahaan lain. Namun, sebagian di antara perusahaan itu diprivatisasi satu persatu.
Holding Company
Perusahaan induk adalah perusahaan yang menjadi perusahaan utama yang mengatur, mengendalikan dan mengawasi kinerja dari beberapa anak perusahaan yang tergabung ke dalam satu grup perusahaan. Perusahaan induk umumnya terbentuk dari perusahaan berjenis perseroan terbatas. Ciri umum dari perusahaan induk adalah adanya konglomerat yang dimiliki oleh satu orang atau beberapa orang saja. Perusahaan induk terbentuk secara alami akibat adanya pertumbuhan ekonomi pada bisnis dalam suatu perusahaan. Bentuk pertumbuhan ekonomi ini umumnya adalah bertambahnya sektor bisnis yang dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan induk menjadi pemimpin bagi anak perusahaan. Tujuan perusahaan induk diterapkan juga oleh anak perusahaan secara sama. Peran perusahaan induk ialah merencanakan dan melakukan koordinasi terhadap anak perusahaan. Perusahaan yang dijadikan sebagai perusahaan induk umumnya ialah perusahaan rintisan yang berkembang pesat sejak pertama kali didirikan. Sifat dari grup perusahaan yang memiliki perusahaan induk ialah adanya sentralisasi. Melalui pengelompokan perusahaan ke dalam perusahaan induk, dimungkinkan terjadinya peningkatan atau penciptaan nilai pasar perusahaan. Ciri atau unsurnya ialah secara ekonomi ada kesatuan dan secara hukum berjumlah jamak. Faktor penentunya ialah kepemilikan saham, perjanjian, dan faktor faktual.
Sifat
Perusahaan induk memiliki kemampuan pengendalian terhadap anak perusahaan. Pengendalian ini tidak didasarkan pada persentase saham yang dimiliki oleh perusahaan induk atas anak perusahaan. Pengendalian perusahaan induk tetap berlangsung walaupun jumlah sahamnya lebih sedikit dibandingkan dengan anak perusahaan dalam suatu pasar saham. Kondisi yang sama juga berlaku ketika saham perusahaan induk lebih besar dari saham anak perusahaan dalam suatu saham yang sama.
Perusahaan afiliasi
Perusahaan induk umumnya melakukan kerja sama dengan perusahaan lain yang disebut sebagai perusahaan afiliasi. Dalam kerja sama ini, perusahaan induk memiliki kendali atas perusahaan afiliasi. Ciri kerja sama ini ialah kepemilikan saham dari perusahaan afiliasi yang sedikitnya 50% dari jumlah saham keseluruhan. Kerja sama ini umumnya terbentuk karena adanya liabilitas dari perusahaan afiliasi terhadap perusahaan induk yang belum terselesaikan.
Suplemen
Harjono, Dhaniswara K. (2021). Jatmoko, Indri, ed. Kedudukan Hukum Perusahaan Induk (Holding Company) (PDF). Jakarta: UKI Press.
tim Penyusun Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (2008). Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PDF). Jakarta: Bank Indonesia.
Hidayat, Freddy (2020). Mengenal Hukum Perusahaan (PDF). Banyumas: Penerbit CV. Pena Persada. Diarsipkan dari versi asli (PDF)
Hirman, dkk. (2017). Farkhani, ed. Hukum Perseroan Terbatas (PDF). Solo: Pustaka Iltizam;
Meutia, I.F., dan Devi Yulianti (2019). Manajemen BUMN (PDF). Bandar Lampung: Pusaka Media.
Hirman, dkk. (2017). Farkhani, ed. Hukum Perseroan Terbatas (PDF). Solo: Pustaka Iltizam
Noor, Muhammad (2012). Memahami Desentralisasi Indonesia (PDF). Yogyakarta: Interpena
Kusmayadi, dkk. Good Corporate Governance (PDF). Tasikmalaya: LPPM Universitas Siliwangi
"Profil Perusahaan Tercatat". Bursa Efek Indonesia
Panduan Go public. Bursa Efek Indonesia
Prospektus untuk keperluan IPO