MPM PPM

#selama rakyat masih menderita tidak ada kata istirahat



HIMAWAN DWIATMODJO, S.H., LL.M.


Peraturan Bahan Pokok

Undang-Undang Pangan

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Download Here


Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, Download Here


Peraturan Presiden


Instruksi Presiden

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, Download Here


Peraturan Menteri


SKB CBP

Ketahanan Pangan

Pengertian Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.


Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.


Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting. Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan, sebagai wage good), lingkungan (menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai perekat bangsa, mewujudkan ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.


Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya semakin besar dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang tersebar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, Indonesia memerlukan ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kecukupan konsumsi maupun stok nasional yang cukup sesuai persyaratan operasional logistik yang luas dan tersebar. Indonesia harus menjaga ketahanan pangannya.


Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.


UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety). “Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.


Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat”. “Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.


Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan penyempurnaan dan “pengkayaan cakupan” dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang memasukkan “perorangan” dan “sesuai keyakinan agama” serta “budaya” bangsa. Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.


Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Untuk itulah, tidak salah apabila Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok masih ada pangan buat rakyat.


Ketahanan pangan kita tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang musiman dan berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan pangan nasional. Kalau perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan yang tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen, khususnya produsen berskala produksi kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi petani yang terbatas; sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan lemahnya penanganan panen dan pasca panen mendorong Pemerintah untuk melakukan intervensi dengan mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.


Permasalahan yang muncul lainnya di dalam distribusi. Stok pangan yang tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau. Namun tidak jarang sarana dan prasaran distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri (kasus pengiriman sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta yang lebih mahal daripada dari Australia ke Jakarta; atau biaya pengiriman beras dari Surabaya ke Medan yang lebih mahal dari pada pengiriman dari Vietnam ke Jakarta).


Dari sisi tataniaga, sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai pasokan yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli). Sedangkan dari sisi konsumsi, pangan merupakan pengeluaran terbesar bagi rumah tangga (di atas 50% dari jumlah pengeluaran). Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan pokok dari pangan lokal ke bahan pangan impor.


Dengan pertimbangan permasalahan pangan tersebut di atas maka kebijaksanaan pangan nasional harus dapat mengakomodasikan dan menyeimbangkan antara aspek penawaran/produksi dan permintaan. Pengelolaan kedua aspek tersebut harus mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tangguh menghadapi segala gejolak. Pengelolaannya harus dilakukan dengan optimal mengingat kedua aspek tersebut dapat tidak sejalan atau bertolak belakang. (@2014)

RASKIN

Berbicara tentang RASKIN diawali dengan adanya program Operasi Pasar Khusus Beras pada pertengahan tahun 1998 dan akan selalu terkait dengan awal munculnya krisis moneter dan ekonomi. Apabila ditengok ke belakang, terjadinya krisis moneter yang dimulai pertengahan tahun 1997, disertai kemarau kering serta bencana kebakaran hutan dan ledakan serangan hama belalang dan wereng coklat pada waktu itu telah menyebabkan penurunan produksi pangan secara nyata. Penurunan produksi ini juga dipicu oleh kenaikan harga pupuk dan obat pemberantas hama yang cukup tinggi sehingga penggunaan sarana produksi pertanian mengalami penurunan. Biaya hidup petanipun meningkat akibat terjadinya kenaikan harga semua kebutuhan. Harga beras mulai merangkat naik sejak bulam Mei 1997 dan mencapai puncaknya sekitar Mei – Juni 1998. Situasi itu juga diperburuk dengan meletusnya kerusuhan pada tanggal 12-14 Mei 1998 yang secara langsung telah mempengaruhi kelancaran distribusi pangan. Dalam situasi yang demikian, kondisi politik juga semakin menghangat yang mencapai puncaknya dengan adanya pergantian kepemimpinan Nasional pada tanggal 21 Mei 1998.


Penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan semua kebutuhan biaya hidup, hilangnya sebagian besar sumber pendapatan masyarakat karena PHK melengkapi tekanan terhadap stabilisasi sistem pangan secara menyeluruh. Di beberapa daerah juga dikhabarkan telah terjadi rawan pangan , dan kesemuanya ini apabila tidak segera diambil tindakan untuk mengatasinya dikhawatirkan akan menimbulkan eskalasi kerawanan sosial yang lebih besar.


Menghadapi situasi yang demikian, maka pemerintah dalam sidang Kabinet tanggal 3 Juni 1998 telah memutuskan untuk membentuk Tim Pemantau Ketahanan Pangan yang prinsipnya merupakan Food Crisis Center atau pusat penaggulangan krisis pangan. Langkah ini ditindak lanjuti dalam Rakor Ekuin tanggal 24 Juni 1998 yang membahas khusus mengenai mekanisme penyaluran bantuan pangan kepada masyarakat yang mengalami rawan pangan, yang akhirmya sampai pada keputusan untuk melaksanakan program bantuan pangan melalui Operasi Pasar Khusus yang operasionalnya dilaksanakan oleh BULOG. Penunjukan BULOG untuk melaksanakan program ini antara lain karena beberapa asalan seperti kesiapan sarana pergudangan , SDM dan stok beras BULOG yang tersebar di seluruh Indonesia, dan mekanisme pembiayaan yang memungkinkan BULOG mendistribusikan terlebih dahulu berasnya , kemudian baru ditagihkan kepada pemerintah. Oleh karena itu dengan penunjukan BULOG akan memungkinkan program bantuan pangan ini dapat segera dilaksanakan.


Program bantuan pangan yang dikemas dalam bentuk Operasi Pasar Khusus (OPK) ini juga menjadi rintisan program bantuan sosial lainnya dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS). Ada beberapa pertimbangan mengapa bantuan pangan ini diberikan dalam bentuk beras, antara lain karena beras merupakan pangan pokok mayoritas penduduk, dan porsi pengeluaran untuk pangan bagi penduduk miskin adalah cukup tinggi. Memang ada model bantuan lainnya yaitu dalam bentuk uang tunai, namun pola ini cukup rawan terhadap penyimpangan.


Pada saat munculnya program OPK, Indonesia memang belum memiliki model bantuan pangan yang mantap seperti di negara-negara maju (seperti pola food stamp di AS misalnya). Oleh karena itu maka pola OPK dianggap menjadi alternatif yang paling rasional. Namun dalam perkembangannya dengan masih akan adanya masalah kemiskinan, maka bantuan pangan OPK ini diharapkan dapat menjadi dasar/landasan model bantuan pangan dimasa-masa mendatang.


Setiap tahunnya program OPK dievaluasi dan terus melakukan penyempurnaan. Pada tahun 2002, nama program diubah dengan RASKIN (Beras untuk Keluarga Miskin) dengan tujuan agar lebih dapat tepat sasaran. Keluarga yang tidak miskin akan menjadi malu untuk ikut dalam antrian mendapatkan jatah beras RASKIN. Program ini terus berjalan sampai dengan saat ini dengan mengikuti kemampuan subsidi yang dapat diberikan pemerintah kepada keluarga miskin dan perkembangan data keluarga miskin yang terus dilakukan penyempurnaan.

Alur Distribusi RASKIN dan Pengadaannya

Tugas publik Perum BULOG merupakan amanat dari Inpres No. 3 tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Berita dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yang merupakan pengejawantahan intervensi pemerintah dalam perberasan nasional untuk memperkuat ketahanan pangan. Ketiga tugas publik BULOG tersebut saling terkait dan memperkuat satu sama lain sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga maupun nasional yang lebih kokoh. Ketiga tugas publik tersebut adalah pertama, melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk pengadaan gabah dan beras dalam negeri oleh Perum BULOG. Tugas kedua, menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang diwujudkan dalam pelaksanaan program RASKIN. Sedangkan tugas ketiga, menyediakan dan menyalurkan beras untuk menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana, dan rawan pangan. Kegiatan ketiga dilaksanakan Perum BULOG dalam bentuk pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).


RASKIN SEBAGAI SIMPUL PERBERASAN NASIONAL YANG TIDAK BISA DIPISAHKAN

Tugas publik Perum BULOG merupakan amanat dari Inpres No. 3 tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Berita dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yang merupakan pengejawantahan intervensi pemerintah dalam perberasan nasional untuk memperkuat ketahanan pangan. Ketiga tugas publik BULOG tersebut saling terkait dan memperkuat satu sama lain sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga maupun nasional yang lebih kokoh.

Ketiga tugas publik tersebut adalah pertama, melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk pengadaan gabah dan beras dalam negeri oleh Perum BULOG. Tugas kedua, menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang diwujudkan dalam pelaksanaan program RASKIN. Sedangkan tugas ketiga, menyediakan dan menyalurkan beras untuk menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana, dan rawan pangan. Kegiatan ketiga dilaksanakan Perum BULOG dalam bentuk pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).


DISTRIBUSI RASKIN DARI GUDANG BULOG SAMPAI RTS

Penyaluran RASkin diawali dari permintaan alokasi (Surat Permintaan Alokasi – SPA) dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. SPA tersebut ditujukan kepada Kadivre/ Kasubdivre yang membawahi wiayah tersebut. Atas SPA tersebut, oleh Tim Koordinasi Raskin setempat dibahas jadwal penyalurannya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat menyiapkan waktu, tenaga dan dana pada saat penyaluran. Sebelum jadwal pengiriman beras ke Titik Distribusi, Tim Koordinasi Raskin melakukan pengecekan kondisi beras Raskin yang akan disalurkan.

Beras Raskin kemudian dikrimkan ke Titik Distribusi tujuan sesuai dengan jumlah RTS yang terdata di wilayah tersebut. Tidak ada penambahan dan pengurangan jumlaholeh BULOG. Apabila ada perubahan data RTS (Rumah Tangga Sasaran) adalah kewenangan Musyawarah Desa/Kelurahan dan Musyawarah Kecamatan.

Kajian RASKIN

Sejak diluncurkannya program bantuan pangan bersubsidi pada Juli 1998 dengan sebutan Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras, sampai saat ini telah banyak pihak yang menyoroti, mengkritik maupun memuji pelaksanaannya. Perubahan nama program dari OPK menjadi Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN) pada tahun 2002 bertujuan untuk lebih mempertajam ketepatan sasaran penerima manfaat ( self targeting ).


Beberapa hasil studi, kajian, dan penilaian yang dilakukan oleh berbagai pihak (Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Peme¬rintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Internasional dan Lemba¬ga Profesi yang Independen) selama 1998-2003 telah memberikan masukan yang berarti dalam penyempurnaan program RASKIN.



HASIL STUDI SELAMA PERIODE OPK


Pada tahun 1998/1999, dua puluh enam (26) Perguruan Tinggi dan LSM Selindo (kecuali Timor Timur dan Maluku), telah melakukan evaluasi terhadap program OPK. Acuan evaluasi menggunakan pedoman evaluasi yang disusun oleh Pusat Pengembangan Agribisinis (PPA) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa bantuan beras sejumlah 20 kg/KK telah dapat menolong 2/3 kebutuhan beras rumah tangga .


Masukan dari Tim tersebut sangat berharga untuk pemantapan program tahap berikutnya. Tim menemukan bahwa masih banyak daerah yang jatah berasnya dibagi rata sehingga secara riil rata-rata keluarga menerima kurang dari 20 kg/KK/bln. Untuk itu Tim menyarankan perlunya peningkatan sosialisasi yang diikuti dengan validasi data secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaan perlu mendekatkan titik distribusi dengan kelompok sasaran dengan meningkatkan koordinasi yang lebih harmonis pada setiap tingkatan wilayah.


Hasil evaluasi 26 PT/LSM juga telah dibahas dalam sarasehan evaluasi OPK yang merekomendasikan perlunya melanjutkan program ini dengan penyempurnaan yang mencakup sasaran penerima, mekanisme pelaksanaan, sosialisasi dan penanganan keluhan. Keterlibatan Perguruan Tinggi dan LSM sejak awal penerapan program menunjukkan adanya keseriusan pemerintah untuk lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu dengan melibatkan Perguruan Tinggi dan LSM akan mendorong terciptanya kontrol sosial di masyarakat terhadap jalannya program.


Pada tahun 1999, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Centre for Food, Nutrision and Agriculture Studies and Sevices (CEFFNAS), dan Universitas Gadjah Mada melakukan studi program OPK ini.


Hasil studi yang dilakukan LP3ES memberikan beberapa masukan dalam upaya pemantapan program setelah tahun 1999. Beberapa hasil kajiannya antara lain menyangkut adanya ketidaksesuaian antara kriteria dengan realitas penerima, perlunya penajaman sasaran, perlunya melibatkan LSM dalam pendistribusian serta perlunya peningkatan sosialisasi. Hasil studi CEFFNAS menyarankan agar distribusi OPK perlu disesuaikan dengan pola panen padi. Disamping itu dalam mekanisme penentuan kelompok sasaran agar dapat diupayakan dengan pola bottom – up yang proses seleksinya dilakukan oleh Pemda dan masyarakat setempat. Sosialisasi juga perlu terus dilakukan untuk penetapan prioritas target sasaran yg berhak di lapangan. Sedangkan hasil studi yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan beberapa rekomendasi. UGM menyebutkan perlunya pendataan ulang keluarga sasaran dengan metode yang lebih realistis dengan penentuan kriteria yg rasional (data dasar BKKBN). Nama OPK juga perlu diganti untuk lebih mempertajam makna program. Selain itu perlu terus dilakukan peningkatan sosialisasi program. Dalam hal kemasan, perlu pola kemasan paket (20 Kg) dan pengawasan yang lebih baik.



SOROTAN LEMBAGA INTERNASIONAL


Krisis pangan yang dibarengi dengan krisis ekonomi menimbulkan berbagai spekulasi awal akan kemungkinan munculnya bahaya kekurangan pangan yang meluas di Indonesia. Dugaan tersebut ternyata tidak terbukti walaupun di beberapa daerah terdapat kasus terjadinya gizi buruk, namun kasus tersebut bukan hanya semata-mata karena dampak dari krisis pangan dan ekonomi saja akan tetapi ada faktor lain seperti kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan seperti di Sumatera Barat atau faktor sosial budaya. OPK dinilai menjadi salah satu program yang cukup berhasil antara lain karena kemampuannya untuk meng cover area dan populasi penduduk yang cukup luas dan besar sehingga penduduk di remote area yang mengalami kesulitan memperoleh akses fisik dan ekonomi dalam bidang pangan masih dapat terjangkau oleh program ini.


Salah satu bentuk perhatian lembaga internasional terhadap program OPK adalah adanya beberapa kajian dan analisis yang dilakukan oleh beberapa lembaga internasional seperti yang dilakukan oleh Dr. Frank Wiebe dari Harvard Institute For International Development – USA . Frank dari hasil analisisnya antara lain menyimpulkan bahwa program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin secara langsung pada kelompok sasaran merupakan upaya yang terbaik dalam mengatasi masalah rawan pangan. Sedangkan studi oleh Economic Management Services International – EMSI (Dr. Steve Tabor) menyoroti program bantuan pangan ini dikaitkan dengan manfaat dan dampaknya terhadap perekonomian dan masyarakat dengan aspek yang lebih luas. Studi ini menggunakan data yang berasal dari berbagai sumber dengan pendekatan analisis kuantitatif terhadap elemen-elemen yang mendukung pelaksanaan program dan dampaknya serta manfaatnya kepada masyarakat dan ekonomi secara umum.


Beberapa aspek yang menjadi inti analisis adalah biaya-biaya program, transfer keuntungan dari program, efektivitas biaya program, dampak ekonomi program, implikasi program OPK terhadap harga beras dan pendapatan petani, dan transfer ketahanan pangan. Studi tersebut menunjukkan bahwa efek total OPK telah meningkatkan pendapatan nasional sebesar 6,4 triliun (pada tahun pertama) jika memperhitungkan efek langsung dan multipliernya dari transfer fiskal tersebut. Dengan memberi stimulasi terhadap permintaan agregat, maka program OPK telah meningkatkan pendapatan buat 72.000 pencari kerja baru yang biaya penciptaan kerjanya sebesar Rp. 476.000. Hal ini merupakan prestasi yang nyata. Tentunya biaya penciptaan tenaga kerja ini jauh lebih rendah dibandingkan biaya penciptaan tenaga kerja sektor manufaktur.


EMSI juga menyebutkan bahwa program OPK dapat dipandang sebagai transfer pendapatan pemerintah secara tidak langsung terhadap keluarga miskin. Perbedaan antara harga di tingkat pasar dan harga eceran yang harus dibayar keluarga miskin untuk membeli beras adalah sama dengan transfer pendapatan, atau transfer keuntungan untuk RT sasaran yang dalam tahun 1988 mencapai Rp 3,4 triliun. Rata-rata transfer beneficiaris per bulan per RT sasaran sebesar Rp. 6.412, maka diperkirakan total transfer keuntungan kepada RT sasaran mencapai Rp. 2,9 triliun.


Hasil studi EMSI menekankan bahwa program OPK adalah program dengan biaya sangat efektif. Rasio transfer keuntungan bersih terhadap biaya total adalah 85%, rasio keuntungan bersih penerima OPK terhadap biaya finansial adalah 106%, dan rasio biaya operasional terhadap transfer keuntungan bersih adalah 10%.


Pada waktu harga beras tidak mampu dikontrol dan program OPK diperkenalkan, inflasi dapat dikontrol. Harga beras ternyata telah membawa proses deflasi. Dalam situasi seperti itu, maka program OPK menjadi penting kontribusinya bagi stabilitas harga . Pada periode ekonomi terpuruk yang diikuti oleh ” food riots “, pembatasan aktivitas perdagangan pangan oleh swasta di beberapa kota telah berakibat kepanikan konsumen. Sejak OPK mulai meluas, maka kepanikan tersebut dan penjarahan pangan khususnya beras dapat terhenti . Apabila program OPK tidak ada maka pendapatan masyarakat miskin akan turun sebesar 11%, dan pendapatan masyarakat paling miskin akan menurun lebih besar lagi yaitu 22%. Perhitungan tersebut berdasarkan pendapatan pada garis kemiskinan tahun 1998. Tanpa program OPK, konsumsi kalori keluarga miskin berkurang sebesar 8% dan konsumsi protein turun sekitar 15%. Jumlah masyarakat kelaparan dan kekurangan gizi akan semakin bertambah. Mutu makanan masyarakat miskin juga akan menurun. Dengan demikian program OPK dapat menolong mempertahankan tingkat produktivitas untuk kesehatan dan pendidikan.


Awalnya program OPK termasuk dalam Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan merupakan komponen food security, bukan merupakan program pelengkap ( complement program ) dalam program JPS namun menjadi komponen inti sehingga pelaksanaannya direkomendasikan dapat berkelanjutan. Program OPK harus menjadi instrumen jangka panjang untuk membantu rumah tangga yang rawan pangan. Program ini lebih cost effective dibandingkan dengan model subsidi harga pangan dengan pola umum ( general price subsidy ). Program ini juga impaknya terhadap ekonomi cukup positif dibandingkan dengan biaya yang harus dipikul oleh APBN dan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia akan menghadapi persoalan serius dalam ketahanan pangan pada tahun-tahun mendatang, dan usaha untuk menyempurnakan program OPK merupakan langkah paling efektif guna mengatasi kerawanan pangan.


Program OPK telah membuktikan lebih efektif dalam menangani ketahanan pangan daripada kebijakan beras murah yang digantikannya . Apabila OPK menjadi instrumen utama dalam mengurangi resiko ketahanan pangan, hal ini harus diakomodasikan dalam anggaran rutin pemerintah. Pendapatan minimum Rumah Tangga dapat digunakan sebagai indikator dalam menjaring RT sasaran. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperbaiki indikator BKKBN yang digunakan untuk menjaring RT sasaran.



HASIL STUDI PERIODE RASKIN


Sebagaimana OPK, setelah berubah nama menjadi RASKIN, masih banyak pihak yang melakukan studi dan evaluasi. Evaluasi dilakukan oleh 35 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta (PTN/S), Lembaga Pemerintah (BPKP), Universitas Brawijaya dan Lembaga Demografi UI. Hasil evaluasi oleh 35 PTN/S, p ada tahap I menyimpulkan bahwa dari 11 program yang ada dalam JPS baru program RASKIN yang sudah berjalan mulai bulan Januari – Pebruari 2003.


Masih ditemukan jumlah beras yang dibagikan kurang dari 20 kg per KK per bulan akibat jumlah penerima manfaat yang melebihi jumlah pagu yang tersedia. Hampir semua daerah melakukan modifikasi berdasarkan musyawarah desa yang ditegaskan oleh SK Gubernur/Bupati/Walikota yang bertujuan menampung local wisdom (kebijakan setempat).


Pada akhirnya, 35 PTN/S tersebut memberikan penilaian terhadap kinerja RASKIN dengan nilai 83,74% untuk indikator ketepatan sasaran dan 59,74% untuk ketepatan jumlah (atau rata-rata penerimaan per KK per bulan adalah 13,3 kg). Untuk ketepatan waktu dinilai 64,00%, dengan tingkat pemenuhan kebutuhan 44,90% dan efektivitas program 57,90%. Studi oleh Universitas Brawijaya menyebutkan bahwa program RASKIN harus diimbangi dengan penguatan kelembagaan lokal seperti kelembagaan pangan dengan tujuan untuk mengantisipasi kerawanan pangan. Studi ini masih menemukan permasalahan klasik tentang ketepatan jumlah yang diterima per KK, ketepatan harga akibat ongkos transportasi, maupun kualitas dan kuantitas berasnya. Untuk itu Tim Studi Universitas Brawijaya menyarankan bahwa program RASKIN masih tetap diperlukan dalam rangka mengatasi masalah kekurangan gizi mikro pada masyarakat terutama masyarakat miskin. Program RASKIN perlu diintegrasikan dengan program lainnya dalam mengatasi masalah kemiskinan.


Karena masih ditemukan kekurangan pagu, Tim Studi Universitas Brawijaya menyarankan agar ada penambahan pagu Raskin. Tambahan alokasi ini dapat disediakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tingkat Pusat maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tingkat Daerah. Tambahan dana ini juga diperlukan untuk biaya operasional dari Titik Distribusi ke penerima manfaat. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap program RASKIN maka sosialisasi, monitoring dan evaluasi terhadap program Rakin secara terus menerus perlu dilakukan.


Tim Universitas Brawijaya juga menyarankan agar data masyarakat miskin, kebutuhan dasar pangan, konsumsi dan elastisitasnya, kemampuan produksi dan produksi maksimal serta distribusi akan bisa diintegrasikan dalam satu Sistem Informasi Pangan Nasional (SIPN) sehingga peran RASKIN sebagai stimulan akan bisa ditingkatkan apabila dilakukan persiapan pengembangan kebijakan secara integral berkesinambungan. Studi tentang RASKIN juga dilakukan oleh LEMBAGA DEMOGRAFI UI yang menemukan bahwa Kuantitas beras yang dibeli oleh KK Penerima Manfaat bervariasi antara 3,5 – 20 kg/KK, karena jumlah KK Miskin yang membutuhkan lebih banyak dari pada jumah beras yang didrop; tidak punya uang untuk membeli sebanyak 20 kg; tempat beli beras sulit dijangkau dan ada juga alasan kualitas beras yang kurang/tidak baik. Penerima manfaat pada umumnya menyatakan bahwa kualitas beras yang diterima sama atau lebih baik dari dari beras bulan sebelumnya dengan harga beras berkisar antara Rp. 1.000 – 1.200 karena untuk biaya angkut/tranposrtasi dari titik distribusi ke penerima manfaat. Untuk ketepatan waktu , di beberapa daerah distribusi dilakukan setiap bulan, kecuali untuk beberapa wilayah tertentu yang sulit dijangkau droping dilakukan dua bulan sekali atau tergantung situasi.


Dalam studinya, Lembaga Demografi UI menyebutkan kendala pelaksanaan RASKIN seperti kurangnya dukungan dana operasional terutama untuk pengangkutan dari titik distribusi ke penerima manfaat, jumlah beras lebih sedikit dari pada jumlah KK yang membutuhkan, maupun kondisi geografis wilayah dengan tingkat kesulitan yang berbeda menurut wilayah. Sedangkan faktor pendukung adalah adanya koordinasi antar instansi, peran serta masyarakat, dan evaluasi/pemantauan.


Dari hasil temuan tersebut, Tim Peneliti UI (Lembaga Demograsi UI) merekomendasikan bahwa dengan nilai ketepatan sasaran baru dicapai sekitar 86%, disarankan agar dibentuk institusi khusus di level bawah (tingkat penerima manfaat) semacam Kelompok Kerja Penanggulangan Kemiskinan Tingkat Desa/Kelurahan beranggotakan tokoh masyarakat setempat. Saran lain untuk lebih tepat sasaran adalah pendataan KK Miskin dilakukan oleh aparat paling rendah misalnya Ketua RT/RW yang dapat mengamati dan menilai tingkat kemiskinan warga mereka sekaligus ketetapan sasaran. Dalam pelaksanaan penyaluran beras Raskin, perlu penegasan kembali bahwa RASKIN bukan hanya program Perum BULOG tetapi menyangkut semua pihak. Perlu kerjasama dengan Pemda dan jajarannya. Untuk itu sosisalisasi perlu terus dilanjutkan dan perlu tranparansi terhadap masyarakat sehingga RASKIN dapat diketahui secara gamblang dan jelas. Tim penilai harus dibentuk pada level daerah dan harus melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program.